Blog ini adalah milik Muhammad Najih Vargholy. Diberdayakan oleh Blogger.
Jika hendak mengenal dunia MEMBACALAH, Jika hendak dikenal dunia MENULISLAH, Jika hendak menguasai dunia BERILMULAH. (Hamid Fahmy Zarkasyi)

Ushul Fiqh Dalam Prespektif Filsafat Ilmu

Selasa, 31 Mei 2011

A. pendahuluan
Sebagaimana diketahui bahwa hukum merupakan salah satu aspek terpenting dalam Islam disamping beberapa aspek terpenting lainnya. Dengan adanya hukum, manusia bersama komunitasnya dapat menjalankan beragam aktivitasnya dengan tenang dan tanpa ada perasaan was-was. Dan dengan hukum pula manusia dapat mengetahui manakah pekerjaan-pekerjaan yang diperbolehkan dan apa sajakah pekerjaan-pekerjaan yang tidak diperbolehkan untuk dilakukan. Filsafat ilmu sebagai bagian dari kajian filsafat mencoba untuk mengetahui kinerja sebuah ilmu sebagaimana yang banyak dipahami oleh beberapa ahli. Sebagaimana dikemukakan oleh Benjamin, bahwa filsafat ilmu merupakan cabang pengetahuan falsafati yang menelaah sistematis sifat dasar suatu ilmu, metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-anggapannya. Atau, salah satu tujuan mempelajari filsafat ilmu sebagaimana yang dikemukakan oleh Bakhtiar, yaitu untuk memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan ilmu di berbagai bidang sehingga kita mendapatkan gambaran mengenai proses ilmu kontemporer secara historis. Dengan kajian filsafat ilmu, akan diketahui bagaimana cara kerja atau metodologi yang diterapkan oleh sebuah ilmu dalam fungsinya untuk memecahkan beragam persoalan yang dihadapi manusia dalam kehidupannya.
• Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ilmu Ushul Fiqh?
2. Bagaimanakah metode ilmu Ushul Fiqh?
3. Apa kegunaan mempelajari ilmu Ushul Fiqh?
• Alasan
Alasan saya memilih judul ini karena Ushul-fiqh merupakan khazanah kekayaan ilmu yang secara langsung atau tidak langsung, turut memperkaya model keagamaan kita. Pelaksanaan syariat Islam akan susah seandainya ilmu ini tidak ada, sebab ushul-fiqh dianggap sebagai penuntun fiqh yang merupakan jawaban bagi kehidupan kita. Ilmu ini dapat menjawab beberapa masalah yang diajukan, maka agar kita dapat memanfaatkan, kita harus mengetahui jawaban apa yang perlu dibawakan oleh ilmu ini, setelah kita mengajukan pertanyaan.
Ushul-fiqh mempunyai ciri spesifik yang tersusun mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi). Ketika landasan ini saling berkaitan, maka ontologi ushul-fiqh terkait dengan epistemologinya, epistemologi ushul-fiqh terkait dengan aksiologinya, dan begitulah seterusnya. Jadi kalau kita ingin membicarakan epistemilogi ushul-fiqh, maka kita harus mengaitkannya dengan ontologi, dan aksiologi.
• Tujuan
Tulisan berikut akan mencoba untuk mengupas pengertian, metodologi dan kegunaan yang ada dan diterapkan dalam sebuah ilmu yang berfungsi untuk mengetahui hukum dalam Islam yaitu, Ushul Fiqh. Apa yang dimaksud dengan Ushul Fiqh, bagaimanakah metode yang digunakan oleh Ushul Fiqh dalam menetapkan suatu hukum dalam Islam, apakah dasar-dasar yang mendasari penentuan metode tersebut dan apa kegunaan ilmu Ushul Fiqh.











B. Pembahasan
• Definisi ilmu Ushul fiqh
Secara etimologi, ilmu ushul fiqh berasal dari dua kata Bahasa Arab, yaitu al-ushūl dan al-fiqh. Kata al-Ushūl adalah bentuk plural (jama’) dari kata al-ashlu yang memiliki arti dasar atau pokok, sedangkan kata al-Fiqh dalam bahasa Arab mempunyai pengertian paham atau mengerti. Adapun secara terminologi, menurut Khalaf adalah suatu ilmu yang memiliki kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dijadikan acuan dalam penetapan hukum Islam mengenai perbuatan manusia berdasarkan dalil-dalil yang terperinci. Sedangkan menurut Abu Zahrah, ushul fiqh adalah metodologi yang digunakan para mujtahid dalam menggali hukum Islam dari teks al-Qur’an ataupun Hadits dengan mengidentifikasikan sebab (illat) dari suatu hukum sesuai dengan tujuan dasar diturunkannya syari’ah.
Dengan demikian, ilmu ushul fiqh merupakan kumpulan kaidah dasar mengenai sistematika penggalian hukum dari berbagai dalil syari’at. Maka di dalamnya mencakup kajian mengenai teks secara langsung, seperti sistematika penggalian hukum melalui ilmu semantik, menggabungkan dua teks jika terjadi benturan secara nyata, atau berupa kajian yang bersifat etimologi yang tidak berhubungan secara langsung dengan teks, seperti mengeluarkah sebab dari teks dan cara menggunakan metodologi terbaik dalam penggalian hukum Islam ketika berinteraksi dengan sebab tersebut. Sedangkan menurut Abdul Karim Zaidan, ushul fiqh merupakan ilmu yang menerangkan mengenai kaidah-kaidah dasar dan rumusan global (al-adillah al-ijmāliyyah) yang dapat membantu para mujtahid dalam menggali hukum fiqh.
Namun demikian, tidak lengkap rasanya jika tidak mengemukakan bagaimana pula pengertian ilmu fiqh. Hal ini karena antara ilmu ushul fiqh dan ilmu fiqh seringkali terjadi kesimpangsiuran pengertian antara keduanya, bahkan tidak jarang ada yang menyamakan kedua ilmu ini. Ilmu fiqh adalah pengetahuan tentang hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil secara terperinci. Atau, dapat pula diartikan sebagai kumpulan hukum-hukum Islam tentang perbuatan manusia yang diambil berdasarkan dalil-dalil secara terperinci. Kedudukan ilmu fiqh merupakan suatu kajian tentang penilaian suatu tindakan. Fiqh mengkaji apa yang dianggap benar dan apa yang dianggap salah melalui lima hukum utama (haram, halal, wajib, sunnah, dan makruh). Menurut Ibnu Khaldun, ilmu fiqh adalah sebuah bentuk pengetahuan terhadap aturan Tuhan yang ditujukan kepada tingkah laku manusia dimana mereka mesti harus taat kepada bentuk aturan tersebut yang meliputi wajib, haram, mandub, mubah dan makruh. Untuk memahami hukum Tuhan tersebut, maka diperlukan beberapa kaedah pokok untuk menentukan benar atau salah di mata Allah. Beberapa kaedah tersebut meliputi tingkatan pengambilan hukum yaitu dengan merujuk langsung kepada Al Qur’an dan Sunnah, ataupun mengikuti Imam Syafi’i ada beberapa kaidah lain yang harus diperhatikan dalam menentukan sebuah hukum, yaitu ijmā’ atau ketetapan otoritas ulama, Qiyās, dan Istihsān.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perbedaan antara ilmu ushul fiqh dengan ilmu fiqh terletak pada landasan dan fokus yang dipakai oleh kedua ilmu ini. Ilmu ushul fiqh lebih menitikberatkan pada landasan teoritis yang bersifat global (al-adillah al-ijmāliyyah), sementara ilmu fiqh lebih terfokus pada tataran praktis yang diambil dari dalil yang terperinci (tafshīlīy). Meskipun di samping memiliki perbedaan sebagaimana dikemukakan di atas, ilmu fiqh dan ilmu ushul fiqh ternyata juga mempunyai kesamaan. Persamaan kedua ilmu ini terletak pada pencarian ketentuan hukum syari’at Islam yang dilakukan oleh ilmu fiqh dan ushul fiqh. Ilmu ushul fiqh bergerak dalam tataran metodologis, sedangkan fiqh bergerak dalam tataran praktis.
• Metode ilmu Ushul Fiqh
Sebagaimana disebutkan sebelumnya pada pembahasan di atas bahwa persoalan hukum merupakan permasalahan yang penting dan mendapat perhatian yang mendalam dalam Islam. Kondisi umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad dan generasi awal Islam yang menemui beragam persoalan yang banyak berupa permasalahan baru membuat kalangan ulama Islam menyusun suatu disiplin ilmu yang kemudian dikenal sebagai ushul fiqh. Ilmu ini berisikan kaidah-kaidah yang menjadi dasar pertimbangan para ulama dalam menggali dan menetapkan hukum Islam atas beragam permasalahan yang dihadapi umat Islam.
Para ulama ushul fiqh dalam menggali hukum Islam membagi kaidah-kaidah yang mereka gunakan ,yaitu kaidah-kaidah ushul fiqh dari aspek bahasa pembuatan hukum Islam. Kaidah jenis yang pertama terdiri dari tujuh macam kaidah yang menjadi landasan penetapan hukum dalam Islam berdasarkan ilmu ushul fiqh yang dikemukakan oleh ulama Islam.
Sebagaimana diketahui bahwa al-Qur’an dan Hadits menggunakan bahasa Arab dalam menyampaikannya kepada umat Islam, maka dengan demikian untuk memahaminya harus pula mengetahui dan memahami bahasa tersebut secara lebih komprehensif. Pemahaman mendalam tersebut mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan bahasa Arab, terutama pada aspek stilistika atau gaya bahasa yang digunakan oleh kedua sumber utama hukum Islam tersebut.
Berdasarkan kajian komprehensif yang dilakukan para ulama Islam, didapatkan beberapa kaidah yang menjadi dasar dalam menetapkan hukum dalam Islam dari aspek bahasanya. Kaidah pertama adalah teori pengambilan makna teks, yaitu teks syari’at atau undang-undang wajib diamalkan menurut apa yang tersurat, isyarat, dalalah atau menurut tuntutannya. Hal ini karena setiap pemahaman teks melalui salah satu cara di atas pada dasarnya adalah pengertian teks tersebut dan teks itu merupakan landasan bagi pengertian itu. Dengan demikian dapat dipahami bahwa teks syari’at atau undang-undang seringkali menunjukkan makna yang banyak dengan beberapa cara seperti firman Allah : “… Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (al-Baqarah: 275). Kaidah Kedua pengertian balik yang berbunyi: Teks syari’at tidak mempunyai hubungan atas hukum menurut pengertian balik. Adapun pengertiannya adalah teks syari’at tidak mempunyai hubungan bahwa hukum yang terkandung dalam teks tersebut terdapat pengertian balik dengan bunyi teks. Contohnya adalah firman Allah : “Katakanlah: Dalam wahyu yang diturunkan kepadaku aku tidak memperoleh sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir” (al-Anām: 145). Dalam ayat ini dinyatakan bahwa darah yang mengalir diharamkan oleh Allah, maka bukan berarti darah yang tidak mengalir menjadi dihalalkan karena tidak adanya hubungan antara ayat ini dengan makna tersebut.
Kaidah Ketiga Kejelasan Hubungan dan Tingkatannya, yang berbunyi setiap teks yang jelas hubungannya harus diperlakukan sesuai dengan kejelasan hubungan yang ditunjukkannya tersebut. Adapun contoh dari kaidah ini adalah firman Allah : “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah ia dan apa yang dilarang bagimu, maka tinggalkanlah” (al-Hasyr: 7). Berdasarkan ayat ini maka apa yang telah diperintahkan oleh Nabi Muhammad maka harus dilakukan oleh umatnya dan sebaliknya apa yang dilarang maka jangan dilakukan karena demikianlah kejelasan makna yang terkandung dalam ayat ini. Kaidah Keempat, Ketidakjelasan Hubungan dan Tingkatannya, yang berbunyi teks yang tidak jelas hubungannya adalah teks yang melalui bentuknya sendiri tidak menunjukkan arti yang dimaksudkan, bahkan untuk memahaminya diperlukan faktor dari luar. Contohnya adalah firman Allah: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri selama tiga kali quru’” (al-Baqarah: 228). Lafadz yang tidak jelas dalam ayat ini adalah suci yang memunculkan perbedaan pendapat di kalangan ulama Islam apa yang dimaksudkan suci di sini, apakah setelah masa tenggang waktu berakhir (iddah) atau tiga kali masa suci. Kaidah Kelima, Lafadz yang mempunyai banyak arti (musytarak) dan hubungannya, yang berbunyi: apabila dalam teks terdapat lafadz musytarak, maka lafadz tersebut harus dibawa kepada makna syari’at. Hal ini dapat dicontohkan dalam firman Allah : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri maka potonglah kedua tangannya” (al-Māidah: 38). Penggunaan lafadz ‘tangan’ memunculkan banyak pengertian mengenai batasan ‘tangan’ yang dimaksudkan untuk dipotong. Untuk itu, pengertian ayat tersebut dikembalikan kepada tuntunan Nabi Muhammad dalam hadis yang membahas masalah ini. Kaidah Keenam, Keumuman dan hubungannya, yang berbunyi : apabila dalam teks syari’at terdapat lafadz yang umum dan tidak terdapat dalil yang mengkhususkannya maka, maka lafadz tersebut wajib diartikan dengan keumuman dan menetapkan hukum untuk semua satuannya dengan pasti. Hal ini sebagaimana firman Allah: “Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan Allah pasti memberi rezeki kepadanya” (Hūd: 6). Ayat ini mengungkapkan bahwa seluruh makhluk di muka bumi ini pasti akan mendapatkan rezeki dari Allah, tanpa terkecuali. Kaidah Ketujuh, Kekhususan dan Hubungannya, yang berbunyi: Apabila di dalam teks terdapat lafadz khusus, maka dapat menetapkan hukum dengan pasti, selama tidak ada dalil yang menghendaki arti lain. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam firman Allah: “Dan saksikanlah oleh dua orang saksi dari laki-laki (di antara kamu)” (al-Baqarah: 282). Ayat ini hanya mengkhususkan persaksian pada hutang piutang yang terjadi antara manusia dengan syarat harus disaksikan oleh dua orang yang terdiri dari laki-laki.
Penerapan kaidah-kaidah yang terdapat dalam ilmu ushul fiqh ini berdampak sangat luas di kalangan masyarakat Islam dari masa ke masa. Beragam permasalahan hukum yang sering menghinggapi umat Islam seiring kian jauhnya keberadaan dan waktu mereka dengan Nabi Muhammad dan generasi pertama Islam menjadi dapat terpecahkan melalui penggunaan kaidah-kaidah ini. Meskipun tidak semua kalangan Islam menyepakati kaidah-kaidah yang termaktub dalam ilmu ushul fiqh ini, tetapi setidaknya upaya yang dilakukan ulama Islam ini menjadi sebuah solusi atas persoalan menyangkut hukum Islam menjadi terpecahkan.
• Kegunaan mempelajari ilmu Ushul Fiqh
Dimaksudkan dengan adanya kaidah-kaidah dalam Ilmu Ushul Fiqh, yaitu untuk diterapkan pada dalil-dalil syara' yang terperinci dan sebagai rujukan bagi hukum-hukum furu' hasil ijtihad para ulama.
Dengan menerapkan kaidah-kaidah pada dalil-dalil syara' yang terperinci, maka dapat dipahami kandungan nash-nash syara' dan diketahui hukum-hukum yang ditunjukinya, sehingga dengan demikian dapat diperoleh hukum perbuatan atau perbuatan- perbuatan dari nash tersebut. Dengan menerapkan kaidah-kaidah itu dapat juga ditentukan jalan keluar (sikap) yang diambil dikala menghadapi nash-nash yang saling bertentangan, sehingga dapat ditentukan pula hukum perbuatan dari nash atau nash-nash sesuai dengan jalan keluar yang diambil. Demikian pula dengar menerapkan kaidah-kaidah pada dalil-dalil seperti : qiyas, istihsan, istishlah, istishab dan lain sebagainya, dapat diperoleh hukum perbuatan-perbuatan yang tidak didapat dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Dari sisi ini jelaslah bahwa kegunaan Ilmu Ushul Fiqh ialah untuk memperoleh hukum-hukum syara' tentang perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci, sebagaimana yang tertuang dalan pengertian Ilmu Ushul Fiqh yang telah dipaparkan di depan. Kegunaan ilmu Ushul Fiqh yang demikian itu, masih sangat diperlukan bahkan dapat dikatakan inilah kegunaan yang pokok, karena meskipun para ulama terdahulu telah berusaha untuk mengeluarkan hukum dalam berbagai persoalan, namun dengan perubahan dan perkembangan zaman yang terus berjalan, demikian pula dengan bervariasinya lingkungan alam dan kondisi sosial pada berbagai daerah, adalah faktor-faktor yang sangat memungkinkan sebagai penyebab timbulnya persoalan-persoalan hukum yang baru; yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dan belum pernah terpikirkan oleh para ulama terdahulu. Untuk dapat mengeluarkan ketetapan hukum persoalan-persoalan tersebut, seseorang harus mengetahui kaidah-kaidah dan mampu menerapkannya pada dalil-dalilnya.
Sedangkan dengan menjadikan kaidah-kaidah sebagai rujukan bagi hukum-hukum furu' hasil ijtihad para ulama, maka dari sini dapat diketahui dalil-dalil yang digunakan dan cara-cara yang ditempuh dalam memperoleh atau mengeluarkan hukum-hukum furu' tersebut, karena tidak jarang dijumpai dalam sebagian kitab-kitab fiqh yang menyebutkan hukum-hukum furu' hasil ijtihad seorang ulama atau sekelompok ulama, tanpa disebutkan dalil-dalil dan cara-cara pengambilan hukum itu. Begitu juga dapat diketahui sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat diantara para ulama, sebab terjadinya perbedaan pendapat para ulama tersebut pada hakekatnya berpangkal dari perbedaan dalil atau dari perbedaan cara yang ditempuh untuk sampai kepada hukum furu' yang diambilnya. Bahkan dapat pula untuk menyeleksi pendapat-pendapat yang berbeda dari seorang ulama, dengan memilih pendapat yang sejalan dengan kaidah-kaidah yang digunakan oleh ulama tersebut dalam menetapkan hukum.
Dengan singkat dapat dikatakan bahwa dari sisi ini, Ilmu Ushul Fiqh dapat digunakan untuk mengetahui alasan-alasan pendapat para ulama. Kegunaan ini juga mempunyai arti yang penting, karena jika mungkin seseorang akan dapat memilih pendapat yang dipandang lebih kuat atau setidak-tidaknya seseorang dalam mengikuti pendapat ulama harus mengetahui alasan-alasannya.


C. Kesimpulan dan Penutup
Bersadarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu ushul fiqh lahir karena tuntutan kondisi umat Islam yang sepeninggal Rasulullah dan generasi pertama Islam menghadapi beragam persoalan menyangkut ajaran Islam. Untuk itulah kalangan ulama menyusun kaidah-kaidah yang menjadi dasar menetapkan hukum Islam yang kemudian dikenal dengan ilmu ushul fiqh. Ilmu ini terdiri dari tujuh macam kaidah yang berupa teori-teori dari aspek kebahasaan al-Qur’an dan Hadis, Bahasa Arab. Dengan kaidah-kaidah yang menjadi landasan tersebut, pada ulama menggali hukum Islam dan menetapkan hukum untuk menjawab berbagai permasalahan hukum yang dihadapi umat Islam.
Demikianlah sekelumit paparan mengenai ushul fiqh yang menjadi metode menggali hukum dalam Islam. Sumbang saran dan kritik konstruktif sangat diharapkan demi perbaikan serta menambah wawasan dan pengetahuan.










Referensi
• Roedijambi.wordpress.com
• Makalah-gratis.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Profil

Kategori

Archives