LATAR
BELAKANG
Dominasi sistem liberal-kapitalis di
kancah perekonomian global menyebabkan persaingan bebas dalam dunia bisnis
menjadi suatu hal yang tidak dapat dinafikan.
Untuk memenangkan persaingan tersebut masing-masing pelaku usaha
menerapkan berbagai macam strategi bisnis. Strategi tersebut dimaksudkan untuk
beberapa tujuan yang diantaranya adalah peningkatan produksi , perluasan pasar
dan pengembangan usaha. Pada intinya setiap pelaku usaha memiliki kebijakan
atau strategi tertentu untuk memaksimalisasi profit atau keuntungan usahanya.
Mengutip
Warren J Keegen, Gunawan Widjaja dalam bukunya menyebutkan bahwa secara global
(internasional) langkah-langkah pengembangan usaha setidaknya dilakukan melalui
lima cara yakni:
1. Melakukan
ekspor produk;
2. Pemberian
lisensi;
3. Waralaba
(franchising);
4. Pembentukan
perusahaan patungan (joint ventures); dan
5. Pemilikan
menyeluruh (total ownership) baik melalui kepemilikan langsung (direct
ownership) maupun merger dan akuisisi.[1]
Bagi suatu badan usaha seperti Perseroan
Terbatas (PT), kebijakan untuk melakukan merger (penggabungan), konsolidasi
(peleburan) dan akuisisi (pengambil-alihan) merupakan cara pintas untuk
mempertahankan kelanjutan bisnis yang dijalaninya. Seringkali perusahaan
melakukan restrukrisasi modal dan reorganisasi perusahaan dengan alasan untuk
meningkatkan efektifitas dan efisiensi biaya produksi. Alasan demikian tentu
saja merupakan hal yang sah-sah saja untuk dilakukan bagi suatu entitas bisnis
yang memang tujuan utamanya adalah mengejar dan memupuk keuntungan.
Dalam menjalankan aktivitasnya,
perseroan sebagai suatu badan hukum (legal person) dan subjek hukum terikat
oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Ketentuan
tersebut mencakup segala aspek hukum perseroan baik dari segi organisasi,
bisnis, ekonomi mikro maupun makro, sosial dan lain sebagainya. Dilihat dari
sisi bisnis, kebijakan merger ataupun konsolidasi merupakan salah satu cara
yang dilakukan suatu perseroan untuk mempertahankan kelanjutan usahanya yakni
dengan memperkuat struktur modal dan aset perseroan. Dilihat dari sisi
organisasi, merger dan konsolidasi merupakan suatu bentuk reorganisasi
perusahaan guna mewujudkan efisiensi perusahaan. Hal yang patut dijadikan
perhatian dari kedua kebijakan tersebut adalah adanya konsekuensi hukum yakni
berupa bubarnya perseroan yang melakukan penggabungan atau peleburan. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa status organ PT, karyawan, buruh/ pekerja serta
pemangku kepentingan lainnya dalam perseroan tersebut juga hilang seiring
dengan berakhir/ bubarnya perseroan.
Dalam artikel ini, penulis mencoba untuk
menganalisa status hukum organ PT yakni direksi, dewan komisaris, Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS) pasca
dilakukannya merger dan konsolidasi perusahaan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku di bidang Perseroan Terbatas.
RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan uraian yang dijelaskan dalam
latar belakang diatas, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah
status hukum organ perseroan terbatas pasca dilakukannya merger dan konsolidasi
perusahaan?
2.
Bagaimanakah
mekanisme penyelesaian status hukum organ perseroan terbatas yang dimaksud?
PEMBAHASAN
1.
Konsep
Merger dan Konsolidasi
Perseroan Terbatas
adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan
perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi
dalam saham dan memenuhi persyaratan
yang ditetapkan oleh Undang-undang serta peraturan pelaksananya.[2] Dengan ulasan tersebut
maka Penulis akan lebih eksplisit membahas dalam lingkup Perseroan Terbatas(PT)
secara limitatif.
Merger berasal dari
kata “merger”, “fusion”, atau “absorption”
yang berarti “menggabungkan”.[3] Sedangkan
merger yang berasal dari kata kerja “to
merge” secara luas dipahami sesuai Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang PT sebagai perbuatan
hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri
dengan perseroan lain yang telah ada, yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari
Perseroan yang menggabungkan diri tersebut beralih karena hukum kepada perseroan
yang menerima penggabungan, selain status dari Perseroan yang menggabungkan
diri berakhir karena hukum.
Oleh karena itu
merger memiliki tujuan yang hampir sama dengan akuisisi, yaitu :
a. Merger memiliki
tujuan untuk memperbesar modal;
b. Merger memiliki
tujuan untuk menyelamatkan kelangsungan produksi;
c. Merger memiliki
tujuan untuk mengembangkan jalur distribusi;
d. Merger memiliki
tujuan untuk mengurangi persaingan usaha;
e.
Merger memiliki tujuan untuk menciptakan
sistem pasar yang monopolistik.[4]
Walaupun disebut dengan
tujuan yang hampir sama dengan akuisisi, namun tetap dalam perbuatan hukumnya
memiliki perbedaan yang signifikan dengan Akuisisi. Dikarenakan penulisan ini
tidak memilih topik akuisisi, melainkan hanya Merger dan Konsolidasi maka
Penulis tidak akan menguraikan perbedaan yang signifikan tersebut dalam uraian
penulisan ini.
Berikut contoh riil
Perseroan Terbatas (PT) yang melakukan merger :
a.
Merger antara Bank Lippo dengan Bank
Niaga
b. Merger antara Bank Danamon, Bank Tiara,
Bank Duta, Bank Rama, Bank Tamara, Bank Nusa Nasional, Bank Pos Nusantara, Bank
Jayabank Internasional, Bank Risjad Salim Internasional.[5]
Merger memiliki
manfaat yang besar, baik terhadap perusahaan-perusahaan yang melakukan merger
maupun terhadap konsumen, diantaranya :
a. Merger memberikan
efisiensi dan peningkatan produktivitas bagi perusahaan yang melaksanakan
merger;
b. Merger memberikan
penyelesaian dalam beragam masalah, seperti masalah kesulitan keuangan atau
masalah ancaman bangkrut;
c. Merger dapat
meningkatkan utilisasi kapasitas berlebih (idle
capacity), menekan biaya transportasi, dan mengganti manajer berkinerja
buruk yang tidak tersedia secara internal;
d. Merger dapat
memberikan akses modal dalam internal perusahaan;
e. Merger dapat
memberikan manfaat dalam riset dan pengembangan (research & development);
f.
Merger dapat menghasilkan biaya produksi
yang lebih rendah, penurunan harga, dan peningkatan kualitas barang yang
menguntungkan konsumen.[6]
Adapun pengertian
konsolidasi secara normatif termuat dalam Pasal 1 Angka 10 UU No.40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang disebut dengan Peleburan adalah “perbuatan
hukum yang dilakukan oleh dua Perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan
cara mendirikan satu Perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan
pasiva dari Perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum Perseroan
yang meleburkan diri berakhir karena hukum”. Sedangkan secara asal-usul bahasa,
Konsolidasi berasal dari kata “consolidation”
yang berarti “melebur”. Dalam
konsolidasi, pihak-pihak yang akan menjadi Surviving Company adalah
perusahaan baru yang didirikan oleh para pihak, sedangkan perusahaan yang
menjadi peserta peleburan menjadi pendiri perusahaan.
Berikut contoh riil
PT yang melakukan peleburan/konsolidasi :
a.
Antara PT Mobile-8 Telecom Tbk dengan PT
Smart Telecom, menjadi PT SmartFren.
b. Antara Bank Bumi Daya, Bank Bapindo, Bank
Dagang Negara, Bank Exim, kemudian menjadi Bank Mandiri.
Secara umum, dua model penggabungan tersebut dapat dilakukan
apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Dilakukan untuk
kepentingan umum;
b. Dilakukan dengan
tidak merugikan kepentingan pemegang saham minoritas;
c. Dilakukan dengan
tetap memperhatikan kepentingan karyawan perseroan;
d. Dilakukan dengan
tidak merugikan kepentingan pihak kreditur;
e. Dilakukan dengan tetap menjaga
kepentingan masyarakat dan persaingan yang sehat dalam melakukan usaha.[7]
2.
Status
Hukum Organ Perseroan Terbatas Pasca Merger dan Konsolidasi
Menurut
Gierke, sebagaimana yang dikutip oleh Gatot Supramono, perseroan terbatas sebagai
badan hukum merupakan suatu subjek hukum yang dipersamakan kedudukannya di
hadapan hukum selayaknya manusia biasa (natural person). Artinya badan
hukum dapat melakukan perbuatan hukum sesuai dengan maksud dan kehendaknya dan
juga menanggung segala bentuk tanggungjawab yang ditimbulkan dari perbuatan
hukum tersebut. Dalam hal ini kehendak atau maksud perseroan dijalankan oleh
suatu alat kelengkapan perseroan yang disebut dengan organ PT.[8]
Dalam
Pasal 1 Angka 2 UU PT disebutkan bahwa organ PT meliputi Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS), Direksi dan Dewan Komisaris. RUPS merupakan Organ Perseroan yang
mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam
batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.[9] Direksi
adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh ataspengurusan
Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan
serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan
ketentuan anggaran dasar.[10]
Sedangkan Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan
pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta
memberi nasihat kepada Direksi.[11]
RUPS
merupakan wadah atau tempat berkumpulnya para pemegang saham perusahaan. RUPS
merupakan organ tertinggi perseroan yang memiliki kewenangan lebih dibandingkan
kedua organ yang lainnya. Diantara kewenangan mutlak yang dimiliki RUPS
tersebut adalah mengubah anggaran dasar perseroan, mengangkat dan memberhentikan
anggota direksi maupun anggota dewan komisaris, mengesahkanl laporan keuangan,
menyetujui perpanjangan waktu berdirinya perseroan dan lain sebagainya.[12] Setiap
pemegang saham selaku pemilik modal perseroan mempunyai hak untuk hadir dalam
RUPS dengan prinsip bahwa satu saham mempunyai satu suara.
Adapun
mengenai organ PT lainnya yakni direksi dan dewan komisaris, pengangkatannya
untuk pertama kali dilakukan oleh pendiri perseroan sebab pada waktu perseroan
didirikan belum terdapat RUPS. RUPS baru ada setelah perseroan memiliki status
badan hukum. Pengangkatan direksi dan
dewan komisaris untuk pertama kalinya tidak dituangkan dalam suatu keputusan
namun sekaligus tercantum dalam akta pendirian perseroan. Namun yang patut
dicatat disini adalah bahwa pengangkatan direksi dan dewan direksi baik sebelum
perseroan memperoleh status badan hukum ataupun setelah memperoleh status badan
hukum pada intinya sama-sama dilakukan oleh pemegang saham.[13]
Berkenaan
dengan perbuatan hukum merger dan konsolidasi yang dilakukan oleh perseroan
maka, berdasarkan Pasal 122 Ayat (1) UUPT, akibat hukum yang terjadi adalah
perseroan yang menggabungkan dan meleburkan diri berakhir karena hukum. Selanjutnya
dalam Ayat (3) dijelaskan bahwa dengan berakhirnya perseroan karena hukum maka:
a. Aktiva dan
pasiva Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri beralih karena hukum
kepada Perseroan yang menerima Penggabungan atau Perseroan hasil Peleburan;
b. Pemegang saham
Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri karena hukum menjadi pemegang
saham Perseroan yang menerima Penggabungan atau Perseroan hasil Peleburan; dan
c. Perseroan yang
menggabungkan atau meleburkan diri berakhir karena hukum terhitung sejak
tanggal Penggabungan atau Peleburan mulai berlaku.
Dari
rumusan pasal diatas diketahui bahwa diantara organ PT yang menggabungkan dan
meleburkan diri hanya pemegang saham perseroan lah yang status hukumnya beralih
secara hukum kepada perseroan yang baru. Adapun kedua organ lainnya yakni
direksi dan dewan komisaris tidak demikian. Bagi kedua organ tersebut, pasca
dilakukannnya merger dan konsolidasi, terdapat dua kemungkinan yakni diangkat
kembali sebagai direksi dan dewan komisaris di perusahaan yang menerima
penggabungan dan peleburan atau diberhentikan.
3.
Mekanisme
Penyelesaian Status Hukum Organ Perseroan Terbatas Pasca Merger dan Konsolidasi
Dalam
melakukan merger dan konsolidasi, PT terikat oleh ketentuan yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 123 Ayat (1) UU PT, dinyatakan bahwa
masing-masing PT yang hendak melakukan merger diharuskan untuk membuat suatu
naskah yang disebut dengan “rancangan merger”. Salah satu komponen yang harus
dicantumkan dalam rancangan tersebut adalah mengenai cara penyelesaian status,
hak dan kewajiban anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan karyawan Perseroan yang
akan melakukan Penggabungan diri. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 123 UU PT
juga berlaku secara mutatis mutandis terhadap pelaksanaan konsolidasi.
Rancangan
merger dipersiapkan oleh masing-masing direksi perusahaan. Setelah rancangan
merger tersebut disetujui oleh dewan komisaris, rancangan merger tersebut harus
diajukan kepada RUPS masing-masing perusahaan untuk mendapatkan persetujuan.
Tidak
secara otomatisnya direksi serta dewan komisaris untuk tetap kembali memangku
jabatannya pasca dilakukannya merger atau konsolidasi merupakan dampak dari
aturan yang menyatakan bahwa pengangkatan dan pemberhentian direksi atau dewan
komisaris dilakukan oleh RUPS.
Apabila
dalam memutuskan rancangan merger atau konsolidasi tersebut ditetapkan pula
oleh RUPS bahwa direksi dan dewan komisaris tetap menjabat pada perusahaan
hasil merger dan konsolidasi maka dalam keputusan tersebut ditetapkan pula saat
mulai berlakunya pengangkatan tersebut. Apabila tidak ditetapkan, maka
pengangkatan direksi tersebut mulai berlaku sejak ditutupnya RUPS.[14]
Apabila
RUPS memutuskan untuk memberhentikan direksi akibat dilakukannya merger atau
konsolidasi tersebut maka sesuai dengan ketentuan Pasal 105 Ayat (2) UU PT,
sebelum keputusan pembehentian tersebut ditetapkan, direksi yang bersangkutan
harus diberikan hak untuk membela diri dalam RUPS. Keputusan pemberhentian
tersebut berlaku sejak RUPS ditutup atau tanggal lain yang ditetapkan dalam
keputusan RUPS. Ketentuan dalam Pasal 105 ini juga berlaku secara mutatis
mutandis terhadap pemberhentian dewan komisaris.[15]
Untuk
dapat mengambil keputusan mengenai rencana penggabungan dan peleburan dimaksud,
undang-undang menetapkan bahwa kuorum RUPS yang ditentukan adalah minimal ¾
jumlah pemegang saham hadir dan disetujui ¾ suara yang dikeluarkan. Apabila
dalam penyelenggaraan RUPS kuorum tersebut tidak tercapai maka dapat dilakukan
RUPS kedua.
Setelah rancangan merger atau konsolidasi tersebut
disetujui dalam RUPS, maka masing-masing direksi perusahaan menghadap ke
notaris untuk membuat kata penggabungan. Berdasarkan Pasal 128 Ayat (1) UUPT
rancangan penggabungan dituangkan ke dalam akta penggabungan sehingga berlaku
sah dan mengikat kedua belah pihak layaknya undang-undang.
KESIMPULAN
Berdasarkan
kajian dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
1. Bahwa
dengan dilakukannya merger atau konsolidasi perseroan maka berdasarkan
ketentuan Pasal 122 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, pemegang saham (RUPS) pada perusahaan yang menggabungkan
diri atau meleburkan diri beralih secara hukum kepada perusahan penerima
penggabungan atau hasil peleburan. Namun tidak demikian halnya dengan direksi
dan dewan komisaris. Status kedua organ tersebut baru dapat diketahui setelah
adanya keputusan RUPS mengenai rancangan merger atau konsolidasi.
2. Bahwa
mekanisme penyelesaian status hukum organ PT dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan mengenai pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian direksi dan
dewan komisaris yang terdapat dalam Pasal 105 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas.
Daftar
Pustaka
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas.
Dijan Widijowati, Hukum Dagang, Yogyakarta: Penerbit
CV Andi, 2012.
Gatot
Supramono, Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta: Djambatan, 2009.
Gunawan
Widjaja, Merger Dalam Perspektif Monopoli, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002.
Jones
and Sufrin, EC Competition Law – Text
,Cases, and Materials, Oxford: 2004.
Rachmadi
Usman, Hukum Persaingan Usaha di
Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.
[1] Gunawan
Widjaja, Merger Dalam Perspektif Monopoli (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002), hal. 41.
[2] Pasal 1
Angka 1 Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[3] Rachmadi
Usman, Hukum Persaingan Usaha di
Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal.88.
[4] Dijan
Widijowati, Hukum Dagang (Yogyakarta:
Penerbit CV Andi, 2012), hal.142.
[5] http://bayukusdaryanto.blogspot.co.id/2014/05/pengertian-merger-konsolidasi-dan.html,
diakses tanggal 3 Januari 2017.
[7] Dijan
Widijowati, Op.Cit, hal.146.
[8] Gatot
Supramono, Hukum Perseroan Terbatas (Jakarta: Djambatan, 2009),
hal. 9.
[9] Pasal 1
Angka 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[10] Pasal 1
Angka 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[11] Pasal 1
Angka 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[12] Gatot, Op.cit,
hal. 155
[13] Ibid.,
hal. 182.
[14] Pasal
94 Ayat (5), Ayat (6) dan Pasal 111 Ayat (5), Ayat (6) Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[15] Pasal
119 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar