Latar
Belakang
Salah satu penyebab krisis keuangan
global yang terjadi selama ini adalah ditinggalkannya kaidah-kaidah moral dalam
sistem perekonomian. Tidak dapat dipungkiri bahwa sistem perekonomian selama
ini lebih mengedepankan sistem pasar bebas (free-market system). Maka
tidak heran jika semangat pembangunan yang terus digalakkan di berbagai negara
ternyata tidak sebanding dengan tingkat pemerataan pembangunan itu sendiri.
Yang terjadi selama ini adalah semakin lebarnya jurang yang memisahkan antara orang
kaya dan orang miskin.
Menyadari adanya ketimpangan-ketimpangan
tersebut, kini beberapa ahli ekonomi mulai menyuarakan perlunya kesadaran
bersama untuk mempertimbangkan aspek moralitas di dalam bidang ekonomi.
Diperlukan adanya sistem ekonomi alternatif yang mampu memberikan solusi
terhadap berbagi ekses negatif yang ditimbulkan oleh sistem kapitalis selama
ini.
Seiring berkembangnya waktu, sistem
ekonomi Islam mulai tampil ke permukaan. Para ahli ekonomi sedikit demi sedikit
mulai tertarik untuk mempelajari serta mengembangkan sistem ekonomi Islam.
Mereka beranggapan bahwa saat ini sistem ekonomi Islam merupakan sistem ekonomi
yang baik untuk diterapkan. Salah satu
keunggulan yang ditawarkan oleh sistem ekonomi Islam tersebut adalah bahwa di
dalam Islam tidak dikenal adanya praktek eksploitasi ekonomi seperti riba.
Namun demikian sistem ekonomi Islam
tidak hanya dimaknai sebagai suatu sistem yang hanya semata-mata melarang riba.
Sistem ekonomi Islam merupakan suatu sistem ekonomi yang dibangun berdasarkan
wahyu ilahi yang penerapannya ditujukan untuk menciptakan kemaslahatan bagi
umat manusia bukan hanya di dunia namun juga di akhirat. Dengan demikian
ekonomi Islam bernaung di dalam dua dimensi yakni dimensi ibadah (spiritual)
dan dimensi muamalah (sosial). Hal inilah kiranya yang secara esensial
membedakan sistem ekonomi Islam dengan non-Islam (konvensional).
Kehadiran institusi perbankan sebagai
salah satu pilar penyangga perekonomian dunia merupakan suatu keniscayaan. Saat
ini mustahil kita temukan suatu negara yang menjalankan pembangunan tanpa
mengikutsertakan institusi perbankan. Institusi perbankan sangat memainkan
peranan penting dalam membangun perekonomian suatu negara mengingat fungsi
utama perbankan sebagai lembaga penyerap dan penyalur dana dari dan kepada
masyarakat.
Dibandingkan dengan produk perbankan
konvensional, produk perbankan syariah dikenal lebih variatif. Di dalam
prakteknya, perbankan konvensional hanya mengandalkan sistem bunga (interest)
sebagai sarana penarik minat nasabah untuk menyimpan uang di bank. Disamping
itu, sistem bunga merupakan cara yang dilakukan oleh bank konvensional untuk
memperoleh keuntungan.
Menurut ajaran Islam, sistem bunga
merupakan sistem yang dapat dikatakan memiliki kesamaan dengan sistem riba. Namun
benarkah demikian? Untuk menjawabnya, di dalam artikel ini penulis akan memaparkan
tentang konsepsi dan hukum riba di dalam Islam serta kemudian membandingkan konsep
riba tersebut dengan konsep bunga yang selama ini dipraktekkan baik oleh lembaga
keuangan maupun perorangan.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah
konsepsi dan hukum riba di dalam Islam?
2. Bagaimanakah
pandangan Islam terhadap bunga (interest)?
Pembahasan
1.
Konsepsi
dan Hukum Riba Dalam Islam
Secara
etimologis, arti kata riba adalah pertumbuhan (growth), naik (rise),
membengkak (swell), bertambah (increase), dan tambahan (addition).[1]
Adapun secara terminologis, definisi riba sebagaimana yang terdapat di
dalam Ensiklopedia Islam Indonesia yang
disusun oleh Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah adalah:[2]
“adapun
pengertian tambah dalam konteks riba adalah tambahan uang atas modal yang
diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara’, apakah tambahan itu
berjumlah sedikit atau banyak, seperti yang diisyaratkan dalam Al-Quran.”
Riba
dapat timbul dari dua jenis transaksi yakni transaksi utang piutang (dayn)
serta transaksi jual beli (bai’). Untuk jenis riba yang timbul dari
transaksi utang piutang disebut dengan riba nasi’ah sedangkan jenis riba
yang timbul akibat transaksi jual beli disebut riba fadhl.
Merupakan
kategori riba fadhl apabila seseorang menjual sesuatu barnag kepada
orang lain dengan perjanjian bahwa pembayaran barang tersebut dilakukan pada
waktu yang telah disepakati. Apabila pada waktu jatuh tempo pembeli tidak
sanggup membayar harga barang tersebut, maka si penjual akan memberikan
penangguhan pembayaran asalkan harga yang dibayarkan lebih besar dari harga
semula.
Sedangkan
riba nasi’ah pada umumnya dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Seseorang meminjamkan
uang selama jangka waktu tertentu dengan persyaratan bahwa pada saat tiba waktu
pelunasan, si peminjam harus memberikan suatu tambahan tertentu berikut utang
pokoknya.
b. Seseorang
meminjamkan uang dengan suatu tambahan tertentu dalam jangka waktu tertentu.
Jika si peminjam tidak dapat melunasi hutang berserta tambahannya pada saat
jatuh tempo, maka orang yang meminjamkan akan menggandakan jumlah tambahannya
sebagai imbalan atas penangguhan pembayaran hutang.[3]
Riba
fadhl juga merupakan kelebihan atau tambahan yang
diperoleh akibat adanya transaksi tukar menukar antara barang-barang yang
sejenis Di dalam bukunya, Sutan Remy menjelaskan bahwa yang dikategorikan riba
fadhl misalnya adalah pertukaran gandum yang dipertukarkan dengan gandum
yang sejenis namun lebih tinggi kualitas ataupun lebih banyak kuantitasnya.
Adapun yang dimaksud dengan riba nasi’ah adalah kelebihan atau tambahan
yang diperoleh akibat adanya penundaan pembayaran hutang oleh kreditur terhadap
debitur.[4]
Proses
pelarangan riba di dalam Islam dilakukan secara bertahap sebagaimana halnya
pelarangan judi dan minuman keras. Hal ini dikarenakan bahwa pada masa
jahiliah, masyarakat arab telah terbiasa melakukan riba dan menganggapnya
sebagai suatu praktek yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga untuk
memudahkan proses transisi dari kebiasaan melakukan riba kepada penghentian
riba secara total, ayat-ayat Al-Quran yang menjadi dasar pelarangan riba
tersebut diturunkan secara bertahap.
Menurut
Cholil Nafis, Allah SWT melarang riba
melalui empat tahapan. Pertama, surat ar-Rum ayat 39 yang diturunkan di
Mekkah, ayat ini hanya mengisyaratkan bahwa riba dibenci oleh Allah SWT. Kedua,
surat an-Nisa’ ayat 160 yang diturunkan di Madinah, ayat ini menceritakan
tentang larangan riba bagi kaum Yahudi tetapi pada kenyataanya mereka justru
melanggarnya sehingga Allah SWT menurunkan laknat kepada mereka. Ayat ini
mengharamkan riba secara tidak langsung terhadap umat Islam sebab ayat ini
hanya menceritakan hukum haramnya riba bagi kaum Yahudi. Ketiga, surat
Ali-Imran ayat 130 yang diturunkan di Madinah, ayat ini mengharamkan secara
langsung praktik riba, namun hanya pada keadaan tertentu saja seperti praktik
riba yang berlipat ganda. Keempat, surat al-Baqarah ayat 278-279, ayat
ini mengharamkan riba secara keseluruhan baik sedikit ataupun banyak.[5]
Pengharaman
riba sebagaimana yang diyakini oleh sebagian besar (jumhur) ulama ternyata
masih menimbulkan pro-kontra. Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa ulama
baik klasik maupun kontemporer yang berpendapat bahwa tidak sepenuhnya riba itu
haram. Dintara ulama klasik yang membolehkan riba dalam keadaan dan syarat
tertentu adalah Ibnu Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H).
Ibnu
Qayyim mengklasifikasi riba menjadi dua macam yakni riba jali dan riba
khafi. Riba jali adalah riba yang mengandung kemudharatan yang besar
sedangkan riba khafi adalah riba yang mengandung kemudharatan kecil. Riba
jali dapat dilakukan apabila dalam keadaan terpaksa (dharurat)
sedangkan riba khafi dapat dilakukan apabila dalam keadaan yang membutuhkan
(hajah). Problematika yang muncul kemudian adalah mengenai penentuan
paramater kapankah suatu keadaan itu dikatakan dharurat atau hajah
sehingga riba yang asal hukumnya adalah haram diperbolehkan untuk dipraktekkan.
Penentuan parameter semacam ini tentu tidak boleh dilakukan secara sembarangan
tanpa memperhatikan garis-garis besar yang telah ditetapkan dalam al-Quran
ataupun Hadits.[6]
Beberapa
argumentasi yang kerap dijadikan dasar oleh beberapa pihak bahwa tidak
sepenuhnya setiap tambahan atas hutang adalah riba telah terangkum sebagai
berikut:[7]
a. Dalam
keadaan darurat riba halal hukumnya.
b. Hanya
riba yang berlipat ganda saja yang dilarang, sedangkan riba yang masih dalam
kategori wajar diperbolehkan.
c. Riba
merupakan suatu ganti rugi atas hilangnya kesempatan (opportunity cost)
untuk menggunakan uang yang dipinjamkan tersebut.
d. Riba
yang dilarang adalah riba yang dibebankan pada kredit konsumtif sedangkan
kredit produktif tidak demikian.
e. Uang
merupakan suatu komoditi yang dapat disewakan atau diambil upah atasnya.
f. Riba
diberikan untuk mengimbangi laju inflasi yang mengakibatkan menyusutnya nilai
uang.
g. Riba
diberikan sebagai imbalan atas pengorbanan penggunaan pendapatan yang
diperoleh.
h.
Riba diberikan
untuk mengimbangi penuruan nilai atau daya beli uang.
Menurut
Nur Yasin, reinterpretasi riba yang dilakukan Ibnu Qayyim tersebut diatas
merupakan interpretasi yang fleksibel dan akomodatif. Sisi positif dari
interpretasi riba semacam ini adalah setidaknya dapat membebaskan dunia
perekonomian dari konsepsi riba yang terlalu rigid dan kaku. Riba tidak lagi
dipandang secara hitam putih. Dengan semakin tereduksinya pandangan-pandangan
yang selama ini memutlakkan keharaman
riba maka proses pengembangan perbankan syariah pun dapat dilakukan dengan
lebih signifikan.[8]
2.
Pandangan
Islam Terhadap Bunga (Interest)
Definisi
bunga atau dalam istilah Inggris disebut dengan interest menurut The
American Heritage Dictionary of the English Language adalah,[9]
“interest
is a charge for a financial loan, usually a percentage of the amount loaned”
Definisi
bunga diatas kurang lebih dapat diartikan sebagai berikut suatu biaya yang
dikenakan terhadap pinjaman finansial yang biasanya berupa suatu persentase
tertentu dari total atau jumlah yang dipinjamkan.
Adapun
di dalam Kamus Ekonomi (Inggris-Indonesia), Prof. Dr. Winardi, S.E bunga
diartikan sebagai berikut:[10]
“Interest (net) – bunga modal (netto). Pembayaran
untuk penggunaan dana-dana. Diterangkan dengan macam-macam cara misalnya:
a. Balas jasa untuk pengorbanan konsumsi atas
pendapatan yang dicapai pada waktu sekarang (contoh: teori abstinence).
b. Pendapatan-pendapatan orang yang berbeda mengenai
preferensi likuiditas yang menyesuaikan harga.
c. Harga yang mengatasi terhadap masa sekarang atas
masa yang akan datang (teori preferensi waktu).
d. Pengukuran produktifitas macam-macam investasi
(efisiensi marginal modal).
e. Harga yang menyesuaikan permintaan dan penawaran
akan dana-dana yang dipinjamkan (teori dana yang dipinjamkan).”
Mengenai
hukum bunga bank, terdapat beberapa perbedaan di kalangan para ulama dan
fuqaha. Perbedaan pendapat tersebut muncul dari suatu pertanyaan apakah bunga
bank identik dengan riba atau tidak. Apakah Islam melarang kedua-duanya atau
justru hanya salah satunya saja. Dalam menjawab pertanyaan tersebut setidaknya
sampai saat ini telah terdapat tiga aliran yang memberikan pendapat dan
argumentasinya yaitu aliran pragmatis, aliran konservatif, dan aliran sosio
–ekonomis.[11]
Menurut
aliran pragmatis, pembebanan bunga bank adalah diperbolehkan. Bunga bank baru
dianggap haram apabila jumlah bunga atau tambahan yang dibebankan itu sangat
luar biasa tingginya. Argumentasi demikian didasarkan pada dalil Al-Quran surat
Ali Imran ayat 130 yang hanya melarang praktek penggandaan pinjama secara usurious.
Selain itu aliran ini juga beranggapan bahwa bunga bank merupakan suatu
kebutuhan bagi pembangunan ekonomi negara-negara muslim. Apabila bunga bank
diharamkan maka tentu akan menghambat laju pembangunan negara-negara muslim
tersebut. Menurut aliran ini pengharaman bunga bank justru akan memberikan
dampak mudharat yang lebih besar bagi umat Islam. Dintara ulama yang
memperkanankan bunga bank ini adalah Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Mahmud
Shaltut, Abdul Wahhab Khalaf dan Ibrahim Z Badawi.[12]
Aliran
konservatif merupakan aliran yang menentang pandangan aliran pragmatis terhadap
bunga bank sebagaimana disebutkan diatas. Salah satu pendukung aliran ini
adalah Umar Chapra. Menurutnya bunga bank adalah identik dengan riba sebab
keduanya merupakan suatu bentuk imbalan yang telah ditentukan sebelumnya atas
suatu pinjaman yang tertunda pembayarannya. Menurut aliran ini bunga bank
adalah haram tanpa memandang apakah tingkat bunga itu tinggi atau rendah,
apakah digunakan untuk tujuan konsumtif atau produktif, apakah dilakukan swasta
atau pemerintah.[13]
Adapun
aliran sosio-ekonomis memandang bahwa
bunga mempunyai kecenderungan pengumpulan kekayaan di tangan sekelompok kecil
orang saja. Bunga dianggap bertentangan
dengan prinsip keadilan Islam sebab pada intinya bunga memberikan kepastian
pendapatan bagi satu pihak tanpa memperhatikan resiko yang diterima oleh pihak
lainnya. Selain itu di dalam ekonomi Islam terdapat prinsip yang menyatakan bahwa baik pemberi
pinjaman atau penerima pinjaman harus sama-sama menghadapi dan memikul resiko.[14]
Terlepas
dari berbagai macam pandangan terkait bunga bank sebagaimana yang dikemukakan
oleh ketiga aliran diatas, secara ijma’ (konsensus) para fuqaha dan ulama telah
menetapkan bahwa bunga bank adalah sama haramnya dengan riba. Setidaknya sejak
tahun 1965 lembaga-lembaga Islam internasional maupun nasional telah
memfatwakan bahwa bunga bank adalah identik dengan riba dan secara syariah
hukumnya adalah haram.[15]
Diantara lembaga internasional yang memfatwakan keharaman bunga bank adalah
Rabithah Alam al-Islami yang dalam Keputusan No. 6 Sidang ke-9, Makkah 12-19
Rajab 1406 H memutuskan bahwa bunga bank yang berlaku dalam perbankan
konvensional adalah riba yang diharamkan.
Di
level nasional, pada tanggal 24 Januari 2004, Majelis Ulama Indonesia (MUI)
telah mengeluarkan Fatwa Nomor 1 Tahun 2004 tentang Bunga Bank. Dalam fatwa
tersebut dijelaskan bahwa bunga bank dalam perbankan konvensional telah
memenuhi kriteria riba nasiah yakni tambahan yang terjadi akibat
penambahan masa atau penangguhan pembayaran yang dijanjikan sebelumnya. Praktik
bunga hukumnya adalah haram baik dilakukan oleh bank, asuransi, pasar modal,
pegadaian, koperasi, baik lembaga keuangan maupun individu.[16]
Kesimpulan
Berdasarkan uraian sebagaimana yang
telah dipaparkan dalam pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
1. Di
dalam Islam, riba terbagi kepada dua macam yakni riba nasiah dan riba
fadhl. Riba nasiah adalah suatu bentuk tambahan yang diperoleh
akibat penangguhan pembayaran hutang. Riba fadhl adalah suatu bentuk
tambahan yang diperoleh akibat ditangguhkannya pembayaran barang dalam proses
jual beli atau penukaran barang sejenis namun berbeda secara kualitas ataupun
kuantitas. Hukum praktik riba adalah haram sebagaimana yang didalilkan dalam
al-Quran surat al-Baqarah ayat 278-279.
2. Berdasarkan
ijma’ (konsensus) ulama, bunga bank baik sedikit atau banyak adalah
identik dengan riba nasiah yang hukumnya adalah haram. Sistem bunga sangat
menciderai prinsip kemaslahatan yang merupakan tujuan dari ekonomi Islam. Selain
itu pembebanan bunga terhadap suatu pinjaman sangat bertolak belakang dengan
prinsip ekonomi Islam yang menyatakan bahwa tidak ada suatu keuntungan yang
dapat diperoleh tanpa disertai dengan adanya resiko.
Daftar
Pustaka
Ascarya,
Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: Rajawali Press, 2011.
Cholil
Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta: UI-Press, 2011.
Karnaen
A Perwataatmadja dan Muhammad Syafii Antonio, Prinsip Operasional Bank
Islam, Jakarta: Risalah Masa, 1992.
M
Nur Yasin, Epistimologi Keilmuan Perbankan Syariah, Malang: UIN MALIKI
Press, 2010.
Sutan
Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah: Produk-Produk dan Aspek-Aspek Hukumnya,
Jakarta: Kencana, 2014.
Wirdyaningsih,
et al., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana,
2005.
[1]
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah: Produk-Produk dan Aspek-Aspek
Hukumnya (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 158.
[2]
Wirdyaningsih, et al., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia
(Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 21.
[3] Ibid,
hlm. 24.
[4]
Sutan, Op.cit, hlm. 162.
[5]
Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah (Jakarta: UI-Press,
2011), hlm. 142-143.
[6] M
Nur Yasin, Epistimologi Keilmuan Perbankan Syariah (Malang:
UIN-MALIKI Press, 2010), hlm. 65-66.
[7]
Karnaen A Perwataatmadja dan Muhammad Syafii Antonio, Prinsip Operasional
Bank Islam (Jakarta: Risalah Masa, 1992), hlm. 4-6.
[8] M.
Nur Yasin, Op. cit., hlm. 66-67.
[9]
Wirdyaningsih, et al, Op.cit, hlm. 18
[10] Ibid.
[11]
Sutan, Op.cit., hlm. 163.
[12] Ibid.,
hlm. 164.
[13] Ibid.,
hlm. 166.
[14] Ibid.,
hlm. 167.
[15]
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah (Jakarta: Rajawali Press,
2011), hlm. 14.
[16]
Cholil, Op.cit, hlm.148.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar