Blog ini adalah milik Muhammad Najih Vargholy. Diberdayakan oleh Blogger.
Jika hendak mengenal dunia MEMBACALAH, Jika hendak dikenal dunia MENULISLAH, Jika hendak menguasai dunia BERILMULAH. (Hamid Fahmy Zarkasyi)

Analisa Surat Al-Isra' Ayat 70

Rabu, 08 Februari 2012

A. LATAR BELAKANG

Perempuan kerap dipandang sebelah mata dan memperoleh citra negatif dari lawan jenisnya dalam tata nilai masyarakat, kebudayaan, hukum dan politik. Bagi tokoh-tokoh seperti John Locke, Rousseau dan Nietzsche, citra dan kedudukan perempuan memang tidak pernah dianggap setara dengan laki-laki. Wanita disamakan dengan budak (hamba sahaya) dan anak-anak dianggap lemah fisik maupun akalnya. Secara ontologi, praktek trafficking (perdagangan perempuan dan anak) sangatlah bertolak belakang dengan prinsip-prinsip luhur Islam. Salah satu prinsip luhur tersebut adalah Islam sangat menjunjung tinggi terhadap penghormatan kemanusiaan. Sebagaimana yang tertuang dalam surat Al-Isra’ 17:70, bahwa Allah telah memuliakan anak cucu Adam dan melebihkannya dari makhluk ciptaan-Nya yang lain. Tinggi atau rendahnya derajat seseorang menurut Islam hanyalah berdasarkan nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Maha esa.

Almarhum Mahmud Syaltut, mantan syaikh lembaga-lembaga Al-Azhar di Mesir, menulis: “Tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan hampir dapat (dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan kepada laki-laki. Kepada mereka berdua dianugerahkan Tuhan potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab dan yang menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus. Karena itu hukum-hukum syariat pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (lelaki) menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian, dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum serta menuntut dan menyaksikan.”
Secara epistimologi, kasus yang serupa dengan perdagangan perempuan pernah disinggung oleh Al-Quran dalam surat An-Nur:33. Kandungan dalam surat An-Nur secara singkat dapat disimpulkan ke dalam beberapa hal. Pertama, kewajiban melakukan perlindungan terhadap mereka yang lemah. Ini lebih ditujukan kepada kaum perempuan, karena mereka adalah kelompok masyarakat yang dilemahkan dalam konteks masyarakat Arab ketika itu. Kedua, kewajiban membebaskan orang-orang yang terperangkap dalam perbudakan. Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa kewajiban ini dibebankan ke pundak kaum muslimin. Sebagian lagi mewajibkan pembebasan tersebut kepada tuan/pemiliknya (al-sayyid). Dalam konteks perbudakaan lama, pembebasan tersebut dilakukan dengan cara membelinya untuk kemudian memerdekakannya, sebagaimana yang dilakukan, misalnya, oleh Abu Bakar terhadap Bilal bin Rabah. Ketiga, kewajiban menyerahkan hak-hak ekonomi mereka. Hak-hak mereka yang bekerja untuk majikannya harus diberikan. Dan keempat, haramnya mengeksploitasi tubuh perempuan untuk kepentingan duniawi.
Secara aksiologi, perempuan dalam konteks trafficking hanya dianggap sebagai barang komoditi atau benda mati yang dapat dipindah-pindahkan untuk diperdagangkan dengan cara memanipulasi, mengeksploitasi dan bahkan secara paksa. Padahal Al-Quran tidak pernah menampakkan misogyny (pandangan sebelah mata terhadap perempuan). Semua ayat yang membicarakan tentang Adam dan Hawa, sejak di surga hingga turun ke bumi selalu menekankan kedua belah pihak dengan kata ganti untuk dua orang (dalam bahasa Arabnya: huma atapun kuma), ini mengartikan bahwa posisi antara laki-laki dan perempuan adalah setara. Agama manapun, termasuk Islam tentu tidak merestui praktek-praktek 'perdagangan' seperti ini. Tetapi kita tidak sepantasnya menyalahkan mereka yang menjadi korban 'perdagangan' tersebut sebagai perempuan yang tidak berakhlak dan tidak bertanggung jawab. Karena mereka adalah korban, dari sebuah sistem sosial yang tidak pernah memberikan kesempatan kepada mereka untuk bisa hidup layak sebagai manusia yang memiliki harga diri.

B. TUJUAN

Adapun tujuan dari disusunnya artikel ini adalah :

1) Untuk menemukan makna dari kata فضّلناهم
2) Untuk menemukan makna dari kata بنى ادم
3) Untuk menemukan makna dari kata كرّمنا

C. FOKUS AYAT

Al-Isra’ 17:70

وَ لَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِى اُدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِى الْبَرِّ وَ الْبَحْرِ وَ رَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطّيّبَاتِ وَ فَضّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْصِيْلًا.

’’Dan sungguh, Kami telah muliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rizki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.’’

Kata ( كرّمنا ) karramnaa terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf kaf, ra’, dan mim, yang mengandung makna kemuliaan, serta keistimewaan setiap objeknya.

Terdapat perbedaan antara ( فضّلنا ) fadhdhalnaa dan ( كرّمنا ) karramnaa. Yang pertama terambil dari kata ( فضل ) fadhl yakni kelebihan, dan ini mengacu pada “penambahan” dari apa yang sebelumnya telah dimiliki secara sama oleh orang lain. Kelebihan rezeki kepada seseorang menjadikan ia memiliki rezeki melebihi rezeki yang telah dianugrahkan-Nya kepada orang lain, dan ini mengakibatkan terjadinya perbedaan antara seseorang dengan yang lain dari sisi rezeki. Adapun yang kedua yakni karramnaa, maka seperti yang dikemukakan diatas, ia adalah anugerah yang berupa keistimewaan yang sifatnya internal. Dalam konteks ayat ini manusia dianugerahi Allah keistimewaan yang tidak dianugerahkan-Nya kepada selainnya dan itulah yang menjadikan manusia mulia serta harus dihormati kedudukannya sebagai manusia. Anugerah-Nya itu untuk semua manusia dan lahir bersama kelahirannya sebagai manusia, tanpa membedakan seseorang dengan yang lain. Inilah yang menjadikan Nabi Muhammad saw berdiri menghormati jenazah orang Yahudi, yang ketika itu sahabat-sahabat Rasul saw menanyakan sikap beliau itu, Nabi saw menjawab: “bukankah yang mati itu juga manusia?”

Ayat diatas mengisyaratkan bahwa kehormatan tersebut banyak dan ia tidak khusus utuk satu ras atau generasi tertentu, tidak juga berdasar agama atau keturunan, tetapi dianugerahkan untuk seluruh anak cucu Adam as, sehingga diraih oleh orang perorang, pribadi demi pribadi.
Ada beberapa kesan yang timbul terkait dengan firman-Nya: ( و فضّلناهم على كثير ممّن خلقنا ) wa fadhdhalnaahum ‘alaa katsiirin mimman khalaqnaa/ dan Kami lebihkan mereka atas banyak makhluk dari siapa yang telah kami ciptakan.

Pertama, penggalan ayat ini tidak menyatakan bahwa Allah swt melebihkan atas semua ciptaan atau kebanyakan ciptaan-Nya, tetapi banyak diantara ciptaan-Nya. Atas dasar ini sungguh ayat ini tidak dapat dijadikan alasan bahwa manusia adalah makhluk Allah yang paling mulia atau paling sempurna. Kedua, ayat diatas mengisyaratkan bahwa kelebihan itu dibanding dengan makhluk ciptaan Allah dari siapa yang telah diciptakan-Nya. Kata dari man ( من ) biasa digunakan untuk menunjuk makhluk yang berakal. Dari satu sisi kita dapat berkata bahwa jika Allah melebihkan manusia atas banyak makhluk berakal, maka tentu saja lebih-lebih lagi dengan makhluk yang tidak berakal. Dari sisi lain kita juga dapat berkata bahwa paling tidak ada dua makhluk berakal yang diperkenalkan Al-Quran yaitu jin dan malaikat. Ini berarti manusia berpotensi untuk mempunyai kelebihan dibanding dengan banyak –bukan semua- jin dan malaikat.

Ayat ini merupakan salah satu dasar menyangkut pandangan Islam tentang Hak-Hak Asasi Manusia. Manusia –siapapun baik lelaki atau perempuan- harus dihormati hak-haknya tanpa perbedaan. Semua memiliki hak hidup, hak berbicara dan mengeluarkan pendapat, hak beragama, hak memperoleh pekerjaan dan berserikat dan lain-lain yang dicakup oleh Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia. Hanya saja perlu dicatat bahwa hak-hak dimaksud adalah anugerah dari Allah sebagaimana dipahami dari kata karramnaa, dan dengan demikian hak-hak tersebut tidak boleh bertentangan dengan hak-hak Allah dan harus selalu berada dalam koridor tuntunan agama-Nya.

Al-Quran menolak pandangan-pandangan yang membedakan (lelaki dan perempuan) dengan menegaskan bahwa keduanya berasal dari satu jenis yang sama dan bahwa dari keduanya secara bersama-sama Tuhan mengembangbiakkan keturunannya baik yang laki maupun perempuan. Sebagaimana yang tertuang pada surat An-Nisa’ ayat pertama.

Perempuan sebagaimana sabda Nabi adalah syaqaiq ar-rijal (saudara-saudara sekandung perempuan) sehingga kedudukannya serta hak-haknya hampir dapat dikatakan sama. Kalaupun ada yang membedakan, maka itu hanyalah akibat fungsi dan tugas-tugas utama yang dibebankan Tuhan kepada masing-masing jenis kelamin itu, sehingga perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan atas yang lain.

D. ANALISIS MAKKIYAH DAN MADANIYAH

Dalam mengetahui Makkiyah dan Madaniyah para ulama berpedoman pada dua metode yang menjadi asas. Yaitu metode sam’iy naqliy dan qiyasi ijtima’i. Metode pertama dikaitkan pada riwayat-riwayat yang sah dari para sahabat yang hidup pada masa turunnya wahyu itu dengan menyaksikan sendiri turunnya. Sedangkan metode kedua lebih dikaitkan dengan kias dan ijtihad dari para ulama. Seperti, apabila terdapat dalam surat Makkiyah ayat yang mengandung tabiat atau peristiwa-peristiwa yang diturunkan di Madinah, maka dalam hal ini dikatakan bahwa itu adalah Madaniyah. Begitupula sebaliknya.

Dari segi istilah, ada tiga pendapat yang berlainan dalam membedakan Makkiyah dan Madaniyah, yaitu:

• Melihat kepada masa turunnya. Makkiyah yaitu ayat-ayat yang turun sebelum hijrah, sekalipun tidak di Mekkah. Madaniyah yaitu ayat-ayat yang turun sesudah hijrah, sekalipun tidak di Madinah.
• Melihat kepada tempat turunnya. Makkiyah yaitu ayat yang turun di Mekkah dan sekitarnya ( Mina, Arafah, Hudaibiyah). Madaniyah yaitu ayat yang turun di Madinah dan sekitarnya (Uhud, Quba, Sil’u). Ayat yang turun dalam perjalanan, atau di Tabuk, atau Baitul Maqdis tidak termasuk dalam kedua pembagian ini.
• Melihat kepada pembicaraan. Makkiyah yaitu ayat yang membicarakan tentang penduduk Mekkah. Madaniyyah yaitu ayat yang membicarakan tentang penduduk Madinah.

1) Makkiyah

Fase Mekkah , secara historis dimulai ketika Muhammad menerima wahyu pertama (tahun 610 M) hingga pelaksannan hijrah ke Madinah pada tahun 622 M. Masa ini berlangsung hingga lebih dari duabelas tahun, sebuah masa dimana Muhammad mulai bergerak mendakwahkan risalah-risalah yang diterimanya.

Pesan-pesan awal Al-Quran yang turun di Mekkah menekankan pada ketauhidan, ketakwaan, masalah eskatologis, ibadah ritual, dan etika sosial.
Hal ini sangat relevan dengan realitas masyarakat Mekkah yang menyembah berhala (politeisme), orientasi pada kehidupan profan, melakukan praktik-praktik sosial yang eksploitatif.

Ajaran tentang ketauhidan menjadi dasar dari semua ajaran Islam. Prinsip ini mengajarkan kepada manusia untuk tunduk hanya pada Tuhan Yang Maha Esa. Al-Quran mengenalkan keesaan Tuhan mula-mula dengan penyebutan tentang perbuatan dan sifat Tuhan. Ini terlihat dalam ayat yang pertama kali turun, dimana kata yang termaktub menunjuk kepada Tuhan, bukan “Allah”, tetapi menggunakan kata “Rabbuka”, Tuhan Pemeliaharamu. Hal ini menandaskan Wujud Tuhan Yang Maha Esa dapat dibuktikan melalui ciptaan atau perbuatan-Nya. Begitu juga pada wahyu-wahyu selanjutnya sampai pada wahyu kesembilanbelas (surah Al-Ikhlas) baru kata “Allah” dijelaskan secara terperinci. Surah ini merupakan jawaban terhadap masyarakat Mekkah yang mempertanyakan tentang Tuhan yang disembah Muhammad.

Ajaran lain yang ditransformasikan pada masyarakat pagan Arab adalah tentang masalah eskatologis. Al-Quran mengenalkan hari akhir dan segala yang berkaitan dengannya, seperti hari kebangkitan, hari pembalasan, serta surga dan neraka. Dalam pesan-pesan Al-Quran, terdapat kesejajaran antara keyakinan pada keesaan Tuhan dengan hari akhir. Hal ini terlihat dalam beberapa ayat Al-Quran yang mempersandingkan kedua kalimat tersebut. Ajaran-ajaran ini diwahyukan untuk mengingatkan masyarakat Arab yang memprioritaskan kehidupan duniawi semata.

Ajaran lainnya adalah tentang ibadah ritual. Pada fase Mekkah ini, ibadah yang diwahyukan pertama kali adalah shalat. Pewahyuan shalat memiliki kedudukan khusus dikalangan umat Islam. Perintah shalat diterima langsung oleh Nabi secara langsung dari Allah melalui peristiwa isra’ mi’raj. Ibadah shalat merupakan sistem pemujaan yang ditransformasikan untuk menggunakan sistem pemujaan terhadap berhala.
Ciri-ciri umum Makkiyah:
• Di dalamnya terdapat lafadz sajdah ( سجدة )
• Di dalamnya terdapat lafadz kalla (كلّا)
• Di dalamnya terdapat lafadz (يا أيّها الناس)
• Di dalamnya terdapat kisah-kisah Nabi dan bangsa-bangsa dahulu kala. Kecuali surat Al-Baqarah.
• Di dalamnya terdapat kisah Adam dan Iblis. Kecuali surat Al-Baqarah.
• Tiap-tiap surat didahului dengan huruf tahajjiy (حم, الر, الم). Selain Al-Baqarah dan Ali Imran.


2) Madaniyyah

Fase Madinah merupakan kelanjutan dari fase Mekkah. Secara historis, masa ini dimulai ketika Nabi dan pengikutnya bermigrasi ke Madinah pada tahun 622 M. Selama kurang lebih sepuluh tahun Nabi membangun tatanan masyarakat baru disana. Berbeda dengan di Mekkah, dakwah di Madinah berada dalam batas risalah. Tujuannya adalah membangun ideologi masyarakat baru berdasarkan pesan-pesan Al-Quran.

Masyarakat Madinah adalah heterogen, dimana terdapat berbagai kelompok masyarakat yang berasal dari suku bangsa yang berbeda (Auz, Khazraj, Bani Qaynuqa’, Nadhir, Quraizah). Mengahadapi situasi masyarakat yang seperti ini, pembaruan masyarakat di Madinah menekankan pada reformasi struktural. Sasarannya adalah menciptakan sturktur masyarakat baru dengan dasar yang lebih kuat.

Reformasi ditujukan kepada struktur sosial masyarakat. Al-Quran menguatkan unit keluarga sebagai komunitas terkecil yang memiliki kemandirian menggantikan sistem kesukuan yang berdasar pada sistem kolektivitas tindakan, termasuk hak dan kewajiban. Terbentuknya struktur keluarga ini diikuti dengan pengaturan pranata sosial yang terkait dengan masalah keluarga. Sehingga munculah aturan-aturan tentang perkawinan, perceraian, pengasuhan anak, dan kewarisan.

Pembaruan terhadap institusi perkawinan diantaranya adalah membatasi praktik poligami. Al-Quran tidak menghapus praktik ini, tetapi mengaturnya dengan batasan dan syarat yang tegas, yaitu maksimal empat orang istri dan harus adil. Reformasi juga terjadi dalam hukum kewarisan. Ketika Al-Quran menggantikan kesatuan suku dengan keluarga, hal itupun berimplikasi pada aturan kewarisan. Dengan sistem patriarkal, ahli waris yang mendapatkan bagian adalah mereka yang berada dalam jalur laki-laki. Dan formula pembagiannya adalah dua berbanding satu antara laki-laki dan perempuan.

Sistem sosial masyarakat yang juga diperbarui oleh Al-Quran adalah menyangkut kebutuhan primer masyarakat. Aturan-aturan tentang makanan dan minuman, pakaian, dan sistem etika yang lain mendapat perhatian.

Al-Quran juga melakukan pembaruan di bidang hukum, yaitu dengan mengurangi pengaruh negatif dari adanya kewajiban kolektif anggota suku. Kasus pembunuhan dan lainnya dalam adat kesukuan merupakan tanggungjawab bersama. Dengan perombakan struktur, pembalasan hanya dapat dilakukan terhadap pelaku sendiri atau dengan ganti rugi.

Disamping itu, Al-Quran juga mengatur administrasi peradilan, atau cara penegakan hukum. Aturan tersebut diantaranya ketentuan tentang saksi, baik syarat maupun jumlahnya.
Dalam bidang ekonomi, Al-Quran juga melakukan pembaruan. Struktur ekonomi yang berlaku di masyarakat cenderung eksploitatif dan monopolis. Prinsip umum Al-Quran dalam tindakan ekonomi adalah adanya kerelaan diantara pihak yang bertransaksi. Dalam setiap transaksi, hendaknhya juga dilakukan dengan perjanjian tertulis. Al-Quran juga melarang praktik riba yang sudah mengakar pada masyarakat. Status riba juga ditegaskan berbeda dengan status jual beli, dan sebagai gantinya dikenalkan zakat dan shadaqah.

Dari paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa reformasi yang dilakukan Al-Quran terhadap masyarakat Arab pada fase Madinah adalah membangun struktur masyarakat yang kokoh. Landasannya adalah prinsip ketauhidan yang menekankan pada prinsip egalitarian dan moralitas sosial. Struktur yang dibangun meliputi struktur politik, ekonomi dan sosial.

Ciri-ciri umum Madaniyah:

• Di dalamnya diterangkan masalah ibadah, muamalah, faridhah (hal-hal yang wajib) dan had (hukuman).
• Di dalamnya disebutkan orang-orang Munafik, kecuali Al-Ankabut.
• Di dalamnya terdapat perdebatan dengan Ahli Kitab.
• Di dalamnya terdapat lafadz (يا أيّها الّذين امنوا)

3) Pembagian kata kunci surah Al-Isra’ 17:70 berdasarkan Makkiyah dan Madaniyyah :

Kata Kemunculan dalam Al-Quran Dalam surat:ayat Makna/Arti
كرّمنا 1 kali Al-Isra’ 17:70 (Makkiyah) Memuliakan
بنى اٌدم 7 kali Al-A’raf 7:26,27,31,35,172 (Makkiyah)

Al-Isra’ 17:70 (Makkiyah)

Yaasin 36:60 (Makkiyah) Anak cucu Adam



Anak cucu Adam

Anak cucu Adam
فضّلناهم 2 kali Al-Isra’ 17:70 (Makkiyah)

Al-Jatsiah 45:16 (Makkiyah) Melebihkan

Melebihkan

E. ANALISIS ASBABUN NUZUL

Untuk lebih memahami Al-Quran , perlu diketahui latar belakang turunnya atau sering juga disebut asbab nuzulnya. Dengan mengetahui asbab nuzul ayat-ayat Al-Quran, kita akan lebih memahami arti dan makna ayat-ayat itu dan akan hilanglah keragu-raguan dalam mentafsirkannya.
Betapa banyak ulama yang menganggap penting pengetahuan tentang asbab nuzul ayat itu, dan berbagai usaha telah mereka lakukan untuk menelti dan mengumpulkan bahannya. Mereka ini antara lain : Imam Al-Wahidy, Ibnu Daqiequl ‘Ied, dan Ibnu Taimiyah.

Imam Al-Wahidy berpendapat bahwa pembicaraan mengenai asbab nuzulul Quran, tidak dapat dibenarkan tanpa mengetahui riwayat-riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, serta mengetahui sebab-sebabnya dan mendalami ilmunya.
Menurut Al-Hakim dalam kitab Ulumul Quran, apabila seorang sahabat yang menyaksikan wahyu dan turunnya ayat Al-Quran berkata bahwa ayat ini turun tentang anu, dapatlah disimpulkan bahwa hadits itu musnad. Sebagian ulama tidak menganggap qaul shahaby sebagai musnad, kecuali apabila di belakangnya menyebabkan sebab turunnya ayat.

Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa kadang-kadang suatu riwayat menuturkan maksud suatu ayat, yang justru dalam ayat itu sendiri telah jelas maksudnya. Hadits seperti ini menerangkan ayat tersebut dan tidak mengenai asbab nuzulnya.

Az-Zarkasyi menuturkan dalam kitabnya Al-Burhan : “dari adat para sahabat dan tabi’in dapat diketahui, apabila salah seorang berkata, “turunnya ayat ini dalam perkara ini”, maka yang dimaksudkan dengan kata itu ialah bahwa ayat tersebut berisikan hukum-hukum tentang sesuatu, dan bukan sebagai sebab turunnya ayat.”

Imam Suyuthi berpendirian bahwa asbab nuzul suatu ayat, bukanlah sekedar menceritakan suatu ayat itu turun berkenaan dengan kejadian tertentu (seperti riwayat Al-Wahidy tentang surat Al-Fiil). Riwayat yang dikemukakan Al-Wahidy itu sekedar memberitahu kejadian yang lalu, sebagaimana tarikh Nabi Nuh, kaum ‘Ad, Tsamud, tarikh didirikannya Baitullah dan sebagainya.



a. Asbab Nuzul surah Al-Isra’ 17:70 (riwayat)

Tidak ditemukan riwayat – riwayat dari para sahabat yang menjelaskan tentang sebab turunnya ayat ini.

b. Asbab Nuzul surah Al-Isra’ 17:70 (dirayat)

Secara sosio-historis, turunnya ayat ini bisa disebabkan karena melihat kondisi masyarakat Arab pada zaman Jahiliyyah yang mempraktikan bermacam-macam pola perkawinan. Ada yang disebut nikah ad-dayshan, dimana anak sulung laki-laki dibolehkan menikahi janda (istri) mendiang ayahnya. Caranya sederhana, cukup dengan melemparkan sehelai kain kepada wanita itu, maka saat itu juga dia sudah mewarisi ibu tirinya itu sebagai istri. Kadang kala dua orang bapak saling menyerahkan putrinya masing-masing kepada satu sama lain untuk dinikahinya. Praktik ini mereka namakan nikah syighar. Ada juga yang bertukar istri hanya dengan kesepakatan kedua suami tanpa perlu membayar mahar, yaitu nikah al-badal. Selain itu ada pula yang dinamakan zawaj al-istibda’, dimana seorang suami boleh dengan paksa menyuruh istrinya tidur dengan lelaki lain sampai hamil dan setelah hamil sang istri dipaksa untuk kembali kepada suaminya semula, semata-mata karena mereka ingin mendapatkan bibit unggul dar orang lain yang dipandang mempunyai keistimewaan tertentu. Bentuk-bentuk pernikahan semacam ini jelas sangat merugikan dan menindas perempuan.
Secara umum, kaum perempuan jahiliyyah tidak memilki hak-hak sosial dalam masyarakat. Laki-laki atau suami memiliki posisi dominan dalam masyarakat maupun keluarga hal ini disebabkan karena fungsi sosial laki-laki dalam masyarakat kesukuan memang besar, sehingga berimbas pada besarnya kekuasaan dalam keluarganya. Praktik poligami menunjukkan betapa dominannya kedudukan laki-laki Arab pada masa itu. Poligami dipraktikkan tanpa mengenal batasan jumlah. Disamping sejumlah istri, orang Arab juga memiliki beberapa budak baik amat, jariyyah, sariyyah atau malak yamin. Kesemuanya berkonotasi budak yang bisa multifungsi yang bisa menjadi objek penyaluran seksual tanpa melalui perkawinan. Meskipun terdapat model perkawinan poliandri, dimana perempuan bebas memiliki sejumlah laki-laki yang disukainya, tetapi praktik ini lebih menyerupai pelacuran.

Subordinasi terhadap perempuan juga berimbas pada masalah talak. Pemegang hak talak adalah laki-laki berdasarkan sistem kekerabatan yang ada. Ketika terjadi talak maka hubungan perkawinan terputus tanpa syarat. Mereka tidak mengenal iddah, laki-laki dapat langsung melakukan perkawinan secara langsung saat itu juga. Istri yang tertalak tidak mendapatkan hak apapun dari suami yang menalaknya. Begitu juga dalam hal warisan. Kelompok perempuan dan anak kecil tidak mendapatkan bagian warisan, karena mereka tidak memiliki kemampuan kemiliteran dan dianggap tidak bisa menjaga harta kabilah. Bahkan janda pada masa pra-Islam dikategorikan sebagai harta waris

F. ANALISIS MUNASABAH

Munasabah dengan ayat sebelumnya (Al-Isra’ 17:69)

أمْ أَمِنْتُمْ أَنْ يُعِيْدَكُمْ فِيْهِ تَارَةً أُخْرَى فَيُرْسِلَ عَلَيْكُمْ قَاصِفًا مِنَ الرِّيْحِ فَيُغْرِقَكُمْ بِمَا كَفَرْتُمْ ثُمَّ لَا تَجِدُوْا لَكُمْ عَلَيْنَا بِهِ تَبِيْعًا.

“Bahkan apakah kamu merasa aman dari dikembalikan-Nya kamu ke laut sekali lagi, lalu Dia meniupkan atas kamu angin taufan dan ditengglamkan-Nya kamu disebabkan kekafiran kamu. Kemudian kamu tidak akan mendapatkan terhadap Kami satu penuntut pun.”

Ayat ini (69) menggambarkan anugerah-Nya ketika berada di laut dan di darat, baik terhadap yang taat maupun durahaka, maka pada ayat 70 menjelaskan sebab anugerah itu yakni karena manusia adalah makhluk unik yang memiliki kehormatan dalam kedudukannya sebagai manusia –baik ia taat beragama maupun tidak-. Manusia dimuliakan dengan bentuk tubuh yang bagus, kemampuan berbicara dan berpikir, serta berpengetahuan dan diberi kebebasan memilah dan memilih. Dan manusia diberi kelebihan dari makhluk lain berupa akal dan daya cipta, sehingga menjadi makhluk bertanggung jawab. Dan yang taat dari mereka diberi kelebihan atas malaikat karena ketaatan manusia melalui perjuangan melawan setan dan nafsu, sedang ketaatan malaikat tanpa perjuangan.

Munasabah dengan ayat sesudahnya (Al-Isra’ 17:71)

يَوْمَ نَدْعُوْا كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ فَمَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِيْنِهِ فَأُولئِكَ يَقْرَءُوْنَ كِتَابَهُمْ وَلَا يُظْلَمُوْنَ فَتِيْلًا.

“Suatu hari (yang ketika itu) Kami memanggil tiap umat dengan imannya; dan barang siapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya maka mereka itu akan membaca kitab mereka, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.”

Ayat sebelumnya (70) menguraikan kuasa Allah menganugerahkan keutamaan bagi seseorang atas yang lain, dan menegaskan pula bahwa semua manusia –dari segi kehormatannya- memiliki kehormatan yang sama, antara lain semua diberi hak memilah dan memilih serta diberi pula kemampuan melaksanakan pilihannya lagi diciptakan sebagai makhluk bertanggung jawab. Pada ayat ini (71) dijelaskan bahwa kelebihan-kelebihan yang diperolehnya itu akan dipertanggungjawabkan pada hari kiamat nanti sesuai dengan kitab amalannya

G. KESIMPULAN

Kata karramnaa ( كرّمنا ) yang berasal dari kata karama ( كرم ) kemulian hanya tersebut sekali dalam Al-Quran. Dan ditegaskan pula dengan kata qad (قد). Berdasarkan ilmu nahwu apabila fi’il madhi (kata kerja lampau) didahului oleh kata penegasan (قد) maka kata itu berarti sesuatu yang terjadi pada masa lalu dan masih berlaku hingga masa kini. Dengan begitu, artinya Allah telah menjadikan manusia mulia dan dihormati kedudukannya semenjak menciptakan Nabi Adam as dan kemuliaan itu berlaku kepada semua keturunannya tanpa membedakan jenis kelamin, ras, suku, atau agama.

Kata Banii Adam ( بنى ادم )hanya tersebut tujuh kali dalam Al-Quran. Dan empat diantaranya terulang dengan kata panggilan Ya Banii Adam/hai anak-anak adam yang terdapat pada surat Al-A’raf 7:26, 27, 31 & 35. Adapun dalam surat Yaasiin 36:60, memang disebutkan panggilan Ya Bani Adam, namun yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kaum musyrikin. Kesan dan pesan yang disampaikannya (Ya Bani Adam) berbeda dengan yang menggunakan panggilan Ya Ayyuhal ladzina Amanu yang mana hanya ditujukan bagi orang yang beriman saja. Demikian juga dengan panggilan Ya Ayyuhan-naas yang walaupun tertuju kepada seluruh manusia tapi boleh jadi hanya ditujukan kepada seluruh manusia pada zaman Nabi Muhammad saw hingga akhir zaman. Adapun panggilan Ya Banii Adam/ hai anak cucu Adam, maka ia jelas tertuju kepada seluruh manusia, sejak putra pertama Adam, hingga putranya yang terakhir. Konsep Bani Adam dalam bentuk menyeluruh adalah mengacu kepada penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikin dapat disimpulkan bahwa manusia dalam konsep Bani Adam, adalah sebuah usaha pemersatu (persatuan dan kesatuan) tidak ada perbedaan sesamanya, yang juga mengacu pada nilai penghormatan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan serta mengedepankan HAM karena yang membedakan hanyalah ketaqwaannya kepada Sang Pencipta. Sebagaimana yang diutarakan dalam surat Al-Hujurat:13.

Sedangkan kata fadhdhalnaahum ( فضّلناهم ) yang berasal dari kata fadhl ( فضل )/ kelebihan, hanya tersebut dua kali dalam Al-Quran. Yaitu dalam surat Al-Isra 17:70 dan surat Al-Jatsiah 45:16. Pada surat Al-Jatsiah 45:16 dhamir hum ( هم )/mereka merujuk kepada Bani Israil, yang mana mereka oleh Allah dilebihkan dari bangsa lain karena banyaknya para nabi yang muncul dari kalangan mereka seperti Nabi Musa as dan tidak satu bangsa pun yang jumlah para nabi dari kelompok mereka melebihi Bani Israil. Bagaimanapun, dhamir hum pada kata fadhdhalna dalam Al-Quran hanya diperuntukkan kepada makhluk yang berakal yakni manusia, sehingga bisa dipahami bahwa dari segala ciptaan Allah hanya manusialah yang istimewa karena potensi akal, hati dan potensi-potensi lain yang dimilikinya. Dan karena kelebihannya inilah manusia mampu mengatur dan mengelola alam semesta beserta ciptaan-ciptaan-Nya.

Dari keterangan kata-kata kunci diatas, secara umum dapat disimpulkan bahwa kemuliaan yang diberikan Allah kepada manusia (karena kelebihannya dari makhluk lain) adalah sama rata tanpa ada perbedaan antara satu dengan yang lain, baik suku, ras, agama dan terutama jenis kelamin (laki laki/perempuan) seperti yang disinggung dalam makalah ini. Hal ini sejalan dengan konsep Bani Adam yaitu pengakuan terhadap spesies manusia yang mengacu kepada penghormatan kepada nilai-nilai kemanusiaan.

Dan berdasarkan penelitian diatas, ditemukan bahwa kata-kata kunci tersebut di dalam Al-Quran hanya terdapat pada surat-surat makkiyah saja. Hal ini sesuai dengan konteks pewahyuan pada saat itu (fase mekkah) yaitu berupa ajaran ketauhidan. Ajaran tauhid merupakan dasar dari semua ajaran islam. Prinsip ini mengajarkan kepada manusia untuk tunduk hanya pada Tuhan Yang Maha Esa. Dari keyakinan akan keesaan Tuhan tersebut akan menumbuhkan sikap sosial yang humanis dan egaliter. Sikap ini akan menciptakan rasa kesamaan derajat dan menghilangkan ketidakadilan sosial dalam masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Manna’ul Qaththan, Pembahasan Ilmu Al-Quran 1, Rineka Cipta.
Ali Sodiqin, Antropologi Al-Quran : Model Dialektika Wahyu dan Budaya, Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2008.
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran : Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung : Mizan, 1994.
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, volume 7, Jakarta : Lentera Hati, 2002.
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, volume 11, Jakarta : Lentera Hati, 2002.
K.H. Qamaruddin Shaleh, Asbabun Nuzul : Latar Belakang Historis Turunnya Al-Quran, Bandung : Diponegoro, 1975.
Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Jakarta : Gema Insani, 2008.
Fuad Abdul Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufahros Li Alfadzil Quran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Profil

Kategori

Archives