Bukanlah suatu hal yang mengherankan apabila pada
masa sekarang ini segala hal yang berkaitan dengan kemajuan peradaban selalu
ditujukan kepada kemajuan yang terjadi di barat. Segala aspek yang menopang
suatu peradaban seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya diarahkan kiblatnya
kepada apa yang telah dilakukan oleh barat. Tak terkecuali dengan Islam sebagai
agama yang sekaligus merupakan sebuah peradaban, telah nampak darinya sebuah
kemunduran akibat lunturnya kebanggaan umat Islam terhadap ajaran agamanya
serta timbulnya rasa inferior (rendah diri) mereka terhadap peradaban barat
yang dianggap lebih superior. Masa-masa kejayaan peradaban Islam dalam benak
mereka telah tersilaukan oleh gemerlap peradaban barat.
Apa yang dialami oleh umat Islam sekarang ini
bukanlah suatu hal yang terjadi secara tiba-tiba sebab segala sesuatu pasti
terdapat sebab dan akibatnya. Besarnya pengaruh barat terutama Amerika terhadap
negara-negara lainnya di dunia termasuk negara Islam merupakan imbas dari runtuhnya kekhilafahan
Turki Utsmani pada tahun 1924. Dengan runtuhnya kekhilafahan Turki Utsmani
tersebut, barat beserta sekutunya dengan leluasa berbondong-bondong menjejakkan
kakinya di negara-negara bekas kekuasan Turki Utsmani. Mereka berusaha menanamkan pengaruh di
masing-masing jajahannya agar tidak ada lagi semangat diantara umat Islam untuk
kembali mendirikan negara Islam. Salah satu yang menjadi instrumen dalam
menanamkan pengaruh tersebut adalah dengan memunculkan opini demokrasi serta nasionalisme.
Nampaknya, ide-ide mengenai demokrasi serta
nasionalisme itu secara tidak langsung telah melenakan umat Islam terutama
negara-negara Arab dari asal serta tujuannya dalam bernegara. Sebagai umat
Islam seharusnya kita menyadari bahwa Islam bukanlah hanya sekadar
ritual-ritual ibadah kepada Allah melainkan lebih dari itu. Islam merupakan
ajaran yang komprehensif yang mencakup segala aspek dalam kehidupan baik dunia
maupun akhirat. Allah SWT mengutus Rasulullah SAW untuk menyeru seluruh umat
manusia kepada tauhid yakni mengesakan Allah SWT serta menerapkan segala
sesuatu yang dikehendaki oleh Allah SWT baik perintah maupun larangan-Nya.
Dakwah Rasulullah tersebut tidaklah dibatasi oleh sekat-sekat geografis, ras,
suku dan bangsa melainkan untuk semesta alam (rahmatan lil alamin). Maka
sungguh naif jika umat Islam tidak meneladani serta mengikuti jejak Rasulullah
SAW tersebut.
Demokrasi yang digemborkan oleh Barat bahkan
dipaksakan penerapannya kepada seluruh negara terutama negara muslim ternyata
tidaklah melahirkan solusi baru dalam berpolitik melainkan semakin menimbulkan
kekacauan baru. Betapa tidak, dalam berdemokrasi semua orang berhak
mengutarakan pendapat, mengekspresikan kehendak serta menyuarakan aspirasi
terlepas siapakah yang mengutarakannya, entah tukang bubur atau presiden.
Demokrasi tidak memperdulikan lagi soal kedudukan, perilaku, serta latar
belakang seseorang, sebab semuanya boleh berbicara. Tentu saja hal ini berbeda
dengan konsep bernegara dalam Islam. Islam menghendaki agar segala urusan itu
diserahkan kepada orang yang benar-benar ahli terhadap urusan tersebut.
Rasulullah Saw menyatakan bahwa apabila suatu urusan diserahkan kepada
seseorang yang bukan ahlinya maka tunggulah akibatnya (kehancuran). Dalam Islam
dikenal adanya otoritas sehingga semua orang wajib tunduk pada otoritas
tersebut. Otoritas tertinggi dalam Islam tiada lain adalah al-Quran serta
Sunnah Rasulullah SAW sebab keduanya merupakan sumber petunjuk dan pengetahuan.
Islam memang menghendaki kebebasan namun bukan kebebasan tanpa aturan sebab
Islam menghendaki kebebasan yang bertanggungjawab. Hal ini disebabkan oleh
makna Islam itu sendiri yang berarti menyerahkan diri kepada Allah SWT. Berserah
diri berimplikasi kepada ketundukan serta ketaatan. Maka dari itu bagaimana
mungkin seseorang dapat berkehendak semaunya tanpa mengindahkan
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT sedangkan ia telah
berserah diri kepada-Nya.
Begitu pula halnya dengan nasionalisme, tidak dapat
dipungkiri bahwa rasa nasionalisme yang berlebihan dapat mengarah kepada
tindakan-tindakan yang rasialis. Bahkan lebih dari itu, rasa nasionalisme
tersebut dapat berujung pula pada kolonialisme, fasisme, serta imperialisme.
Hal ini dibuktikan oleh terjadinya penjajahan bangsa barat kepada bangsa
lainnya baik asia, afrika maupun amerika latin. Hal ini sangat berbeda jauh
dengan apa yang telah dilakukan oleh penguasa-penguasa muslim terdahulu ketika
melakukan penaklukan terhadap bangsa lain. Dalam menaklukan bangsa lain, Islam
tidak mengenal istilah penjajahan (kolonialisme) melainkan istilah pembebasan (fathun).
Tentu saja ketika melakukan pembebasan itu, mereka tidak berlaku semena-mena
terhadap penduduk yang mendiami tempat tersebut melainkan tetap menghargai,
menghormati, serta mengakui hak-haknya meskipun berbeda ras, suku, bangsa dan
agama. Inilah yang dilakukan oleh penguasa-penguasa muslim tersebut, mereka
melakukan pembebasan bukan karena dorongan keduniaan sebagaimana jargon barat
dalam melakukan penjajahan “Gold, Glory, Gospel” melainkan karena
keyakinannya atas agama Islam sebagai agama yang benar dan rahmat bagi seluruh
umat manusia. Memang disisi lain rasa nasionalisme memberikan dampak positif
terhadap keutuhan serta persatuan sebuah negara. Namun sepatutnya bagi umat
Islam rasa nasionalisme itu tidaklah dapat melebihi bahkan menggantikan
kecintaanya kepada agama Islam. Sebab tidaklah ada yang lebih tinggi selain
Islam (al-islamu ya’lu wa la yu’la alaihi). Boleh saja seorang muslim
memiliki rasa nasionalime terhadap negaranya akan tetapi hendaklah rasa
nasionalisme itu diisi dan diwarnai dengan nilai-nilai Islam.
Emperor Casino - Shootercasino
BalasHapusEmperor Casino offers a unique casino experience gioco digitale in a world of online gambling with over 600 machines and over 1000 slots. Play now and claim 10cric your 제왕카지노 welcome bonus!