Blog ini adalah milik Muhammad Najih Vargholy. Diberdayakan oleh Blogger.
Jika hendak mengenal dunia MEMBACALAH, Jika hendak dikenal dunia MENULISLAH, Jika hendak menguasai dunia BERILMULAH. (Hamid Fahmy Zarkasyi)

Status Hukum Organ Perseroan Terbatas Pasca Merger dan Konsolidasi

Senin, 16 Januari 2017

LATAR BELAKANG
Dominasi sistem liberal-kapitalis di kancah perekonomian global menyebabkan persaingan bebas dalam dunia bisnis menjadi suatu hal yang tidak dapat dinafikan.  Untuk memenangkan persaingan tersebut masing-masing pelaku usaha menerapkan berbagai macam strategi bisnis. Strategi tersebut dimaksudkan untuk beberapa tujuan yang diantaranya adalah peningkatan produksi , perluasan pasar dan pengembangan usaha. Pada intinya setiap pelaku usaha memiliki kebijakan atau strategi tertentu untuk memaksimalisasi profit atau keuntungan usahanya.  
Mengutip Warren J Keegen, Gunawan Widjaja dalam bukunya menyebutkan bahwa secara global (internasional) langkah-langkah pengembangan usaha setidaknya dilakukan melalui lima cara yakni:
1.      Melakukan ekspor produk;
2.      Pemberian lisensi;
3.      Waralaba (franchising);
4.      Pembentukan perusahaan patungan (joint ventures); dan
5.      Pemilikan menyeluruh (total ownership) baik melalui kepemilikan langsung (direct ownership) maupun merger dan akuisisi.[1]
Bagi suatu badan usaha seperti Perseroan Terbatas (PT), kebijakan untuk melakukan merger (penggabungan), konsolidasi (peleburan) dan akuisisi (pengambil-alihan) merupakan cara pintas untuk mempertahankan kelanjutan bisnis yang dijalaninya. Seringkali perusahaan melakukan restrukrisasi modal dan reorganisasi perusahaan dengan alasan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi biaya produksi. Alasan demikian tentu saja merupakan hal yang sah-sah saja untuk dilakukan bagi suatu entitas bisnis yang memang tujuan utamanya adalah mengejar dan memupuk keuntungan.
Dalam menjalankan aktivitasnya, perseroan sebagai suatu badan hukum (legal person) dan subjek hukum terikat oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Ketentuan tersebut mencakup segala aspek hukum perseroan baik dari segi organisasi, bisnis, ekonomi mikro maupun makro, sosial dan lain sebagainya. Dilihat dari sisi bisnis, kebijakan merger ataupun konsolidasi merupakan salah satu cara yang dilakukan suatu perseroan untuk mempertahankan kelanjutan usahanya yakni dengan memperkuat struktur modal dan aset perseroan. Dilihat dari sisi organisasi, merger dan konsolidasi merupakan suatu bentuk reorganisasi perusahaan guna mewujudkan efisiensi perusahaan. Hal yang patut dijadikan perhatian dari kedua kebijakan tersebut adalah adanya konsekuensi hukum yakni berupa bubarnya perseroan yang melakukan penggabungan atau peleburan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa status organ PT, karyawan, buruh/ pekerja serta pemangku kepentingan lainnya dalam perseroan tersebut juga hilang seiring dengan berakhir/ bubarnya perseroan.
Dalam artikel ini, penulis mencoba untuk menganalisa status hukum organ PT yakni direksi, dewan komisaris, Rapat Umum  Pemegang Saham (RUPS) pasca dilakukannya merger dan konsolidasi perusahaan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang Perseroan Terbatas.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian yang dijelaskan dalam latar belakang diatas, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut:
1.  Bagaimanakah status hukum organ perseroan terbatas pasca dilakukannya merger dan konsolidasi perusahaan?
2.    Bagaimanakah mekanisme penyelesaian status hukum organ perseroan terbatas yang dimaksud?
PEMBAHASAN
1.    Konsep Merger dan Konsolidasi
Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan  yang ditetapkan oleh Undang-undang serta peraturan pelaksananya.[2] Dengan ulasan tersebut maka Penulis akan lebih eksplisit membahas dalam lingkup Perseroan Terbatas(PT) secara limitatif.
Merger berasal dari kata “merger”, “fusion”, atau “absorption” yang berarti “menggabungkan”.[3] Sedangkan merger yang berasal dari kata kerja “to merge” secara luas dipahami sesuai Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang  No.40 Tahun 2007 tentang PT sebagai perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada, yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri tersebut beralih karena hukum kepada perseroan yang menerima penggabungan, selain status dari Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
Oleh karena itu merger memiliki tujuan yang hampir sama dengan akuisisi, yaitu :
a.    Merger memiliki tujuan untuk memperbesar modal;
b.    Merger memiliki tujuan untuk menyelamatkan kelangsungan produksi;
c.    Merger memiliki tujuan untuk mengembangkan jalur distribusi;
d.   Merger memiliki tujuan untuk mengurangi persaingan usaha;
e.    Merger memiliki tujuan untuk menciptakan sistem pasar yang monopolistik.[4]
Walaupun disebut dengan tujuan yang hampir sama dengan akuisisi, namun tetap dalam perbuatan hukumnya memiliki perbedaan yang signifikan dengan Akuisisi. Dikarenakan penulisan ini tidak memilih topik akuisisi, melainkan hanya Merger dan Konsolidasi maka Penulis tidak akan menguraikan perbedaan yang signifikan tersebut dalam uraian penulisan ini.
Berikut contoh riil Perseroan Terbatas (PT) yang melakukan merger :
a.    Merger antara Bank Lippo dengan Bank Niaga
b.  Merger antara Bank Danamon, Bank Tiara, Bank Duta, Bank Rama, Bank Tamara, Bank Nusa Nasional, Bank Pos Nusantara, Bank Jayabank Internasional, Bank Risjad Salim Internasional.[5]
Merger memiliki manfaat yang besar, baik terhadap perusahaan-perusahaan yang melakukan merger maupun terhadap konsumen, diantaranya :
a.    Merger memberikan efisiensi dan peningkatan produktivitas bagi perusahaan yang melaksanakan merger;
b.    Merger memberikan penyelesaian dalam beragam masalah, seperti masalah kesulitan keuangan atau masalah ancaman bangkrut;
c.  Merger dapat meningkatkan utilisasi kapasitas berlebih (idle capacity), menekan biaya transportasi, dan mengganti manajer berkinerja buruk yang tidak tersedia secara internal;
d.   Merger dapat memberikan akses modal dalam internal perusahaan;
e.    Merger dapat memberikan manfaat dalam riset dan pengembangan (research & development);
f.     Merger dapat menghasilkan biaya produksi yang lebih rendah, penurunan harga, dan peningkatan kualitas barang yang menguntungkan konsumen.[6]
Adapun pengertian  konsolidasi secara normatif termuat dalam Pasal 1 Angka 10 UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang disebut dengan Peleburan adalah “perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum Perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum”. Sedangkan secara asal-usul bahasa, Konsolidasi berasal dari kata “consolidation” yang berarti “melebur”. Dalam konsolidasi, pihak-pihak yang akan menjadi Surviving Company adalah perusahaan baru yang didirikan oleh para pihak, sedangkan perusahaan yang menjadi peserta peleburan menjadi pendiri perusahaan.
Berikut contoh riil PT yang melakukan peleburan/konsolidasi :
a.    Antara PT Mobile-8 Telecom Tbk dengan PT Smart Telecom, menjadi PT SmartFren.
b.  Antara Bank Bumi Daya, Bank Bapindo, Bank Dagang Negara, Bank Exim, kemudian menjadi Bank Mandiri.
Secara umum, dua model penggabungan tersebut dapat dilakukan apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.    Dilakukan untuk kepentingan umum;
b.    Dilakukan dengan tidak merugikan kepentingan pemegang saham minoritas;
c.    Dilakukan dengan tetap memperhatikan kepentingan karyawan perseroan;
d.   Dilakukan dengan tidak merugikan kepentingan pihak kreditur;
e. Dilakukan dengan tetap menjaga kepentingan masyarakat dan persaingan yang sehat dalam melakukan usaha.[7]
2.    Status Hukum Organ Perseroan Terbatas Pasca Merger dan Konsolidasi
Menurut Gierke, sebagaimana yang dikutip oleh Gatot Supramono, perseroan terbatas sebagai badan hukum merupakan suatu subjek hukum yang dipersamakan kedudukannya di hadapan hukum selayaknya manusia biasa (natural person). Artinya badan hukum dapat melakukan perbuatan hukum sesuai dengan maksud dan kehendaknya dan juga menanggung segala bentuk tanggungjawab yang ditimbulkan dari perbuatan hukum tersebut. Dalam hal ini kehendak atau maksud perseroan dijalankan oleh suatu alat kelengkapan perseroan yang disebut dengan organ PT.[8]
Dalam Pasal 1 Angka 2 UU PT disebutkan bahwa organ PT meliputi Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi dan Dewan Komisaris. RUPS merupakan Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.[9] Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh ataspengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.[10] Sedangkan Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi.[11]
RUPS merupakan wadah atau tempat berkumpulnya para pemegang saham perusahaan. RUPS merupakan organ tertinggi perseroan yang memiliki kewenangan lebih dibandingkan kedua organ yang lainnya. Diantara kewenangan mutlak yang dimiliki RUPS tersebut adalah mengubah anggaran dasar perseroan, mengangkat dan memberhentikan anggota direksi maupun anggota dewan komisaris, mengesahkanl laporan keuangan, menyetujui perpanjangan waktu berdirinya perseroan dan lain sebagainya.[12] Setiap pemegang saham selaku pemilik modal perseroan mempunyai hak untuk hadir dalam RUPS dengan prinsip bahwa satu saham mempunyai satu suara.
Adapun mengenai organ PT lainnya yakni direksi dan dewan komisaris, pengangkatannya untuk pertama kali dilakukan oleh pendiri perseroan sebab pada waktu perseroan didirikan belum terdapat RUPS. RUPS baru ada setelah perseroan memiliki status badan hukum. Pengangkatan direksi  dan dewan komisaris untuk pertama kalinya tidak dituangkan dalam suatu keputusan namun sekaligus tercantum dalam akta pendirian perseroan. Namun yang patut dicatat disini adalah bahwa pengangkatan direksi dan dewan direksi baik sebelum perseroan memperoleh status badan hukum ataupun setelah memperoleh status badan hukum pada intinya sama-sama dilakukan oleh pemegang saham.[13]
Berkenaan dengan perbuatan hukum merger dan konsolidasi yang dilakukan oleh perseroan maka, berdasarkan Pasal 122 Ayat (1) UUPT, akibat hukum yang terjadi adalah perseroan yang menggabungkan dan meleburkan diri berakhir karena hukum. Selanjutnya dalam Ayat (3) dijelaskan bahwa dengan berakhirnya perseroan karena hukum maka:
a. Aktiva dan pasiva Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima Penggabungan atau Perseroan hasil Peleburan;
b.  Pemegang saham Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri karena hukum menjadi pemegang saham Perseroan yang menerima Penggabungan atau Perseroan hasil Peleburan; dan
c.  Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri berakhir karena hukum terhitung sejak tanggal Penggabungan atau Peleburan mulai berlaku.
Dari rumusan pasal diatas diketahui bahwa diantara organ PT yang menggabungkan dan meleburkan diri hanya pemegang saham perseroan lah yang status hukumnya beralih secara hukum kepada perseroan yang baru. Adapun kedua organ lainnya yakni direksi dan dewan komisaris tidak demikian. Bagi kedua organ tersebut, pasca dilakukannnya merger dan konsolidasi, terdapat dua kemungkinan yakni diangkat kembali sebagai direksi dan dewan komisaris di perusahaan yang menerima penggabungan dan peleburan atau diberhentikan.
3.    Mekanisme Penyelesaian Status Hukum Organ Perseroan Terbatas Pasca Merger dan Konsolidasi
Dalam melakukan merger dan konsolidasi, PT terikat oleh ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 123 Ayat (1) UU PT, dinyatakan bahwa masing-masing PT yang hendak melakukan merger diharuskan untuk membuat suatu naskah yang disebut dengan “rancangan merger”. Salah satu komponen yang harus dicantumkan dalam rancangan tersebut adalah mengenai cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan karyawan Perseroan yang akan melakukan Penggabungan diri. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 123 UU PT juga berlaku secara mutatis mutandis terhadap pelaksanaan konsolidasi.
Rancangan merger dipersiapkan oleh masing-masing direksi perusahaan. Setelah rancangan merger tersebut disetujui oleh dewan komisaris, rancangan merger tersebut harus diajukan kepada RUPS masing-masing perusahaan untuk mendapatkan persetujuan.
Tidak secara otomatisnya direksi serta dewan komisaris untuk tetap kembali memangku jabatannya pasca dilakukannya merger atau konsolidasi merupakan dampak dari aturan yang menyatakan bahwa pengangkatan dan pemberhentian direksi atau dewan komisaris dilakukan oleh RUPS.
Apabila dalam memutuskan rancangan merger atau konsolidasi tersebut ditetapkan pula oleh RUPS bahwa direksi dan dewan komisaris tetap menjabat pada perusahaan hasil merger dan konsolidasi maka dalam keputusan tersebut ditetapkan pula saat mulai berlakunya pengangkatan tersebut. Apabila tidak ditetapkan, maka pengangkatan direksi tersebut mulai berlaku sejak ditutupnya RUPS.[14]
Apabila RUPS memutuskan untuk memberhentikan direksi akibat dilakukannya merger atau konsolidasi tersebut maka sesuai dengan ketentuan Pasal 105 Ayat (2) UU PT, sebelum keputusan pembehentian tersebut ditetapkan, direksi yang bersangkutan harus diberikan hak untuk membela diri dalam RUPS. Keputusan pemberhentian tersebut berlaku sejak RUPS ditutup atau tanggal lain yang ditetapkan dalam keputusan RUPS. Ketentuan dalam Pasal 105 ini juga berlaku secara mutatis mutandis terhadap pemberhentian dewan komisaris.[15]
Untuk dapat mengambil keputusan mengenai rencana penggabungan dan peleburan dimaksud, undang-undang menetapkan bahwa kuorum RUPS yang ditentukan adalah minimal ¾ jumlah pemegang saham hadir dan disetujui ¾ suara yang dikeluarkan. Apabila dalam penyelenggaraan RUPS kuorum tersebut tidak tercapai maka dapat dilakukan RUPS kedua.
Setelah rancangan merger atau konsolidasi tersebut disetujui dalam RUPS, maka masing-masing direksi perusahaan menghadap ke notaris untuk membuat kata penggabungan. Berdasarkan Pasal 128 Ayat (1) UUPT rancangan penggabungan dituangkan ke dalam akta penggabungan sehingga berlaku sah dan mengikat kedua belah pihak layaknya undang-undang.
KESIMPULAN
Berdasarkan kajian dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
1.      Bahwa dengan dilakukannya merger atau konsolidasi perseroan maka berdasarkan ketentuan Pasal 122 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, pemegang saham (RUPS) pada perusahaan yang menggabungkan diri atau meleburkan diri beralih secara hukum kepada perusahan penerima penggabungan atau hasil peleburan. Namun tidak demikian halnya dengan direksi dan dewan komisaris. Status kedua organ tersebut baru dapat diketahui setelah adanya keputusan RUPS mengenai rancangan merger atau konsolidasi.
2.      Bahwa mekanisme penyelesaian status hukum organ PT dilaksanakan sesuai dengan ketentuan mengenai pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian direksi dan dewan komisaris yang terdapat dalam Pasal 105 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Daftar Pustaka
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Dijan Widijowati, Hukum Dagang, Yogyakarta: Penerbit CV Andi, 2012.
Gatot Supramono, Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta: Djambatan, 2009.
Gunawan Widjaja, Merger Dalam Perspektif Monopoli, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Jones and Sufrin, EC Competition Law – Text ,Cases, and Materials, Oxford: 2004.
Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.



[1] Gunawan Widjaja, Merger Dalam Perspektif Monopoli (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 41.
[2] Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[3] Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal.88.
[4] Dijan Widijowati, Hukum Dagang (Yogyakarta: Penerbit CV Andi, 2012), hal.142.
[6] Jones and Sufrin, EC Competition Law – Text ,Cases, and Materials (Oxford: 2004), hal.848.
[7] Dijan Widijowati, Op.Cit, hal.146.
[8] Gatot Supramono, Hukum Perseroan Terbatas (Jakarta: Djambatan, 2009), hal. 9.
[9] Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[10] Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[11] Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[12] Gatot, Op.cit, hal. 155
[13] Ibid., hal. 182.
[14] Pasal 94 Ayat (5), Ayat (6) dan Pasal 111 Ayat (5), Ayat (6) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[15] Pasal 119 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Profil

Kategori

Archives