Blog ini adalah milik Muhammad Najih Vargholy. Diberdayakan oleh Blogger.
Jika hendak mengenal dunia MEMBACALAH, Jika hendak dikenal dunia MENULISLAH, Jika hendak menguasai dunia BERILMULAH. (Hamid Fahmy Zarkasyi)

Eksistensi Dewan Pengawas Syariah Dalam Perseroan Terbatas

Senin, 16 Januari 2017

Sebagai bangsa yang pernah dijajah oleh bangsa lain, corak kehidupan bangsa Indonesia tidak sedikit ikut dipengaruhi oleh tatanan sistem yang diciptakan oleh bangsa penjajah baik menyangkut kehidupan politik, ekonomi, sosial dan hukum. Berdasarkan fakta sejarah, bangsa Belanda merupakan bangsa yang paling lama menjajah Indonesia. Selain dengan menggunakan alat persenjataan modern, bangsa Belanda juga menggunakan perangkat hukum sebagai salah satu alat untuk mengukuhkan hegemoninya atas bangsa Indonesia.   
Hal tersebut dapat dilihat dari ditetapkannya Indische Staatsregeeling atau disingkat IS oleh Belanda. Dalam Pasal 131 ayat (2) IS dimuat tentang ketetentuan dasar konkordansi, yaitu asas yang menyatakan bahwa hukum Belanda berlaku di Indonesia (dahulu Hindia Belanda) sebab saat itu Indonesia merupakan wilayah jajahan Belanda. Menurut Kansil, IS merupakan peraturan pokok yang dapat dikatakan sebagai “Undang-Undang Dasar Hindia Belanda” dan merupakan sumber peraturan-peraturan organik pada masa itu.
Belanda merupakan salah satu negara yang menganut sistem civil law (peraturan tertulis). Sebagian besar peraturan tertulis tersebut telah terhimpun atau terkodifikasikan dalam suatu bentuk kitab undang-undang (wetboek). Diantara peraturan tertulis yang telah dikodifikasi tersebut adalah hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana serta hukum acara perdata dan hukum acara pidana (Pasal 131 ayat (1) IS).
Setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, tidak secara serta merta peraturan-peraturan produk Belanda tersebut ditinggalkan atau tidak diberlakukan. Dalam Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 telah dinyatakan bahwa segala Badan Negara dan peraturan yang ada masih berlaku selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini. Hal tersebut dilakukan guna menghindari kekosongan hukum (vacuum). Para pendiri negara pada waktu itu menyadari bahwa untuk membuat produk hukum baru terutama yang berbentuk kodifikasi diperlukan waktu yang tidak sedikit. Diantara produk hukum Belanda yang masih digunakan dan merupakan bagian dari hukum positif Indonesia hingga saat ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel), dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Straffrecht).
Meski demikian usaha-usaha untuk menciptakan produk hukum yang didasarkan pada nilai-nilai yang hidup dan berkembang di dalam sanubari bangsa Indonesia dan sebagai bentuk penyesuaian terhadap perkembangan zaman tetap terus dilakukan. Sebagai contoh, di dalam lingkup hukum keperdataan telah diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan berlakunya undang-undang tersebut maka ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata yang menyangkut masalah perkawinan tidak berlaku lagi. Demikian pula dalam lingkup keperdataan khusus (perdagangan), beberapa ketentuan yang terdapat dalam KUHD juga tidak lagi diberlakukan, salah satunya adalah menyangkut masalah perseroan terbatas.
Pada mulanya ketentuan mengenai perseroan terbatas diatur di dalam Buku Kesatu, Titel Ketiga, Bagian Ketiga Pasal 36 – Pasal 56 KUHD (Wetboek van Koophandel, Staatsblad 1847: 23). Namun setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, ketentuan-ketentuan mengenai perseroan terbatas yang terdapat dalam KUHD berikut segala perubahannya tidak lagi diberlakukan. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 128 Angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yaitu:
“1. Dengan berlakunya Undang-undang ini, Buku Kesatu Titel Ketiga Bagian Ketiga Pasal 36 sampai dengan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel, Staatsblad 1847: 23) yang mengatur mengenai Perseroan Terbatas berikut segala perubahannya, terakhir dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1971, dinyatakan tidak berlaku.”
Alasan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas tersebut adalah bahwa ketentuan mengenai perseroan terbatas yang terdapat dalam KUHD dirasakan tidak lagi dapat memenuhi dan mengikuti perkembangan perekonomian dan dunia usaha pada masa itu. Tren globalisasi ekonomi yang ditandai dengan munculnya berbagai kerjasama internasional, penanaman modal asing, insititusi pasar modal serta perbankan memaksa perseroan terbatas sebagai salah satu badan hukum yang menjadi pilar perekonomian negara untuk ikut menyesuaikan diri. Dalam rangka melakukan penyesuaian diri itulah, negara menetapkan kebijakan baru di bidang perseroan terbatas.
Diantara pembaharuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas sebagaimana yang disebutkan dalam penjelasan umumnya adalah:
1.  Bahwa untuk menciptakan perseroan yang mampu melaksanakan usahanya secara sehat, berdaya guna dan berhasil guna maka dalam undang-undang ini ditetapkan bahwa seluruh modal perseroan yang ditempatkan harus disetor penuh pada saat pengesahan. Hal ini berbeda dengan ketentuan yang terdapat di dalam KUHD yang di dalam Pasal 51 hanya menentukan bahwa suatu perseroan dapat mulai berjalan apabila paling sedikit 10 % (sepuluh perseratus) modal bersama telah disetor.
2.  Bahwa dalam undang-undang ini juga diatur mengenai perlindungan hukum terhadap kepentingan pemegang saham, pihak kreditur serta pihak terkait dan bahkan kepentingan perseroan terbatas itu sendiri. Perlindungan hukum terhadap kepentingan para pihak tersebut dirasa cukup penting mengingat bahwa benturan kepentingan dalam perseroan terbatas tidak dapat dinafikan akan sangat mungkin terjadi.
3.   Bahwa dalam undang-undang ini juga diatur mengenai persyaratan merger, konsolidasi dan akuisisi perseroan terbatas. Hal tersebut dilakukan guna mencegah timbulnya praktek persaingan usaha yang tidak sehat yang diakibatkan oleh adanya penguasaan kekuatan ekonomi oleh sekelompok kecil pengusaha serta mencegah monopoli dan monopsoni dalam segala bentuknya yang dapat merugikan masyarakat.
4.  Bahwa untuk melindungi kepentingan kreditur dan pihak ketiga, dalam undang-undang ini diatur pula mengenai tata cara pengurangan modal perseroan, pembelian kembali saham serta pembubaran perseroan.
5.  Bahwa dalam undang-undang ini diatur secara tegas dan rinci mengenai tugas, kewenangan, dan tanggungjawab organ perseoran yang terdiri atas direksi, dewan komisaris dan pemegang saham atau RUPS.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sistem perekonomian global yang paling dominan di masa sekarang ini adalah sistem liberal-kapitalis. Sistem ini bertumpu pada kompetisi bebas dimana untuk dapat menjadi pemenang dalam kompetisi itu ditentukan oleh banyak sedikitnya jumlah modal yang dimiliki. Artinya semakin banyak modal yang dimiliki oleh seseorang, maka semakin besar pula potensi seseorang untuk menguasai perekonomian. Sistem ekonomi kapitalis didasarkan pada pandangan materialisme yang menyatakan bahwa motif utama dari segala perilaku seseorang adalah motif ekonomi. Segala perilaku seseorang dilakukan semata-mata hanya untuk memenuhi hasrat individu (self interest). Adanya self interest inilah yang menurut Adam Smith merupakan faktor pendorong bagi terciptanya suatu kompetisi sehingga pada akhirnya dari kompetisi itu akan muncul dan tersedia barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Sebagai sistem ekonomi yang dominan di masa modern, sistem ekonomi liberal kapitalis bukan tanpa cacat. Sistem yang bertumpu pada pembebanan bunga (interest) pada setiap transaksi ekonomi ini justru menimbulkan ketimpangan-ketimpangan sosial-ekonomi baik di level nasional maupun internasional. Untuk melepaskan diri dari jeratan ekonomi yang demikian itu maka ditampilkanlah sistem ekonomi alternatif yakni sistem ekonomi Islam atau syariah. Sistem ekonomi Islam atau syariah merupakan sistem ekonomi yang dibangun berdasarkan sumber-sumber pokok ajaran Islam yakni Al-Quran dan Hadits.
Penerapan syariah Islam di Indonesia sebenarnya telah dilaksanakan jauh sebelum Indonesia merdeka. Menurut catatan sebagian ahli sejarah, sejarah syariah Islam telah dimulai di Indonesia sejak abad pertama hijriah atau sekitar abad ketujuh hingga kedelapan masehi. Hal ini dibuktikan dengan terbentuknya pemerintahan atau kesultanan Islam yang menerapkan syariah Islam sebagai hukum positif yang berlaku di tengah masyarakat pada masa itu. Sehingga dengan sendirinya syariah Islam telah menjadi hukum yang hidup (living law) di tengah masyarakat Indonesia sebelum pada akhirnya Belanda datang dan menggunakan asas konkordansi dalam menerapkan peraturan yang berlaku di Indonesia.
Di dalam bidang perekonomian, penyerapan kaidah-kaidah Islam ke dalam peraturan perudang-undangan (hukum positif) Indonesia terus dilakukan. Penyerapan kaidah-kaidah Islam tersebut utamanya dilakukan di bidang perbankan, lembaga pembiayaan, asuransi dan pasar modal.
Semenjak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, di Indonesia mulai dikenal adanya sistem perbankan ganda (dual banking system) yakni sistem konvensional dan sistem syariah. Penerapan dual banking system tersebut kemudian disempurnakan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Hingga akhirnya perbankan syariah memiliki landasan hukumnya sendiri ketika pada tanggal 18 Juni 2008 pemerintah telah mensahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Di bidang asuransi, pada awalnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian secara substansial belum mengakomodasi penerapan asuransi syariah. Meski demikian dilihat dari segi hukum positif, asuransi syariah baru mendapatkan landasan hukumnya dalam Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 424/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan dan Perusahaan Reasuransi. Dalam Pasal 3 keputusan tersebut dinyatakan “setiap pihak dapat melakukan usaha asuransi atau usaha reasuransi berdasarkan prinsip syariah.” Kini asuransi syariah semakin mendapatkan pengakuan semenjak diundangkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang mengakomodasi beberapa ketentuan mengenai asuransi syariah.
Adapun di bidang pasar modal, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang sampai saat ini masih berlaku tidak secara tegas mengakomodir penerapan pasar modal syariah. Menurut catatan Cholil Nafis, langkah awal bagi perkembangan pasar modal syariah di Indonesia dimulai dengan dibentuknya reksadana syariah, Jakarta Islamic Index (JII) serta obligasi syariah yang berlaku efektif sejak 30 Oktober 2002. Sedangkan pasar modal syariah sendiri mulai diresmikan pada 14 Maret 2003. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga yang berwenang untuk mengatur dan mengawasi terhadap kegiatan di bidang pasar modal telah menerbitkan beberapa regulasi berkenaan dengan penerapan pasar modal syariah yang diantaranya adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 15/POJK.04/2015 tentang Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal.
Karakteristik utama dari pengelolaan jasa keuangan berbasis syariah sebagaimana disebutkan diatas adalah adanya kewajiban bagi para pihak untuk tunduk pada prinsip-prinsip syariah  (syariah compliance) yang mana prinsip-prinsip tersebut diderivasi dari sumber hukum utama Islam yakni Al-Quran dan Hadits. Sektor jasa keuangan merupakan bagian dari fiqh muamalah (dalam arti sempit) sehingga aturan-aturannya pun tidak mutlak sebagaimana halnya aturan-aturan di bidang peribadatan (fiqh ibadah). Baik di dalam Al-Quran maupun Hadits, pengaturan di bidang muamalah tidak dijelaskan secara rinci namun hanya garis besarnya saja (umum). Selanjutnya untuk merumuskan konsep-konsep perekonomian yang didasarkan pada Al-Quran dan Hadits tersebut diperlukan adanya ijtihad (rechtsvinding) oleh para ulama yang kompeten. Di Indonesia wewenang untuk merumuskan konsep-konsep muamalah tersebut berada pada Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).
Untuk memastikan bahwa setiap perusahaan yang menjalankan usahanya berdasarkan prinsip-prinsip syariah benar-benar menerapkan prinsip-prinsip syariah secara konsisten, maka dibentuklah pada setiap perusahaan tersebut Dewan Pengawas Syariah (DPS).[1] Eksistensi  DPS pertama kali dimunculkan di dalam perusahaan yang bergerak di bidang perbankan syariah. Bagi bank syariah yang berbadan hukum perseroan terbatas, maka selain memiliki dewan komisaris, bank tersebut juga harus memiliki DPS. Hal tersebut dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 6 Huruf m  Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang menyatakan bahwa Bank Indonesia wajib menerapkan ketentuan-ketentuan pokok bagi bank syariah yang diantaranya memuat pembentukan dan tugas DPS.
Di dalam undang-undang perseroan terbatas yang terdahulu, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, kedudukan DPS di dalam perseroan terbatas yang menjalankan usaha berdasarkan prinsip syariah tidak diatur. Artinya kewajiban untuk mengangkat  DPS hanya berlaku bagi perseroan terbatas yang bergerak di bidang perbankan syariah sebab pengaturan DPS hanya terdapat di dalam undang-undang perbankan. Sedangkan di bidang jasa keuangan lainnya seperti pasar modal dan asuransi kedudukan DPS tidak diatur.
Mengingat begitu pentingnya peranan DPS untuk memastikan dilaksanakannya prinsp-prinisp syariah oleh perseroan terbatas yang  menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip-prinsip syariah, maka di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas telah ditetapkan ketentuan yang mengatur keberadaan DPS tersebut.
Di dalam Pasal 109 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas telah ditentukan bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syaraih selain mempunyai dewan komisaris wajib mempunyai DPS. DPS sebagaimana dimaksud terdiri atas seorang ahli syariah atau lebih yang diangkat oleh RUPS atas rekomendasi MUI. DPS sebagaimana dimaksud bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan perseroan agar sesuai dengan prinsip syariah.
Dengan berlakunya undang-undang perseroan terbatas yang baru, maka kewajiban untuk memiliki DPS tidak hanya diperuntukkan bagi perseroan yang bergerak di bidang perbankan syariah saja namun juga di bidang jasa keuangan lainnya seperti asuransi syariah serta perseroan-perseroan yang menawarkan sahamnya di pasar modal syariah.
Mengacu kepada undang-undang perseroan terbatas tersebut, DPS bukan merupakan bagian dari organ perseroran terbatas. Sebab dalam Pasal 1 Angka 2 telah jelas disebutkan bahwa organ perseroan hanya terdiri atas direksi, dewan komisaris dan RUPS. Namun kedudukan DPS dalam perseroan terbatas menurut beberapa ahli adalah sejajar dengan dewan komisaris sebab DPS juga diangkat oleh RUPS dan mewakili kepentingan RUPS dari segi pengawasan kesyariahan. Sehingga keduanya pun sama-sama bertanggungjawab kepada RUPS.


Daftar Pustaka
Arif Hoetoro, Ekonomi Islam, Pengantar Analisis Kesejarahan dan Metodologi, Malang: BPFE Unibraw, 2007.
C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
M. Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta: UI-Press, 2011.  
Rahayu Hartini, Aspek Hukum Bisnis, t.t: Citra Mentari, 2011.
Widyaningsih, et al., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005.









[1] Definisi otentik tentang DPS baru dapat diketemukan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI). Menurut ketentuan Pasal 1 Angka 15 Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/13/PBI/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/13/PBI/2009 tentang Bank Umum  Syariah yang dimaksud dengan Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan prinsip syariah.

1 komentar

  1. Slots Machines and Dice Rooms At MGM Resorts Casino
    Slots machines and dice rooms at MGM Resorts 진주 출장마사지 Casino in 대전광역 출장안마 Las 화성 출장마사지 Vegas, Nevada on Sept. 통영 출장마사지 21, 2021. 광양 출장샵 (Jonny Kasten/LasVegasHerald).

    BalasHapus

 

Profil

Kategori

Archives