Blog ini adalah milik Muhammad Najih Vargholy. Diberdayakan oleh Blogger.
Jika hendak mengenal dunia MEMBACALAH, Jika hendak dikenal dunia MENULISLAH, Jika hendak menguasai dunia BERILMULAH. (Hamid Fahmy Zarkasyi)

Fenomena Jasa Angkutan Umum Berbasis Aplikasi (Perspektif Hukum)

Kamis, 05 Januari 2017

PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi informasi di era globalisasi saat ini semakin tidak terbendung. Berbagai macam inovasi dan kreasi yang ditujukan untuk perbaikan kehidupan masyarakat di segala bidang telah banyak dilakukan. Era modernisasi yang mengedepankan fleksibilitas, efisiensi serta efektivitas dalam segala bidang kehidupan telah mendorong para inovator serta kreator untuk menciptakan berbagai ciptaan yang dapat memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern yang serba instan dan pragmatis tersebut.
Salah satu bidang yang tak luput dari pengaruh kemajuan teknologi informasi adalah bidang bisnis. Media yang paling menonjol dalam transformasi elektronik yang berlangsung saat ini adalah internet. Internet telah merubah paradigma bisnis konvensial dengan memunculkan berbagai macam alternatif interaksi dan transaksi antara produsen dan konsumen melalui pasar elektronik. Melalui media internet ini pengusaha dapat membangun jaringan konsumen yang luas dengan investasi yang tidak membutuhkan modal terlalu banyak.[1]
Di Indonesia, bisnis via internet (online) telah menjadi trend tersendiri dalam kurun waktu belakangan ini. Pekembangan pesat bisnis online tersebut salah satunya disebabkan oleh meningkatnya jumlah pengguna internet di Indonesia dari tahun ke tahun. Perkembangan bisnis online juga tidak terlepas dari meningkatnya pendapat per kapita masyarakat Indonesia yang tentunya memberikan dampak pula pada peningkatan daya beli masyarakat.[2]
Bentuk bisnis online  yang berkembang di Indonesia selain online shop (toko online) seperti bukalapak, tokopedia, OLX adalah bisnis penyediaan jasa angkutan umum secara online seperti Go-Jek, Grab Bike, Uber Taxi dan lain sebagainya. Jasa angkutan umum yang ditunjang dengan aplikasi online tentu mempunyai kelebihan tersendiri dibanding jasa angkutan umum konvensional jika dilihat dalam aspek fleksibilitas, efiensi, serta efektifitas. Selain demikian, banyaknya konsumen yang beralih kepada jasa angkutan umum online disebabkan oleh adanya penawaran tarif yang lebih murah yang diberikan penyedia jasa angkutan umum online tersebut.
Bagi para penyedia jasa angkutan umum konvensional, kehadiran jasa angkutan umum online semacam ini sangat merugikan mereka. Dengan kehadiran jasa angkutan umum online praktis pendapatan mereka semakin menurun. Ketimpangan serta ketidakadilan yang dirasakan oleh mereka inilah yang pada akhirnya memicu terjadinya gesekan dan bentrokan antara supir taksi reguler dengan pengendara Go-Jek (ojek online) pada periode Maret lalu.[3]
Khusus mengenai  jasa ojek online seperti Go-Jek,  keberadaannya sempat dilarang oleh Menteri Perhubungan. Larangan tersebut didasarkan pada alasan bahwa kendaraan bermotor roda dua bukan merupakan kendaraan yang dapat dijadikan sebagai angkutan umum. Namun pemerintah nampak tidak memiliki kesamaan persepsi dalam menyikapi fenomena  ojek online tersebut. Hal ini dibuktikan dengan kebijakan Presiden yang membatalkan larangan operasional ojek online yang sebelumnya telah dikeluarkan oleh Menteri Perhubungan.
PENGATURAN JASA ANGKUTAN UMUM DI INDONESIA
Penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Pembentukan UU LLAJ didasari oleh kenyataan bahwa lalu lintas dan angkutan jalan memiliki peran yang strategis dalam menopang jalannya pembangunan nasional guna mewujudkan kesejahteraan umum sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, lalu lintas dan angkutan jalan harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas dan Angkutan Jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara.[4] 
Dalam rangka pemberdayaan dan pengembangan industri di bidang lalu lintas dan angkutan jalan, dalam undang-undang ini ditegaskan pula bahwa pemerintah berkewajiban mendorong industri dalam negeri, antara lain dengan cara memberikan fasilitas, insentif, dan menerapkan standar produk peralatan lalu lintas dan angkutan jalan. Pengembangan industri mencakup pengembangan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan dengan cara dan metode rekayasa, produksi, perakitan, dan pemeliharaan serta perbaikan.
Dalam UU LLAJ yang  dimaksud dengan kendaraan bermotor umum adalah setiap kendaraan yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran.[5] Adapun mengenai jenis dan fungsi kendaraan bermotor, dalam  Pasal 47 Ayat (2) dan Ayat (3) UU LLAJ ditentukan,
Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikelompokkan berdasarkan jenis:
a.      sepeda motor;
b.      mobil penumpang;
c.       mobil bus;
d.      mobil barang; dan
e.       kendaraan khusus.”
Selanjutya dalam ayat (3) ditentukan bahwa, “Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d dikelompokkan berdasarkan fungsi: a. Kendaraan Bermotor perseorangan; dan b. Kendaraan Bermotor Umum.” Berdasarkan ketentuan yang ada tersebut nampak bahwa sepeda motor tidak termasuk kendaraan bermotor yang dapat difungsikan sebagai kendaraaan bermotor umum atau dalam artian lain tidak termasuk kendaraan yang dapat dipergunakan sebagai angkutan barang dan/atau angkutan orang dengan dipungut bayaran.
Sejatinya penyelenggaraan angkutan umum baik berupa angkutan barang maupun orang  merupakan tanggung jawab pemerintah. Pemerintah bertanggung jawab atas kebutuhan masyarakat terhadap angkutan yang aman, selamat, nyaman dan terjangkau. Adapun angkutan umum berupa barang/ orang tersebut hanya dapat dioperasionalkan dengan kendaraan bermotor umum (vide Pasal 138 Ayat (3) UU LLAJ).
Pemerintah wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang antarkota antarprovinsi serta lintas batas negara. Penyediaan angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang antarkota dalam provinsi menjadi kewajiban pemerintah daerah provinsi, sedangkan penyedian angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan /atau barang dalam wilayah kabupaten/kota menjadi kewajiban pemerintah daerah kabupaten/kota (vide Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan).
 Kewajiban pemerintah pusat maupun pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota sebagaimana dimaksud diatas meliputi:
a.       penetapan rencana umum jaringan trayek dan kebutuhan kendaraan bermotot umum untuk angkutan orang dalam trayek;
b.      penyediaan prasaran dan fasilitas pendukung angkutan umum;
c.       pelaksanaan penyelenggaraan perizinan angkutan umum;
d.      pengawasan terhadap pelaksanaan standar pelayanan minimal angkutan orang yang telah ditetapkan;
e.       penciptaan persaingan yang sehat pada industri jasa angkutan umum; dan
f.       pengembangan sumber daya manusia di bidang angkutan umum.[6]
Setiap perusahaan yang memberikan layanan angkutan umum wajib memenuhi standar pelayanan minimal yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada. Dalam Pasal 141 Ayat (1) UU LLAJ standar pelayanan minimal yang dimaksud meliputi:
a.       keamanan; 
b.      keselamatan; 
c.       kenyamanan;
d.      keterjangkauan;
e.       kesetaraan; dan 
f.       keteraturan.
Perusahaan angkutan umum yang menyelenggarakan angkutan orang dan/atau barang wajib berbentuk badan hukum Indonesia sesuai dengan kententuan peraturan perudang-undangan yang berlaku. Badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud dapat berbentuk:
a.       badan usaha milik negara;
b.      badan usaha milik daerah;
c.       perseroan terbatas; atau
d.      koperasi.[7]
Fenomena pemesanan serta pembayaran jasa angkutan umum melalui aplikasi berbasis teknologi informasi (online) telah mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Respon positif pemerintah terhadap kebutuhan masyarakat yang menginginkan adanya kemudahan dalam pelayanan jasa angkutan umum tersebut tertuang dalam produk hukum berupa Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.[8]
Penggunaan aplikasi berbasis teknologi informasi sebagaimana dimaksud dapat dilakukan secara mandiri oleh perusahaan angkutan umum atau bekerjasama dengan perusahaan/lembaga penyedia aplikasi berbasis teknologi informasi yang berbadan hukum Indonesia. Konsekuensi dari digunakannya aplikasi berbasis teknologi informasi dalam pelayanan jasa angkutan umum adalah bahwa tata cara penggunaannya harus disesuaikan dengan ketentuan di bidang informasi dan transaksi elektronik sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan (vide Pasal 40 Ayat (3) dan Ayat (4) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek).
Hal yang perlu diperhatikan dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek adalah bahwa perusahaan penyedia aplikasi wajib bekerjasama dengan perusahaan angkutan umum yang telah mendapatkan izin penyelenggaraan angkutan. Perusahaan/lembaga penyedia aplikasi berbasis teknologi informasi tidak dapat bertindak secara mandiri sebagai penyelenggara angkutan umum dengan melakukan kegiatan seperti berikut:
a.       menetapkan tarif dan memungut bayaran;
b.      merekrut pengemudi; dan
c.       menentukan besaran penghasilan pengemudi.[9] 
PENGATURAN JASA ANGKUTAN UMUM YANG BERKEADILAN
Gagasan hukum progresif muncul akibat ketidakpuasan atas realitas hukum yang ada. Agenda reformasi yang diharapkan mampu membawa perubahan kepada kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih berkeadilan ternyata tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Mukhtie Fadjar menyatakan bahwa realitas hukum yang ada saat ini nyaris tidak berbeda dengan kondisi pada awal reformasi 1998, bahkan lebih mengkhawatirkan. Setidaknya ada beberapa indikator yang menjadi tolak ukur atas keadaan yang demikian itu, yakni:
1.      Hasil-hasil amandemen UUD NRI 1945 yang belum mampu membuahkan suatu sistem ketatanegaraan dan sistem hukum yang mencerminkan supremasi hukum, hak asasi manusia serta keadilan sosial.
2.      Pembentukan hukum yang jauh dari paradigma Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
3.      Timbulnya berbagai macam tindak kekerasan dan main hakim sendiri di antara masyarakat sebagai akibat dari hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap insitusi peradilan.
4.      Masih besarnya pengaruh kekuatan politik terhadap penegakan hukum yang mengakibatkan mandulnya penegakan hukum itu sendiri.[10]
Sebagian pakar hukum Indonesia meyakini bahwa gagasan hukum progresif yang dicetuskan oleh Prof. Satjipto Rahardjo membawa misi keadilan sosial. Tentu terlalu dini untuk menganggap bahwa hukum progresif merupakan pencerminan nilai-nilai keadilan. Namun setidaknya hukum progresif telah berupaya mengubah paradigma hukum yang serba prosedural-formal menjadi paradigma hukum yang mengedepankan nilai-nilai keadilan substantif.
Hukum progresif berpegang pada komitmen filosofis bahwa hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Hukum progresif menunjukkan cara berhukum yang tidak begitu saja meninggalkan hubungan manusia dengan Tuhan. Hukum progresif mengajak untuk kembali ke alam sebagai fundamental hukum yang otentik. Hukum tidak dimaknai sebatas peraturan dan logika namun lebih dari itu hukum juga berkaitan erat dengan kepekaan nurani manusia. Hukum modern yang dibangun di atas pondasi rasio dan logika peraturan nampak hanya merupakan bungkus artifisial daripada substansial.[11]
Kemunculan jasa angkutan umum dengan aplikasi berbasis teknologi informasi merupakan fenomena sosial yang menjadi keniscayaan dalam kehidupan yang semakin modern ini. Perkembangan sains dan teknologi telah membawa dampak yang signifikan terhadap sistem kehidupan tak terkecuali sistem ekonomi. Teknologi telah membawa kontribusi yang begitu dominan terhadap perekonomian suatu negara. Dengan jasa teknologi internet, banyak perusahaan melakukan beberapa aktifitas bisnis seperti: online marketing, distance selling dan e-commerce
Menurut Word Trade Organization (WTO), cakupan e-commerce meliputi bidang produksi, distribusi, pemasaran, penjualan, pengiriman barang atau jasa melalui cara elektronil. Sedangkan menurut Organization for Economic Corporation and Development (OECD), e-commerce merupakan transaksi berdasarkan proses transmisi data secara elektronik.[12]
Jasa angkutan umum dengan aplikasi berbasis teknologi informasi yang merupakan bagian dari roda perekonomian masyarakat sudah sepantasnya mendapatkan perhatian dari pemerintah. Perhatian yang paling utama tentunya ditujukan kepada pembentukan aturan main berupa regulasi yang mengatur bidang yang dimaksud. Hal ini ditujukan agar tercipta kepastian hukum baik bagi para pelaku usaha jasa angkutan umum dengan aplikasi berbasis teknologi informasi maupun konsumen pengguna jasa tersebut.
 Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa terdapat keterkaitan erat antara pembentukan perangkat atau kaidah hukum dengan kebutuhan yang muncul dalam penyelenggaraan kehidupan ekonomi, meskipun dalam tataran fungsional subsistem ekonomi hanya berfungsi untuk melakukan adaptasi dengan lingkungan (pemanfaatan sumber daya alam) sedangkan fungsi legitimasi bagi tindakan-tindakan ekonomi tersebut berada pada subsistem sosial. Hubungan timbal balik antara ekonomi dan hukum tercermin dalam penjelasan bahwa kaidah hukum tidak hanya berfungsi mengatur kegiatan ekonomi, melainkan juga bahwa kaidah hukum itu sendiri dimunculkan oleh tindakan-tindakan ekonomi. Artinya bahwa adanya suatu sistem peraturan dalam masyarakat merupakan conditio sine qua non bagi berjalannya kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi mengandaikan terlebih dahulu adanya suatu tertib sosial tertentu, dan di dalam tertib sosial itulah kegiatan ekonomi dapat dijalankan.[13]
Langkah pemerintah untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat atas layanan angkutan umum yang fleksibel, efisien dan efektif dengan menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek dirasa cukup tepat untuk kondisi saat ini. Setidaknya penerbitan peraturan yang dimaksud menandakan bahwa pemerintah cukup responsif terhadap tuntutan masyarakat. Di sisi lain, aturan ini sekaligus merupakan solusi bagi pertikaian yang pernah terjadi antara penyedia jasa angkutan umum konvensional dengan penyedia jasa angkutan umum online. Dalam aturan ini ditentukan bahwa hubungan antara penyedia jasa angkutan umum konvensional dengan jasa angkutan umum online bersifat kooperatif. Penyedia atau pengembang aplikasi online tidak diperkenankan bertindak sebagai penyedia jasa angkutan umum, namun ia hanya bertindak sebagai penyedia aplikasi bagi perusahaan angkutan umum. Apabila penyedia aplikasi online ingin memberikan jasa  angkutan umum maka harus memenuhi segala ketentuan serta persyaratan sebagai perusahaan angkutan umum yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Meskipun pemerintah telah menerbitkan perangkat peraturan sebagaimana yang telah disebutkan diatas, peraturan tersebut tidak berlaku bagi ojek online. Sebab ojek (sepeda motor) bukan merupakan kendaraan bermotor yang dapat dioperasionalkan sebagai angkutan umum (vide Pasal 43 Ayat (2) dan Pasal 45 Ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan).
Ketentuan yang melarang sepeda motor untuk digunakan sebagai angkutan umum tentu sangat kontradiktif dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat. Jika ditinjau secara historis, keberadaan ojek sebagai angkutan umum telah menyatu dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Ojek bukanlah fenomena baru-baru ini saja. Beberapa dekade sebelumnya ia sudah dikenal dan dijadikan sarana mengais rezeki. Ojek menurut cerita sementara orang berasal dari kata ‘objek’ yang kemudian dijadikan kata kerja dengan logat Jawa menjadi ‘ngobjek.[14]
Penggunaan sepeda motor sebagai angkutan umum tidaklah muncul secara tiba-tiba. Beberapa faktor yang melatarbelakangi kemunculan ojek diantaranya adalah ketersediaan angkutan umum yang kurang memadai, buruknya kualitas jalan, kemacetan lalu lintas serta tuntutan kebutuhan ekonomi masyarakat sehingga menjadikan ojek sebagai usaha sampingan.[15] Dengan demikian maka menjamurnya jasa ojek baik konvensional maupun online di berbagai daerah bukan semata-mata masyarakat yang tidak patuh hukum, tetapi justru pemerintah merupakan pihak yang wajib disalahkan karena gagal menjamin tersedianya angkutan umum yang layak sehingga memunculkan fenomena ojek online yang ternyata mendapat sambutan positif dari masyarakat tersebut. Di sisi lain, jasa ojek online juga terbukti dapat meningkatan pendapatan masyarakat yang  akhirnya berdampak pada perkembangan ekonomi negara.
KESIMPULAN
Kemajuan teknologi informasi yang telah memengaruhi segala bidang kehidupan manusia tidak dapat dibendung. Kemunculan jasa angkutan umum dengan aplikasi berbasis teknologi informasi harus diatur sedimikian rupa dengan tetap mengutamakan rasa keadilan masyarakat.  Larangan pengoperasian ojek sebagai angkutan umum patut dikaji ulang. Hal tersebut didasari oleh kenyataan bahwa ojek telah menjadi alternatif angkutan umum masyarakat Indonesia sejak dahulu hingga kini. Disamping itu kehadiran ojek merupakan salah satu indikasi bahwa pemerintah telah gagal menjamin ketersediaan angkutan umum yang fleksibel, efisien, efektif dan terjangkau sebagaimana yang dibutuhkan oleh masyarakat saat ini.
.



Daftar Pustaka
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan.
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek
Literatur:
Ade Maman Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Cet. Kedua, Bogor: Ghalia Indonesia, 2005.
A Mukhtie Fadjar, Teori-Teori Hukum Kontemporer, Malang: Setara Press, 2013.
Faisal, Pemaknaan Hukum Progresif: Upaya Mendalami Pemikian Satjipto Rahardjo, Yogyakarta: Thafa Media, 2015.
Satjipto Rahardjo, Membangun dan Merombak Hukum Indonesia: Sebuah Pendekatan Lintas Disiplin, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Kencana, 2010.
Internet:





[1] Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 369-370.
[4] Lihat Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
[5] Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

[6] Pasal 16, 17 dan 18  Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan.
[7] Pasal 79 Ayat (2)  Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan.
[8] Peraturan ini telah diundangkan pada tanggal 1 April 2016 namun baru mulai berlaku 6 (enam) bulan sejak tanggal diundangkan.
[9] Pasal 41 Ayat (3) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.
[10] A. Mukhtie Fadjar, Teori-Teori Hukum Kontemporer (Malang: Setara Press, 2013), hlm. 121-122.
[11] Faisal, Pemaknaan Hukum Progresif: Upaya Mendalami Pemikian Satjipto Rahardjo (Yogyakarta: Thafa Media, 2015), hlm. 22-23.
[12] Ade Maman Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Cet. Kedua (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), hlm. 30.
[13] Satjipto Rahardjo, Membangun dan Merombak Hukum Indonesia: Sebuah Pendekatan Lintas Disiplin (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009 ), hlm. 82-83.
[14] http://historia.id/kota/mengorek-sejarah-ojek, diakses tanggal 26 Juni 2016.
[15] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Profil

Kategori

Archives