Blog ini adalah milik Muhammad Najih Vargholy. Diberdayakan oleh Blogger.
Jika hendak mengenal dunia MEMBACALAH, Jika hendak dikenal dunia MENULISLAH, Jika hendak menguasai dunia BERILMULAH. (Hamid Fahmy Zarkasyi)

Antara Bunga dan Riba

Senin, 16 Januari 2017

Latar Belakang
Salah satu penyebab krisis keuangan global yang terjadi selama ini adalah ditinggalkannya kaidah-kaidah moral dalam sistem perekonomian. Tidak dapat dipungkiri bahwa sistem perekonomian selama ini lebih mengedepankan sistem pasar bebas (free-market system). Maka tidak heran jika semangat pembangunan yang terus digalakkan di berbagai negara ternyata tidak sebanding dengan tingkat pemerataan pembangunan itu sendiri. Yang terjadi selama ini adalah semakin lebarnya jurang yang memisahkan antara orang kaya dan orang miskin.
Menyadari adanya ketimpangan-ketimpangan tersebut, kini beberapa ahli ekonomi mulai menyuarakan perlunya kesadaran bersama untuk mempertimbangkan aspek moralitas di dalam bidang ekonomi. Diperlukan adanya sistem ekonomi alternatif yang mampu memberikan solusi terhadap berbagi ekses negatif yang ditimbulkan oleh sistem kapitalis selama ini.
Seiring berkembangnya waktu, sistem ekonomi Islam mulai tampil ke permukaan. Para ahli ekonomi sedikit demi sedikit mulai tertarik untuk mempelajari serta mengembangkan sistem ekonomi Islam. Mereka beranggapan bahwa saat ini sistem ekonomi Islam merupakan sistem ekonomi yang  baik untuk diterapkan. Salah satu keunggulan yang ditawarkan oleh sistem ekonomi Islam tersebut adalah bahwa di dalam Islam tidak dikenal adanya praktek eksploitasi ekonomi seperti riba.
Namun demikian sistem ekonomi Islam tidak hanya dimaknai sebagai suatu sistem yang hanya semata-mata melarang riba. Sistem ekonomi Islam merupakan suatu sistem ekonomi yang dibangun berdasarkan wahyu ilahi yang penerapannya ditujukan untuk menciptakan kemaslahatan bagi umat manusia bukan hanya di dunia namun juga di akhirat. Dengan demikian ekonomi Islam bernaung di dalam dua dimensi yakni dimensi ibadah (spiritual) dan dimensi muamalah (sosial). Hal inilah kiranya yang secara esensial membedakan sistem ekonomi Islam dengan non-Islam (konvensional).
Kehadiran institusi perbankan sebagai salah satu pilar penyangga perekonomian dunia merupakan suatu keniscayaan. Saat ini mustahil kita temukan suatu negara yang menjalankan pembangunan tanpa mengikutsertakan institusi perbankan. Institusi perbankan sangat memainkan peranan penting dalam membangun perekonomian suatu negara mengingat fungsi utama perbankan sebagai lembaga penyerap dan penyalur dana dari dan kepada masyarakat.
Dibandingkan dengan produk perbankan konvensional, produk perbankan syariah dikenal lebih variatif. Di dalam prakteknya, perbankan konvensional hanya mengandalkan sistem bunga (interest) sebagai sarana penarik minat nasabah untuk menyimpan uang di bank. Disamping itu, sistem bunga merupakan cara yang dilakukan oleh bank konvensional untuk memperoleh keuntungan.
Menurut ajaran Islam, sistem bunga merupakan sistem yang dapat dikatakan memiliki kesamaan dengan sistem riba. Namun benarkah demikian? Untuk menjawabnya, di dalam artikel ini penulis akan memaparkan tentang konsepsi dan hukum riba di dalam Islam serta kemudian membandingkan konsep riba tersebut dengan konsep bunga yang selama ini dipraktekkan baik oleh lembaga keuangan maupun perorangan.
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah konsepsi dan hukum riba di dalam Islam?
2. Bagaimanakah pandangan Islam terhadap bunga (interest)?
Pembahasan
1.    Konsepsi dan Hukum Riba Dalam Islam
Secara etimologis, arti kata riba adalah pertumbuhan (growth), naik (rise), membengkak (swell), bertambah (increase), dan tambahan (addition).[1] Adapun secara terminologis, definisi riba sebagaimana yang terdapat di dalam  Ensiklopedia Islam Indonesia yang disusun oleh Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah adalah:[2]
“adapun pengertian tambah dalam konteks riba adalah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara’, apakah tambahan itu berjumlah sedikit atau banyak, seperti yang diisyaratkan dalam Al-Quran.”
Riba dapat timbul dari dua jenis transaksi yakni transaksi utang piutang (dayn) serta transaksi jual beli (bai’). Untuk jenis riba yang timbul dari transaksi utang piutang disebut dengan riba nasi’ah sedangkan jenis riba yang timbul akibat transaksi jual beli disebut riba fadhl.
Merupakan kategori riba fadhl apabila seseorang menjual sesuatu barnag kepada orang lain dengan perjanjian bahwa pembayaran barang tersebut dilakukan pada waktu yang telah disepakati. Apabila pada waktu jatuh tempo pembeli tidak sanggup membayar harga barang tersebut, maka si penjual akan memberikan penangguhan pembayaran asalkan harga yang dibayarkan lebih besar dari harga semula.
Sedangkan riba nasi’ah pada umumnya dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a.   Seseorang meminjamkan uang selama jangka waktu tertentu dengan persyaratan bahwa pada saat tiba waktu pelunasan, si peminjam harus memberikan suatu tambahan tertentu berikut utang pokoknya.
b.   Seseorang meminjamkan uang dengan suatu tambahan tertentu dalam jangka waktu tertentu. Jika si peminjam tidak dapat melunasi hutang berserta tambahannya pada saat jatuh tempo, maka orang yang meminjamkan akan menggandakan jumlah tambahannya sebagai imbalan atas penangguhan pembayaran hutang.[3]
Riba fadhl juga merupakan kelebihan atau tambahan yang diperoleh akibat adanya transaksi tukar menukar antara barang-barang yang sejenis Di dalam bukunya, Sutan Remy menjelaskan bahwa yang dikategorikan riba fadhl misalnya adalah pertukaran gandum yang dipertukarkan dengan gandum yang sejenis namun lebih tinggi kualitas ataupun lebih banyak kuantitasnya. Adapun yang dimaksud dengan riba nasi’ah adalah kelebihan atau tambahan yang diperoleh akibat adanya penundaan pembayaran hutang oleh kreditur terhadap debitur.[4]
Proses pelarangan riba di dalam Islam dilakukan secara bertahap sebagaimana halnya pelarangan judi dan minuman keras. Hal ini dikarenakan bahwa pada masa jahiliah, masyarakat arab telah terbiasa melakukan riba dan menganggapnya sebagai suatu praktek yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga untuk memudahkan proses transisi dari kebiasaan melakukan riba kepada penghentian riba secara total, ayat-ayat Al-Quran yang menjadi dasar pelarangan riba tersebut diturunkan secara bertahap.
Menurut Cholil Nafis, Allah SWT  melarang riba melalui empat tahapan. Pertama, surat ar-Rum ayat 39 yang diturunkan di Mekkah, ayat ini hanya mengisyaratkan bahwa riba dibenci oleh Allah SWT. Kedua, surat an-Nisa’ ayat 160 yang diturunkan di Madinah, ayat ini menceritakan tentang larangan riba bagi kaum Yahudi tetapi pada kenyataanya mereka justru melanggarnya sehingga Allah SWT menurunkan laknat kepada mereka. Ayat ini mengharamkan riba secara tidak langsung terhadap umat Islam sebab ayat ini hanya menceritakan hukum haramnya riba bagi kaum Yahudi. Ketiga, surat Ali-Imran ayat 130 yang diturunkan di Madinah, ayat ini mengharamkan secara langsung praktik riba, namun hanya pada keadaan tertentu saja seperti praktik riba yang berlipat ganda. Keempat, surat al-Baqarah ayat 278-279, ayat ini mengharamkan riba secara keseluruhan baik sedikit ataupun banyak.[5]
Pengharaman riba sebagaimana yang diyakini oleh sebagian besar (jumhur) ulama ternyata masih menimbulkan pro-kontra. Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa ulama baik klasik maupun kontemporer yang berpendapat bahwa tidak sepenuhnya riba itu haram. Dintara ulama klasik yang membolehkan riba dalam keadaan dan syarat tertentu adalah Ibnu Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H).
Ibnu Qayyim mengklasifikasi riba menjadi dua macam yakni riba jali dan riba khafi. Riba jali adalah riba yang mengandung kemudharatan yang besar sedangkan riba khafi adalah riba yang mengandung kemudharatan kecil. Riba jali dapat dilakukan apabila dalam keadaan terpaksa (dharurat) sedangkan riba khafi dapat dilakukan apabila dalam keadaan yang membutuhkan (hajah). Problematika yang muncul kemudian adalah mengenai penentuan paramater kapankah suatu keadaan itu dikatakan dharurat atau hajah sehingga riba yang asal hukumnya adalah haram diperbolehkan untuk dipraktekkan. Penentuan parameter semacam ini tentu tidak boleh dilakukan secara sembarangan tanpa memperhatikan garis-garis besar yang telah ditetapkan dalam al-Quran ataupun Hadits.[6]
Beberapa argumentasi yang kerap dijadikan dasar oleh beberapa pihak bahwa tidak sepenuhnya setiap tambahan atas hutang adalah riba telah terangkum sebagai berikut:[7]
a.     Dalam keadaan darurat riba halal hukumnya.
b.    Hanya riba yang berlipat ganda saja yang dilarang, sedangkan riba yang masih dalam kategori wajar diperbolehkan.
c. Riba merupakan suatu ganti rugi atas hilangnya kesempatan (opportunity cost) untuk menggunakan uang yang dipinjamkan tersebut.
d.  Riba yang dilarang adalah riba yang dibebankan pada kredit konsumtif sedangkan kredit produktif tidak demikian.
e.       Uang merupakan suatu komoditi yang dapat disewakan atau diambil upah atasnya.
f.       Riba diberikan untuk mengimbangi laju inflasi yang mengakibatkan menyusutnya nilai uang.
g.      Riba diberikan sebagai imbalan atas pengorbanan penggunaan pendapatan yang diperoleh.
h.      Riba diberikan untuk mengimbangi penuruan nilai atau daya beli uang.
Menurut Nur Yasin, reinterpretasi riba yang dilakukan Ibnu Qayyim tersebut diatas merupakan interpretasi yang fleksibel dan akomodatif. Sisi positif dari interpretasi riba semacam ini adalah setidaknya dapat membebaskan dunia perekonomian dari konsepsi riba yang terlalu rigid dan kaku. Riba tidak lagi dipandang secara hitam putih. Dengan semakin tereduksinya pandangan-pandangan yang selama ini memutlakkan  keharaman riba maka proses pengembangan perbankan syariah pun dapat dilakukan dengan lebih signifikan.[8]
2.    Pandangan Islam Terhadap Bunga (Interest)
Definisi bunga atau dalam istilah Inggris disebut dengan interest menurut The American Heritage Dictionary of the English Language adalah,[9]
“interest is a charge for a financial loan, usually a percentage of the amount loaned”
Definisi bunga diatas kurang lebih dapat diartikan sebagai berikut suatu biaya yang dikenakan terhadap pinjaman finansial yang biasanya berupa suatu persentase tertentu dari total atau jumlah yang dipinjamkan.
Adapun di dalam Kamus Ekonomi (Inggris-Indonesia), Prof. Dr. Winardi, S.E bunga diartikan sebagai berikut:[10]
“Interest (net) – bunga modal (netto). Pembayaran untuk penggunaan dana-dana. Diterangkan dengan macam-macam cara misalnya:
a.  Balas jasa untuk pengorbanan konsumsi atas pendapatan yang dicapai pada waktu sekarang (contoh: teori abstinence).
b. Pendapatan-pendapatan orang yang berbeda mengenai preferensi likuiditas yang menyesuaikan harga.
c.  Harga yang mengatasi terhadap masa sekarang atas masa yang akan datang (teori preferensi waktu).
d.      Pengukuran produktifitas macam-macam investasi (efisiensi marginal modal).
e.     Harga yang menyesuaikan permintaan dan penawaran akan dana-dana yang dipinjamkan (teori dana yang dipinjamkan).”
Mengenai hukum bunga bank, terdapat beberapa perbedaan di kalangan para ulama dan fuqaha. Perbedaan pendapat tersebut muncul dari suatu pertanyaan apakah bunga bank identik dengan riba atau tidak. Apakah Islam melarang kedua-duanya atau justru hanya salah satunya saja. Dalam menjawab pertanyaan tersebut setidaknya sampai saat ini telah terdapat tiga aliran yang memberikan pendapat dan argumentasinya yaitu aliran pragmatis, aliran konservatif, dan aliran sosio –ekonomis.[11]
Menurut aliran pragmatis, pembebanan bunga bank adalah diperbolehkan. Bunga bank baru dianggap haram apabila jumlah bunga atau tambahan yang dibebankan itu sangat luar biasa tingginya. Argumentasi demikian didasarkan pada dalil Al-Quran surat Ali Imran ayat 130 yang hanya melarang praktek penggandaan pinjama secara usurious. Selain itu aliran ini juga beranggapan bahwa bunga bank merupakan suatu kebutuhan bagi pembangunan ekonomi negara-negara muslim. Apabila bunga bank diharamkan maka tentu akan menghambat laju pembangunan negara-negara muslim tersebut. Menurut aliran ini pengharaman bunga bank justru akan memberikan dampak mudharat yang lebih besar bagi umat Islam. Dintara ulama yang memperkanankan bunga bank ini adalah Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Mahmud Shaltut, Abdul Wahhab Khalaf dan Ibrahim Z Badawi.[12]
Aliran konservatif merupakan aliran yang menentang pandangan aliran pragmatis terhadap bunga bank sebagaimana disebutkan diatas. Salah satu pendukung aliran ini adalah Umar Chapra. Menurutnya bunga bank adalah identik dengan riba sebab keduanya merupakan suatu bentuk imbalan yang telah ditentukan sebelumnya atas suatu pinjaman yang tertunda pembayarannya. Menurut aliran ini bunga bank adalah haram tanpa memandang apakah tingkat bunga itu tinggi atau rendah, apakah digunakan untuk tujuan konsumtif atau produktif, apakah dilakukan swasta atau pemerintah.[13]
Adapun aliran sosio-ekonomis memandang  bahwa bunga mempunyai kecenderungan pengumpulan kekayaan di tangan sekelompok kecil orang saja. Bunga  dianggap bertentangan dengan prinsip keadilan Islam sebab pada intinya bunga memberikan kepastian pendapatan bagi satu pihak tanpa memperhatikan resiko yang diterima oleh pihak lainnya. Selain itu di dalam ekonomi Islam terdapat  prinsip yang menyatakan bahwa baik pemberi pinjaman atau penerima pinjaman harus sama-sama menghadapi dan memikul resiko.[14]
Terlepas dari berbagai macam pandangan terkait bunga bank sebagaimana yang dikemukakan oleh ketiga aliran diatas, secara ijma’ (konsensus) para fuqaha dan ulama telah menetapkan bahwa bunga bank adalah sama haramnya dengan riba. Setidaknya sejak tahun 1965 lembaga-lembaga Islam internasional maupun nasional telah memfatwakan bahwa bunga bank adalah identik dengan riba dan secara syariah hukumnya adalah haram.[15] Diantara lembaga internasional yang memfatwakan keharaman bunga bank adalah Rabithah Alam al-Islami yang dalam Keputusan No. 6 Sidang ke-9, Makkah 12-19 Rajab 1406 H memutuskan bahwa bunga bank yang berlaku dalam perbankan konvensional adalah riba yang diharamkan.
Di level nasional, pada tanggal 24 Januari 2004, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan Fatwa Nomor 1 Tahun 2004 tentang Bunga Bank. Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa bunga bank dalam perbankan konvensional telah memenuhi kriteria riba nasiah yakni tambahan yang terjadi akibat penambahan masa atau penangguhan pembayaran yang dijanjikan sebelumnya. Praktik bunga hukumnya adalah haram baik dilakukan oleh bank, asuransi, pasar modal, pegadaian, koperasi, baik lembaga keuangan maupun individu.[16]
Kesimpulan
Berdasarkan uraian sebagaimana yang telah dipaparkan dalam pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
1.    Di dalam Islam, riba terbagi kepada dua macam yakni riba nasiah dan riba fadhl. Riba nasiah adalah suatu bentuk tambahan yang diperoleh akibat penangguhan pembayaran hutang. Riba fadhl adalah suatu bentuk tambahan yang diperoleh akibat ditangguhkannya pembayaran barang dalam proses jual beli atau penukaran barang sejenis namun berbeda secara kualitas ataupun kuantitas. Hukum praktik riba adalah haram sebagaimana yang didalilkan dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 278-279.
2.  Berdasarkan ijma’ (konsensus) ulama, bunga bank baik sedikit atau banyak adalah identik dengan riba nasiah yang hukumnya adalah haram. Sistem bunga sangat menciderai prinsip kemaslahatan yang merupakan tujuan dari ekonomi Islam. Selain itu pembebanan bunga terhadap suatu pinjaman sangat bertolak belakang dengan prinsip ekonomi Islam yang menyatakan bahwa tidak ada suatu keuntungan yang dapat diperoleh tanpa disertai dengan adanya resiko.


Daftar Pustaka
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: Rajawali Press, 2011.
Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta: UI-Press, 2011.
Karnaen A Perwataatmadja dan Muhammad Syafii Antonio, Prinsip Operasional Bank Islam, Jakarta: Risalah Masa, 1992.
M Nur Yasin, Epistimologi Keilmuan Perbankan Syariah, Malang: UIN MALIKI Press, 2010.
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah: Produk-Produk dan Aspek-Aspek Hukumnya, Jakarta: Kencana, 2014.
Wirdyaningsih, et al., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005.



[1] Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah: Produk-Produk dan Aspek-Aspek Hukumnya (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 158.
[2] Wirdyaningsih, et al., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 21.
[3] Ibid, hlm. 24.
[4] Sutan, Op.cit, hlm. 162.
[5] Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah (Jakarta: UI-Press, 2011), hlm. 142-143.
[6] M Nur Yasin, Epistimologi Keilmuan Perbankan Syariah (Malang: UIN-MALIKI Press, 2010), hlm. 65-66.
[7] Karnaen A Perwataatmadja dan Muhammad Syafii Antonio, Prinsip Operasional Bank Islam (Jakarta: Risalah Masa, 1992), hlm. 4-6.
[8] M. Nur Yasin, Op. cit., hlm. 66-67.
[9] Wirdyaningsih, et al, Op.cit, hlm. 18
[10] Ibid.
[11] Sutan, Op.cit., hlm. 163.
[12] Ibid., hlm. 164.
[13] Ibid., hlm. 166.
[14] Ibid., hlm. 167.
[15] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hlm. 14.
[16] Cholil, Op.cit, hlm.148.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Profil

Kategori

Archives