Sebagai bangsa yang pernah dijajah oleh
bangsa lain, corak kehidupan bangsa Indonesia tidak sedikit ikut dipengaruhi
oleh tatanan sistem yang diciptakan oleh bangsa penjajah baik menyangkut
kehidupan politik, ekonomi, sosial dan hukum. Berdasarkan fakta sejarah, bangsa
Belanda merupakan bangsa yang paling lama menjajah Indonesia. Selain dengan
menggunakan alat persenjataan modern, bangsa Belanda juga menggunakan perangkat
hukum sebagai salah satu alat untuk mengukuhkan hegemoninya atas bangsa
Indonesia.
Hal tersebut dapat dilihat dari
ditetapkannya Indische Staatsregeeling atau disingkat IS oleh Belanda.
Dalam Pasal 131 ayat (2) IS dimuat tentang ketetentuan dasar konkordansi, yaitu
asas yang menyatakan bahwa hukum Belanda berlaku di Indonesia (dahulu Hindia
Belanda) sebab saat itu Indonesia merupakan wilayah jajahan Belanda. Menurut
Kansil, IS merupakan peraturan pokok yang dapat dikatakan sebagai
“Undang-Undang Dasar Hindia Belanda” dan merupakan sumber peraturan-peraturan
organik pada masa itu.
Belanda merupakan salah satu negara yang
menganut sistem civil law (peraturan tertulis). Sebagian besar peraturan
tertulis tersebut telah terhimpun atau terkodifikasikan dalam suatu bentuk
kitab undang-undang (wetboek). Diantara peraturan tertulis yang telah
dikodifikasi tersebut adalah hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana serta
hukum acara perdata dan hukum acara pidana (Pasal 131 ayat (1) IS).
Setelah bangsa Indonesia menyatakan
kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, tidak secara serta merta peraturan-peraturan
produk Belanda tersebut ditinggalkan atau tidak diberlakukan. Dalam Pasal II
Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 telah dinyatakan bahwa segala Badan
Negara dan peraturan yang ada masih berlaku selama belum diadakan yang baru
menurut undang-undang dasar ini. Hal tersebut dilakukan guna menghindari
kekosongan hukum (vacuum). Para pendiri negara pada waktu itu menyadari
bahwa untuk membuat produk hukum baru terutama yang berbentuk kodifikasi
diperlukan waktu yang tidak sedikit. Diantara produk hukum Belanda yang masih
digunakan dan merupakan bagian dari hukum positif Indonesia hingga saat ini
adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel), dan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Straffrecht).
Meski demikian usaha-usaha untuk menciptakan
produk hukum yang didasarkan pada nilai-nilai yang hidup dan berkembang di
dalam sanubari bangsa Indonesia dan sebagai bentuk penyesuaian terhadap
perkembangan zaman tetap terus dilakukan. Sebagai contoh, di dalam lingkup
hukum keperdataan telah diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Dengan berlakunya undang-undang tersebut maka ketentuan yang
terdapat dalam KUH Perdata yang menyangkut masalah perkawinan tidak berlaku
lagi. Demikian pula dalam lingkup keperdataan khusus (perdagangan), beberapa
ketentuan yang terdapat dalam KUHD juga tidak lagi diberlakukan, salah satunya
adalah menyangkut masalah perseroan terbatas.
Pada mulanya ketentuan mengenai perseroan
terbatas diatur di dalam Buku Kesatu, Titel Ketiga, Bagian Ketiga Pasal 36 – Pasal
56 KUHD (Wetboek van Koophandel, Staatsblad 1847: 23). Namun setelah
berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas,
ketentuan-ketentuan mengenai perseroan terbatas yang terdapat dalam KUHD
berikut segala perubahannya tidak lagi diberlakukan. Hal ini sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 128 Angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas yaitu:
“1.
Dengan berlakunya Undang-undang ini, Buku Kesatu Titel Ketiga Bagian Ketiga
Pasal 36 sampai dengan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van
Koophandel, Staatsblad 1847: 23) yang mengatur mengenai Perseroan Terbatas
berikut segala perubahannya, terakhir dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1971,
dinyatakan tidak berlaku.”
Alasan
ditetapkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
tersebut adalah bahwa ketentuan mengenai perseroan terbatas yang terdapat dalam
KUHD dirasakan tidak lagi dapat memenuhi dan mengikuti perkembangan
perekonomian dan dunia usaha pada masa itu. Tren globalisasi ekonomi yang
ditandai dengan munculnya berbagai kerjasama internasional, penanaman modal
asing, insititusi pasar modal serta perbankan memaksa perseroan terbatas
sebagai salah satu badan hukum yang menjadi pilar perekonomian negara untuk
ikut menyesuaikan diri. Dalam rangka melakukan penyesuaian diri itulah, negara
menetapkan kebijakan baru di bidang perseroan terbatas.
Diantara pembaharuan yang terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas sebagaimana yang
disebutkan dalam penjelasan umumnya adalah:
1. Bahwa untuk
menciptakan perseroan yang mampu melaksanakan usahanya secara sehat, berdaya
guna dan berhasil guna maka dalam undang-undang ini ditetapkan bahwa seluruh
modal perseroan yang ditempatkan harus disetor penuh pada saat pengesahan. Hal
ini berbeda dengan ketentuan yang terdapat di dalam KUHD yang di dalam Pasal 51
hanya menentukan bahwa suatu perseroan dapat mulai berjalan apabila paling
sedikit 10 % (sepuluh perseratus) modal bersama telah disetor.
2. Bahwa dalam
undang-undang ini juga diatur mengenai perlindungan hukum terhadap kepentingan
pemegang saham, pihak kreditur serta pihak terkait dan bahkan kepentingan
perseroan terbatas itu sendiri. Perlindungan hukum terhadap kepentingan para
pihak tersebut dirasa cukup penting mengingat bahwa benturan kepentingan dalam
perseroan terbatas tidak dapat dinafikan akan sangat mungkin terjadi.
3. Bahwa dalam
undang-undang ini juga diatur mengenai persyaratan merger, konsolidasi dan
akuisisi perseroan terbatas. Hal tersebut dilakukan guna mencegah timbulnya
praktek persaingan usaha yang tidak sehat yang diakibatkan oleh adanya
penguasaan kekuatan ekonomi oleh sekelompok kecil pengusaha serta mencegah
monopoli dan monopsoni dalam segala bentuknya yang dapat merugikan masyarakat.
4. Bahwa untuk
melindungi kepentingan kreditur dan pihak ketiga, dalam undang-undang ini
diatur pula mengenai tata cara pengurangan modal perseroan, pembelian kembali
saham serta pembubaran perseroan.
5. Bahwa dalam
undang-undang ini diatur secara tegas dan rinci mengenai tugas, kewenangan, dan
tanggungjawab organ perseoran yang terdiri atas direksi, dewan komisaris dan
pemegang saham atau RUPS.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa sistem perekonomian global yang paling dominan di masa
sekarang ini adalah sistem liberal-kapitalis. Sistem ini bertumpu pada
kompetisi bebas dimana untuk dapat menjadi pemenang dalam kompetisi itu
ditentukan oleh banyak sedikitnya jumlah modal yang dimiliki. Artinya semakin
banyak modal yang dimiliki oleh seseorang, maka semakin besar pula potensi
seseorang untuk menguasai perekonomian. Sistem ekonomi kapitalis didasarkan
pada pandangan materialisme yang menyatakan bahwa motif utama dari segala
perilaku seseorang adalah motif ekonomi. Segala perilaku seseorang dilakukan
semata-mata hanya untuk memenuhi hasrat individu (self interest). Adanya
self interest inilah yang menurut Adam Smith merupakan faktor pendorong
bagi terciptanya suatu kompetisi sehingga pada akhirnya dari kompetisi itu akan
muncul dan tersedia barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Sebagai sistem ekonomi yang dominan di
masa modern, sistem ekonomi liberal kapitalis bukan tanpa cacat. Sistem yang
bertumpu pada pembebanan bunga (interest) pada setiap transaksi ekonomi
ini justru menimbulkan ketimpangan-ketimpangan sosial-ekonomi baik di level
nasional maupun internasional. Untuk melepaskan diri dari jeratan ekonomi yang
demikian itu maka ditampilkanlah sistem ekonomi alternatif yakni sistem ekonomi
Islam atau syariah. Sistem ekonomi Islam atau syariah merupakan sistem ekonomi
yang dibangun berdasarkan sumber-sumber pokok ajaran Islam yakni Al-Quran dan
Hadits.
Penerapan syariah Islam di Indonesia
sebenarnya telah dilaksanakan jauh sebelum Indonesia merdeka. Menurut catatan
sebagian ahli sejarah, sejarah syariah Islam telah dimulai di Indonesia sejak
abad pertama hijriah atau sekitar abad ketujuh hingga kedelapan masehi. Hal ini
dibuktikan dengan terbentuknya pemerintahan atau kesultanan Islam yang
menerapkan syariah Islam sebagai hukum positif yang berlaku di tengah
masyarakat pada masa itu. Sehingga dengan sendirinya syariah Islam telah
menjadi hukum yang hidup (living law) di tengah masyarakat Indonesia sebelum
pada akhirnya Belanda datang dan menggunakan asas konkordansi dalam menerapkan
peraturan yang berlaku di Indonesia.
Di dalam bidang perekonomian, penyerapan
kaidah-kaidah Islam ke dalam peraturan perudang-undangan (hukum positif)
Indonesia terus dilakukan. Penyerapan kaidah-kaidah Islam tersebut utamanya
dilakukan di bidang perbankan, lembaga pembiayaan, asuransi dan pasar modal.
Semenjak diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, di Indonesia mulai dikenal adanya sistem
perbankan ganda (dual banking system) yakni sistem konvensional dan
sistem syariah. Penerapan dual banking system tersebut kemudian
disempurnakan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Hingga akhirnya perbankan
syariah memiliki landasan hukumnya sendiri ketika pada tanggal 18 Juni 2008
pemerintah telah mensahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
Di bidang asuransi, pada awalnya Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian secara substansial belum
mengakomodasi penerapan asuransi syariah. Meski demikian dilihat dari segi
hukum positif, asuransi syariah baru mendapatkan landasan hukumnya dalam
Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 424/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan
Kelembagaan Perusahaan dan Perusahaan Reasuransi. Dalam Pasal 3 keputusan
tersebut dinyatakan “setiap pihak dapat melakukan usaha asuransi atau usaha
reasuransi berdasarkan prinsip syariah.” Kini asuransi syariah semakin
mendapatkan pengakuan semenjak diundangkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014
tentang Perasuransian yang mengakomodasi beberapa ketentuan mengenai asuransi
syariah.
Adapun di bidang pasar modal,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang sampai saat ini masih
berlaku tidak secara tegas mengakomodir penerapan pasar modal syariah. Menurut
catatan Cholil Nafis, langkah awal bagi perkembangan pasar modal syariah di
Indonesia dimulai dengan dibentuknya reksadana syariah, Jakarta Islamic Index
(JII) serta obligasi syariah yang berlaku efektif sejak 30 Oktober 2002.
Sedangkan pasar modal syariah sendiri mulai diresmikan pada 14 Maret 2003.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga yang berwenang untuk mengatur dan
mengawasi terhadap kegiatan di bidang pasar modal telah menerbitkan beberapa
regulasi berkenaan dengan penerapan pasar modal syariah yang diantaranya adalah
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 15/POJK.04/2015 tentang Penerapan
Prinsip Syariah di Pasar Modal.
Karakteristik utama dari pengelolaan
jasa keuangan berbasis syariah sebagaimana disebutkan diatas adalah adanya
kewajiban bagi para pihak untuk tunduk pada prinsip-prinsip syariah (syariah compliance) yang mana
prinsip-prinsip tersebut diderivasi dari sumber hukum utama Islam yakni
Al-Quran dan Hadits. Sektor jasa keuangan merupakan bagian dari fiqh
muamalah (dalam arti sempit) sehingga aturan-aturannya pun tidak mutlak
sebagaimana halnya aturan-aturan di bidang peribadatan (fiqh ibadah).
Baik di dalam Al-Quran maupun Hadits, pengaturan di bidang muamalah
tidak dijelaskan secara rinci namun hanya garis besarnya saja (umum). Selanjutnya
untuk merumuskan konsep-konsep perekonomian yang didasarkan pada Al-Quran dan
Hadits tersebut diperlukan adanya ijtihad (rechtsvinding) oleh para
ulama yang kompeten. Di Indonesia wewenang untuk merumuskan konsep-konsep muamalah
tersebut berada pada Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia
(DSN-MUI).
Untuk memastikan bahwa setiap perusahaan
yang menjalankan usahanya berdasarkan prinsip-prinsip syariah benar-benar
menerapkan prinsip-prinsip syariah secara konsisten, maka dibentuklah pada
setiap perusahaan tersebut Dewan Pengawas Syariah (DPS).[1]
Eksistensi DPS pertama kali dimunculkan di
dalam perusahaan yang bergerak di bidang perbankan syariah. Bagi bank syariah
yang berbadan hukum perseroan terbatas, maka selain memiliki dewan komisaris,
bank tersebut juga harus memiliki DPS. Hal tersebut dapat dilihat dalam
penjelasan Pasal 6 Huruf m Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan yang menyatakan bahwa Bank Indonesia wajib menerapkan
ketentuan-ketentuan pokok bagi bank syariah yang diantaranya memuat pembentukan
dan tugas DPS.
Di dalam undang-undang perseroan
terbatas yang terdahulu, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas, kedudukan DPS di dalam perseroan terbatas yang menjalankan
usaha berdasarkan prinsip syariah tidak diatur. Artinya kewajiban untuk
mengangkat DPS hanya berlaku bagi perseroan
terbatas yang bergerak di bidang perbankan syariah sebab pengaturan DPS hanya
terdapat di dalam undang-undang perbankan. Sedangkan di bidang jasa keuangan
lainnya seperti pasar modal dan asuransi kedudukan DPS tidak diatur.
Mengingat begitu pentingnya peranan DPS
untuk memastikan dilaksanakannya prinsp-prinisp syariah oleh perseroan terbatas
yang menjalankan kegiatan usahanya
berdasarkan prinsip-prinsip syariah, maka di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas telah ditetapkan ketentuan yang mengatur
keberadaan DPS tersebut.
Di dalam Pasal 109 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas telah ditentukan bahwa perseroan
yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syaraih selain mempunyai
dewan komisaris wajib mempunyai DPS. DPS sebagaimana dimaksud terdiri atas
seorang ahli syariah atau lebih yang diangkat oleh RUPS atas rekomendasi MUI. DPS
sebagaimana dimaksud bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta
mengawasi kegiatan perseroan agar sesuai dengan prinsip syariah.
Dengan berlakunya undang-undang
perseroan terbatas yang baru, maka kewajiban untuk memiliki DPS tidak hanya
diperuntukkan bagi perseroan yang bergerak di bidang perbankan syariah saja
namun juga di bidang jasa keuangan lainnya seperti asuransi syariah serta
perseroan-perseroan yang menawarkan sahamnya di pasar modal syariah.
Mengacu kepada undang-undang perseroan
terbatas tersebut, DPS bukan merupakan bagian dari organ perseroran terbatas.
Sebab dalam Pasal 1 Angka 2 telah jelas disebutkan bahwa organ perseroan hanya
terdiri atas direksi, dewan komisaris dan RUPS. Namun kedudukan DPS dalam
perseroan terbatas menurut beberapa ahli adalah sejajar dengan dewan komisaris
sebab DPS juga diangkat oleh RUPS dan mewakili kepentingan RUPS dari segi
pengawasan kesyariahan. Sehingga keduanya pun sama-sama bertanggungjawab kepada
RUPS.
Daftar
Pustaka
Arif
Hoetoro, Ekonomi Islam, Pengantar Analisis Kesejarahan dan Metodologi,
Malang: BPFE Unibraw, 2007.
C.S.T
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 1989.
M.
Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta: UI-Press,
2011.
Rahayu
Hartini, Aspek Hukum Bisnis, t.t: Citra Mentari, 2011.
Widyaningsih,
et al., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2005.
[1] Definisi otentik tentang
DPS baru dapat diketemukan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI). Menurut
ketentuan Pasal 1 Angka 15 Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/13/PBI/2013
tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/13/PBI/2009 tentang
Bank Umum Syariah yang dimaksud dengan
Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang bertugas memberikan nasihat dan saran
kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan prinsip
syariah.
Slots Machines and Dice Rooms At MGM Resorts Casino
BalasHapusSlots machines and dice rooms at MGM Resorts 진주 출장마사지 Casino in 대전광역 출장안마 Las 화성 출장마사지 Vegas, Nevada on Sept. 통영 출장마사지 21, 2021. 광양 출장샵 (Jonny Kasten/LasVegasHerald).