PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi informasi di era
globalisasi saat ini semakin tidak terbendung. Berbagai macam inovasi dan
kreasi yang ditujukan untuk perbaikan kehidupan masyarakat di segala bidang telah
banyak dilakukan. Era modernisasi yang mengedepankan fleksibilitas, efisiensi
serta efektivitas dalam segala bidang kehidupan telah mendorong para inovator
serta kreator untuk menciptakan berbagai ciptaan yang dapat memfasilitasi
kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern yang serba instan dan pragmatis tersebut.
Salah satu bidang yang tak luput dari
pengaruh kemajuan teknologi informasi adalah bidang bisnis. Media yang paling
menonjol dalam transformasi elektronik yang berlangsung saat ini adalah
internet. Internet telah merubah paradigma bisnis konvensial dengan memunculkan
berbagai macam alternatif interaksi dan transaksi antara produsen dan konsumen
melalui pasar elektronik. Melalui media internet ini pengusaha dapat membangun
jaringan konsumen yang luas dengan investasi yang tidak membutuhkan modal
terlalu banyak.[1]
Di Indonesia, bisnis via internet (online)
telah menjadi trend tersendiri dalam kurun waktu belakangan ini. Pekembangan pesat
bisnis online tersebut salah satunya disebabkan oleh meningkatnya jumlah
pengguna internet di Indonesia dari tahun ke tahun. Perkembangan bisnis online
juga tidak terlepas dari meningkatnya pendapat per kapita masyarakat Indonesia yang
tentunya memberikan dampak pula pada peningkatan daya beli masyarakat.[2]
Bentuk bisnis online yang berkembang di Indonesia selain online
shop (toko online) seperti bukalapak, tokopedia, OLX adalah bisnis
penyediaan jasa angkutan umum secara online seperti Go-Jek, Grab Bike, Uber
Taxi dan lain sebagainya. Jasa angkutan umum yang ditunjang dengan aplikasi
online tentu mempunyai kelebihan tersendiri dibanding jasa angkutan umum
konvensional jika dilihat dalam aspek fleksibilitas, efiensi, serta
efektifitas. Selain demikian, banyaknya konsumen yang beralih kepada jasa angkutan
umum online disebabkan oleh adanya penawaran tarif yang lebih murah yang
diberikan penyedia jasa angkutan umum online tersebut.
Bagi para penyedia jasa angkutan umum
konvensional, kehadiran jasa angkutan umum online semacam ini sangat merugikan
mereka. Dengan kehadiran jasa angkutan umum online praktis pendapatan mereka
semakin menurun. Ketimpangan serta ketidakadilan yang dirasakan oleh mereka
inilah yang pada akhirnya memicu terjadinya gesekan dan bentrokan antara supir
taksi reguler dengan pengendara Go-Jek (ojek online) pada periode Maret lalu.[3]
Khusus mengenai jasa ojek online seperti Go-Jek, keberadaannya sempat dilarang oleh Menteri
Perhubungan. Larangan tersebut didasarkan pada alasan bahwa kendaraan bermotor
roda dua bukan merupakan kendaraan yang dapat dijadikan sebagai angkutan umum. Namun
pemerintah nampak tidak memiliki kesamaan persepsi dalam menyikapi
fenomena ojek online tersebut. Hal ini
dibuktikan dengan kebijakan Presiden yang membatalkan larangan operasional ojek
online yang sebelumnya telah dikeluarkan oleh Menteri Perhubungan.
PENGATURAN
JASA ANGKUTAN UMUM DI INDONESIA
Penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan
jalan di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Pembentukan UU LLAJ didasari oleh
kenyataan bahwa lalu lintas dan angkutan jalan memiliki peran yang strategis
dalam menopang jalannya pembangunan nasional guna mewujudkan kesejahteraan umum
sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, lalu lintas dan
angkutan jalan harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan
keamanan, kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas dan Angkutan Jalan dalam
rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara.[4]
Dalam rangka pemberdayaan dan pengembangan
industri di bidang lalu lintas dan angkutan jalan, dalam undang-undang ini
ditegaskan pula bahwa pemerintah berkewajiban mendorong industri dalam negeri,
antara lain dengan cara memberikan fasilitas, insentif, dan menerapkan standar
produk peralatan lalu lintas dan angkutan jalan. Pengembangan industri mencakup
pengembangan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan dengan cara dan metode
rekayasa, produksi, perakitan, dan pemeliharaan serta perbaikan.
Dalam UU LLAJ yang dimaksud dengan kendaraan bermotor umum
adalah setiap kendaraan yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang
dengan dipungut bayaran.[5]
Adapun mengenai jenis dan fungsi kendaraan bermotor, dalam Pasal 47 Ayat (2) dan Ayat (3) UU LLAJ
ditentukan,
“Kendaraan Bermotor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dikelompokkan berdasarkan jenis:
a.
sepeda motor;
b.
mobil penumpang;
c.
mobil bus;
d.
mobil barang;
dan
e.
kendaraan
khusus.”
Selanjutya
dalam ayat (3) ditentukan bahwa, “Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d dikelompokkan berdasarkan fungsi:
a. Kendaraan Bermotor perseorangan; dan b. Kendaraan Bermotor Umum.”
Berdasarkan ketentuan yang ada tersebut nampak bahwa sepeda motor tidak
termasuk kendaraan bermotor yang dapat difungsikan sebagai kendaraaan bermotor
umum atau dalam artian lain tidak termasuk kendaraan yang dapat dipergunakan
sebagai angkutan barang dan/atau angkutan orang dengan dipungut bayaran.
Sejatinya penyelenggaraan angkutan umum
baik berupa angkutan barang maupun orang
merupakan tanggung jawab pemerintah. Pemerintah bertanggung jawab atas
kebutuhan masyarakat terhadap angkutan yang aman, selamat, nyaman dan
terjangkau. Adapun angkutan umum berupa barang/ orang tersebut hanya dapat
dioperasionalkan dengan kendaraan bermotor umum (vide Pasal 138 Ayat (3)
UU LLAJ).
Pemerintah wajib menjamin tersedianya angkutan
umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang antarkota antarprovinsi serta
lintas batas negara. Penyediaan angkutan umum untuk jasa angkutan orang
dan/atau barang antarkota dalam provinsi menjadi kewajiban pemerintah daerah
provinsi, sedangkan penyedian angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan /atau
barang dalam wilayah kabupaten/kota menjadi kewajiban pemerintah daerah
kabupaten/kota (vide Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014
tentang Angkutan Jalan).
Kewajiban pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah provinsi/kabupaten/kota sebagaimana dimaksud diatas meliputi:
a. penetapan
rencana umum jaringan trayek dan kebutuhan kendaraan bermotot umum untuk
angkutan orang dalam trayek;
b. penyediaan
prasaran dan fasilitas pendukung angkutan umum;
c. pelaksanaan
penyelenggaraan perizinan angkutan umum;
d. pengawasan
terhadap pelaksanaan standar pelayanan minimal angkutan orang yang telah
ditetapkan;
e. penciptaan
persaingan yang sehat pada industri jasa angkutan umum; dan
f. pengembangan
sumber daya manusia di bidang angkutan umum.[6]
Setiap perusahaan yang memberikan
layanan angkutan umum wajib memenuhi standar pelayanan minimal yang telah
ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada. Dalam Pasal 141
Ayat (1) UU LLAJ standar pelayanan minimal yang dimaksud meliputi:
a. keamanan;
b. keselamatan;
c. kenyamanan;
d. keterjangkauan;
e. kesetaraan;
dan
f. keteraturan.
Perusahaan angkutan umum yang
menyelenggarakan angkutan orang dan/atau barang wajib berbentuk badan hukum
Indonesia sesuai dengan kententuan peraturan perudang-undangan yang berlaku.
Badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud dapat berbentuk:
a. badan
usaha milik negara;
b. badan
usaha milik daerah;
c. perseroan
terbatas; atau
d. koperasi.[7]
Fenomena pemesanan serta pembayaran jasa
angkutan umum melalui aplikasi berbasis teknologi informasi (online) telah
mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Respon positif pemerintah
terhadap kebutuhan masyarakat yang menginginkan adanya kemudahan dalam
pelayanan jasa angkutan umum tersebut tertuang dalam produk hukum berupa
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan
Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.[8]
Penggunaan aplikasi berbasis teknologi
informasi sebagaimana dimaksud dapat dilakukan secara mandiri oleh perusahaan
angkutan umum atau bekerjasama dengan perusahaan/lembaga penyedia aplikasi
berbasis teknologi informasi yang berbadan hukum Indonesia. Konsekuensi dari
digunakannya aplikasi berbasis teknologi informasi dalam pelayanan jasa
angkutan umum adalah bahwa tata cara penggunaannya harus disesuaikan dengan
ketentuan di bidang informasi dan transaksi elektronik sebagaimana yang telah
diatur dalam peraturan perundang-undangan (vide Pasal 40 Ayat (3) dan
Ayat (4) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 32 Tahun 2016 tentang
Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam
Trayek).
Hal yang perlu diperhatikan dalam
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan
Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek adalah bahwa perusahaan
penyedia aplikasi wajib bekerjasama dengan perusahaan angkutan umum yang telah
mendapatkan izin penyelenggaraan angkutan. Perusahaan/lembaga penyedia aplikasi
berbasis teknologi informasi tidak dapat bertindak secara mandiri sebagai
penyelenggara angkutan umum dengan melakukan kegiatan seperti berikut:
a. menetapkan
tarif dan memungut bayaran;
b. merekrut
pengemudi; dan
c. menentukan
besaran penghasilan pengemudi.[9]
PENGATURAN
JASA ANGKUTAN UMUM YANG BERKEADILAN
Gagasan hukum progresif muncul akibat
ketidakpuasan atas realitas hukum yang ada. Agenda reformasi yang diharapkan
mampu membawa perubahan kepada kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih
berkeadilan ternyata tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan.
Mukhtie Fadjar menyatakan bahwa realitas hukum yang ada saat ini nyaris tidak
berbeda dengan kondisi pada awal reformasi 1998, bahkan lebih mengkhawatirkan.
Setidaknya ada beberapa indikator yang menjadi tolak ukur atas keadaan yang
demikian itu, yakni:
1. Hasil-hasil
amandemen UUD NRI 1945 yang belum mampu membuahkan suatu sistem ketatanegaraan
dan sistem hukum yang mencerminkan supremasi hukum, hak asasi manusia serta
keadilan sosial.
2. Pembentukan
hukum yang jauh dari paradigma Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
3. Timbulnya
berbagai macam tindak kekerasan dan main hakim sendiri di antara masyarakat
sebagai akibat dari hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap insitusi
peradilan.
4. Masih
besarnya pengaruh kekuatan politik terhadap penegakan hukum yang mengakibatkan
mandulnya penegakan hukum itu sendiri.[10]
Sebagian pakar hukum Indonesia meyakini
bahwa gagasan hukum progresif yang dicetuskan oleh Prof. Satjipto Rahardjo
membawa misi keadilan sosial. Tentu terlalu dini untuk menganggap bahwa hukum
progresif merupakan pencerminan nilai-nilai keadilan. Namun setidaknya hukum
progresif telah berupaya mengubah paradigma hukum yang serba prosedural-formal
menjadi paradigma hukum yang mengedepankan nilai-nilai keadilan substantif.
Hukum progresif berpegang pada komitmen
filosofis bahwa hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Hukum progresif
menunjukkan cara berhukum yang tidak begitu saja meninggalkan hubungan manusia
dengan Tuhan. Hukum progresif mengajak untuk kembali ke alam sebagai
fundamental hukum yang otentik. Hukum tidak dimaknai sebatas peraturan dan
logika namun lebih dari itu hukum juga berkaitan erat dengan kepekaan nurani
manusia. Hukum modern yang dibangun di atas pondasi rasio dan logika peraturan
nampak hanya merupakan bungkus artifisial daripada substansial.[11]
Kemunculan jasa angkutan umum dengan
aplikasi berbasis teknologi informasi merupakan fenomena sosial yang menjadi
keniscayaan dalam kehidupan yang semakin modern ini. Perkembangan sains dan
teknologi telah membawa dampak yang signifikan terhadap sistem kehidupan tak
terkecuali sistem ekonomi. Teknologi telah membawa kontribusi yang begitu
dominan terhadap perekonomian suatu negara. Dengan jasa teknologi internet,
banyak perusahaan melakukan beberapa aktifitas bisnis seperti: online
marketing, distance selling dan e-commerce.
Menurut Word Trade Organization
(WTO), cakupan e-commerce meliputi bidang produksi, distribusi,
pemasaran, penjualan, pengiriman barang atau jasa melalui cara elektronil.
Sedangkan menurut Organization for Economic Corporation and Development
(OECD), e-commerce merupakan transaksi berdasarkan proses transmisi data
secara elektronik.[12]
Jasa angkutan umum dengan aplikasi
berbasis teknologi informasi yang merupakan bagian dari roda perekonomian
masyarakat sudah sepantasnya mendapatkan perhatian dari pemerintah. Perhatian
yang paling utama tentunya ditujukan kepada pembentukan aturan main berupa
regulasi yang mengatur bidang yang dimaksud. Hal ini ditujukan agar tercipta
kepastian hukum baik bagi para pelaku usaha jasa angkutan umum dengan aplikasi
berbasis teknologi informasi maupun konsumen pengguna jasa tersebut.
Satjipto
Rahardjo menjelaskan bahwa terdapat keterkaitan erat antara pembentukan
perangkat atau kaidah hukum dengan kebutuhan yang muncul dalam penyelenggaraan
kehidupan ekonomi, meskipun dalam tataran fungsional subsistem ekonomi hanya
berfungsi untuk melakukan adaptasi dengan lingkungan (pemanfaatan sumber daya
alam) sedangkan fungsi legitimasi bagi tindakan-tindakan ekonomi tersebut
berada pada subsistem sosial. Hubungan timbal balik antara ekonomi dan hukum
tercermin dalam penjelasan bahwa kaidah hukum tidak hanya berfungsi mengatur
kegiatan ekonomi, melainkan juga bahwa kaidah hukum itu sendiri dimunculkan
oleh tindakan-tindakan ekonomi. Artinya bahwa adanya suatu sistem peraturan
dalam masyarakat merupakan conditio sine qua non bagi berjalannya kegiatan
ekonomi. Kegiatan ekonomi mengandaikan terlebih dahulu adanya suatu tertib
sosial tertentu, dan di dalam tertib sosial itulah kegiatan ekonomi dapat
dijalankan.[13]
Langkah pemerintah untuk mengakomodir
kebutuhan masyarakat atas layanan angkutan umum yang fleksibel, efisien dan
efektif dengan menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 32 Tahun 2016
tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak
Dalam Trayek dirasa cukup tepat untuk kondisi saat ini. Setidaknya penerbitan
peraturan yang dimaksud menandakan bahwa pemerintah cukup responsif terhadap
tuntutan masyarakat. Di sisi lain, aturan ini sekaligus merupakan solusi bagi
pertikaian yang pernah terjadi antara penyedia jasa angkutan umum konvensional
dengan penyedia jasa angkutan umum online. Dalam aturan ini ditentukan bahwa
hubungan antara penyedia jasa angkutan umum konvensional dengan jasa angkutan
umum online bersifat kooperatif. Penyedia atau pengembang aplikasi online tidak
diperkenankan bertindak sebagai penyedia jasa angkutan umum, namun ia hanya
bertindak sebagai penyedia aplikasi bagi perusahaan angkutan umum. Apabila penyedia
aplikasi online ingin memberikan jasa
angkutan umum maka harus memenuhi segala ketentuan serta persyaratan
sebagai perusahaan angkutan umum yang telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Meskipun pemerintah telah menerbitkan
perangkat peraturan sebagaimana yang telah disebutkan diatas, peraturan
tersebut tidak berlaku bagi ojek online. Sebab ojek (sepeda motor) bukan
merupakan kendaraan bermotor yang dapat dioperasionalkan sebagai angkutan umum
(vide Pasal 43 Ayat (2) dan Pasal 45 Ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor
74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan).
Ketentuan yang melarang sepeda motor
untuk digunakan sebagai angkutan umum tentu sangat kontradiktif dengan
kenyataan yang terjadi di masyarakat. Jika ditinjau secara historis, keberadaan
ojek sebagai angkutan umum telah menyatu dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Ojek bukanlah fenomena baru-baru ini saja.
Beberapa dekade sebelumnya ia sudah dikenal dan dijadikan sarana mengais
rezeki. Ojek menurut cerita sementara orang berasal dari kata ‘objek’ yang
kemudian dijadikan kata kerja dengan logat Jawa menjadi ‘ngobjek.[14]
Penggunaan sepeda motor sebagai angkutan
umum tidaklah muncul secara tiba-tiba. Beberapa faktor yang melatarbelakangi
kemunculan ojek diantaranya adalah ketersediaan angkutan umum yang kurang
memadai, buruknya kualitas jalan, kemacetan lalu lintas serta tuntutan
kebutuhan ekonomi masyarakat sehingga menjadikan ojek sebagai usaha sampingan.[15]
Dengan demikian maka menjamurnya jasa ojek baik konvensional maupun online di
berbagai daerah bukan semata-mata masyarakat yang tidak patuh hukum, tetapi justru
pemerintah merupakan pihak yang wajib disalahkan karena gagal menjamin
tersedianya angkutan umum yang layak sehingga memunculkan fenomena ojek online
yang ternyata mendapat sambutan positif dari masyarakat tersebut. Di sisi lain,
jasa ojek online juga terbukti dapat meningkatan pendapatan masyarakat
yang akhirnya berdampak pada
perkembangan ekonomi negara.
KESIMPULAN
Kemajuan teknologi informasi yang telah
memengaruhi segala bidang kehidupan manusia tidak dapat dibendung. Kemunculan
jasa angkutan umum dengan aplikasi berbasis teknologi informasi harus diatur
sedimikian rupa dengan tetap mengutamakan rasa keadilan masyarakat. Larangan pengoperasian ojek sebagai angkutan
umum patut dikaji ulang. Hal tersebut didasari oleh kenyataan bahwa ojek telah
menjadi alternatif angkutan umum masyarakat Indonesia sejak dahulu hingga kini.
Disamping itu kehadiran ojek merupakan salah satu indikasi bahwa pemerintah
telah gagal menjamin ketersediaan angkutan umum yang fleksibel, efisien,
efektif dan terjangkau sebagaimana yang dibutuhkan oleh masyarakat saat ini.
.
Daftar
Pustaka
Peraturan
Perundang-Undangan:
Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Peraturan
Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan.
Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor PM 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan
Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek
Literatur:
Ade
Maman Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Cet. Kedua, Bogor:
Ghalia Indonesia, 2005.
A Mukhtie Fadjar, Teori-Teori Hukum
Kontemporer, Malang: Setara Press, 2013.
Faisal,
Pemaknaan Hukum Progresif: Upaya Mendalami Pemikian Satjipto Rahardjo,
Yogyakarta: Thafa Media, 2015.
Satjipto
Rahardjo, Membangun dan Merombak Hukum Indonesia: Sebuah Pendekatan
Lintas Disiplin, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.
Titik
Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta:
Kencana, 2010.
Internet:
[1]
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional
(Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 369-370.
[2] https://bisnisukm.com/potensi-bisnis-toko-online-di-indonesia.html,
diakses tanggal 26 Juni 2016.
[3] http://metro.news.viva.co.id/news/read/750775-bentrok-sopir-taksi-dan-gojek-meluas,
diakses tanggal 26 Juni 2016.
[4] Lihat
Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
[5]
Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
[6]
Pasal 16, 17 dan 18 Peraturan Pemerintah
Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan.
[7]
Pasal 79 Ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan.
[8]
Peraturan ini telah diundangkan pada tanggal 1 April 2016 namun baru mulai
berlaku 6 (enam) bulan sejak tanggal diundangkan.
[9]
Pasal 41 Ayat (3) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 32 Tahun 2016 tentang
Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam
Trayek.
[10]
A. Mukhtie Fadjar, Teori-Teori Hukum Kontemporer (Malang: Setara
Press, 2013), hlm. 121-122.
[11]
Faisal, Pemaknaan Hukum Progresif: Upaya Mendalami Pemikian Satjipto
Rahardjo (Yogyakarta: Thafa Media, 2015), hlm. 22-23.
[12]
Ade Maman Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Cet. Kedua
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), hlm. 30.
[13]
Satjipto Rahardjo, Membangun dan Merombak Hukum Indonesia: Sebuah
Pendekatan Lintas Disiplin (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009 ), hlm.
82-83.
[15] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar