Blog ini adalah milik Muhammad Najih Vargholy. Diberdayakan oleh Blogger.
Jika hendak mengenal dunia MEMBACALAH, Jika hendak dikenal dunia MENULISLAH, Jika hendak menguasai dunia BERILMULAH. (Hamid Fahmy Zarkasyi)

Maqamat Tasawuf

Kamis, 09 Februari 2012

Untuk berada dekat pada Allah seorang sufi harus menempuh jalan panjang yang berisi station-station, yang disebut maqamat (bentuk jamak dari maqam). Perkataan maqam dapat diartikan station, tahapan atau tingkatan, yakni tingkatan spiritual yang telah dicapai oleh seorang sufi. Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi mengakatan sebagai tingkatan seorang hamba disisi Allah SWT yang diperolehnya karena ibadah, mujahadah, riyadah, dan putusnya hubungannya dengan selain Allah.

Dengan demikian, maqam adalah hasil dari kesungguhan dan perjuangan terus menerus. Ini berarti bahwa seseorang baru dapat berpindah dan naik dari suatu maqam ke maqam yang lebih tinggi setelah melalui latihan dan menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang lebih baik lagi, dan telah pula menyempurnakan syarat-syarat yang ada pada maqam dibawahnya.

Yang biasa disebutkan, menurut Harun Nasution, maqamat itu adalah sebagai berikut: taubah, zuhd, sabr, tawakkal dan rida’.

a) Taubah
Taubah yang dimaksudkan orang sufi adalah taubah dalam arti yang sebenarnya, yakni taubah yang tidak akan membawa kepada dosa lagi. Terkadang taubah dapat dicapai dengan sekali saja. Pernah diceritakan, ada seorang sufi sampai 70 kali bertaubah, baru ia mencapai tingkat taubah yang sebenarnya. Taubah yang sebenarnya dalam paham tasawuf adalah lupa pada segala hal kecuali Allah. Orang yang taubah kata al-Hujwiri, adalah orang yang cinta pada Allah. Orang yang cinta Allah senantiasa mengadakan kontemplasi tentang Allah. Dzu al-Nun al-Misri membagi taubah menjadi 2 macam, yaitu: (1) taubah orang awam adalalh taubah dari dosa, dan (2) taubah orang khawas adalah taubah dari kelalaian. Jadi taubah ke-2 inilah yang dimaksudkan dengan taubah yang sebenarnya.

b) Zuhd
Zuhd menurut Ibn Qudamah al-Muqaddasi adalah “pengalihan keinginan dari sesuatu ke sesuatu yang lebih baik.” Menurut Imam al-Ghazali, “zuhd ialah mengurangi keinginan pada dunia dan menjauh daripadanya dengan penuh kesadaran dan dalam hal yang mungkin dilakukan.” Imam al-Qusyairi mengatakan, “zuhd adalah tidak merasa bangga dengan kemewahan dunia yang telah ada ditangannya dan tidak merasa bersedih dengan hilangnya kemewahan tadi dari tangannya.”
Ahmad bin Hanbal, seperti yang dinukil Imam al-Qusyairi, mengatakan, zuhd terbagi menjadi tiga macam: (1) meninggalkan yang haram itulah zuhudnya orang awam, (2) meninggalkan segala yang berlebih-lebihan dari yang halal, inilah zuhudnya orang khawas, dan (3) meninggalkan segala hal yang menyibukkan dirinya sehingga karena kesibukan itu, ia lupa kepada Allah, inilah zuhudnya orang ‘arif.

c) Sabr
Abu Zakaria Ansari berkata: “sabar merupakan kemampuan seseorang dalam mengendalikan dirinya terhadap sesuatu yang terjadi, baik yang disenanginya maupun yang dibencinya.” Abu Ali Daqaq mengatakan: “hakikat sabar ialah keluar dari suatu bencana sebagaimana sebelum terjadi bencana itu.” Dan Imam al-Ghazali mengatakan: “sabar merupakan suatu kondisi jiwa yang terjadi karena dorongan ajaran agam dalam pengendalian hawa nafsu.”
Sabar dapat berarti konsekuen dan konsisten dalam melaksanakn semua perintah Allah. Berani menghadapi kesulitan dan tabah dalam menghadapi cobaan selama dalam perjuangan untuk mencapai tujuan. Karena itu, sabar erat hubungannya dengan pengendalian diri, sikap dan emosi. Apabila seseorang telah mampu mengontrol dan mengendalikan nafsunya, maka sikap sabar akan tercipta.

d) Tawakkal
Tawakkal adalah suatu sikap mental seorang sufi yang merupakan hasil dari keyakinannya yang bulat kepada Allah, karena didalam tauhid ia diajari agar meyakini bahwa hannya Allah yang menciptakan segala-galanya, pengetahuanNYA maha luas, Dia yang menguasai dan mengatur alam semesta ini. Keyakinan inilah yang mendorongnya untuk menyerahkan segala persoalannya kepada Allah. Hatinya tenang dan tentram serta tiada ada rasa curiga, karena Allah Maha Tahu dan Maha Bijaksana.
Sifat tawakkal memang timbulnya tidak dengan sekaligus, tetapi secara bertahap dan berangsur-angsur, sesuai dengan perkembangan ilmu dan iman seseorang. Mungkin karena itulah, Abu Ali Daqaq mengatakan bahwa tawakkal itu terdiri dari 3 tingkatan: (1) tawakkal, yaitu hati merasa tentram dengan apa yang dijanjikan Allah. (2) taslim, yaitu merasa cukup menyerahkan urusan kepada Allah, karena Allah telah mengetahui tentang keadaan dirinya. (3) tafwidh, yaitu orang yang telah rida menerima ketentuan/takdir Allah.

e) Ridha
Pengertian ridha merupakan perpaduan antara sabar dan tawakkal yang melahirkan sikap mental yang tenang dan senang menerima segala situasi dan kondisi. Setiap yang terjadi disambut dengan hati terbuka, bahkan dengan rasa nikmat dan bahagia walaupun yang datang itu berupa bencana. Suka dan duka diterima dengan gembira, sebab apapun yang datang itu adalah ketektuan dari Allah yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana. Sikap mental seperti ini akan dapat tumbuh melalui usaha demi usaha, perjuangan demi perjuangan, mengikis habis segala perasaan gundah dan benci sehingga yang tinggal dalam hatinya hanya perasaan senang dan bahagia. Apapun yang datang dan pergi selalu diterima dengan ridha, ikhlas dan bahagia.

Menurut sebagian sufi, sebagaiman dikatakan Qamar Kailani didalam kitabnya Fi al-Tasawwuf al-Islami, ridha adalah maqam terakhir dari perjalanan salik. Dan datangnya sikap ridha ini adalah berkat perjuangan yang dilakukan secara berantai. Namun sebagian sufi berpendapat juga bahwa masih ada maqam lain yaitu mahabbah, ma’rifah, ittihad, hulul dan wahdat al-wujud.

Sumber:Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, hal 107.
Readmore → Maqamat Tasawuf

Penjelasan Surat Al-Maidah Ayat 2

1. ANALISIS LAFADZ
Al-Maidah ayat 2
يا أيها الذين آمنوا لا تحلوا شعائر الله و لا الشهر الحرام و لا الهدي ولا القلائد ولا آمين البيت الحرام يبتغون فضلا من ربهم و رضوانا وإذا حللتم فاصطادوا ولا يجرمنكم شنآن قوم أن صدوكم عن المسجد الحرام أن تعتدوا و تعاونوا على البر و التقوى و لا تعاونوا على الإثم و العدوان و اتقوا الله إن الله شديد العقاب
Dalam ayat ini disebutkanشعائر ‘syaa’ir’ ialah kata jamak dari “syiar”. Yang dimaksud dengan syiar syiar Allah disini adalah segala yang berhubungan dengan manasik haji. Ada yang mengatakan, Shafa dan Marwah dan segala binatang yang yang akan disembelih untuk dijadikan kurban atau hadiah. Dengan mengikuti semua makna tersebut maka ayat ini berarti, “janganlah kamu halalkan semua perbuatan itu dengan jalan melanggar”, umpanya mengerjakan sesuatu bukan pada tempatnya dan sebagainya.
و لا الشهر الحرام و لا الهدى و لا القلائد“dan tidak pula bulan haram dan tidak binatang hadiah dan tidak binatang berkalung,” artinya, kamu dilarang melakukan peperangan pada bulan-bulan haram, Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram, dan Rajab. Sebagaimana firman Allah SWT :
إن عدة الشهور عند الله اثنا عشر شهرا فى كتاب الله يوم خلق الله السموات و الأرض منها أربعة حرم فلا تظلموا فيهن أنفسكم
Demikian pula Tanah Haram (Mekkah dan sekitarnya). Disana dilarang berburu binatang dan mencabut pepohonannnya. Nabi Ibrahim AS telah menggariskan dan meletakkan tanda batas-batasnya. Sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, orang-orang musyrik Mekkah mulai menghilangkan tanda-tanda tersebut. Pada saat Fathu Mekkah beliau mengutus beberapa orang memperbarui tanda-tanda tersebut, dan pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, beliau kembali mengutus empat orang untuk memperjelasnya. Tanah Haram dimulai dari Ka’bah ke jurusan Madinah sekitar 4 mil sampai desa Tan’im (Tan’im sendiri bukan tanah haram). Dari Ka’bah menuju arah Irak sepanjang 8 mil sampai ke satu tempat yang dinamai al-Maqhta’. Dari ka’bah ke arah Thaif sepanjang 9 mil berakhir di satu tempat yang dinamai Ji’ranah. Sementara ke arah Yaman sepanjang 7 mil dan berakhir pada satu tempat yang dinamai Adhat Libn, dan dari jalan menuju Jeddah 10 mil dab berakhir sampai Hudaibiah (Hudaibiah termasuk tanah haram).
Dilarang pula menyembelih binatang hadiah sebelum ia datang ke Tanah Haram, juga dilarang menjualnya, mengambilnya, dan sebagainya, sehingga binatang itu terhalang dan tidak sampai ke tujuannya, yaitu tanah haram.
القلائد“binatang berkalung” ialah unta atau kambing yang diberi kalung sebagai tanda akan disembelih sebagai korban atau pembayar denda dan sebagainya. Walaupun “binatang berkalung” itu termasuk juga binatang hadiah tetapi diistimewakan penyebutannya karena mulianya binatang yang diberi tanda dan mempunyai lambang yang istimewa. Orang yang bermaksud hendak mengerjakan ihram ke Mekkah memberi tanda akan binatang-binatang yang bakal disembelihnya dengan memberi kalung pada lehernya.
Larangan mengganggu al-qalaid dapat juga dipahami dalam arti mengambil kalung-kalungnya. Kalung-kalung yang dimaksud antara lain dengan mengikat sandal kulit dan mengalungkannya di leher binatang, serupa dengan kalung di leher wanita. Sandal dari kalung itu boleh jadi diminati oleh fakir miskin. Maka ayat ini melarang mengambilnya.
Termasuk dalam hukum ini adalah, seseorang yang telah bernazar akan menyembelih kambingnya yang akan dijadikan kurban atau akikah, haram dia menyembelih binatang itu untuk keperluan lain, atau menjualnya atau memberikannya kepada orang lain.
Menurut penulis al-Kassyaf, menurut biasanya hewan yang diberi kalung itu hanya unta saja, karena “al-qalaid” diartikannya unta yang berkalung. Di zaman jahiliyah jika seseorang telah kembali dari haji atau umrah ia mengalungkan rumput tanah haram di kepalanya sebagai tanda bahwa dia telah kembali dari mengerjakan haji. Denga memakai kalung itu (qalaid) terjaminlah keselamtan mereka itu pulang ke kampungnya. Karena baiknya adat kebiasaan itu, Islam menetapkannya, memberikan legalisasi, dan melarang orang menghalalkannya atau berani melanggarnya.
ولا آمين البيت الحرام“dan tidak orang yang bermaksud hendak mengunjungi Bait al-Haram”, menurut keterangan sebagian ulama sebab turunnya ayat ini ialah karena ada orang musyrik yang bermaksud hendak mengerjakan umrah sambil membawa hadiah lalu dicegat ditengah jalan oleh orang Islam, maka turunlah ayat ini.
Kemudian menurut jumhur mufassirin ayat ini di-nasakh-kan melalui ayat فاقتلوا المشركين حيث وجدتموهم “kamu perangilah orang-orang musyrik itu dimana saja kamu berjumpa” dan فلا يقربوا المسجد الحرام بعد عامهم هذا المشركين نجس إنما”sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini” (At-Taubah: 28). Nabi Muhammad SAW bersabda, “sesudah tahun ini tidak boleh lagi orang musyrik mengerjakan haji”.
Adapun maksud يبتغون فضلا من ربهم ورضوانا“mencari kelimpahan dan keridhaan dari Tuhan mereka” menurut keterangan jumhur mufassirin ialah, tidak menjadi halangan kalau orang yang mengerjakan haji dan umrah itu menyambilkan berniaga atau usaha yang lain.
Sambungan ayat ini ialah وإذا حللتم فاصطادوا “dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu”.Maksudnya apabila kamu telah keluar dari daerah (territory) tanah haram dan berada di tanah halal, telah selesai pula mengerjakan haji, telah meninggalkan ihram, dan kedudukanmu sudah sama dengan kedudukan orang banyak, maka dibolehkan kamu berburu dan memakan binatang buruan itu.
ولا يجرمنكم شنآن قوم أن صدوكم عن المسجد الحرام أن تعتدوا, Janganlah sampai suatu kaum membuat kalian melampaui batas untuk melawannya meskipun mereka mencegah kalian untuk datang ke masjidil haram, karena kaum musyrik pernah mencegah kaum muslimin untuk melaksanakan ibadah umrah pada tahun dibuatnya perjanjian hudaibiah, maka kemudian Allah melarang kaum muslimin untuk membalasnya pada saat melaksanakan haji wada’ yang mana pada saat itu pula ayat ini diturunkan.
و تعاونوا على البر و التقوى و لا تعاونوا على الإثم و العدوان, Allah SWT memerintahkan hamba-hambaNya yang mukmin agar saling tolong menolong dalam hal kebaikan yaitu al-birru, dan meninggalkan segala kemungkaran yaitu at-taqwa, dan melarang mereka dari tolong menolong dalam kebatilan dan perbuatan dosa.
Ibnu jarir mengatakan: al-itsmu adalah meninggalkan apa yang diperintahkan Allah, al-‘udwan adalah melampaui apa yang telah ditetapkan Allah dalam agama kalian dan melampaui apa yang telah diwajibkan Allah pada diri kalian dan orang lain.
Dalam haditsnya Bukhori meriwayatkan dari Tsabit dari Anas:
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : ( انصر أخاك ظالما أو مظلوما( . قيل : يا رسول الله, هذا نصرته مظلوما, فكيف أنصره ظالما ؟ قال : ( تمنعه من الظلم , فذاك نصرك إياه ).
و اتقوا الله إن الله شديد العقاب, Bertakwalah kalian kepada Allah dengan menjalankan sunnah-sunnahNya yang telah dijelaskan kepada kalian dalam alquran dan perintah-perintah yang ditetapkanNya agar kalian tidak tertimpa adzabNya. Allah Maha pemberi adzab yang keras bagi siapa yang tidak bertakwa kepadaNya. Dia tidak memerintahkan sesuatu kecuali itu bermanfaat dan tidak melarang sesuatu kecuali itu berbahaya. Adzab dalam ayat ini mencakup adzab dunia dan akhirat sebagaimana diterangkan dalam ayat lain, di sebagian ayat disebutkan salah satu dari adzab tersebut seperti firman Allah SWT tentang adzab bagi suatu kaum di dunia.
و كذالك أخذ ربك إذا أخذ القرى وهى ظالمة إن أخذه أليم شديد

2. ASBABUN NUZUL
Dalam riwayat Ibnu jarir yang bersumber dari Ikrimah dikemukakan bahwa Al-hathmu bin Hindun Al-Bakri datang ke Madinah membawa kafilah yang penuh dengan makanan, dan memperdagangkannya. Kemudian ia menghadap kepada Nabi Muhammad SAW untuk masuk islam dan bersumpah setia (baiat). Setelah ia pulang, Nabi bersabda kepada orang-orang yang ada pada waktu itu: ‘’bahwa ia masuk kesini dengan muka seorang penjahat dan kembali dengan punggung pegkhianat’’.
Ketika orang itu sampai di Yamamah ia kemudian murtad dari agama Islam.
Pada suatu waktu pada bulan Dzulqaidah iapun berangkat membawa kafilah yang penuh dengan makanan menuju Mekkah. Ketika sahabat Nabi SAW mendengar berita tentang kepergiannya ke Mekkah, bersiaplah segolongan kaum Muhajirin dan Anshar untuk mencegat kafilahnya. Akan tetapi turunlah ayat ini yang melarang perang pada bulan haram.
Dalam riwayat Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Zaid bin Aslam dikemukakan bahwa dengan terhalangnya Rasulullah SAW dan para sahabat mengerjakan umrah di Masjidil haram ( yang menimbulkan perjanjian Hudaibiah) para sahabat merasa kesal karenanya.
Pada suatu hari lalulah orang-orang musrik dati ahli masyriq akan menjalankan Umrah. Berkatalah sahabat Nabi: “mari kita cegat mereka sebagaimana mereka pernah mencegat sahabat-sahabat kita”. Maka Allah SWT menurunkan ayat ini sebagai larangan untuk membalas dendam.
3. MUNASABAH DENGAN AYAT SEBELUMNYA
Al-Maidah: 1
يا أيها الذين أمنوا أوفوا بالعقود أحلت لكم بهيمة الأنعام إلا ما يتلى عليكم غير محلى الصيد و أنتم حرم إن الله يحكم ما يريد
Ayat yang lalu (ayat 1) memerintah sedangkan ayat ini (2) melarang. Demikian kebiasaan Al-Quran menyebut dua hal yang bertolak belakang secara bergantian ditemukan lagi disini. Dapat juga dikatakan bahwa ayat yang lalu berbicara secara umum, termasuk uraian apa yang dikecualikan-Nya, ayat ini merinci apa yang disinggung diatas. Rincian itu dimulai dengan hal-hal yang berkaitan dengan haji dan umrah, yang pada ayat yang lalu telah disinggung yakni tidak menghalalkan berburu ketika sedang dalam keadaan berihram.
4. HUKUM YANG TERKANDUNG
Berdasarkan analisis lafadz di atas maka dapat disimpulkan beberapa hukum yang terkandung dalam ayat ini, diantaranya:
• Larangan melakukan peperangan pada bulan-bulan yang diharamkan yaitu Dzulkaidah, Dzulhijjah, Muharram, Rajab. Namun sudah di-nasakh oleh ayat lainnya.
• Larangan berburu dan memakan binatang buruan pada saat ihram dan di daerah (teritori) tanah haram.
• Diperbolehkannya berdagang dalam keadaan sedang mengerjakan haji dan umrah.
• Larangan bagi kaum muslim untuk mengahalangi kaum musyrik yang hendak berkunjung ke Tanah Haram baik untuk beribadah atau kegiatan lain. Namun sudah di-nasakh oleh ayat lainnya.
• Larangan untuk menggangu, menyembelih dan menjual binatang hadiah atau binatang berkalung sebelum tiba di tanah haram.
REFERENSI
• SYEKH. H. ABDUL HALIM HASAN, Tafsir Al-Ahkam, Jakarta: Kencana, 2006.
• M.QURAISH SHIHAB, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Quran Volume 3, Ciputat: Lentera hati, 2001
• AHMAD MUSTHOFA AL-MARAGHI, Tafsir Al- Maraghi juz 6, Mesir, 1946, cetakan pertama
• MUSTHOFA SAYID MUHAMMAD, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim Li Ibni Katsir, Jilid 5, 2000
• K.H. QAMARUDDIN SHALEH, Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Quran, Bandung: c.v Diponegoro, 1975m.
Readmore → Penjelasan Surat Al-Maidah Ayat 2

Penelitian Hadits Sunan Abi Dawud No.3370

Rabu, 08 Februari 2012

A. PENDAHULUAN

Hadist adalah salah satu sumber syariat islam, yang digunakan untuk mengambil hukum atau hujah untuk melakukan suatu tindakan muamalah atau ibadah. Akan tetapi hadist-hadist yang bersumber dari Rasulullah saw tidak semuanya benar bersunber dari Rasulullah SAW.akan tetapi banyak hadist yang tidak bersumber dari Rasul atau yang disebut dengan hadist palsu. Selain itu ada pula hadist yang diriwayatkan oleh orang kurang ingatannya atau diriwayatkan oleh orang yang suka berbohong dan hadist-hadist perlu untuk di teliti kembali apakah hadist tersebut benar dari rasulullah saw, atau bukan.
Ketika masa kekhalifahan umar bin abdul ‘aziz adalah masa awal pengkodifisian hadist yang merupakan sakah satu sumber hukum umat muslim. Para ulama’ hadist banyak yang mengumpulkan hadis-hadistrasulullah saw, sehingga sampai sekarang dan yangterkenal yaitu kutubu tis’ah atau buku yang disusun oleh ulama’ ahli hadist yang ada Sembilan. Dan pada makalah ini akan membahas tentang sebuah hadsit yang diriwayatkan oleh salah satu imam hadsit yaitu abu daud. Peenelitian hadist ini salah satunya dilakukan untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah ulumul hadist,di dalam makalah ini dibahas tentang hadist yang diriwayatkan oleh imam abu daud untuk mengetahui apakah hadistyang diriwayatkan ini benar-benar sambung kepada Rasulullah saw atau terputus, dan ataukah memang menyambung sampaikepada Rasullullah akan tetapi ada salah seorang perawi yang meriwayakan hadist tersebut adalah orang yang tidak terpercaya atau kurang terpecaya sehingga mengurangi kesahihan hadist.
B. PENELITIAN SANAD

1) Takhrij hadits

Berdasarkan penggalan lafadz hadits (شقّح) dalam kitab Al-Mu’jam Al-Mufahros Li Alfadzil Hadits An-Nabawy, hadits yang diteliti ini terdapat dalam beberapa sumber, yaitu :
• Shahih Bukhori : Kitab Al-Buyu’ no. 85.

(2056)- [2196] حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ سَلِيمِ بْنِ حَيَّانَ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مِينَا، قَالَ: سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: " نَهَى النَّبِيُّ أَنْ تُبَاعَ الثَّمَرَةُ حَتَّى تُشَقِّحَ "، فَقِيلَ: وَمَا تُشَقِّحُ؟ قَالَ: تَحْمَارُّ وَتَصْفَارُّ وَيُؤْكَلُ مِنْهَا

• Shahih Muslim : Kitab Al-Buyu’ no. 84.

(2866)- [1536] وحَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ هَاشِمٍ، حَدَّثَنَا بَهْزٌ، حَدَّثَنَا سَلِيمُ بْنُ حَيَّانَ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مِينَاءَ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: " نَهَى رَسُولُ اللَّهِ عَنْ: الْمُزَابَنَةِ، وَالْمُحَاقَلَةِ، وَالْمُخَابَرَةِ، وَعَنْ بَيْعِ الثَّمَرَةِ حَتَّى تُشْقِحَ "، قَالَ: قُلْتُ لِسَعِيدٍ: مَا تُشْقِحُ؟ قَالَ: تَحْمَارُّ، وَتَصْفَارُّ، وَيُؤْكَلُ مِنْهَا

• Sunan Abu Dawud : Kitab Al-Buyu’ no. 23.

(2929)- [3370] حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ خَلَّادٍ الْبَاهِلِيُّ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ سَلِيمِ بْنِ حَيَّانَ، أَخْبَرَنَا سَعِيدُ بْنُ مِينَاءَ، قَالَ: سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ، يَقُولُ: " نَهَى رَسُولُ اللَّهِ أَنْ تُبَاعَ الثَّمَرَةُ حَتَّى تُشْقِحَ، قِيلَ: وَمَا تُشْقِحُ؟، قَالَ: تَحْمَارُّ، وَتَصْفَارُّ، وَيُؤْكَلُ مِنْهَا "

• Musnad Ahmad bin Hanbal : no. 3, 220 dan 261.

(14589)- [14493] حَدَّثَنَا بَهْزٌ، حَدَّثَنَا سَلِيمُ بْنُ حَيَّانَ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مِينَاءَ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: " نَهَى رَسُولُ اللَّهِ عَنْ بَيْعِ الثَّمَرَةِ حَتَّى تُشْقَحَ "، قَالَ: قُلْتُ لِسَعِيدٍ: مَا تُشْقَحُ؟، قَالَ: تَحْمَارُّ، وَتَصْفَارُّ، وَيُؤْكَلُ مِنْهَا
2) Letak hadits

Hadits yang diteliti ini terdapat pada:
Sunan Abi Dawud, Kitab Buyu’, bab بيع الثمار قبل أن يبدو صلاحها , no. hadits 3370.

3) Teks hadits Sunan Abi Dawud, Kitab Buyu’, no. 2926:

(2929)- [3370] حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ خَلَّادٍ الْبَاهِلِيُّ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ سَلِيمِ بْنِ حَيَّانَ، أَخْبَرَنَا سَعِيدُ بْنُ مِينَاءَ، قَالَ: سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ، يَقُولُ: " نَهَى رَسُولُ اللَّهِ أَنْ تُبَاعَ الثَّمَرَةُ حَتَّى تُشْقِحَ، قِيلَ: وَمَا تُشْقِحُ؟، قَالَ: تَحْمَارُّ، وَتَصْفَارُّ، وَيُؤْكَلُ مِنْهَا (أبو داود)
“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Khallad Al Bahili telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id, dari Salim bin Hayyan telah mengabarkan kepada kami Sa'id bin Mina`, ia berkata; aku mendengar Jabir bin Abdullah berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang menjual buah hingga tusyqih. Ia ditanya apa makna tusyqih? Ia berkata; memerah dan menguning dan dapat dimakan.” (H.R Abu Dawud)
4) Ranji Sanad

Adapun ranji sanad ( silsilatu ruwwatil hadits ) dari hadits Abu Dawud no.3370 ini adalah sebagaimana yang terlihat dalam halaman selanjutnya.




















5) Penelitian kualitas sanad hadits
Kualitas sanad ini diteliti dengan melihat kebersambungan sanad hadits berdasarkan biografi perawi ( nama lengkap, tahun lahir-wafat dan daftar guru murid) serta nilai keadilan dan kedhabitan perawi. Dalam penelitian ini digunakan dua rujukan sebagai perbandingan (manual dan digital).

Penelitian kualitas sanad berdasarkan kitab Tahdzibul Kamal Fi Asmai Ar-Rijal (manual), hasilnya adalah sebagai berikut:

Nama Lahir/Wafat Guru Murid Komentar
Jabir bin Abdullah bin Amru bin Haram Wafat:68,72,73,77 H
Umur: 94 th Jumlah 20 orang
• Nabi Muhammad
• Khalid bin Walid
• Ali bin Abi Thalib Jumlah 118 orang
• Abul Walid Said bin Mayna Al-Makkiy
• Al-Hasan Al-Bashri
• Shafwan bin Salim الصحابة كلهم عدول
Said bin Mayna Al-Makkiy Jumlah 6 orang
• Jabir bin Abdullah
• Abdullah bin Zubair
• Abu Hurairah Jumlah 10 orang
• Salim bin Hayyan
• Abdullah bin Juraij
• Amru bin Qays Al-Makkiy Ahmad bin Hanbal :ثقة
Ibnu Hibban :ثقة
Salim bin Hayyan bin Bisthom Jumlah 12 orang
• Said bin Mayna
• Ikrimah bin Khalid
• Qatadah Jumlah 20 orang
• Yahya bin Said Al-Qaththan
• Muadz bin Muadz
• Yazid bin Harun Ahmad bin Hanbal :ثقة
Abu Hatim :ما به بأس
Ibnu Hibban :ثقة
Yahya bin Said bin Farrukh Al-Qaththan/ Abu Said Al-Bashri Jumlah 95 orang
• Salim bin Hayyan
• Abdul Malik bin Juraij
• Malik bin Mighwal Jumlah 68 orang
• Abu Bakar Muhammad bin Khalad Al-Bahily
• Ahmad bin Hanbal
• Sufyan Tsauri Abu Zar’ah :ثقة حافظ
Abu Hatim :ثقة حافظ
Nasa’i : ثقة ثبت مرضىّ

Muhammad bin Khalad bin Katsir Al-Bahily/ Abu Bakar An-Nashary Wafat: 239,240,257H Jumlah 27 orang
• Yahya bin Said Al-Qaththan
• Yazid bin Harun
• Abdul Wahab Ats-Tsaqafy Jumlah 17 orang
• Abu Dawud
• Muslim
• Ibnu Majah Ibnu Hibban : ثقة
Abu Bakar Al-A’yun :ثقة ولكنه صلف
Sulaiman bin Al-Asy’at bin Syaddad bin Amru bin Amir/ Abu Dawud As-Sijistany Lahir : 202 H
Wafat : 275 H Jumlah 166
Khalaf bin Hisyam Al-Barraz
Ziad bin Yahya Al-Hassany
Syuja’ bin Makhlad Jumlah 43
Tirmidzi
Zakaria bin Yahya
Abdurrahman bin Khalad Ar-Romharmuzy Abu Hatim:
أحد أئمّة الدنيا علما و فقها

Sedangkan penelitian berdasarkan aplikasi pada komputer/digital ( Mausu’ah Lil Hadits Asy-Syarif), hasilnya adalah sebagai berikut:
Nama Lahir/Wafat Guru Murid Komentar
Jabir bin Abdullah bin Amru bin Haram/ Abu Abdillah Wafat: 78 H
Jumlah 24 orang
• Ubay bin Ka’b
• Umar bin Khattab
• Ummu Kultsum Jumlah 122 orang
• Said bin Mayna
• Said bin Ziyad
• Zaid bin Aslam من الصحابة و رثبهم أعلى مراتب العدالة و التوثيق
Said bin Mayna Al-Makkiy Jumlah 4 orang
• Jabir bin Abdillah
• Abdullah bin Zubair
• Abu Hurairah Jumlah 5 orang
• Salim bin Hayyan
• Muhammad bin Ishaq
• Zaid bin Ibnu Anisah Yahya bin Main :ثقة
Nasai :ثقة
Abu Hatim : ثقة

Salim bin Hayyan bin Bisthom Jumlah 9 orang
• Said bin Mayna
• Ikrimah bin Khalid
• Qatadah Jumlah 10 orang
• Yahya bin Said Al-Qaththan
• Bahz bin Asad
• Yazid bin Harun Yahya bin Main :ثقة
Nasai :ثقة
Adz-Dzahabi:صدوق

Yahya bin Said bin Farrukh Al-Qaththan Wafat:198 H Jumlah 130 orang
• Salim bin hayyan
• Abdul Malik bin Juraij
• Malik bin Mighwal Jumlah 58 orang
• Muhammad bin Khalad Al-Bahily
• Ahmad bin Hanbal
• Zuhair bin Harb Ibnu Mahdi :
لا ترى عيناك مثله
Muhammad bin Khalad bin Katsir Al-Bahily/ Abu Bakar An-Nashary Wafat:239 H Jumlah 22 orang
• Yahya bin Said Al-Qaththan
• Yazid bin Harun
• Khalid bin Al-Harits Jumlah 1 orang
• Zakaria bin Yahya bin Iyyas Ibnu Hibban : ثقة
Maslamah bin Qasim : ثقة

Sulaiman bin Al-Asy’at bin Syaddad Al-Azadi As-Sijistany/ Abu Dawud Jumlah 3 orang
• Qathan bin Nasir
• Hisyam bin Abdul Malik
• Yahya bin Main bin Aun

Tirmidzi

Deskripsi Perawi

Jabir bin Abdillah
Nama lengkapnya adalah Jabir bin Abdillah bi Amru bin Haram bin Tsa’labah bin Ka’b bin Salmah Al-Anshary. Tidak diketahui secara jelas tahun wafatnya, ada yang menyebutkan 68 H, 72 H, 73 H, 77 H dan 78 H, tetapi secara pasti diketahui bahwa umur beliau hanya mencapai 94 tahun. Beliau memiliki guru sebanyak 20 orang diantaranya, Nabi Muhammad, Khalid bin Walid dan Ali bin Abi Thalib. Dan memiliki murid sebanyak 118 orang, diantaranya adalah Said bin Mina Al-Makkiy, Hasan Bashri dan Shafwan bin Salim.

Said bin Mina
Nama lengkapnya adalah Said bin Mina Al-Makkiy yang juga biasa disebut Abul Walid. Tidak diketahui secara jelas tahun lahir dan wafat beliau. Beliau memiliki guru sebanyak 6 orang, diantaranya adalah Jabir bin Abdillah, Abdullah bin Zubair dan Abu Hurairah. Dan memiliki murid sebanyak 10 orang, diantaranya adalah Salim bin Hayyan, Abdul Malik bin Juraij dan Amru bin Qays Al-Makkiy.

Salim bin Hayyan
Nama legkapnya adalah Salim bin Hayyan bin Bistham Al-Bashariy. Tidak diketahui secara jelas tahun lahir dan wafatnya. Beliau memiliki guru sebanyak 12 orang, diantaranya adalah Said bin Mina’, Ikrimah bin Khalid dan Qatadah. Dan memiliki murid sebanyak 20 orang, diantaranya adalah Yahya bin Said Al-Qaththan, Muadz bin Muadz dan Yazid bin Harun.

Yahya bin Said
Nama lengkapnya adalah Yahya bin Said bin Farrukh Al-Qaththan At-Tamimiy atau sering disebut Abu Said Al-Bishri. Wafat pada tahun 198 H. Beliau memiliki guru sebanyak 95 orang, diantaranya adalah Salim bin Hayyan, Abdul Malik bin Juraij dan Malik bin Mighwal. Dan memiliki murid sebanyak 68 orang, diantaranya adalah Abu Bakar Muhammad bin Khalad Al-Bahily, Ahmad bin Hanbal dan Sufyan Tsuri.

Muhammad bin Khalad
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Khalad bin Katsir Al-Bahily atau sering disebut Abu Bakar Al-Bishri. Terdapat perbedaan dalam penentuan tahun wafatnya, ada yang mengatakan 239 H, 240 H dan 257 H. Beliau memiliki guru sebanyak 27 orang, diantaranya adalah Yahya bin Said, Yazid bin Harun dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafiy. Dan memiliki murid sebanyak 17 orang, diantaranya adalah Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah.

Abu Dawud
Nama lengkapnya Sulaiman bin Al-Asy’at bin Syaddad bin Amru bin Amir atau biasa disebut Abu Dawud As-Sijistaniy. Beliau lahir pada tahun 202 H dan wafat pada Tahun 275 H. Beliau memiliki guru sebanyak 166 orang, diantaranya adalah Khalaf bin Hisyam Al-Barraz, Ziyad bin Yahya dan Syuja’ bin Makhlad. Dan memiliki murid sebanyak 43 orang diantaranya Tirmidzi, Zakaria bin Yahya dan Abdurrahman bin Khalad Ar-Ramharmuziy.

6) Al-Jarh wa at-ta’dil

Jabir bin Abdillah
Beliau termasuk dalam jajaran shahaby (sahabat rasul), yang mana merupakan tingkatan paling tinggi dalam masalah keadilan dan kedhabitan sebagai perawi hadits.

Said bin Mina
Menurut pendapat kalangan kritikus (naqid) hadits, Said bin Mina merupakan perawi yang tsiqah. Diantara kritikus tersebut adalah, Ahmad bin Hanbal yang menyatakan tsiqah, Ibnu Hibban yang mencatat namanya dalam buku “Ats-Tsiqat”, Yahya bin Main yang menyatakan tsiqah, Nasai yang menyatakan tsiqah dan juga Abu Hatim yang juga menyatakan tsiqah.

Salim bin Hayyan
Diantara para kritikus yang menyatakan ketsiqahan beliau adalah Yahya bin Main, Nasai, Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibban. Tetapi ada sebagian kritikus yang berpendapat sedikit berbeda, diantaranya adalah Adz-Dzahaby yang menyatakan bahwa Salim adalah seorang yang shaduq dan Abu Hatim yang menyatakan “ma bihi ba’sun”. Kata “shaduq” dan “ma bihi ba’sun” dalam maratib at-ta’dil berada dalam urutan keempat yang mana hadits-haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi Salim bin Mina merupakan perawi yang tsiqah, melihat mayoritas kritikus yang menilainya dengan predikat tersebut.

Yahya bin Said
Menurut mayoritas kritikus, Yahya bin Said merupakan perawi yang tsiqah, diantara kritikus yang menilainya tsiqah adalah Abu Zar’ah yang menyatakan tsiqah hafidz, begitupula Abu Hatim yang juga menyatakan hal yang sama, Nasai yang menyatakan tsiqah tsabat mardhiy. Sedangkan Ibnu Mahdi menyatakan hal yang menyerupai pujian terhadap Yahya yaitu “la taro aynaka mitslahu”.

Muhammad bin Khalad
Banyak kritikus yag menilainya sebagai perawi yang tsiqah, diantaranya adalah Ibnu hibban yang mencatatnya dalam buku “Ats-tsiqat”, Abu Bakar Al-A’yun yang menyatakan tsiqah dan Maslamah bin Qasim yang juga menyatakan tsiqah.

Abu Dawud
Abu Hatim menyatakan bahwa Abu Dawud adalah salah satu imam di dunia dalam hal-hal fiqh dan keilmuan.

7) Natijah (nilai) kualitas sanad

Berdasarkan penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa hadits Sunan Abi Dawud no. 3370 merupakan hadits ahad karena periwayat pertama dari semua jalur periwayatan hanyalah satu yaitu Jabir bin Abdullah yang merupakan sahabat Nabi Muhammad saw.

Adapun lambang-lambang periwayatan dari sanad hadits diatas adalah: kata haddatsana yang mana termasuk dalam metode sima’, kemudian kata ‘an yang mana mayoritas ulama’ hadits menyatakan bahwa ini termasuk dalam metode sima’ meskipun sebagian yang lain menyatakan bahwa sanad hadits yang mengandung huruf ‘an adalah sanad yang terputus. Kata ‘an di hadits ini dikatakan muttashil karena telah mencukupi dua syarat hadits mu’an’an bisa dikatakan muttashil, yaitu : periwayat yang menggunakan ‘an tidak mudallis (menyembunyikan cacat) dan periwayatnya saling/mungkin bertemu dengan periwayat sebelumnya. Dan yang terakhir adalah kata sami’tu yang menandakan bahwa perawi mendengarkan hadits yang didapatkannya itu langsung dari guru perawi tersebut (mubasyarah).

Dari jalur periwayatannya dapat dilihat bahwa setiap perawi memiliki ketersambungan dengan perawi lainnya dalam keadaannya sebagai guru ataupun murid. Dan hal ini juga diperkuat dengan adanya data tentang tahun lahir/wafat perawi, meskipun dalam penelitian diatas hanya ditemukan sebagian perawi saja. Sehingga hadits ini disebut hadits muttashil/maushul karena sanadnya bersambung dan disandarkan kepada sahabat Rasulullah yaitu Jabir bin Abdillah.

Dari segi jarh wa at-ta’dil, dapat diisimpulkan bahwa mayoritas perawi mendapatkan predikat tsiqah, yang mana dalam maratib at-ta’dil (urutan keadilan) predikat tersebut berada dalam martabah at-tsalitsah (urutan ketiga) sehingga hadits-haditsnya bisa dijadikan hujjah/dalil.

Berdasarkan analisis diatas dapat disimpulkan bahwa hadits no.3370 yang terdapat dalam Sunan Abu Dawud adalah hadits shahih mengingat ada ketersambungan sanad dari para perawinya dan secara kualitas pribadi maupun intelektual tidak ditemukan syadz (kejanggalan) dan illat (cacat).

C. PENELITIAN MATAN

1) Perbandingan hadits dengan ayat Al-Quran

Surat An-Nisa’ 4:20

يَا أَيّهَا الّذِيْنَ أمَنُوْا لا تَأكلُوا أمْوَالَكُمْ بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم و لاتقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu".

Ayat ini menjelaskan tentang larangan untuk memakan harta sesama dengan cara yang batil. Dan juga menjelaskan bahwa perniagaan yang sah adalah perniagaan yang dilakukan dengan saling rela antara pihak penjual dan pembeli. Artinya ayat ini merupakan penguat bagi hadits Abu Dawud no 3370 ini yang menyatakan larangan Rasulullah untuk menjual buah-buahan sebelum ia matang, yang dalam hal ini merugikan satu pihak yaitu si pembeli.

2) Perbandingan hadits dengan hadits yang lebih shahih.

Setelah dilakukan penelitian, ditemukan bahwa terdapat hadits setema yang lebih shahih, yaitu hadits Shahih Bukhori, Kitab Al-Buyu’ no. 85.

(2056)- [2196] حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ سَلِيمِ بْنِ حَيَّانَ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مِينَا، قَالَ: سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: " نَهَى النَّبِيُّ أَنْ تُبَاعَ الثَّمَرَةُ حَتَّى تُشَقِّحَ "، فَقِيلَ: وَمَا تُشَقِّحُ؟ قَالَ: تَحْمَارُّ وَتَصْفَارُّ وَيُؤْكَلُ مِنْهَا

Jalur periwayatannya sama, hanya saja ada perbedaan di periwayat yang kelima yang mana dalam hadits ini Bukhari meriwayatkannya dari Musaddad. Dan dilihat dari segi matan hadits terdapat perbedaan ejaan dalam kata ثشقح, dalam riwayat Bukhari dieja ثُشَقِّحَ dengan fathah pada huruf syin dan tasydid pada huruf qaf sedangkan dalam riwayat Abu Dawud dieja تُشْقِحَ dengan sukun pada huruf syin dan tanpa tasydid pada huruf qaf. Namun perbedaan ini tidak menimbulkan pertentangan yang sangat menonjol dalam pemahaman kedua hadits ini. Sebab maksud dari kedua hadits ini adalah sama, yaitu larangan Rasulullah untuk menjual buah sebelum buah tersebut memerah atau menguning dan bisa dimakan. Adapun jika terjadi pertentangan, itu hanya dalam masalah nahwiah saja.

3) Perbandingan hadits dengan fakta sejarah

Melihat kebiasaan masyarakat Arab pada zaman dahulu yang sering melakukan transaksi jual beli buah yang masih ada di pohonnya memang terlihat sedikit kontras dengan hadits ini. Namun jika dicermati secara teliti, sesungguhnya transaksi seperti ini adalah diperbolehkan. Sebab yang menjadi masalah hanyalah standarisasi kelayakan buah tersebut untuk dimakan. Tidak semua buah terlihat matang/layak dimakan dengan melihat perubahan warnanya seperti halnya semangka. Jadi hadits ini sama sekali tidak bertentangan dengan fakta sejarah.

4) Perbandingan hadits dengan rasio

Secara rasional, hadits ini tidak bertentangan dengan akal sehat manusia. Sebab dalam praktek jual-beli diperlukan adanya saling rela antara penjual dan pembeli, dalam artian baik si penjual maupun si pembeli tidak merasa dirugikan. Jika penjual buah menjual buah itu sebelum matang dan belum bisa dimakan, maka hal ini jelas merugikan si pembeli buah tesebut.

5) Natijah (nilai) kualitas matan
Hadits Abu Dawud no.3370 ini dapat dikatakan shahih dari segi matan. Hal ini bisa dilihat dari hasil perbandingannya dengan beberapa aspek seperti, perbandingannya dengan Al-Quran, hadits yang setema, fakta sejarah dan rasio. Dari kesemuanya itu tidak dijumpai pertentangan makna antara satu dengan yang lainnya.


D. PEMAHAMAN HADITS

Syarah hadits

Hadits Abu Dawud no.3370 diatas menerangkan bahwa Rasulullah saw melarang menjual buah sebelum buah itu tusyqih (memerah atau menguning) sehingga bisa dimakan. Secara nahwiah, kata tusyqih (ثشقح) merupakan fiil mudhari’ dari kata asyqaha (أشقح). Dalam Fathul Wadud dinyatakan bahwa kata tersebut merupakan fiil ruba’i (فعل رباعى). Al-Kirmani menyatakan bahwa kata tersebut berartikan “berubahnya warna menjadi kuning atau merah”. Sedangkan kata tahmarru wa tahsfarru (تحمار و تصفار) merupakan fiil tsulatsi (فعل ثلاثى) yang ditambahkan dengan huruf alif dan tadh’if.

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang siapa sosok sebenarnya yang menafsirkan arti kata tusyqih tersebut. Menurut Ahmad pengertian kata tusyqih merupakan penafsiran dari Said bin Mina’ sebagaimana yang dijelaskan dalam riwayatnya terhadap hadits ini dari Bahz bin Asad dari Salim bin Hayyan bahwasanya dialah (Salim) yang bertanya kepada Said tentang hal itu (tusyqih) dan iapun menjawabnya seperti itu, menurut Muslim percakapannya adalah seperti ini: “aku (Salim) bertanya kepada Said apa itu tusyqih?, ia berkata : memerah dan menguning dan bisa dimakan”. Sedangkan menurut Al-Ismaily bahwa sesungguhnya yang menanyakan adalah Said dan yang menjelaskan kata tusyqih itu adalah Jabir dengan percakapan seperti ini: “aku berkata kepada Jabir apa itu tusyqih?”.

Pemahaman hadits berdasarkan metode tematis-korelatif.

(2929)- [3370] حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ خَلَّادٍ الْبَاهِلِيُّ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ سَلِيمِ بْنِ حَيَّانَ، أَخْبَرَنَا سَعِيدُ بْنُ مِينَاءَ، قَالَ: سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ، يَقُولُ: " نَهَى رَسُولُ اللَّهِ أَنْ تُبَاعَ الثَّمَرَةُ حَتَّى تُشْقِحَ، قِيلَ: وَمَا تُشْقِحُ؟، قَالَ: تَحْمَارُّ، وَتَصْفَارُّ، وَيُؤْكَلُ مِنْهَا (أبو داود)

Hadits ini menjelaskan larangan menjual buah diatas pohon sebelum buah itu memerah dan menguning sehingga bisa dimakan.

ـ حدثنا عبد اللّه بن مسلمة القعنبي، عن مالك، عن نافع، عن عبد اللّه بن عمر،
أن رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم نهى عن بيع الثمار حتى يَبْدُوَ صلاحها، نهى البائع والمشتري.

Sedangkan hadits kedua ini menjelaskan larangan menjual buah diatas pohon sebelum nampak kelayakannya, kata layak ini memiliki arti yang lebih umum dari hadits yang pertama.

Dengan demikian dari kedua hadits yang berbeda makna ini dapat ditarik kesimpulan bahwa boleh atau tidaknya suatu buah itu dijual, tergantung dari standar kematangan buah tersebut. Sebab standar kematangan tiap buah berbeda antara satu dengan yang lain.
E. KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian diatas, didapatkan beberapa kesimpulan:

• Berdasarkan penggalan lafadz hadits dalam kitab Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Alfadzil Hadits, hadits ini terdapat dalam beberapa sumber, yaitu:

Shahih Bukhari : kitab buyu’ no 85.
Shahih Muslim : kitab buyu’ no.84.
Sunan Abu Dawud : kitab buyu’ no.23.
Musnad Ahmad bin Hanbal : no.3, 220 dan 261.

• Berdasarkan sanadnya, hadits ini dikatakan shahih karena adanya ketersambungan antara perawi satu dengan yang lain baik dalam keadaannya sebagai guru atau murid, dan berdasarkan jarh wa at-ta’dil, tidak ditemukan kejanggalan (syadz) dan cacat (illat) dari setiap perawinya karena mayoritas perawi mendapat predikat tsiqah. Hadits ini termasuk hadits ahad sebab dari semua jalur periwayatannya hanya bersumber dari satu sahabat yaitu Jabir bin Abdillah.

• Berdasarkan matannya, hadits ini juga dikatakan shahih sebab tidak ditemukannya pertentangan baik dengan nash Al-Quran, hadits yang setema, fakta sejarah dan juga rasio.

• Secara umum hadits ini menjelaskan tentang larangan menjual buah sebelum buah itu layak untuk dimakan. Hanya saja yang dipermasalahkan adalah standarisasi kematangan tiap buah yang berbeda-beda.

F. DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, Jakarta : Amzah, 2008
Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-Adzim Abadi, Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud, Juz 9.
Jamaluddin Yusuf Al-Mizzy, Tahdzibul Kamal Fi Asmai Ar-Rijal, 2002.
Fuad Abdul Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufahros Li Alfadzil Hadits An-Nabawy, 1955.
Mausu’ah Lil Hadits An-Nabawiy As-Syarif.
Readmore → Penelitian Hadits Sunan Abi Dawud No.3370

Analisa Surat Al-Isra' Ayat 70

A. LATAR BELAKANG

Perempuan kerap dipandang sebelah mata dan memperoleh citra negatif dari lawan jenisnya dalam tata nilai masyarakat, kebudayaan, hukum dan politik. Bagi tokoh-tokoh seperti John Locke, Rousseau dan Nietzsche, citra dan kedudukan perempuan memang tidak pernah dianggap setara dengan laki-laki. Wanita disamakan dengan budak (hamba sahaya) dan anak-anak dianggap lemah fisik maupun akalnya. Secara ontologi, praktek trafficking (perdagangan perempuan dan anak) sangatlah bertolak belakang dengan prinsip-prinsip luhur Islam. Salah satu prinsip luhur tersebut adalah Islam sangat menjunjung tinggi terhadap penghormatan kemanusiaan. Sebagaimana yang tertuang dalam surat Al-Isra’ 17:70, bahwa Allah telah memuliakan anak cucu Adam dan melebihkannya dari makhluk ciptaan-Nya yang lain. Tinggi atau rendahnya derajat seseorang menurut Islam hanyalah berdasarkan nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Maha esa.

Almarhum Mahmud Syaltut, mantan syaikh lembaga-lembaga Al-Azhar di Mesir, menulis: “Tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan hampir dapat (dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan kepada laki-laki. Kepada mereka berdua dianugerahkan Tuhan potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab dan yang menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus. Karena itu hukum-hukum syariat pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (lelaki) menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian, dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum serta menuntut dan menyaksikan.”
Secara epistimologi, kasus yang serupa dengan perdagangan perempuan pernah disinggung oleh Al-Quran dalam surat An-Nur:33. Kandungan dalam surat An-Nur secara singkat dapat disimpulkan ke dalam beberapa hal. Pertama, kewajiban melakukan perlindungan terhadap mereka yang lemah. Ini lebih ditujukan kepada kaum perempuan, karena mereka adalah kelompok masyarakat yang dilemahkan dalam konteks masyarakat Arab ketika itu. Kedua, kewajiban membebaskan orang-orang yang terperangkap dalam perbudakan. Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa kewajiban ini dibebankan ke pundak kaum muslimin. Sebagian lagi mewajibkan pembebasan tersebut kepada tuan/pemiliknya (al-sayyid). Dalam konteks perbudakaan lama, pembebasan tersebut dilakukan dengan cara membelinya untuk kemudian memerdekakannya, sebagaimana yang dilakukan, misalnya, oleh Abu Bakar terhadap Bilal bin Rabah. Ketiga, kewajiban menyerahkan hak-hak ekonomi mereka. Hak-hak mereka yang bekerja untuk majikannya harus diberikan. Dan keempat, haramnya mengeksploitasi tubuh perempuan untuk kepentingan duniawi.
Secara aksiologi, perempuan dalam konteks trafficking hanya dianggap sebagai barang komoditi atau benda mati yang dapat dipindah-pindahkan untuk diperdagangkan dengan cara memanipulasi, mengeksploitasi dan bahkan secara paksa. Padahal Al-Quran tidak pernah menampakkan misogyny (pandangan sebelah mata terhadap perempuan). Semua ayat yang membicarakan tentang Adam dan Hawa, sejak di surga hingga turun ke bumi selalu menekankan kedua belah pihak dengan kata ganti untuk dua orang (dalam bahasa Arabnya: huma atapun kuma), ini mengartikan bahwa posisi antara laki-laki dan perempuan adalah setara. Agama manapun, termasuk Islam tentu tidak merestui praktek-praktek 'perdagangan' seperti ini. Tetapi kita tidak sepantasnya menyalahkan mereka yang menjadi korban 'perdagangan' tersebut sebagai perempuan yang tidak berakhlak dan tidak bertanggung jawab. Karena mereka adalah korban, dari sebuah sistem sosial yang tidak pernah memberikan kesempatan kepada mereka untuk bisa hidup layak sebagai manusia yang memiliki harga diri.

B. TUJUAN

Adapun tujuan dari disusunnya artikel ini adalah :

1) Untuk menemukan makna dari kata فضّلناهم
2) Untuk menemukan makna dari kata بنى ادم
3) Untuk menemukan makna dari kata كرّمنا

C. FOKUS AYAT

Al-Isra’ 17:70

وَ لَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِى اُدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِى الْبَرِّ وَ الْبَحْرِ وَ رَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطّيّبَاتِ وَ فَضّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْصِيْلًا.

’’Dan sungguh, Kami telah muliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rizki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.’’

Kata ( كرّمنا ) karramnaa terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf kaf, ra’, dan mim, yang mengandung makna kemuliaan, serta keistimewaan setiap objeknya.

Terdapat perbedaan antara ( فضّلنا ) fadhdhalnaa dan ( كرّمنا ) karramnaa. Yang pertama terambil dari kata ( فضل ) fadhl yakni kelebihan, dan ini mengacu pada “penambahan” dari apa yang sebelumnya telah dimiliki secara sama oleh orang lain. Kelebihan rezeki kepada seseorang menjadikan ia memiliki rezeki melebihi rezeki yang telah dianugrahkan-Nya kepada orang lain, dan ini mengakibatkan terjadinya perbedaan antara seseorang dengan yang lain dari sisi rezeki. Adapun yang kedua yakni karramnaa, maka seperti yang dikemukakan diatas, ia adalah anugerah yang berupa keistimewaan yang sifatnya internal. Dalam konteks ayat ini manusia dianugerahi Allah keistimewaan yang tidak dianugerahkan-Nya kepada selainnya dan itulah yang menjadikan manusia mulia serta harus dihormati kedudukannya sebagai manusia. Anugerah-Nya itu untuk semua manusia dan lahir bersama kelahirannya sebagai manusia, tanpa membedakan seseorang dengan yang lain. Inilah yang menjadikan Nabi Muhammad saw berdiri menghormati jenazah orang Yahudi, yang ketika itu sahabat-sahabat Rasul saw menanyakan sikap beliau itu, Nabi saw menjawab: “bukankah yang mati itu juga manusia?”

Ayat diatas mengisyaratkan bahwa kehormatan tersebut banyak dan ia tidak khusus utuk satu ras atau generasi tertentu, tidak juga berdasar agama atau keturunan, tetapi dianugerahkan untuk seluruh anak cucu Adam as, sehingga diraih oleh orang perorang, pribadi demi pribadi.
Ada beberapa kesan yang timbul terkait dengan firman-Nya: ( و فضّلناهم على كثير ممّن خلقنا ) wa fadhdhalnaahum ‘alaa katsiirin mimman khalaqnaa/ dan Kami lebihkan mereka atas banyak makhluk dari siapa yang telah kami ciptakan.

Pertama, penggalan ayat ini tidak menyatakan bahwa Allah swt melebihkan atas semua ciptaan atau kebanyakan ciptaan-Nya, tetapi banyak diantara ciptaan-Nya. Atas dasar ini sungguh ayat ini tidak dapat dijadikan alasan bahwa manusia adalah makhluk Allah yang paling mulia atau paling sempurna. Kedua, ayat diatas mengisyaratkan bahwa kelebihan itu dibanding dengan makhluk ciptaan Allah dari siapa yang telah diciptakan-Nya. Kata dari man ( من ) biasa digunakan untuk menunjuk makhluk yang berakal. Dari satu sisi kita dapat berkata bahwa jika Allah melebihkan manusia atas banyak makhluk berakal, maka tentu saja lebih-lebih lagi dengan makhluk yang tidak berakal. Dari sisi lain kita juga dapat berkata bahwa paling tidak ada dua makhluk berakal yang diperkenalkan Al-Quran yaitu jin dan malaikat. Ini berarti manusia berpotensi untuk mempunyai kelebihan dibanding dengan banyak –bukan semua- jin dan malaikat.

Ayat ini merupakan salah satu dasar menyangkut pandangan Islam tentang Hak-Hak Asasi Manusia. Manusia –siapapun baik lelaki atau perempuan- harus dihormati hak-haknya tanpa perbedaan. Semua memiliki hak hidup, hak berbicara dan mengeluarkan pendapat, hak beragama, hak memperoleh pekerjaan dan berserikat dan lain-lain yang dicakup oleh Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia. Hanya saja perlu dicatat bahwa hak-hak dimaksud adalah anugerah dari Allah sebagaimana dipahami dari kata karramnaa, dan dengan demikian hak-hak tersebut tidak boleh bertentangan dengan hak-hak Allah dan harus selalu berada dalam koridor tuntunan agama-Nya.

Al-Quran menolak pandangan-pandangan yang membedakan (lelaki dan perempuan) dengan menegaskan bahwa keduanya berasal dari satu jenis yang sama dan bahwa dari keduanya secara bersama-sama Tuhan mengembangbiakkan keturunannya baik yang laki maupun perempuan. Sebagaimana yang tertuang pada surat An-Nisa’ ayat pertama.

Perempuan sebagaimana sabda Nabi adalah syaqaiq ar-rijal (saudara-saudara sekandung perempuan) sehingga kedudukannya serta hak-haknya hampir dapat dikatakan sama. Kalaupun ada yang membedakan, maka itu hanyalah akibat fungsi dan tugas-tugas utama yang dibebankan Tuhan kepada masing-masing jenis kelamin itu, sehingga perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan atas yang lain.

D. ANALISIS MAKKIYAH DAN MADANIYAH

Dalam mengetahui Makkiyah dan Madaniyah para ulama berpedoman pada dua metode yang menjadi asas. Yaitu metode sam’iy naqliy dan qiyasi ijtima’i. Metode pertama dikaitkan pada riwayat-riwayat yang sah dari para sahabat yang hidup pada masa turunnya wahyu itu dengan menyaksikan sendiri turunnya. Sedangkan metode kedua lebih dikaitkan dengan kias dan ijtihad dari para ulama. Seperti, apabila terdapat dalam surat Makkiyah ayat yang mengandung tabiat atau peristiwa-peristiwa yang diturunkan di Madinah, maka dalam hal ini dikatakan bahwa itu adalah Madaniyah. Begitupula sebaliknya.

Dari segi istilah, ada tiga pendapat yang berlainan dalam membedakan Makkiyah dan Madaniyah, yaitu:

• Melihat kepada masa turunnya. Makkiyah yaitu ayat-ayat yang turun sebelum hijrah, sekalipun tidak di Mekkah. Madaniyah yaitu ayat-ayat yang turun sesudah hijrah, sekalipun tidak di Madinah.
• Melihat kepada tempat turunnya. Makkiyah yaitu ayat yang turun di Mekkah dan sekitarnya ( Mina, Arafah, Hudaibiyah). Madaniyah yaitu ayat yang turun di Madinah dan sekitarnya (Uhud, Quba, Sil’u). Ayat yang turun dalam perjalanan, atau di Tabuk, atau Baitul Maqdis tidak termasuk dalam kedua pembagian ini.
• Melihat kepada pembicaraan. Makkiyah yaitu ayat yang membicarakan tentang penduduk Mekkah. Madaniyyah yaitu ayat yang membicarakan tentang penduduk Madinah.

1) Makkiyah

Fase Mekkah , secara historis dimulai ketika Muhammad menerima wahyu pertama (tahun 610 M) hingga pelaksannan hijrah ke Madinah pada tahun 622 M. Masa ini berlangsung hingga lebih dari duabelas tahun, sebuah masa dimana Muhammad mulai bergerak mendakwahkan risalah-risalah yang diterimanya.

Pesan-pesan awal Al-Quran yang turun di Mekkah menekankan pada ketauhidan, ketakwaan, masalah eskatologis, ibadah ritual, dan etika sosial.
Hal ini sangat relevan dengan realitas masyarakat Mekkah yang menyembah berhala (politeisme), orientasi pada kehidupan profan, melakukan praktik-praktik sosial yang eksploitatif.

Ajaran tentang ketauhidan menjadi dasar dari semua ajaran Islam. Prinsip ini mengajarkan kepada manusia untuk tunduk hanya pada Tuhan Yang Maha Esa. Al-Quran mengenalkan keesaan Tuhan mula-mula dengan penyebutan tentang perbuatan dan sifat Tuhan. Ini terlihat dalam ayat yang pertama kali turun, dimana kata yang termaktub menunjuk kepada Tuhan, bukan “Allah”, tetapi menggunakan kata “Rabbuka”, Tuhan Pemeliaharamu. Hal ini menandaskan Wujud Tuhan Yang Maha Esa dapat dibuktikan melalui ciptaan atau perbuatan-Nya. Begitu juga pada wahyu-wahyu selanjutnya sampai pada wahyu kesembilanbelas (surah Al-Ikhlas) baru kata “Allah” dijelaskan secara terperinci. Surah ini merupakan jawaban terhadap masyarakat Mekkah yang mempertanyakan tentang Tuhan yang disembah Muhammad.

Ajaran lain yang ditransformasikan pada masyarakat pagan Arab adalah tentang masalah eskatologis. Al-Quran mengenalkan hari akhir dan segala yang berkaitan dengannya, seperti hari kebangkitan, hari pembalasan, serta surga dan neraka. Dalam pesan-pesan Al-Quran, terdapat kesejajaran antara keyakinan pada keesaan Tuhan dengan hari akhir. Hal ini terlihat dalam beberapa ayat Al-Quran yang mempersandingkan kedua kalimat tersebut. Ajaran-ajaran ini diwahyukan untuk mengingatkan masyarakat Arab yang memprioritaskan kehidupan duniawi semata.

Ajaran lainnya adalah tentang ibadah ritual. Pada fase Mekkah ini, ibadah yang diwahyukan pertama kali adalah shalat. Pewahyuan shalat memiliki kedudukan khusus dikalangan umat Islam. Perintah shalat diterima langsung oleh Nabi secara langsung dari Allah melalui peristiwa isra’ mi’raj. Ibadah shalat merupakan sistem pemujaan yang ditransformasikan untuk menggunakan sistem pemujaan terhadap berhala.
Ciri-ciri umum Makkiyah:
• Di dalamnya terdapat lafadz sajdah ( سجدة )
• Di dalamnya terdapat lafadz kalla (كلّا)
• Di dalamnya terdapat lafadz (يا أيّها الناس)
• Di dalamnya terdapat kisah-kisah Nabi dan bangsa-bangsa dahulu kala. Kecuali surat Al-Baqarah.
• Di dalamnya terdapat kisah Adam dan Iblis. Kecuali surat Al-Baqarah.
• Tiap-tiap surat didahului dengan huruf tahajjiy (حم, الر, الم). Selain Al-Baqarah dan Ali Imran.


2) Madaniyyah

Fase Madinah merupakan kelanjutan dari fase Mekkah. Secara historis, masa ini dimulai ketika Nabi dan pengikutnya bermigrasi ke Madinah pada tahun 622 M. Selama kurang lebih sepuluh tahun Nabi membangun tatanan masyarakat baru disana. Berbeda dengan di Mekkah, dakwah di Madinah berada dalam batas risalah. Tujuannya adalah membangun ideologi masyarakat baru berdasarkan pesan-pesan Al-Quran.

Masyarakat Madinah adalah heterogen, dimana terdapat berbagai kelompok masyarakat yang berasal dari suku bangsa yang berbeda (Auz, Khazraj, Bani Qaynuqa’, Nadhir, Quraizah). Mengahadapi situasi masyarakat yang seperti ini, pembaruan masyarakat di Madinah menekankan pada reformasi struktural. Sasarannya adalah menciptakan sturktur masyarakat baru dengan dasar yang lebih kuat.

Reformasi ditujukan kepada struktur sosial masyarakat. Al-Quran menguatkan unit keluarga sebagai komunitas terkecil yang memiliki kemandirian menggantikan sistem kesukuan yang berdasar pada sistem kolektivitas tindakan, termasuk hak dan kewajiban. Terbentuknya struktur keluarga ini diikuti dengan pengaturan pranata sosial yang terkait dengan masalah keluarga. Sehingga munculah aturan-aturan tentang perkawinan, perceraian, pengasuhan anak, dan kewarisan.

Pembaruan terhadap institusi perkawinan diantaranya adalah membatasi praktik poligami. Al-Quran tidak menghapus praktik ini, tetapi mengaturnya dengan batasan dan syarat yang tegas, yaitu maksimal empat orang istri dan harus adil. Reformasi juga terjadi dalam hukum kewarisan. Ketika Al-Quran menggantikan kesatuan suku dengan keluarga, hal itupun berimplikasi pada aturan kewarisan. Dengan sistem patriarkal, ahli waris yang mendapatkan bagian adalah mereka yang berada dalam jalur laki-laki. Dan formula pembagiannya adalah dua berbanding satu antara laki-laki dan perempuan.

Sistem sosial masyarakat yang juga diperbarui oleh Al-Quran adalah menyangkut kebutuhan primer masyarakat. Aturan-aturan tentang makanan dan minuman, pakaian, dan sistem etika yang lain mendapat perhatian.

Al-Quran juga melakukan pembaruan di bidang hukum, yaitu dengan mengurangi pengaruh negatif dari adanya kewajiban kolektif anggota suku. Kasus pembunuhan dan lainnya dalam adat kesukuan merupakan tanggungjawab bersama. Dengan perombakan struktur, pembalasan hanya dapat dilakukan terhadap pelaku sendiri atau dengan ganti rugi.

Disamping itu, Al-Quran juga mengatur administrasi peradilan, atau cara penegakan hukum. Aturan tersebut diantaranya ketentuan tentang saksi, baik syarat maupun jumlahnya.
Dalam bidang ekonomi, Al-Quran juga melakukan pembaruan. Struktur ekonomi yang berlaku di masyarakat cenderung eksploitatif dan monopolis. Prinsip umum Al-Quran dalam tindakan ekonomi adalah adanya kerelaan diantara pihak yang bertransaksi. Dalam setiap transaksi, hendaknhya juga dilakukan dengan perjanjian tertulis. Al-Quran juga melarang praktik riba yang sudah mengakar pada masyarakat. Status riba juga ditegaskan berbeda dengan status jual beli, dan sebagai gantinya dikenalkan zakat dan shadaqah.

Dari paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa reformasi yang dilakukan Al-Quran terhadap masyarakat Arab pada fase Madinah adalah membangun struktur masyarakat yang kokoh. Landasannya adalah prinsip ketauhidan yang menekankan pada prinsip egalitarian dan moralitas sosial. Struktur yang dibangun meliputi struktur politik, ekonomi dan sosial.

Ciri-ciri umum Madaniyah:

• Di dalamnya diterangkan masalah ibadah, muamalah, faridhah (hal-hal yang wajib) dan had (hukuman).
• Di dalamnya disebutkan orang-orang Munafik, kecuali Al-Ankabut.
• Di dalamnya terdapat perdebatan dengan Ahli Kitab.
• Di dalamnya terdapat lafadz (يا أيّها الّذين امنوا)

3) Pembagian kata kunci surah Al-Isra’ 17:70 berdasarkan Makkiyah dan Madaniyyah :

Kata Kemunculan dalam Al-Quran Dalam surat:ayat Makna/Arti
كرّمنا 1 kali Al-Isra’ 17:70 (Makkiyah) Memuliakan
بنى اٌدم 7 kali Al-A’raf 7:26,27,31,35,172 (Makkiyah)

Al-Isra’ 17:70 (Makkiyah)

Yaasin 36:60 (Makkiyah) Anak cucu Adam



Anak cucu Adam

Anak cucu Adam
فضّلناهم 2 kali Al-Isra’ 17:70 (Makkiyah)

Al-Jatsiah 45:16 (Makkiyah) Melebihkan

Melebihkan

E. ANALISIS ASBABUN NUZUL

Untuk lebih memahami Al-Quran , perlu diketahui latar belakang turunnya atau sering juga disebut asbab nuzulnya. Dengan mengetahui asbab nuzul ayat-ayat Al-Quran, kita akan lebih memahami arti dan makna ayat-ayat itu dan akan hilanglah keragu-raguan dalam mentafsirkannya.
Betapa banyak ulama yang menganggap penting pengetahuan tentang asbab nuzul ayat itu, dan berbagai usaha telah mereka lakukan untuk menelti dan mengumpulkan bahannya. Mereka ini antara lain : Imam Al-Wahidy, Ibnu Daqiequl ‘Ied, dan Ibnu Taimiyah.

Imam Al-Wahidy berpendapat bahwa pembicaraan mengenai asbab nuzulul Quran, tidak dapat dibenarkan tanpa mengetahui riwayat-riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, serta mengetahui sebab-sebabnya dan mendalami ilmunya.
Menurut Al-Hakim dalam kitab Ulumul Quran, apabila seorang sahabat yang menyaksikan wahyu dan turunnya ayat Al-Quran berkata bahwa ayat ini turun tentang anu, dapatlah disimpulkan bahwa hadits itu musnad. Sebagian ulama tidak menganggap qaul shahaby sebagai musnad, kecuali apabila di belakangnya menyebabkan sebab turunnya ayat.

Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa kadang-kadang suatu riwayat menuturkan maksud suatu ayat, yang justru dalam ayat itu sendiri telah jelas maksudnya. Hadits seperti ini menerangkan ayat tersebut dan tidak mengenai asbab nuzulnya.

Az-Zarkasyi menuturkan dalam kitabnya Al-Burhan : “dari adat para sahabat dan tabi’in dapat diketahui, apabila salah seorang berkata, “turunnya ayat ini dalam perkara ini”, maka yang dimaksudkan dengan kata itu ialah bahwa ayat tersebut berisikan hukum-hukum tentang sesuatu, dan bukan sebagai sebab turunnya ayat.”

Imam Suyuthi berpendirian bahwa asbab nuzul suatu ayat, bukanlah sekedar menceritakan suatu ayat itu turun berkenaan dengan kejadian tertentu (seperti riwayat Al-Wahidy tentang surat Al-Fiil). Riwayat yang dikemukakan Al-Wahidy itu sekedar memberitahu kejadian yang lalu, sebagaimana tarikh Nabi Nuh, kaum ‘Ad, Tsamud, tarikh didirikannya Baitullah dan sebagainya.



a. Asbab Nuzul surah Al-Isra’ 17:70 (riwayat)

Tidak ditemukan riwayat – riwayat dari para sahabat yang menjelaskan tentang sebab turunnya ayat ini.

b. Asbab Nuzul surah Al-Isra’ 17:70 (dirayat)

Secara sosio-historis, turunnya ayat ini bisa disebabkan karena melihat kondisi masyarakat Arab pada zaman Jahiliyyah yang mempraktikan bermacam-macam pola perkawinan. Ada yang disebut nikah ad-dayshan, dimana anak sulung laki-laki dibolehkan menikahi janda (istri) mendiang ayahnya. Caranya sederhana, cukup dengan melemparkan sehelai kain kepada wanita itu, maka saat itu juga dia sudah mewarisi ibu tirinya itu sebagai istri. Kadang kala dua orang bapak saling menyerahkan putrinya masing-masing kepada satu sama lain untuk dinikahinya. Praktik ini mereka namakan nikah syighar. Ada juga yang bertukar istri hanya dengan kesepakatan kedua suami tanpa perlu membayar mahar, yaitu nikah al-badal. Selain itu ada pula yang dinamakan zawaj al-istibda’, dimana seorang suami boleh dengan paksa menyuruh istrinya tidur dengan lelaki lain sampai hamil dan setelah hamil sang istri dipaksa untuk kembali kepada suaminya semula, semata-mata karena mereka ingin mendapatkan bibit unggul dar orang lain yang dipandang mempunyai keistimewaan tertentu. Bentuk-bentuk pernikahan semacam ini jelas sangat merugikan dan menindas perempuan.
Secara umum, kaum perempuan jahiliyyah tidak memilki hak-hak sosial dalam masyarakat. Laki-laki atau suami memiliki posisi dominan dalam masyarakat maupun keluarga hal ini disebabkan karena fungsi sosial laki-laki dalam masyarakat kesukuan memang besar, sehingga berimbas pada besarnya kekuasaan dalam keluarganya. Praktik poligami menunjukkan betapa dominannya kedudukan laki-laki Arab pada masa itu. Poligami dipraktikkan tanpa mengenal batasan jumlah. Disamping sejumlah istri, orang Arab juga memiliki beberapa budak baik amat, jariyyah, sariyyah atau malak yamin. Kesemuanya berkonotasi budak yang bisa multifungsi yang bisa menjadi objek penyaluran seksual tanpa melalui perkawinan. Meskipun terdapat model perkawinan poliandri, dimana perempuan bebas memiliki sejumlah laki-laki yang disukainya, tetapi praktik ini lebih menyerupai pelacuran.

Subordinasi terhadap perempuan juga berimbas pada masalah talak. Pemegang hak talak adalah laki-laki berdasarkan sistem kekerabatan yang ada. Ketika terjadi talak maka hubungan perkawinan terputus tanpa syarat. Mereka tidak mengenal iddah, laki-laki dapat langsung melakukan perkawinan secara langsung saat itu juga. Istri yang tertalak tidak mendapatkan hak apapun dari suami yang menalaknya. Begitu juga dalam hal warisan. Kelompok perempuan dan anak kecil tidak mendapatkan bagian warisan, karena mereka tidak memiliki kemampuan kemiliteran dan dianggap tidak bisa menjaga harta kabilah. Bahkan janda pada masa pra-Islam dikategorikan sebagai harta waris

F. ANALISIS MUNASABAH

Munasabah dengan ayat sebelumnya (Al-Isra’ 17:69)

أمْ أَمِنْتُمْ أَنْ يُعِيْدَكُمْ فِيْهِ تَارَةً أُخْرَى فَيُرْسِلَ عَلَيْكُمْ قَاصِفًا مِنَ الرِّيْحِ فَيُغْرِقَكُمْ بِمَا كَفَرْتُمْ ثُمَّ لَا تَجِدُوْا لَكُمْ عَلَيْنَا بِهِ تَبِيْعًا.

“Bahkan apakah kamu merasa aman dari dikembalikan-Nya kamu ke laut sekali lagi, lalu Dia meniupkan atas kamu angin taufan dan ditengglamkan-Nya kamu disebabkan kekafiran kamu. Kemudian kamu tidak akan mendapatkan terhadap Kami satu penuntut pun.”

Ayat ini (69) menggambarkan anugerah-Nya ketika berada di laut dan di darat, baik terhadap yang taat maupun durahaka, maka pada ayat 70 menjelaskan sebab anugerah itu yakni karena manusia adalah makhluk unik yang memiliki kehormatan dalam kedudukannya sebagai manusia –baik ia taat beragama maupun tidak-. Manusia dimuliakan dengan bentuk tubuh yang bagus, kemampuan berbicara dan berpikir, serta berpengetahuan dan diberi kebebasan memilah dan memilih. Dan manusia diberi kelebihan dari makhluk lain berupa akal dan daya cipta, sehingga menjadi makhluk bertanggung jawab. Dan yang taat dari mereka diberi kelebihan atas malaikat karena ketaatan manusia melalui perjuangan melawan setan dan nafsu, sedang ketaatan malaikat tanpa perjuangan.

Munasabah dengan ayat sesudahnya (Al-Isra’ 17:71)

يَوْمَ نَدْعُوْا كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ فَمَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِيْنِهِ فَأُولئِكَ يَقْرَءُوْنَ كِتَابَهُمْ وَلَا يُظْلَمُوْنَ فَتِيْلًا.

“Suatu hari (yang ketika itu) Kami memanggil tiap umat dengan imannya; dan barang siapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya maka mereka itu akan membaca kitab mereka, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.”

Ayat sebelumnya (70) menguraikan kuasa Allah menganugerahkan keutamaan bagi seseorang atas yang lain, dan menegaskan pula bahwa semua manusia –dari segi kehormatannya- memiliki kehormatan yang sama, antara lain semua diberi hak memilah dan memilih serta diberi pula kemampuan melaksanakan pilihannya lagi diciptakan sebagai makhluk bertanggung jawab. Pada ayat ini (71) dijelaskan bahwa kelebihan-kelebihan yang diperolehnya itu akan dipertanggungjawabkan pada hari kiamat nanti sesuai dengan kitab amalannya

G. KESIMPULAN

Kata karramnaa ( كرّمنا ) yang berasal dari kata karama ( كرم ) kemulian hanya tersebut sekali dalam Al-Quran. Dan ditegaskan pula dengan kata qad (قد). Berdasarkan ilmu nahwu apabila fi’il madhi (kata kerja lampau) didahului oleh kata penegasan (قد) maka kata itu berarti sesuatu yang terjadi pada masa lalu dan masih berlaku hingga masa kini. Dengan begitu, artinya Allah telah menjadikan manusia mulia dan dihormati kedudukannya semenjak menciptakan Nabi Adam as dan kemuliaan itu berlaku kepada semua keturunannya tanpa membedakan jenis kelamin, ras, suku, atau agama.

Kata Banii Adam ( بنى ادم )hanya tersebut tujuh kali dalam Al-Quran. Dan empat diantaranya terulang dengan kata panggilan Ya Banii Adam/hai anak-anak adam yang terdapat pada surat Al-A’raf 7:26, 27, 31 & 35. Adapun dalam surat Yaasiin 36:60, memang disebutkan panggilan Ya Bani Adam, namun yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kaum musyrikin. Kesan dan pesan yang disampaikannya (Ya Bani Adam) berbeda dengan yang menggunakan panggilan Ya Ayyuhal ladzina Amanu yang mana hanya ditujukan bagi orang yang beriman saja. Demikian juga dengan panggilan Ya Ayyuhan-naas yang walaupun tertuju kepada seluruh manusia tapi boleh jadi hanya ditujukan kepada seluruh manusia pada zaman Nabi Muhammad saw hingga akhir zaman. Adapun panggilan Ya Banii Adam/ hai anak cucu Adam, maka ia jelas tertuju kepada seluruh manusia, sejak putra pertama Adam, hingga putranya yang terakhir. Konsep Bani Adam dalam bentuk menyeluruh adalah mengacu kepada penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikin dapat disimpulkan bahwa manusia dalam konsep Bani Adam, adalah sebuah usaha pemersatu (persatuan dan kesatuan) tidak ada perbedaan sesamanya, yang juga mengacu pada nilai penghormatan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan serta mengedepankan HAM karena yang membedakan hanyalah ketaqwaannya kepada Sang Pencipta. Sebagaimana yang diutarakan dalam surat Al-Hujurat:13.

Sedangkan kata fadhdhalnaahum ( فضّلناهم ) yang berasal dari kata fadhl ( فضل )/ kelebihan, hanya tersebut dua kali dalam Al-Quran. Yaitu dalam surat Al-Isra 17:70 dan surat Al-Jatsiah 45:16. Pada surat Al-Jatsiah 45:16 dhamir hum ( هم )/mereka merujuk kepada Bani Israil, yang mana mereka oleh Allah dilebihkan dari bangsa lain karena banyaknya para nabi yang muncul dari kalangan mereka seperti Nabi Musa as dan tidak satu bangsa pun yang jumlah para nabi dari kelompok mereka melebihi Bani Israil. Bagaimanapun, dhamir hum pada kata fadhdhalna dalam Al-Quran hanya diperuntukkan kepada makhluk yang berakal yakni manusia, sehingga bisa dipahami bahwa dari segala ciptaan Allah hanya manusialah yang istimewa karena potensi akal, hati dan potensi-potensi lain yang dimilikinya. Dan karena kelebihannya inilah manusia mampu mengatur dan mengelola alam semesta beserta ciptaan-ciptaan-Nya.

Dari keterangan kata-kata kunci diatas, secara umum dapat disimpulkan bahwa kemuliaan yang diberikan Allah kepada manusia (karena kelebihannya dari makhluk lain) adalah sama rata tanpa ada perbedaan antara satu dengan yang lain, baik suku, ras, agama dan terutama jenis kelamin (laki laki/perempuan) seperti yang disinggung dalam makalah ini. Hal ini sejalan dengan konsep Bani Adam yaitu pengakuan terhadap spesies manusia yang mengacu kepada penghormatan kepada nilai-nilai kemanusiaan.

Dan berdasarkan penelitian diatas, ditemukan bahwa kata-kata kunci tersebut di dalam Al-Quran hanya terdapat pada surat-surat makkiyah saja. Hal ini sesuai dengan konteks pewahyuan pada saat itu (fase mekkah) yaitu berupa ajaran ketauhidan. Ajaran tauhid merupakan dasar dari semua ajaran islam. Prinsip ini mengajarkan kepada manusia untuk tunduk hanya pada Tuhan Yang Maha Esa. Dari keyakinan akan keesaan Tuhan tersebut akan menumbuhkan sikap sosial yang humanis dan egaliter. Sikap ini akan menciptakan rasa kesamaan derajat dan menghilangkan ketidakadilan sosial dalam masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Manna’ul Qaththan, Pembahasan Ilmu Al-Quran 1, Rineka Cipta.
Ali Sodiqin, Antropologi Al-Quran : Model Dialektika Wahyu dan Budaya, Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2008.
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran : Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung : Mizan, 1994.
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, volume 7, Jakarta : Lentera Hati, 2002.
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, volume 11, Jakarta : Lentera Hati, 2002.
K.H. Qamaruddin Shaleh, Asbabun Nuzul : Latar Belakang Historis Turunnya Al-Quran, Bandung : Diponegoro, 1975.
Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Jakarta : Gema Insani, 2008.
Fuad Abdul Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufahros Li Alfadzil Quran.
Readmore → Analisa Surat Al-Isra' Ayat 70

Istihsan, Mashalih Mursalah dan Saddu adz-Dzari'ah

1. Istihsan
Istihsan menurut bahasa arab, artinya menganggap sesuatu yang baik. Menurut istilah ushul fiqh, meniggalkan ketentuan qiyas yang jelas illatnya untuk mengamalkan qiyas yang samar illatnya, atau meninggalkan hukum yang bersifat umum untuk bepegangan dengan hukum pengecualian, karena ada dalil yang memperkuat sikapnya itu.
Istihsan juga diartikan berpaling daripada hukum yang mempunyai dalil kepada adat (kebiasaan) untuk kemaslahatan umum. Seperti membunuh orang Islam yang ditawan oleh orang kafir didalam peperangan, sedangkan orang Islam yang ditawan itu dijadikan perisai oleh orang kafir, maka orang Islam itu boleh dibunuh, karena menjaga kebaikan tentara Islam dan umat Islam yang banyak.

Dari definisi istihsan ini, jelaslah bahwa ada 2 macam istihsan, yaitu:
• Menganggap lebih baik memakai qiyas yang samar illatnya daripada qiyas yang jelas illatnya, karena adanya dalil. Misalnya, menurut ulama Hanafi, orang yang mewakafkan sebidang tanah pertanian, maka yang bisa dimanfaatkan bukan hanya hasil pertaniannya saja, melainkan orang juga berhak meminum airnya, mengalirkan air, dan berjalan lewat tanah pertanian wakaf itu, sekalipun tidak disebut si waqif hak-hak tersebut diatas. Padahal menurut qiyasnya, hak-hak itu (lewat, minum, dan membuat saluran air melalui tanah wakaf) tidak tercakup didalamnya, kecuali dengan pernyataan pada waktu wakaf. Namun, hal-hal tersebut diperbolehkan, berdasarkan istihsan.
• Mengecualikan sesuatu dari ketentuan hukum yang umum. Misalnya agama Islam melarang jual beli dan membuat akad sesuatu yang belum atau tidak ada pada waktu terjadi transaksi. Namun, agama memberi dispensasi atas dasar istihsan dalam jual beli salam (barang yang belum ada pada waktu pembeli membayar harganya), juga dalam perburuhan, perkebunan/ pertanian, dan istishna’ (barang baru mau dibuatkan pada waktu akad). Semua akad ini, barangnyna belum ada, tetapi dibolehkan agama atas dasar istihsan, karena masyarakat memang membutuhkannya.
Kedudukan istihsan sebagai dalil atau simber hukum masih dipersoalkan. Kebanyakan ulama Hanafi memakai istihsan dengan alasan, bahwa istihsan itu adalah menggunakan qiyas yang samar illatnya karena dipandang lebih baik, atau memilih suatu qiyas dan menggunakan qiyas lain yang bertentangan, atau memakai mashalih mursalah untuk mengecualikan sesuatu dari ketentuan hukum yang umum. Dan semuanya itu adalah menggunakan dalil yang benar.
Jelaslah, bahwa istihsan itu bukan dalil/sumber hukum yang berdiri sendiri, melainkan berdasarkan qiyas yang samar illatnya atau berdasarkan maslahah.
Ulama yang menolak qiyas dipelopori oleh Imam Syafi’i dengan pernyataannya yang terkenal:
من استحسن فقد شرّع فى الدين.
“barang siapa yang membuat istihsan, maka sungguh ia mebuat syariat (hukum) dalam agama.”
Sebenarnya Imam Syafi’i menolak istihsan atas dasar pengertian: menetapkan suatu hukum menurut sesuka hatinya tanpa berdasarkan dalil. Padahal istihsan yang dipakai oleh Hanafi dan juga Malik itu adalah dalam pengertian mengambil salah satu dari dua dalil yang diapandang lebih kuat. Maka kalau istihsan menurut pengertian ini, sebenarnya Imam Syafi’i didalam praktek banyak juga menetapkan hukum beberapa masalah. Tetapi ia tidak suka memakai istilah istihsan, melainkan dengan istilah lain, seperti istishhab, munasabah, dan sebagainya.
2. Mashalih Mursalah
Arti kata mashalih mursalah, ialah kebaikan yang tidak terikat pada nalil/nash Al-Qur’an dan Sunnah. Menurut istilah Ushul Fiqh, mashalih mursalah adalah menetapkan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak disebutkan sama sekali didalam Al-Qur’an dan Sunnah atas pertimbangan menarik kebaikan dan menolak kerusakan dalam kehidupan masyarakat.
Dikatakan oleh Ibnu Taimiyah:
حكم شئ أ هو حرام أو مباح فلينظر إلى مفسدته و مصلحته.
“hukum sesuatu adakah dia haram atau mubah, maka dilihat dari segi kebiasaan dan kebaikannya.”
Maslahah ada 2 macam, yaitu:
• Maslahah Mu’tabarah, artinya kemashlahatan atau kebaikan yang memang diakui oleh islam. Misalnya, demi melindungi keselamatan masyarakat, Islam menetapkan hukuman qisas, termasuk hukuman mati bagi si pembunuh yang membunuh dengan sengaja. Demi melindungi harta masyarakat, Islam menjatuhkan hukuman had (potongan tangan) bagi pencuri yang profesional. Dan demi menjaga kehormatan, Islam menindak orang yang Qadzaf (menuduh serong kepada orang baik-baik) dan menghukum orang yang berbuat zina/prostitusi. Maka pembunuhan dengan sengaja, pencurian, tuduhan serong, dan prostitusi adalah hal-hal relevan untuk dijadikan landasan hukum syara’, yakni hukuman qisas atau hukuman had. Maslahah mu’tabarah ini telah disepakati oleh ulama untuk dijadikan landasan hukum syara’, atau dengan kata lain sebagai illat hukum.
• Maslahah Mursalah, ialah kemaslahatan yang diakui adanya karena timbul peristiwa-peristiwa baru setelah Nabi wafat. Misalnya, perkawinan anak-anak dibawah umur tidak dilarang agama dan sah jika dilakukan oleh walinya yang berwenang. Namun, ternyata data statistik menunjukkan, perkawinan anak-anak banyak membawa akibat perceraian, karena anak-anak belum siap fisik dan mentalnya untuk menghadapi tugas-tugas sebagai suami-istri, apalagi sebagai bapak dan ibu rumah tangga. Dan perceraian tidak sesuai dengan tujuan perkawinan (perhatikan Surat Ar-Rum ayat 21, dan cf. UU Perkawinan No.1th 1974 pasal 1). Maka atas dasar maslahah mursalah ini, pemerintah dibenarkan melarang perkawinan anak-anak, dan membuat peraturan tentang batas umur bagi calon-calon suami-istri, sebagaimana tercantum dalam UU Perkawinan pasal 7 ayat 1.
Untuk menghindari penyalahgunaan mashalih mursalah sebagai landasan hukum, maka ulama membuat persyaratan sebagai berikut:
• Maslahah yang ingin dicapai itu benar-benar nyata, bukan sekedar dugaan yang tidak meyakinkan adanya. Contoh maslahah yang hanya diduga, ialah perceraian yang hanya atas kemauan suami–istri saja atau atas kemauan salah satu dari suami-istri tanpa persetujuan/keputusan pengadilan. Maka demi kemaslahatn suami-istri, perceraian hanya dapat dilaksanakan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, dan untuk melaksanakan perceraian harus ada alasan yang cukup kuat, yakni suami-istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-istri (UU Perkawinan No.1, 1974 pasal 39 ayat 1 dan 2.);
• Maslahah harus bersifat umum, bukan maslahah perorangan atau kelompok tertentu saja. Karena itu, riba tidak dibenarkan oleh agama, sebab riba itu hanya memberi kemaslahatan bagi perorangan atau beberapa orang saja (rentenir);
• Maslahah harus tidak bertentangan dengan ketentuan hukum atau prinsip agama yang telah ditetapkan agama melalui nash atau ijma’. Misalnya , denga dalih untuk maslahah, maka hak waris bagi anak laki-laki dan anak wanita sama bagiannya, bukan dua berbanding satu. Maslahah semacam ini tidak bisa menjadi landasan hukum, karena jelas-jelas bertentangan dengan nash Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 10.
Kebanyakan ulama sejak zaman sahabat menggunakan masalahah mursalah sebagai dalil/sumber hukum Islam. kita perhatikan mislanya tindakan Khalifah Abu Bakar memerangi orang-orang yang mengaku islam tetapi tidak mau membayar zakat. Khalifah Umar tidak menjatuhkan had kepada orang-orang yang mencuri karena terpaksa, atau karena pada masa itu mereka sedang menghadapi keadaan paceklik/kelaparan. Khalifah Utsman menghimpun Al-Qur’an dalam satu mushaf dengan tulisan seragam. Khalifah Ali menjatuhkan hukuman mati dengan membakar orang-orang Syi’ah yang ekstrim. Kemudian dikalangan imam-imam madzhab, seperti Maliki membolehkan bahkan memukul orang yang tersangka melakukan kejahatan agar mengakui kejahatannya. Imam Syafi’i menjatuhkan hukuman mati kepada sekelompok orang yang secara bersama melakukan pembunuhan terhadap seorang korban. Dan Imam hanafi menempatkan mufti (orang yang memberi fatwa hukum) yang suka melawak tanpa malu, dokter yang melakukan praktek perdukunan atau sebaliknya tabib/dukun yang melakukan praktek kedokteran dan orang yang menyewakan kendaraan yang bangkrut, dibawah pengampuan seorang yang mampu.
Ulama yang menentang mashalih mursalah sebagai dalil/sumber hukum Islam ialah madzhab Dzahiri, madzhab Syi’ah Imamiyah, Al-Amidi dari kalanga Syafi’iyah, da Ibnul Hajib dari kalangan Malikiyah, dengan alasan bahwa memberi kesempatan memakai msahalih mursalah sebagai landasan hukum, bisa disalahgunakan terutama oleh penguasa-penguasa yang tidak bertanggung jawab,terutama mashlahah-mashlahah yang masih bersifat asumtif.
3. Saddu adz-Dzari’ah
Menurut bahasa, Saddu adz-Dzari’ah terdiri dari saddu, artinya menutup; dan dzari’ah, artinya jalan (thariqat, bhs. Arab) atau perantaraan (wasilah, bhs. Arab) yang bisa menyampaikan kepada sesuatu (kebaikan atau kejelekan).

Dikalangan ulama Ushul Fiqh ada beberapa definisi tentang dzari’ah ini, antara lain:
• Dzari’ah menurut kebanyakan ulama Ushul Fiqh, ialah:
ما يتوصّل به إلى شئ ممنوع مشتمل على مفسدة.
“sesuatu yang bisa menyampaikan kepada hal yang terlarang yang mengandung unsur kerusakan.”
الأمر المباح الّذى يتّخذ وسيلة إلى مفسدة.
“hal yang mubah (boleh) yang bisa menjadi perantaraan kepada kerusakan.”
• Dzari’ah menurut Ibnu al-Qoyyim, ialah:
ما كان وسيلة أو طريقا إلى شئ.
“apa saja yang bisa menjadi perantaraan dan jalan ke arah sesuatu”
Dari dua definisi diatas tentang dzari’ah tersebut, jelaslah bahwa menurut definisi yang pertama (dari kebanyakan ulama Ushul Fiqh), dzari’ah itu diartikan sebagai perantaraan/jalan yang membawa kepada kejelekan/kerusakan saja. Maka demi menghindari jalan yang membawa kepada kerusakan, maka wajib ditutup (saddu) apa saja yang bisa membawa kita kepada kerusakan. Karena itu, untuk kepentingan preventif (pencegahan), sesuatu yang semula mubah, bisa menjadi harram dan dilarang, jika sesuatu tadi bisa membawa kepada kerusakan.
Beberapa contoh dzari’ah (perantaraan/jalan) yang wajib ditutup atau saddu adz-dzari’ah sebagai berikut:
• Melihat aurat wanita bukan mahram dan bukan pula istrinya adalah haram, karena perbuatan itu bisa membawa kepada perbuatan keji (zina dan sebagainya);
• Wanita pun dilarang memperlihatkan bagain auratnya kecuali kepada suaminya, anak-anaknya, dan orang-orang lain yang tersebut dalam Surat An-Nur ayat 31. Larangan ini dimaksud untuk menjaga keselamatan dan kehormatan wanita itu sendiri, dan juga untuk tidak merangsang kaum lelaki;
• Allah melarang seorang Muslim memaki/menghina sesembahan non-Muslim dan juga benda-benda yang dianggap suci/keramat oleh mereka. Sebab, perbuatan itu selain bertentangan dengan ajaran Islam yang menjunjung tinggi prinsip kebebasan beragama dan berkepercayaan, juga dapat mendorong non-Muslim yang terhina itu balas dendam dengan ganti menghina Allah dan agama-Nya (Islam);
• Nabi Muhammad melarang orang memaki orangtua orang lain, karena perbuatannya itu bisa mendorong orang lain ganti memaki orang tuanya sendiri, sebagaimana diingatkan dalam hadis Nabi:
إنّ من أكبر الكبائر أن يلعن الرّجل والديه. قيل: كيف يلعن الرّجل والديه يا رسول الله؟ قال: يسبّ أبا الرّجل فيسبّ أباه و يسبّ أمّه فيسبّ أمّه. (الحديث)
“sesungguhnya termasuk dosa besar, ialah orang mengutuk/memaki orangtuanya. Ditanyakan kepada Nabi: Bagaimana seseorang sampai bisa memaki orangtuanya sendiri? Jawab Nabi: Ia memaki bapak orang itu, maka si orang itu memaki bapaknya. Dan ia memaki ibu orang itu, maka orang itu pun ganti memaki ibunya.”
Apabila dzari’ah diartikan seperti yang dirumuskan oleh kebanyakan ulama Ushul Fiqh, yakni dzari’ah yang hanya membawa mafsadah saja (definisi pertama), dapat kita ketahui dalam kitab-kitab madzhab Maliki dan Hambali. Tetapi apabila dzari’ah diartikan seperti dirumuskan oleh Ibnul Qoyyim (definisi kedua), maka ada dzari’ah yang harus ditutup (saddu adz-dzari’ah), seperti pada empat contoh diatas. Disamping itu ada juga dzari’ah yang wajib mubah/mandub/makruh dibuka (fathu dzari’ah), tergantung kepada tujuan yang dicapainya: maslahah atau mafsadah, atau tergantung kepada akibat yang ditimbulkan oleh dzari’ah tersebut.
Karena itu menurut Ibnul Qoyyim, dzari’ah itu ada empat macam, yaitu:
• Dzari’ah yang selamanya membawa mafsadah (kerusakan), seperti minuman keras yang selalu membawa akibat mabuk, yang pada gilirannya dapat merusak otak/akal. Ulama sepakat wajib menutup dzari’ahnya.
• Dzari’ah yang pada dasarnya mubah dan tidak dimaksudkan membawa mafsadah, tetapi pada umumnya dapat membawa kepada mafsadah dan mafsadahnya jauh lebih besar daripada maslahahnya; maka dzari’ah macam ini masih dipersoalkan ulama tentang boleh atau tidaknya.
Misalnya seorang janda akibat kematian suaminya, bukan karena perceraian, yang belum habis masa iddahnya (iddahnya 4 bulan 10 hari berdasarkan Surat Al-Baqarah ayat 234). Pada dasarnya si janda ini boleh berhias diri dengan make up dan sebagainya dan dengan berhias itu ia belum tentu bermaksud negatif/mafsadah. Namun, perbuatannya itu kemungkinan besar bisa membawa akibat negatif, yakni mendorong lelaki yang simpati, menimangnya dengan terus terang. Dan hal ini jelas dilarang oleh agama, karena belim habis iddahnya.
• Dzari’ah yang pada dasarnya mubah, tetapi terkadang bisa membawa mafsadah. Hanya saja maslahahnya lebih besar daripada mafsadahnya. Misalnya seorang dokter laki-laki memeriksa kesehatan pasien wanita, maslahahnya jauh lebih besar daripada mafsadahnya, karena adanya sumpah dokter dan kode etik kedokteran. Hukum dzari’ah macam ketiga ini bisa mubah, mandub, atau wajib, tergantung pada tingkatan kemaslahatannya.
• Dzari’ah yang pada dasarnya mubah, tetapi dimaksudkan untuk tujuan mafsadah. Misalnya jual beli secara kredit untuk mendapatkan bunga, atau menyewakan tempat kepada orang untuk dipakai maksiat, orang yang menyewakan tempat berdosa, sekalipun tidak memakainya sendiri tetapi masih dipersoalkan para ulama. Penyewanya jelas berdosa, seperti perjudian , pelacuran dan sebagainya. Atau menjual buah anggur kepada orang yang biasa memakai anggur itu untuk minuman khamar (minuman keras). Hukum dzari’ah macam keempat ini masih dipersoalkan kalangan ulama tentang diperbolehkannya atau tidak (saddu adz-dzari’ah atau fathu dzari’ah).
Pada umumnya fuqaha dari berbagai madzhab memakai saddu adz-dzari’ah sebagai dalil/sumber hukum Islam, kecuali madzhab Dzahiri yang menolaknya dengan alasan, bahwa seseorang cukup menghindari hal-hal yang syubhat (yang tidak jelas halal-haramnya) agar tidak jatuh kedalam haram.
Suatu masalah yang masih dalam keragu-raguan yang belum mempunyai keyakinan atas bolehnya atau terlarang, harus ditinggalkan sampai adanya keyakinan, jika dikerjakan juga mungkin akan membawa kepada perbuatan yang terlarang (haram), ini berarti bermain ditepi larangan, seperti pergaulan muda-mudi yang terlalu bebas mengakibatkan timbulnya larangan agama (dosa).
Sabda Nabi SAW:
ألا و إنّ حمى الله معاصيه فمن حمى حول الحمى يوشك أن يواقعه روق. (متفق عليه)
"ingatlah! Sesungguhnya Allah melarang mendurhakainya, maka barangsiapa yang bermain-main di tepi larangan berarti dia hampir memasukinya" (H.R. Muttafaqun Alaihi).


Sabda Nabi berikutnya:
دع ما يريبك إلى ما لا يريبك. (رواه الترمذى)
“tinggalkanlah apa-apa yang meragukanmu dengan mengambil hal-hal yang tidak meragukanmu” (H.R. Tirmidzi).
Tiap-tiap yang berhubungan dengan kepercayaan/keimanan, kita harus mencari pengertian tentang itu, sampai pada taraf yakin, yaitu pengertian yang pasti yang berdasarkan kepada dalil-dalil dan keterangan, baik dalil ‘aqly yaitu keterangan yang berdasarkan kepada jalan fikiran yang sehat, maupun naqly sima’i yang berdasarkan keterangan Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir.
Kita tidak boleh ragu atau syak dalam hal tersebut, kalau masih ragu harus terus mencari pengertiannya sampai pada taraf keyakinan dalam melakukan perintah Allah dan Rasul-Nya.

Referensi:
• Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, Ed. 1, Cet. 1, Jakarta: Rajawali, 1993.
• Masyfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syari’ah, cet. 1, Jakarta: Haji Masagung,1987.
Readmore → Istihsan, Mashalih Mursalah dan Saddu adz-Dzari'ah
 

Profil

Kategori

Archives