Blog ini adalah milik Muhammad Najih Vargholy. Diberdayakan oleh Blogger.
Jika hendak mengenal dunia MEMBACALAH, Jika hendak dikenal dunia MENULISLAH, Jika hendak menguasai dunia BERILMULAH. (Hamid Fahmy Zarkasyi)

Istihsan, Mashalih Mursalah dan Saddu adz-Dzari'ah

Rabu, 08 Februari 2012

1. Istihsan
Istihsan menurut bahasa arab, artinya menganggap sesuatu yang baik. Menurut istilah ushul fiqh, meniggalkan ketentuan qiyas yang jelas illatnya untuk mengamalkan qiyas yang samar illatnya, atau meninggalkan hukum yang bersifat umum untuk bepegangan dengan hukum pengecualian, karena ada dalil yang memperkuat sikapnya itu.
Istihsan juga diartikan berpaling daripada hukum yang mempunyai dalil kepada adat (kebiasaan) untuk kemaslahatan umum. Seperti membunuh orang Islam yang ditawan oleh orang kafir didalam peperangan, sedangkan orang Islam yang ditawan itu dijadikan perisai oleh orang kafir, maka orang Islam itu boleh dibunuh, karena menjaga kebaikan tentara Islam dan umat Islam yang banyak.

Dari definisi istihsan ini, jelaslah bahwa ada 2 macam istihsan, yaitu:
• Menganggap lebih baik memakai qiyas yang samar illatnya daripada qiyas yang jelas illatnya, karena adanya dalil. Misalnya, menurut ulama Hanafi, orang yang mewakafkan sebidang tanah pertanian, maka yang bisa dimanfaatkan bukan hanya hasil pertaniannya saja, melainkan orang juga berhak meminum airnya, mengalirkan air, dan berjalan lewat tanah pertanian wakaf itu, sekalipun tidak disebut si waqif hak-hak tersebut diatas. Padahal menurut qiyasnya, hak-hak itu (lewat, minum, dan membuat saluran air melalui tanah wakaf) tidak tercakup didalamnya, kecuali dengan pernyataan pada waktu wakaf. Namun, hal-hal tersebut diperbolehkan, berdasarkan istihsan.
• Mengecualikan sesuatu dari ketentuan hukum yang umum. Misalnya agama Islam melarang jual beli dan membuat akad sesuatu yang belum atau tidak ada pada waktu terjadi transaksi. Namun, agama memberi dispensasi atas dasar istihsan dalam jual beli salam (barang yang belum ada pada waktu pembeli membayar harganya), juga dalam perburuhan, perkebunan/ pertanian, dan istishna’ (barang baru mau dibuatkan pada waktu akad). Semua akad ini, barangnyna belum ada, tetapi dibolehkan agama atas dasar istihsan, karena masyarakat memang membutuhkannya.
Kedudukan istihsan sebagai dalil atau simber hukum masih dipersoalkan. Kebanyakan ulama Hanafi memakai istihsan dengan alasan, bahwa istihsan itu adalah menggunakan qiyas yang samar illatnya karena dipandang lebih baik, atau memilih suatu qiyas dan menggunakan qiyas lain yang bertentangan, atau memakai mashalih mursalah untuk mengecualikan sesuatu dari ketentuan hukum yang umum. Dan semuanya itu adalah menggunakan dalil yang benar.
Jelaslah, bahwa istihsan itu bukan dalil/sumber hukum yang berdiri sendiri, melainkan berdasarkan qiyas yang samar illatnya atau berdasarkan maslahah.
Ulama yang menolak qiyas dipelopori oleh Imam Syafi’i dengan pernyataannya yang terkenal:
من استحسن فقد شرّع فى الدين.
“barang siapa yang membuat istihsan, maka sungguh ia mebuat syariat (hukum) dalam agama.”
Sebenarnya Imam Syafi’i menolak istihsan atas dasar pengertian: menetapkan suatu hukum menurut sesuka hatinya tanpa berdasarkan dalil. Padahal istihsan yang dipakai oleh Hanafi dan juga Malik itu adalah dalam pengertian mengambil salah satu dari dua dalil yang diapandang lebih kuat. Maka kalau istihsan menurut pengertian ini, sebenarnya Imam Syafi’i didalam praktek banyak juga menetapkan hukum beberapa masalah. Tetapi ia tidak suka memakai istilah istihsan, melainkan dengan istilah lain, seperti istishhab, munasabah, dan sebagainya.
2. Mashalih Mursalah
Arti kata mashalih mursalah, ialah kebaikan yang tidak terikat pada nalil/nash Al-Qur’an dan Sunnah. Menurut istilah Ushul Fiqh, mashalih mursalah adalah menetapkan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak disebutkan sama sekali didalam Al-Qur’an dan Sunnah atas pertimbangan menarik kebaikan dan menolak kerusakan dalam kehidupan masyarakat.
Dikatakan oleh Ibnu Taimiyah:
حكم شئ أ هو حرام أو مباح فلينظر إلى مفسدته و مصلحته.
“hukum sesuatu adakah dia haram atau mubah, maka dilihat dari segi kebiasaan dan kebaikannya.”
Maslahah ada 2 macam, yaitu:
• Maslahah Mu’tabarah, artinya kemashlahatan atau kebaikan yang memang diakui oleh islam. Misalnya, demi melindungi keselamatan masyarakat, Islam menetapkan hukuman qisas, termasuk hukuman mati bagi si pembunuh yang membunuh dengan sengaja. Demi melindungi harta masyarakat, Islam menjatuhkan hukuman had (potongan tangan) bagi pencuri yang profesional. Dan demi menjaga kehormatan, Islam menindak orang yang Qadzaf (menuduh serong kepada orang baik-baik) dan menghukum orang yang berbuat zina/prostitusi. Maka pembunuhan dengan sengaja, pencurian, tuduhan serong, dan prostitusi adalah hal-hal relevan untuk dijadikan landasan hukum syara’, yakni hukuman qisas atau hukuman had. Maslahah mu’tabarah ini telah disepakati oleh ulama untuk dijadikan landasan hukum syara’, atau dengan kata lain sebagai illat hukum.
• Maslahah Mursalah, ialah kemaslahatan yang diakui adanya karena timbul peristiwa-peristiwa baru setelah Nabi wafat. Misalnya, perkawinan anak-anak dibawah umur tidak dilarang agama dan sah jika dilakukan oleh walinya yang berwenang. Namun, ternyata data statistik menunjukkan, perkawinan anak-anak banyak membawa akibat perceraian, karena anak-anak belum siap fisik dan mentalnya untuk menghadapi tugas-tugas sebagai suami-istri, apalagi sebagai bapak dan ibu rumah tangga. Dan perceraian tidak sesuai dengan tujuan perkawinan (perhatikan Surat Ar-Rum ayat 21, dan cf. UU Perkawinan No.1th 1974 pasal 1). Maka atas dasar maslahah mursalah ini, pemerintah dibenarkan melarang perkawinan anak-anak, dan membuat peraturan tentang batas umur bagi calon-calon suami-istri, sebagaimana tercantum dalam UU Perkawinan pasal 7 ayat 1.
Untuk menghindari penyalahgunaan mashalih mursalah sebagai landasan hukum, maka ulama membuat persyaratan sebagai berikut:
• Maslahah yang ingin dicapai itu benar-benar nyata, bukan sekedar dugaan yang tidak meyakinkan adanya. Contoh maslahah yang hanya diduga, ialah perceraian yang hanya atas kemauan suami–istri saja atau atas kemauan salah satu dari suami-istri tanpa persetujuan/keputusan pengadilan. Maka demi kemaslahatn suami-istri, perceraian hanya dapat dilaksanakan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, dan untuk melaksanakan perceraian harus ada alasan yang cukup kuat, yakni suami-istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-istri (UU Perkawinan No.1, 1974 pasal 39 ayat 1 dan 2.);
• Maslahah harus bersifat umum, bukan maslahah perorangan atau kelompok tertentu saja. Karena itu, riba tidak dibenarkan oleh agama, sebab riba itu hanya memberi kemaslahatan bagi perorangan atau beberapa orang saja (rentenir);
• Maslahah harus tidak bertentangan dengan ketentuan hukum atau prinsip agama yang telah ditetapkan agama melalui nash atau ijma’. Misalnya , denga dalih untuk maslahah, maka hak waris bagi anak laki-laki dan anak wanita sama bagiannya, bukan dua berbanding satu. Maslahah semacam ini tidak bisa menjadi landasan hukum, karena jelas-jelas bertentangan dengan nash Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 10.
Kebanyakan ulama sejak zaman sahabat menggunakan masalahah mursalah sebagai dalil/sumber hukum Islam. kita perhatikan mislanya tindakan Khalifah Abu Bakar memerangi orang-orang yang mengaku islam tetapi tidak mau membayar zakat. Khalifah Umar tidak menjatuhkan had kepada orang-orang yang mencuri karena terpaksa, atau karena pada masa itu mereka sedang menghadapi keadaan paceklik/kelaparan. Khalifah Utsman menghimpun Al-Qur’an dalam satu mushaf dengan tulisan seragam. Khalifah Ali menjatuhkan hukuman mati dengan membakar orang-orang Syi’ah yang ekstrim. Kemudian dikalangan imam-imam madzhab, seperti Maliki membolehkan bahkan memukul orang yang tersangka melakukan kejahatan agar mengakui kejahatannya. Imam Syafi’i menjatuhkan hukuman mati kepada sekelompok orang yang secara bersama melakukan pembunuhan terhadap seorang korban. Dan Imam hanafi menempatkan mufti (orang yang memberi fatwa hukum) yang suka melawak tanpa malu, dokter yang melakukan praktek perdukunan atau sebaliknya tabib/dukun yang melakukan praktek kedokteran dan orang yang menyewakan kendaraan yang bangkrut, dibawah pengampuan seorang yang mampu.
Ulama yang menentang mashalih mursalah sebagai dalil/sumber hukum Islam ialah madzhab Dzahiri, madzhab Syi’ah Imamiyah, Al-Amidi dari kalanga Syafi’iyah, da Ibnul Hajib dari kalangan Malikiyah, dengan alasan bahwa memberi kesempatan memakai msahalih mursalah sebagai landasan hukum, bisa disalahgunakan terutama oleh penguasa-penguasa yang tidak bertanggung jawab,terutama mashlahah-mashlahah yang masih bersifat asumtif.
3. Saddu adz-Dzari’ah
Menurut bahasa, Saddu adz-Dzari’ah terdiri dari saddu, artinya menutup; dan dzari’ah, artinya jalan (thariqat, bhs. Arab) atau perantaraan (wasilah, bhs. Arab) yang bisa menyampaikan kepada sesuatu (kebaikan atau kejelekan).

Dikalangan ulama Ushul Fiqh ada beberapa definisi tentang dzari’ah ini, antara lain:
• Dzari’ah menurut kebanyakan ulama Ushul Fiqh, ialah:
ما يتوصّل به إلى شئ ممنوع مشتمل على مفسدة.
“sesuatu yang bisa menyampaikan kepada hal yang terlarang yang mengandung unsur kerusakan.”
الأمر المباح الّذى يتّخذ وسيلة إلى مفسدة.
“hal yang mubah (boleh) yang bisa menjadi perantaraan kepada kerusakan.”
• Dzari’ah menurut Ibnu al-Qoyyim, ialah:
ما كان وسيلة أو طريقا إلى شئ.
“apa saja yang bisa menjadi perantaraan dan jalan ke arah sesuatu”
Dari dua definisi diatas tentang dzari’ah tersebut, jelaslah bahwa menurut definisi yang pertama (dari kebanyakan ulama Ushul Fiqh), dzari’ah itu diartikan sebagai perantaraan/jalan yang membawa kepada kejelekan/kerusakan saja. Maka demi menghindari jalan yang membawa kepada kerusakan, maka wajib ditutup (saddu) apa saja yang bisa membawa kita kepada kerusakan. Karena itu, untuk kepentingan preventif (pencegahan), sesuatu yang semula mubah, bisa menjadi harram dan dilarang, jika sesuatu tadi bisa membawa kepada kerusakan.
Beberapa contoh dzari’ah (perantaraan/jalan) yang wajib ditutup atau saddu adz-dzari’ah sebagai berikut:
• Melihat aurat wanita bukan mahram dan bukan pula istrinya adalah haram, karena perbuatan itu bisa membawa kepada perbuatan keji (zina dan sebagainya);
• Wanita pun dilarang memperlihatkan bagain auratnya kecuali kepada suaminya, anak-anaknya, dan orang-orang lain yang tersebut dalam Surat An-Nur ayat 31. Larangan ini dimaksud untuk menjaga keselamatan dan kehormatan wanita itu sendiri, dan juga untuk tidak merangsang kaum lelaki;
• Allah melarang seorang Muslim memaki/menghina sesembahan non-Muslim dan juga benda-benda yang dianggap suci/keramat oleh mereka. Sebab, perbuatan itu selain bertentangan dengan ajaran Islam yang menjunjung tinggi prinsip kebebasan beragama dan berkepercayaan, juga dapat mendorong non-Muslim yang terhina itu balas dendam dengan ganti menghina Allah dan agama-Nya (Islam);
• Nabi Muhammad melarang orang memaki orangtua orang lain, karena perbuatannya itu bisa mendorong orang lain ganti memaki orang tuanya sendiri, sebagaimana diingatkan dalam hadis Nabi:
إنّ من أكبر الكبائر أن يلعن الرّجل والديه. قيل: كيف يلعن الرّجل والديه يا رسول الله؟ قال: يسبّ أبا الرّجل فيسبّ أباه و يسبّ أمّه فيسبّ أمّه. (الحديث)
“sesungguhnya termasuk dosa besar, ialah orang mengutuk/memaki orangtuanya. Ditanyakan kepada Nabi: Bagaimana seseorang sampai bisa memaki orangtuanya sendiri? Jawab Nabi: Ia memaki bapak orang itu, maka si orang itu memaki bapaknya. Dan ia memaki ibu orang itu, maka orang itu pun ganti memaki ibunya.”
Apabila dzari’ah diartikan seperti yang dirumuskan oleh kebanyakan ulama Ushul Fiqh, yakni dzari’ah yang hanya membawa mafsadah saja (definisi pertama), dapat kita ketahui dalam kitab-kitab madzhab Maliki dan Hambali. Tetapi apabila dzari’ah diartikan seperti dirumuskan oleh Ibnul Qoyyim (definisi kedua), maka ada dzari’ah yang harus ditutup (saddu adz-dzari’ah), seperti pada empat contoh diatas. Disamping itu ada juga dzari’ah yang wajib mubah/mandub/makruh dibuka (fathu dzari’ah), tergantung kepada tujuan yang dicapainya: maslahah atau mafsadah, atau tergantung kepada akibat yang ditimbulkan oleh dzari’ah tersebut.
Karena itu menurut Ibnul Qoyyim, dzari’ah itu ada empat macam, yaitu:
• Dzari’ah yang selamanya membawa mafsadah (kerusakan), seperti minuman keras yang selalu membawa akibat mabuk, yang pada gilirannya dapat merusak otak/akal. Ulama sepakat wajib menutup dzari’ahnya.
• Dzari’ah yang pada dasarnya mubah dan tidak dimaksudkan membawa mafsadah, tetapi pada umumnya dapat membawa kepada mafsadah dan mafsadahnya jauh lebih besar daripada maslahahnya; maka dzari’ah macam ini masih dipersoalkan ulama tentang boleh atau tidaknya.
Misalnya seorang janda akibat kematian suaminya, bukan karena perceraian, yang belum habis masa iddahnya (iddahnya 4 bulan 10 hari berdasarkan Surat Al-Baqarah ayat 234). Pada dasarnya si janda ini boleh berhias diri dengan make up dan sebagainya dan dengan berhias itu ia belum tentu bermaksud negatif/mafsadah. Namun, perbuatannya itu kemungkinan besar bisa membawa akibat negatif, yakni mendorong lelaki yang simpati, menimangnya dengan terus terang. Dan hal ini jelas dilarang oleh agama, karena belim habis iddahnya.
• Dzari’ah yang pada dasarnya mubah, tetapi terkadang bisa membawa mafsadah. Hanya saja maslahahnya lebih besar daripada mafsadahnya. Misalnya seorang dokter laki-laki memeriksa kesehatan pasien wanita, maslahahnya jauh lebih besar daripada mafsadahnya, karena adanya sumpah dokter dan kode etik kedokteran. Hukum dzari’ah macam ketiga ini bisa mubah, mandub, atau wajib, tergantung pada tingkatan kemaslahatannya.
• Dzari’ah yang pada dasarnya mubah, tetapi dimaksudkan untuk tujuan mafsadah. Misalnya jual beli secara kredit untuk mendapatkan bunga, atau menyewakan tempat kepada orang untuk dipakai maksiat, orang yang menyewakan tempat berdosa, sekalipun tidak memakainya sendiri tetapi masih dipersoalkan para ulama. Penyewanya jelas berdosa, seperti perjudian , pelacuran dan sebagainya. Atau menjual buah anggur kepada orang yang biasa memakai anggur itu untuk minuman khamar (minuman keras). Hukum dzari’ah macam keempat ini masih dipersoalkan kalangan ulama tentang diperbolehkannya atau tidak (saddu adz-dzari’ah atau fathu dzari’ah).
Pada umumnya fuqaha dari berbagai madzhab memakai saddu adz-dzari’ah sebagai dalil/sumber hukum Islam, kecuali madzhab Dzahiri yang menolaknya dengan alasan, bahwa seseorang cukup menghindari hal-hal yang syubhat (yang tidak jelas halal-haramnya) agar tidak jatuh kedalam haram.
Suatu masalah yang masih dalam keragu-raguan yang belum mempunyai keyakinan atas bolehnya atau terlarang, harus ditinggalkan sampai adanya keyakinan, jika dikerjakan juga mungkin akan membawa kepada perbuatan yang terlarang (haram), ini berarti bermain ditepi larangan, seperti pergaulan muda-mudi yang terlalu bebas mengakibatkan timbulnya larangan agama (dosa).
Sabda Nabi SAW:
ألا و إنّ حمى الله معاصيه فمن حمى حول الحمى يوشك أن يواقعه روق. (متفق عليه)
"ingatlah! Sesungguhnya Allah melarang mendurhakainya, maka barangsiapa yang bermain-main di tepi larangan berarti dia hampir memasukinya" (H.R. Muttafaqun Alaihi).


Sabda Nabi berikutnya:
دع ما يريبك إلى ما لا يريبك. (رواه الترمذى)
“tinggalkanlah apa-apa yang meragukanmu dengan mengambil hal-hal yang tidak meragukanmu” (H.R. Tirmidzi).
Tiap-tiap yang berhubungan dengan kepercayaan/keimanan, kita harus mencari pengertian tentang itu, sampai pada taraf yakin, yaitu pengertian yang pasti yang berdasarkan kepada dalil-dalil dan keterangan, baik dalil ‘aqly yaitu keterangan yang berdasarkan kepada jalan fikiran yang sehat, maupun naqly sima’i yang berdasarkan keterangan Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir.
Kita tidak boleh ragu atau syak dalam hal tersebut, kalau masih ragu harus terus mencari pengertiannya sampai pada taraf keyakinan dalam melakukan perintah Allah dan Rasul-Nya.

Referensi:
• Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, Ed. 1, Cet. 1, Jakarta: Rajawali, 1993.
• Masyfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syari’ah, cet. 1, Jakarta: Haji Masagung,1987.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Profil

Kategori

Archives