Blog ini adalah milik Muhammad Najih Vargholy. Diberdayakan oleh Blogger.
Jika hendak mengenal dunia MEMBACALAH, Jika hendak dikenal dunia MENULISLAH, Jika hendak menguasai dunia BERILMULAH. (Hamid Fahmy Zarkasyi)

Prosedur Pemberian Kredit Bank

Senin, 16 Januari 2017

PENDAHULUAN
Salah satu tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Hal tersebut merupakan amanat yang diperintahkan oleh para pendiri negara (founding father) yang tertuang dalam naskah pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam rangka mewujudkan cita-cita mulia itu perekonomian negara harus dilaksanakan dengan berdasarkan pada  asas kekeluargaan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan dengan potensi serta kemampuan yang berbeda antara satu sama lain. Di satu sisi ada segolongan orang yang dibekali potensi berlebih yang dengan potensi itu mampu menguasai sumber-sumber penghidupan (ekonomi) dan di sisi lain terdapat pula sekelompok orang yang dibekali potensi namun tidak cukup untuk dapat menguasai sumber-sumber penghidupan tersebut.
Dalam menghadapi kenyataan yang demikian, para founding father negara kita dengan kesadaran penuh telah menetapkan prinsip yang begitu mulia yang mengajak segenap elemen bangsa agar mengedepankan prinsip kekeluargaan, kebersamaan, dan gotong royong dalam membangun perekonomian negara guna mencapai  kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran.
Salah satu lembaga perekonomian yang memiliki peranan penting dalam mewujudkan cita-cita pembangunan nasional untuk mewujudkan pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan peningkatan taraf hidup rakyat adalah lembaga perbankan. Bank memiliki fungsi sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediary) yang mempertemukan antara pihak yang memiliki kelebihan dana (surplus of fund) dengan pihak yang kekurangan atau memerlukan dana (lack of fund). Menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 lembaga perbankan memiliki misi dan fungsi sebagai agen pembangunan (agent of development), yaitu sebagai lembaga yang betujuan menopang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.
Dalam menjalankan fungsinya untuk menyalurkan dana kepada masyarakat, bank memberikan fasilitas kredit terhadap nasabah yang membutuhkan dana. Penyaluran kredit atau pinjaman yang dilakukan oleh bank kepada nasabah merupakan suatu perbuatan hukum yang tentunya memiliki akibat hukum bagi masing-masing pihak. Guna mengurangi resiko wanprestasi/ cidera janji yang dilakukan oleh nasabah debitur, maka pemberian kredit/pinjaman tesebut dituangkan dalam bentuk perjanjian yang didahului dengan serangkaian prosedur atau persyaratan yang harus dipenuhi oleh nasabah debitur. Dalam tulisan inilah akan diuraikan mengenai prosedur atau persyaratan yuridis yang harus diterapkan dalam pemberian kredit atau pinjaman bank terhadap nasabah debitur tersebut.
PERJANJIAN KREDIT BANK
Sebagai pengantar awal untuk memahami perjanjian kredit bank, maka perlu diketahui terlebih dahulu definisi atau terminologi dari bank itu sendiri. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang dimaksud dengan bank adalah,
“Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”
Berdasarkan definisi otentik tentang bank tersebut diketahui bahwa bank pada dasarnya memiliki dua aktivitas utama yakni menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat. Menurut Neni Sri Imaniyati definisi bank yang terdapat dalam undang-undang ini merupakan suatu langkah maju yang dilakukan oleh pemerintah sebab di dalam definisi tersebut dicantumkan pula fungsi perbankan sebagai agen pembangunan yakni untuk meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.[1] Dengan demikian para pihak yang menjalankan usaha perbankan dituntut tidak hanya semata-mata mengedepankan aspek komersial namun juga harus diimbangi pula dengan kesadaran dan komitmen untuk mewujudkan misi pembangunan ekonomi nasional.
Kredit merupakan suatu jenis usaha penyaluran dana kepada masyarakat. Dalam Undang-Undang Perbankan dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan kredit adalah,
Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Berdasarkan pengertian atau definisi kredit tersebut diatas, maka didapati unsur-unsur kredit sebagai berikut:
1.      Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu;
2.      Dilaksanakan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara pihak bank dengan nasabah;
3. Kewajiban pihak peminjam/nasabah untuk melunasi hutangnya dalam jangka waktu (tempo)tertentu; dan
4.      Pemberian bunga disamping hutang pokok.
Menurut Ramlan Ginting,  pengertian “penyediaan tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu” adalah cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari, pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang (factoring) dan pengambilalihan (pembelian) kredit atau piutang dari pihak lain seperti negosiasi hasil ekspor.[2]
Jika diperhatikan dalam definisi kredit tersebut terdapat kata “pinjam-meminjam” yang dalam hal ini objek yang dipinjamkan adalah berupa uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu. Jika dikaitkan dengan KUH Perdata maka perjanjian kredit sebagaimana yang yang dijelaskan oleh berberapa ahli, termasuk dalam perjanjian pinjam pakai habis sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1754. Dalam Pasal tersebut dirumuskan bahwa perjanjian pinjam habis pakai adalah suatu perjanjian yang mewajibkan pihak pertama untuk menyerahkan barang yang dapat habis terpakai kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak kedua tersebut akan mengembalikan barang sejenis kepada pihak pertama dalam jumlah dan keadaan yang sama.
Di sisi lain beberapa ahli juga mengatakan bahwa perjanjian kredit tidak identik dengan perjanjian pinjam pakai habis sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1754 KUH Perdata. Munir Fuady dan Remy Syahdaeni berpendapat bahwa perjanjian kredit bank merupakan perjanjian tidak bernama (innominaat). Pendapat tersebut didasarkan pada argumentasi bahwa perjanjian kredit memiliki karakteristik tertentu yang tidak sama dengan perjanjian-perjanjian bernama (nominaat) yang terdapat dalam KUH Perdata. Karakteristik khusus yang terdapat dalam perjanjian kredit antara lain adalah dalam hal tujuan penggunaan uang dan cara pengembalian uang.
PROSEDUR PEMBERIAN KREDIT BANK
Salah satu fungsi lembaga perbankan disamping menghimpun dana  masyarakat adalah menyalurkan dana tersebut kepada masyarakat. Penyaluran dana tersebut lazimnya dikenal dengan fasilitas kredit (pinjaman). Bank tidak secara serta merta dapat memberikan fasilitas kredit tesebut kepada nasabah, sebab pihak bank terikat oleh aturan-aturan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 8 Ayat (1) UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan disebutkan,
“Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.”
Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa untuk mengurangi resiko yang ditanggungnya,  bank harus memperhatikan jaminan perkreditan yakni keyakinan bank berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi hutangnya. Keyakinan sebagaimana dimaksud diperoleh oleh bank dengan cara melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari nasabah debitur.
Disini nampak bahwa di dalam UU Perbankan dibedakan antara makna jaminan dan agunan. Jaminan memiliki lingkup yang lebih luas yakni mencakup segala aspek penilaian bank terhadap kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya. Sedangkan agunan adalah salah satu unsur penilaiain bank sebagaimana dimaksud. Agunan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan hanyalah sebatas  jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
Selain bahwa dalam pemberian fasilitas kredit bank harus berdasarkan pada prinsip kehatia-hatian dengan melakukan analisis serta penilaian mendalam terhadap nasabah, bank juga terikat dengan batasan maksimum pemberian kredit sebagaimana yang ditetapkan dalam undang-undang serta peraturan pelaksananya. Dalam Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 ditentukan bahwa batas maksimum kredit bank tidak boleh melebihi 30% (tiga puluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Tujuan dari ketentuan ini adalah untuk menjaga bank agar tetap dalam keadaan sehat. Oleh karena itu, untuk memelihara kesehatan dan meningkatkan daya tahannya, bank diwajibkan menyebar risiko dengan mengatur penyaluran kredit, pemberian jaminan ataupun fasilitas lain sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada nasabah debitur atau kelompok nasabah debitur tertentu.
Dalam melaksanakan kebijakan perkreditan bank wajib berdasarkan pada pedoman penyusunan dan pelaksanaan kebijakan perkreditan bank bagi umum sebagaimana yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Dir BI 27/162/KEP/BI tanggal 31 Maret 1995. Dalam Angka 181 disebutkan bahwa  panduan kebijakan perkreditan bank umum sekurang-kurangnya meliputi:
1.      Prinsip kehati-hatian dalm perkreditan;
2.      Organisasi dan manajemen perkreditan;
3.      Kebijaksanaan persetujuan kredit;
4.      Dokumentasi dan administrasi kredit;
5.      Pengawasan kredit; dan
6.    Penyelesaian kredit.
Proses persetujuan kredit sebagaimana diatur dalam angka 440 - 460 SK Dir BI tersebut sekurang-kurangnya mencakup hal-hal sebagai berikut:
1.        Permohonan kredit.
Bank hanya memberikan kredit apabila permohonan kredit diajukan secara tertulis. Permohonan kredit harus memuat semua informasi yang lengkap dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh bank. Bank harus memastikan kebenaran data dan informasi yang disampaikan dalam permohonan kredit.
2.        Analisis kredit.
Analisis kredit sekurang-kurangnya harus mencakup penilaian atas watak (character), kemampuan (capacity), modal (capital), agunan (collateral), dan prospek usaha debitur (condition of economy) atau yang lebih dikenal dengan 5 C’s dan penilaian terhadap sumber pelunasan kredit yang dititikberatkan pada hasil usaha yang dilakukan pemohon serta menyajikan evaluasi aspek yuridis perkreditan dengan tujuan untuk melindungi bank atas resiko yang mungkin timbul.
3.        Rekomendasi persetujuan kredit.
Isi rekomendasi kredit harus sejalan dengan kesimpulan analisis kredit.
4.        Pemberian persetujuan kredit.
Setiap pemberian persetujuan kredit harus memperhatikan analisis dan rekomendasi persetujuan kredit. Persetujuan yang berbeda dengan isi rekomendasi harus dijelaskan secara tertulis.
5.        Perjanjian kredit.
Permohonan kredit yang telah disetujui wajib dituangkan dala perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis yang sekurang-kurangnya harus memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum yang dapat melindungi bank dan memuat jumlah, jangka waktu, tatacara pembayaran kembali kredit serta persyaratan-persyaratan kredit lainnya sesuai dengan keputusan perjanjian kredit dimaksud.
6.        Persetujuan pencairan kredit.
Bank hanya menyetujui pencairan kredit apabila seluruh syarat-syarat yang ditetapkan telah dipenuhi oleh pemohon kredit. Sebelum pencairan bank harus memastikan bahwa seluruh aspek yuridis yang berkaitan dengan kredit telah selesai dan telah memberikan perlindungan yang memadai bagi bank.
PENUTUP
Lembaga perbankan menjalankan aktivitas usahanya dengan menggunakan dana simpanan masyarakat, yang oleh karena itu bank wajib mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam menyalurkan dana/ memberi fasilitas kredit  kepada nasabah debitur. Selain itu bank juga harus mengupayakan agar keadaan finansialnya tetap dalam keadaan sehat yang salah satunya adalah dengan menerapkan batas maksimum pemberian kredit.
Perjanjian kredit merupakan bagian dari perjanjian pada umumnya sehingga keabsahan perjanjiannya pun harus didasarkan pada syarat-syarat sah perjanjian sebagaimana yang diatur dalam KUHPerdata. Untuk mencegah timbulnya resiko akibat tidak dilaksanakannya isi perjanjian kredit, bank wajib melakukan analisis yang mendalam terhadap kelayakan debitur/pemohon kredit yang meliputi penilaian watak (character), kemampuan (capacity), modal (capital), agunan (collateral), dan prospek usaha debitur (condition of economy). Keseluruhan analisis tersebut merupakan jaminan bagi pihak bank dalam melakukan perkreditan.
Daftar Pustaka
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Surat Keputusan Dir BI 27/162/KEP/BI tentang Kewajiban Penyusunan Dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bank bagi Bank Umum.
Neni Sri Imaniyati, Hukum Ekonomi dan Ekonomi Islam Dalam Perkembangan, Bandung: Mandar Maju, 2002.
Ramlan Ginting, “Pengaturan Pemberian Kredit Bank Umum”, makalah disampaikan dalam Diskusi Hukum “Aspek Hukum Perbankan, Perdata, dan Pidana Terhadap Pemberian Fasilitas Kredit Dalam Praktek Perbankan di Indonesia” di Hotel Panghegar Bandung, 6 Agustus 2005.



[1] Neni Sri Imaniyati, Hukum Ekonomi dan Ekonomi Islam Dalam Perkembangan (Bandung: Mandar Maju, 2002), hlm. 94.
[2] Ramlan Ginting, “Pengaturan Pemberian Kredit Bank Umum”, makalah disampaikan dalam Diskusi Hukum “Aspek Hukum Perbankan, Perdata, dan Pidana Terhadap Pemberian Fasilitas Kredit Dalam Praktek Perbankan di Indonesia” di Hotel Panghegar Bandung, 6 Agustus 2005, hlm. 1.
Readmore → Prosedur Pemberian Kredit Bank

Status Hukum Organ Perseroan Terbatas Pasca Merger dan Konsolidasi

LATAR BELAKANG
Dominasi sistem liberal-kapitalis di kancah perekonomian global menyebabkan persaingan bebas dalam dunia bisnis menjadi suatu hal yang tidak dapat dinafikan.  Untuk memenangkan persaingan tersebut masing-masing pelaku usaha menerapkan berbagai macam strategi bisnis. Strategi tersebut dimaksudkan untuk beberapa tujuan yang diantaranya adalah peningkatan produksi , perluasan pasar dan pengembangan usaha. Pada intinya setiap pelaku usaha memiliki kebijakan atau strategi tertentu untuk memaksimalisasi profit atau keuntungan usahanya.  
Mengutip Warren J Keegen, Gunawan Widjaja dalam bukunya menyebutkan bahwa secara global (internasional) langkah-langkah pengembangan usaha setidaknya dilakukan melalui lima cara yakni:
1.      Melakukan ekspor produk;
2.      Pemberian lisensi;
3.      Waralaba (franchising);
4.      Pembentukan perusahaan patungan (joint ventures); dan
5.      Pemilikan menyeluruh (total ownership) baik melalui kepemilikan langsung (direct ownership) maupun merger dan akuisisi.[1]
Bagi suatu badan usaha seperti Perseroan Terbatas (PT), kebijakan untuk melakukan merger (penggabungan), konsolidasi (peleburan) dan akuisisi (pengambil-alihan) merupakan cara pintas untuk mempertahankan kelanjutan bisnis yang dijalaninya. Seringkali perusahaan melakukan restrukrisasi modal dan reorganisasi perusahaan dengan alasan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi biaya produksi. Alasan demikian tentu saja merupakan hal yang sah-sah saja untuk dilakukan bagi suatu entitas bisnis yang memang tujuan utamanya adalah mengejar dan memupuk keuntungan.
Dalam menjalankan aktivitasnya, perseroan sebagai suatu badan hukum (legal person) dan subjek hukum terikat oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Ketentuan tersebut mencakup segala aspek hukum perseroan baik dari segi organisasi, bisnis, ekonomi mikro maupun makro, sosial dan lain sebagainya. Dilihat dari sisi bisnis, kebijakan merger ataupun konsolidasi merupakan salah satu cara yang dilakukan suatu perseroan untuk mempertahankan kelanjutan usahanya yakni dengan memperkuat struktur modal dan aset perseroan. Dilihat dari sisi organisasi, merger dan konsolidasi merupakan suatu bentuk reorganisasi perusahaan guna mewujudkan efisiensi perusahaan. Hal yang patut dijadikan perhatian dari kedua kebijakan tersebut adalah adanya konsekuensi hukum yakni berupa bubarnya perseroan yang melakukan penggabungan atau peleburan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa status organ PT, karyawan, buruh/ pekerja serta pemangku kepentingan lainnya dalam perseroan tersebut juga hilang seiring dengan berakhir/ bubarnya perseroan.
Dalam artikel ini, penulis mencoba untuk menganalisa status hukum organ PT yakni direksi, dewan komisaris, Rapat Umum  Pemegang Saham (RUPS) pasca dilakukannya merger dan konsolidasi perusahaan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang Perseroan Terbatas.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian yang dijelaskan dalam latar belakang diatas, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut:
1.  Bagaimanakah status hukum organ perseroan terbatas pasca dilakukannya merger dan konsolidasi perusahaan?
2.    Bagaimanakah mekanisme penyelesaian status hukum organ perseroan terbatas yang dimaksud?
PEMBAHASAN
1.    Konsep Merger dan Konsolidasi
Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan  yang ditetapkan oleh Undang-undang serta peraturan pelaksananya.[2] Dengan ulasan tersebut maka Penulis akan lebih eksplisit membahas dalam lingkup Perseroan Terbatas(PT) secara limitatif.
Merger berasal dari kata “merger”, “fusion”, atau “absorption” yang berarti “menggabungkan”.[3] Sedangkan merger yang berasal dari kata kerja “to merge” secara luas dipahami sesuai Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang  No.40 Tahun 2007 tentang PT sebagai perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada, yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri tersebut beralih karena hukum kepada perseroan yang menerima penggabungan, selain status dari Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
Oleh karena itu merger memiliki tujuan yang hampir sama dengan akuisisi, yaitu :
a.    Merger memiliki tujuan untuk memperbesar modal;
b.    Merger memiliki tujuan untuk menyelamatkan kelangsungan produksi;
c.    Merger memiliki tujuan untuk mengembangkan jalur distribusi;
d.   Merger memiliki tujuan untuk mengurangi persaingan usaha;
e.    Merger memiliki tujuan untuk menciptakan sistem pasar yang monopolistik.[4]
Walaupun disebut dengan tujuan yang hampir sama dengan akuisisi, namun tetap dalam perbuatan hukumnya memiliki perbedaan yang signifikan dengan Akuisisi. Dikarenakan penulisan ini tidak memilih topik akuisisi, melainkan hanya Merger dan Konsolidasi maka Penulis tidak akan menguraikan perbedaan yang signifikan tersebut dalam uraian penulisan ini.
Berikut contoh riil Perseroan Terbatas (PT) yang melakukan merger :
a.    Merger antara Bank Lippo dengan Bank Niaga
b.  Merger antara Bank Danamon, Bank Tiara, Bank Duta, Bank Rama, Bank Tamara, Bank Nusa Nasional, Bank Pos Nusantara, Bank Jayabank Internasional, Bank Risjad Salim Internasional.[5]
Merger memiliki manfaat yang besar, baik terhadap perusahaan-perusahaan yang melakukan merger maupun terhadap konsumen, diantaranya :
a.    Merger memberikan efisiensi dan peningkatan produktivitas bagi perusahaan yang melaksanakan merger;
b.    Merger memberikan penyelesaian dalam beragam masalah, seperti masalah kesulitan keuangan atau masalah ancaman bangkrut;
c.  Merger dapat meningkatkan utilisasi kapasitas berlebih (idle capacity), menekan biaya transportasi, dan mengganti manajer berkinerja buruk yang tidak tersedia secara internal;
d.   Merger dapat memberikan akses modal dalam internal perusahaan;
e.    Merger dapat memberikan manfaat dalam riset dan pengembangan (research & development);
f.     Merger dapat menghasilkan biaya produksi yang lebih rendah, penurunan harga, dan peningkatan kualitas barang yang menguntungkan konsumen.[6]
Adapun pengertian  konsolidasi secara normatif termuat dalam Pasal 1 Angka 10 UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang disebut dengan Peleburan adalah “perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum Perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum”. Sedangkan secara asal-usul bahasa, Konsolidasi berasal dari kata “consolidation” yang berarti “melebur”. Dalam konsolidasi, pihak-pihak yang akan menjadi Surviving Company adalah perusahaan baru yang didirikan oleh para pihak, sedangkan perusahaan yang menjadi peserta peleburan menjadi pendiri perusahaan.
Berikut contoh riil PT yang melakukan peleburan/konsolidasi :
a.    Antara PT Mobile-8 Telecom Tbk dengan PT Smart Telecom, menjadi PT SmartFren.
b.  Antara Bank Bumi Daya, Bank Bapindo, Bank Dagang Negara, Bank Exim, kemudian menjadi Bank Mandiri.
Secara umum, dua model penggabungan tersebut dapat dilakukan apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.    Dilakukan untuk kepentingan umum;
b.    Dilakukan dengan tidak merugikan kepentingan pemegang saham minoritas;
c.    Dilakukan dengan tetap memperhatikan kepentingan karyawan perseroan;
d.   Dilakukan dengan tidak merugikan kepentingan pihak kreditur;
e. Dilakukan dengan tetap menjaga kepentingan masyarakat dan persaingan yang sehat dalam melakukan usaha.[7]
2.    Status Hukum Organ Perseroan Terbatas Pasca Merger dan Konsolidasi
Menurut Gierke, sebagaimana yang dikutip oleh Gatot Supramono, perseroan terbatas sebagai badan hukum merupakan suatu subjek hukum yang dipersamakan kedudukannya di hadapan hukum selayaknya manusia biasa (natural person). Artinya badan hukum dapat melakukan perbuatan hukum sesuai dengan maksud dan kehendaknya dan juga menanggung segala bentuk tanggungjawab yang ditimbulkan dari perbuatan hukum tersebut. Dalam hal ini kehendak atau maksud perseroan dijalankan oleh suatu alat kelengkapan perseroan yang disebut dengan organ PT.[8]
Dalam Pasal 1 Angka 2 UU PT disebutkan bahwa organ PT meliputi Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi dan Dewan Komisaris. RUPS merupakan Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.[9] Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh ataspengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.[10] Sedangkan Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi.[11]
RUPS merupakan wadah atau tempat berkumpulnya para pemegang saham perusahaan. RUPS merupakan organ tertinggi perseroan yang memiliki kewenangan lebih dibandingkan kedua organ yang lainnya. Diantara kewenangan mutlak yang dimiliki RUPS tersebut adalah mengubah anggaran dasar perseroan, mengangkat dan memberhentikan anggota direksi maupun anggota dewan komisaris, mengesahkanl laporan keuangan, menyetujui perpanjangan waktu berdirinya perseroan dan lain sebagainya.[12] Setiap pemegang saham selaku pemilik modal perseroan mempunyai hak untuk hadir dalam RUPS dengan prinsip bahwa satu saham mempunyai satu suara.
Adapun mengenai organ PT lainnya yakni direksi dan dewan komisaris, pengangkatannya untuk pertama kali dilakukan oleh pendiri perseroan sebab pada waktu perseroan didirikan belum terdapat RUPS. RUPS baru ada setelah perseroan memiliki status badan hukum. Pengangkatan direksi  dan dewan komisaris untuk pertama kalinya tidak dituangkan dalam suatu keputusan namun sekaligus tercantum dalam akta pendirian perseroan. Namun yang patut dicatat disini adalah bahwa pengangkatan direksi dan dewan direksi baik sebelum perseroan memperoleh status badan hukum ataupun setelah memperoleh status badan hukum pada intinya sama-sama dilakukan oleh pemegang saham.[13]
Berkenaan dengan perbuatan hukum merger dan konsolidasi yang dilakukan oleh perseroan maka, berdasarkan Pasal 122 Ayat (1) UUPT, akibat hukum yang terjadi adalah perseroan yang menggabungkan dan meleburkan diri berakhir karena hukum. Selanjutnya dalam Ayat (3) dijelaskan bahwa dengan berakhirnya perseroan karena hukum maka:
a. Aktiva dan pasiva Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima Penggabungan atau Perseroan hasil Peleburan;
b.  Pemegang saham Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri karena hukum menjadi pemegang saham Perseroan yang menerima Penggabungan atau Perseroan hasil Peleburan; dan
c.  Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri berakhir karena hukum terhitung sejak tanggal Penggabungan atau Peleburan mulai berlaku.
Dari rumusan pasal diatas diketahui bahwa diantara organ PT yang menggabungkan dan meleburkan diri hanya pemegang saham perseroan lah yang status hukumnya beralih secara hukum kepada perseroan yang baru. Adapun kedua organ lainnya yakni direksi dan dewan komisaris tidak demikian. Bagi kedua organ tersebut, pasca dilakukannnya merger dan konsolidasi, terdapat dua kemungkinan yakni diangkat kembali sebagai direksi dan dewan komisaris di perusahaan yang menerima penggabungan dan peleburan atau diberhentikan.
3.    Mekanisme Penyelesaian Status Hukum Organ Perseroan Terbatas Pasca Merger dan Konsolidasi
Dalam melakukan merger dan konsolidasi, PT terikat oleh ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 123 Ayat (1) UU PT, dinyatakan bahwa masing-masing PT yang hendak melakukan merger diharuskan untuk membuat suatu naskah yang disebut dengan “rancangan merger”. Salah satu komponen yang harus dicantumkan dalam rancangan tersebut adalah mengenai cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan karyawan Perseroan yang akan melakukan Penggabungan diri. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 123 UU PT juga berlaku secara mutatis mutandis terhadap pelaksanaan konsolidasi.
Rancangan merger dipersiapkan oleh masing-masing direksi perusahaan. Setelah rancangan merger tersebut disetujui oleh dewan komisaris, rancangan merger tersebut harus diajukan kepada RUPS masing-masing perusahaan untuk mendapatkan persetujuan.
Tidak secara otomatisnya direksi serta dewan komisaris untuk tetap kembali memangku jabatannya pasca dilakukannya merger atau konsolidasi merupakan dampak dari aturan yang menyatakan bahwa pengangkatan dan pemberhentian direksi atau dewan komisaris dilakukan oleh RUPS.
Apabila dalam memutuskan rancangan merger atau konsolidasi tersebut ditetapkan pula oleh RUPS bahwa direksi dan dewan komisaris tetap menjabat pada perusahaan hasil merger dan konsolidasi maka dalam keputusan tersebut ditetapkan pula saat mulai berlakunya pengangkatan tersebut. Apabila tidak ditetapkan, maka pengangkatan direksi tersebut mulai berlaku sejak ditutupnya RUPS.[14]
Apabila RUPS memutuskan untuk memberhentikan direksi akibat dilakukannya merger atau konsolidasi tersebut maka sesuai dengan ketentuan Pasal 105 Ayat (2) UU PT, sebelum keputusan pembehentian tersebut ditetapkan, direksi yang bersangkutan harus diberikan hak untuk membela diri dalam RUPS. Keputusan pemberhentian tersebut berlaku sejak RUPS ditutup atau tanggal lain yang ditetapkan dalam keputusan RUPS. Ketentuan dalam Pasal 105 ini juga berlaku secara mutatis mutandis terhadap pemberhentian dewan komisaris.[15]
Untuk dapat mengambil keputusan mengenai rencana penggabungan dan peleburan dimaksud, undang-undang menetapkan bahwa kuorum RUPS yang ditentukan adalah minimal ¾ jumlah pemegang saham hadir dan disetujui ¾ suara yang dikeluarkan. Apabila dalam penyelenggaraan RUPS kuorum tersebut tidak tercapai maka dapat dilakukan RUPS kedua.
Setelah rancangan merger atau konsolidasi tersebut disetujui dalam RUPS, maka masing-masing direksi perusahaan menghadap ke notaris untuk membuat kata penggabungan. Berdasarkan Pasal 128 Ayat (1) UUPT rancangan penggabungan dituangkan ke dalam akta penggabungan sehingga berlaku sah dan mengikat kedua belah pihak layaknya undang-undang.
KESIMPULAN
Berdasarkan kajian dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
1.      Bahwa dengan dilakukannya merger atau konsolidasi perseroan maka berdasarkan ketentuan Pasal 122 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, pemegang saham (RUPS) pada perusahaan yang menggabungkan diri atau meleburkan diri beralih secara hukum kepada perusahan penerima penggabungan atau hasil peleburan. Namun tidak demikian halnya dengan direksi dan dewan komisaris. Status kedua organ tersebut baru dapat diketahui setelah adanya keputusan RUPS mengenai rancangan merger atau konsolidasi.
2.      Bahwa mekanisme penyelesaian status hukum organ PT dilaksanakan sesuai dengan ketentuan mengenai pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian direksi dan dewan komisaris yang terdapat dalam Pasal 105 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Daftar Pustaka
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Dijan Widijowati, Hukum Dagang, Yogyakarta: Penerbit CV Andi, 2012.
Gatot Supramono, Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta: Djambatan, 2009.
Gunawan Widjaja, Merger Dalam Perspektif Monopoli, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Jones and Sufrin, EC Competition Law – Text ,Cases, and Materials, Oxford: 2004.
Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.



[1] Gunawan Widjaja, Merger Dalam Perspektif Monopoli (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 41.
[2] Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[3] Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal.88.
[4] Dijan Widijowati, Hukum Dagang (Yogyakarta: Penerbit CV Andi, 2012), hal.142.
[6] Jones and Sufrin, EC Competition Law – Text ,Cases, and Materials (Oxford: 2004), hal.848.
[7] Dijan Widijowati, Op.Cit, hal.146.
[8] Gatot Supramono, Hukum Perseroan Terbatas (Jakarta: Djambatan, 2009), hal. 9.
[9] Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[10] Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[11] Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[12] Gatot, Op.cit, hal. 155
[13] Ibid., hal. 182.
[14] Pasal 94 Ayat (5), Ayat (6) dan Pasal 111 Ayat (5), Ayat (6) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[15] Pasal 119 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Readmore → Status Hukum Organ Perseroan Terbatas Pasca Merger dan Konsolidasi
 

Profil

Kategori

Archives