PENDAHULUAN
Salah satu tujuan kehidupan berbangsa
dan bernegara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Hal tersebut merupakan
amanat yang diperintahkan oleh para pendiri negara (founding father)
yang tertuang dalam naskah pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Dalam rangka mewujudkan cita-cita mulia itu perekonomian
negara harus dilaksanakan dengan berdasarkan pada asas kekeluargaan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia
diciptakan oleh Tuhan dengan potensi serta kemampuan yang berbeda antara satu
sama lain. Di satu sisi ada segolongan orang yang dibekali potensi berlebih
yang dengan potensi itu mampu menguasai sumber-sumber penghidupan (ekonomi) dan
di sisi lain terdapat pula sekelompok orang yang dibekali potensi namun tidak
cukup untuk dapat menguasai sumber-sumber penghidupan tersebut.
Dalam menghadapi kenyataan yang
demikian, para founding father negara kita dengan kesadaran penuh telah
menetapkan prinsip yang begitu mulia yang mengajak segenap elemen bangsa agar
mengedepankan prinsip kekeluargaan, kebersamaan, dan gotong royong dalam
membangun perekonomian negara guna mencapai
kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran.
Salah satu lembaga perekonomian yang
memiliki peranan penting dalam mewujudkan cita-cita pembangunan nasional untuk
mewujudkan pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan peningkatan taraf
hidup rakyat adalah lembaga perbankan. Bank memiliki fungsi sebagai lembaga
perantara keuangan (financial intermediary) yang mempertemukan antara
pihak yang memiliki kelebihan dana (surplus of fund) dengan pihak yang
kekurangan atau memerlukan dana (lack of fund). Menurut Undang-Undang
Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 lembaga perbankan memiliki misi dan fungsi
sebagai agen pembangunan (agent of development), yaitu sebagai lembaga
yang betujuan menopang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka
meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah
peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.
Dalam menjalankan fungsinya untuk
menyalurkan dana kepada masyarakat, bank memberikan fasilitas kredit terhadap
nasabah yang membutuhkan dana. Penyaluran kredit atau pinjaman yang dilakukan oleh
bank kepada nasabah merupakan suatu perbuatan hukum yang tentunya memiliki
akibat hukum bagi masing-masing pihak. Guna mengurangi resiko wanprestasi/
cidera janji yang dilakukan oleh nasabah debitur, maka pemberian
kredit/pinjaman tesebut dituangkan dalam bentuk perjanjian yang didahului
dengan serangkaian prosedur atau persyaratan yang harus dipenuhi oleh nasabah
debitur. Dalam tulisan inilah akan diuraikan mengenai prosedur atau persyaratan
yuridis yang harus diterapkan dalam pemberian kredit atau pinjaman bank
terhadap nasabah debitur tersebut.
PERJANJIAN
KREDIT BANK
Sebagai pengantar awal untuk memahami
perjanjian kredit bank, maka perlu diketahui terlebih dahulu definisi atau
terminologi dari bank itu sendiri. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan yang dimaksud dengan bank adalah,
“Badan
usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk
lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”
Berdasarkan
definisi otentik tentang bank tersebut diketahui bahwa bank pada dasarnya
memiliki dua aktivitas utama yakni menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkannya kepada masyarakat. Menurut Neni Sri Imaniyati definisi bank yang
terdapat dalam undang-undang ini merupakan suatu langkah maju yang dilakukan
oleh pemerintah sebab di dalam definisi tersebut dicantumkan pula fungsi
perbankan sebagai agen pembangunan yakni untuk meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak.[1]
Dengan demikian para pihak yang menjalankan usaha perbankan dituntut tidak
hanya semata-mata mengedepankan aspek komersial namun juga harus diimbangi pula
dengan kesadaran dan komitmen untuk mewujudkan misi pembangunan ekonomi
nasional.
Kredit merupakan suatu jenis usaha
penyaluran dana kepada masyarakat. Dalam Undang-Undang Perbankan dirumuskan
bahwa yang dimaksud dengan kredit adalah,
“Penyediaan
uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
pemberian bunga.”
Berdasarkan
pengertian atau definisi kredit tersebut diatas, maka didapati unsur-unsur
kredit sebagai berikut:
1.
Penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu;
2.
Dilaksanakan berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan antara pihak bank dengan nasabah;
3. Kewajiban pihak peminjam/nasabah untuk
melunasi hutangnya dalam jangka waktu (tempo)tertentu; dan
4.
Pemberian bunga
disamping hutang pokok.
Menurut
Ramlan Ginting, pengertian
“penyediaan tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu” adalah cerukan (overdraft),
yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas
pada akhir hari, pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang (factoring)
dan pengambilalihan (pembelian) kredit atau piutang dari pihak lain seperti
negosiasi hasil ekspor.[2]
Jika
diperhatikan dalam definisi kredit tersebut terdapat kata “pinjam-meminjam”
yang dalam hal ini objek yang dipinjamkan adalah berupa uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu. Jika dikaitkan dengan KUH Perdata maka
perjanjian kredit sebagaimana yang yang dijelaskan oleh berberapa ahli, termasuk
dalam perjanjian pinjam pakai habis sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1754.
Dalam Pasal tersebut dirumuskan bahwa perjanjian pinjam habis pakai adalah
suatu perjanjian yang mewajibkan pihak pertama untuk menyerahkan barang yang
dapat habis terpakai kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak kedua
tersebut akan mengembalikan barang sejenis kepada pihak pertama dalam jumlah
dan keadaan yang sama.
Di
sisi lain beberapa ahli juga mengatakan bahwa perjanjian kredit tidak identik
dengan perjanjian pinjam pakai habis sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1754
KUH Perdata. Munir Fuady dan Remy Syahdaeni berpendapat bahwa perjanjian kredit
bank merupakan perjanjian tidak bernama (innominaat). Pendapat tersebut
didasarkan pada argumentasi bahwa perjanjian kredit memiliki karakteristik
tertentu yang tidak sama dengan perjanjian-perjanjian bernama (nominaat)
yang terdapat dalam KUH Perdata. Karakteristik khusus yang terdapat dalam
perjanjian kredit antara lain adalah dalam hal tujuan penggunaan uang dan cara
pengembalian uang.
PROSEDUR
PEMBERIAN KREDIT BANK
Salah
satu fungsi lembaga perbankan disamping menghimpun dana masyarakat adalah menyalurkan dana tersebut
kepada masyarakat. Penyaluran dana tersebut lazimnya dikenal dengan fasilitas
kredit (pinjaman). Bank tidak secara serta merta dapat memberikan fasilitas
kredit tesebut kepada nasabah, sebab pihak bank terikat oleh aturan-aturan yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam
Pasal 8 Ayat (1) UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan disebutkan,
“Dalam
memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib
mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad dan
kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau
mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.”
Dalam
penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa untuk mengurangi resiko yang
ditanggungnya, bank harus memperhatikan
jaminan perkreditan yakni keyakinan bank berdasarkan analisis yang mendalam
atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi
hutangnya. Keyakinan sebagaimana dimaksud diperoleh oleh bank dengan cara melakukan
penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek
usaha dari nasabah debitur.
Disini
nampak bahwa di dalam UU Perbankan dibedakan antara makna jaminan dan agunan.
Jaminan memiliki lingkup yang lebih luas yakni mencakup segala aspek penilaian
bank terhadap kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya. Sedangkan agunan
adalah salah satu unsur penilaiain bank sebagaimana dimaksud. Agunan
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
hanyalah sebatas jaminan tambahan yang
diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit
atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
Selain
bahwa dalam pemberian fasilitas kredit bank harus berdasarkan pada prinsip
kehatia-hatian dengan melakukan analisis serta penilaian mendalam terhadap
nasabah, bank juga terikat dengan batasan maksimum pemberian kredit sebagaimana
yang ditetapkan dalam undang-undang serta peraturan pelaksananya. Dalam Pasal
11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 ditentukan bahwa batas maksimum
kredit bank tidak boleh melebihi 30% (tiga puluh perseratus) dari modal bank
yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Tujuan dari
ketentuan ini adalah untuk menjaga bank agar tetap dalam keadaan sehat. Oleh
karena itu, untuk memelihara kesehatan dan meningkatkan daya tahannya, bank
diwajibkan menyebar risiko dengan mengatur penyaluran kredit, pemberian jaminan
ataupun fasilitas lain sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada nasabah
debitur atau kelompok nasabah debitur tertentu.
Dalam
melaksanakan kebijakan perkreditan bank wajib berdasarkan pada pedoman
penyusunan dan pelaksanaan kebijakan perkreditan bank bagi umum sebagaimana
yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Dir BI 27/162/KEP/BI tanggal 31 Maret
1995. Dalam Angka 181 disebutkan bahwa
panduan kebijakan perkreditan bank umum sekurang-kurangnya meliputi:
1.
Prinsip
kehati-hatian dalm perkreditan;
2.
Organisasi dan
manajemen perkreditan;
3.
Kebijaksanaan
persetujuan kredit;
4.
Dokumentasi dan
administrasi kredit;
5.
Pengawasan
kredit; dan
6. Penyelesaian
kredit.
Proses
persetujuan kredit sebagaimana diatur dalam angka 440 - 460 SK Dir BI tersebut sekurang-kurangnya
mencakup hal-hal sebagai berikut:
1.
Permohonan
kredit.
Bank hanya memberikan kredit apabila
permohonan kredit diajukan secara tertulis. Permohonan kredit harus memuat
semua informasi yang lengkap dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh
bank. Bank harus memastikan kebenaran data dan informasi yang disampaikan dalam
permohonan kredit.
2.
Analisis
kredit.
Analisis kredit sekurang-kurangnya harus
mencakup penilaian atas watak (character), kemampuan (capacity),
modal (capital), agunan (collateral), dan prospek usaha debitur (condition
of economy) atau yang lebih dikenal dengan 5 C’s dan penilaian terhadap
sumber pelunasan kredit yang dititikberatkan pada hasil usaha yang dilakukan
pemohon serta menyajikan evaluasi aspek yuridis perkreditan dengan tujuan untuk
melindungi bank atas resiko yang mungkin timbul.
3.
Rekomendasi
persetujuan kredit.
Isi rekomendasi kredit harus sejalan
dengan kesimpulan analisis kredit.
4.
Pemberian
persetujuan kredit.
Setiap pemberian persetujuan kredit
harus memperhatikan analisis dan rekomendasi persetujuan kredit. Persetujuan
yang berbeda dengan isi rekomendasi harus dijelaskan secara tertulis.
5.
Perjanjian
kredit.
Permohonan kredit yang telah disetujui
wajib dituangkan dala perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis yang
sekurang-kurangnya harus memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum yang dapat
melindungi bank dan memuat jumlah, jangka waktu, tatacara pembayaran kembali
kredit serta persyaratan-persyaratan kredit lainnya sesuai dengan keputusan
perjanjian kredit dimaksud.
6.
Persetujuan
pencairan kredit.
Bank hanya menyetujui pencairan kredit
apabila seluruh syarat-syarat yang ditetapkan telah dipenuhi oleh pemohon
kredit. Sebelum pencairan bank harus memastikan bahwa seluruh aspek yuridis
yang berkaitan dengan kredit telah selesai dan telah memberikan perlindungan
yang memadai bagi bank.
PENUTUP
Lembaga
perbankan menjalankan aktivitas usahanya dengan menggunakan dana simpanan
masyarakat, yang oleh karena itu bank wajib mengedepankan prinsip kehati-hatian
dalam menyalurkan dana/ memberi fasilitas kredit kepada nasabah debitur. Selain itu bank juga
harus mengupayakan agar keadaan finansialnya tetap dalam keadaan sehat yang
salah satunya adalah dengan menerapkan batas maksimum pemberian kredit.
Perjanjian
kredit merupakan bagian dari perjanjian pada umumnya sehingga keabsahan
perjanjiannya pun harus didasarkan pada syarat-syarat sah perjanjian
sebagaimana yang diatur dalam KUHPerdata. Untuk mencegah timbulnya resiko
akibat tidak dilaksanakannya isi perjanjian kredit, bank wajib melakukan
analisis yang mendalam terhadap kelayakan debitur/pemohon kredit yang meliputi
penilaian watak (character), kemampuan (capacity), modal (capital),
agunan (collateral), dan prospek usaha debitur (condition of economy).
Keseluruhan analisis tersebut merupakan jaminan bagi pihak bank dalam melakukan
perkreditan.
Daftar
Pustaka
Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Surat Keputusan Dir BI
27/162/KEP/BI tentang Kewajiban Penyusunan Dan Pelaksanaan Kebijaksanaan
Perkreditan Bank bagi Bank Umum.
Neni Sri Imaniyati, Hukum
Ekonomi dan Ekonomi Islam Dalam Perkembangan, Bandung: Mandar Maju,
2002.
Ramlan Ginting, “Pengaturan
Pemberian Kredit Bank Umum”, makalah disampaikan dalam Diskusi Hukum
“Aspek Hukum Perbankan, Perdata, dan Pidana Terhadap Pemberian Fasilitas Kredit
Dalam Praktek Perbankan di Indonesia” di Hotel Panghegar Bandung, 6 Agustus
2005.
[1] Neni Sri Imaniyati, Hukum
Ekonomi dan Ekonomi Islam Dalam Perkembangan (Bandung: Mandar Maju,
2002), hlm. 94.
[2] Ramlan Ginting, “Pengaturan
Pemberian Kredit Bank Umum”, makalah disampaikan dalam Diskusi Hukum
“Aspek Hukum Perbankan, Perdata, dan Pidana Terhadap Pemberian Fasilitas Kredit
Dalam Praktek Perbankan di Indonesia” di Hotel Panghegar Bandung, 6 Agustus
2005, hlm. 1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar