Blog ini adalah milik Muhammad Najih Vargholy. Diberdayakan oleh Blogger.
Jika hendak mengenal dunia MEMBACALAH, Jika hendak dikenal dunia MENULISLAH, Jika hendak menguasai dunia BERILMULAH. (Hamid Fahmy Zarkasyi)

Maqamat Tasawuf

Kamis, 09 Februari 2012

Untuk berada dekat pada Allah seorang sufi harus menempuh jalan panjang yang berisi station-station, yang disebut maqamat (bentuk jamak dari maqam). Perkataan maqam dapat diartikan station, tahapan atau tingkatan, yakni tingkatan spiritual yang telah dicapai oleh seorang sufi. Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi mengakatan sebagai tingkatan seorang hamba disisi Allah SWT yang diperolehnya karena ibadah, mujahadah, riyadah, dan putusnya hubungannya dengan selain Allah.

Dengan demikian, maqam adalah hasil dari kesungguhan dan perjuangan terus menerus. Ini berarti bahwa seseorang baru dapat berpindah dan naik dari suatu maqam ke maqam yang lebih tinggi setelah melalui latihan dan menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang lebih baik lagi, dan telah pula menyempurnakan syarat-syarat yang ada pada maqam dibawahnya.

Yang biasa disebutkan, menurut Harun Nasution, maqamat itu adalah sebagai berikut: taubah, zuhd, sabr, tawakkal dan rida’.

a) Taubah
Taubah yang dimaksudkan orang sufi adalah taubah dalam arti yang sebenarnya, yakni taubah yang tidak akan membawa kepada dosa lagi. Terkadang taubah dapat dicapai dengan sekali saja. Pernah diceritakan, ada seorang sufi sampai 70 kali bertaubah, baru ia mencapai tingkat taubah yang sebenarnya. Taubah yang sebenarnya dalam paham tasawuf adalah lupa pada segala hal kecuali Allah. Orang yang taubah kata al-Hujwiri, adalah orang yang cinta pada Allah. Orang yang cinta Allah senantiasa mengadakan kontemplasi tentang Allah. Dzu al-Nun al-Misri membagi taubah menjadi 2 macam, yaitu: (1) taubah orang awam adalalh taubah dari dosa, dan (2) taubah orang khawas adalah taubah dari kelalaian. Jadi taubah ke-2 inilah yang dimaksudkan dengan taubah yang sebenarnya.

b) Zuhd
Zuhd menurut Ibn Qudamah al-Muqaddasi adalah “pengalihan keinginan dari sesuatu ke sesuatu yang lebih baik.” Menurut Imam al-Ghazali, “zuhd ialah mengurangi keinginan pada dunia dan menjauh daripadanya dengan penuh kesadaran dan dalam hal yang mungkin dilakukan.” Imam al-Qusyairi mengatakan, “zuhd adalah tidak merasa bangga dengan kemewahan dunia yang telah ada ditangannya dan tidak merasa bersedih dengan hilangnya kemewahan tadi dari tangannya.”
Ahmad bin Hanbal, seperti yang dinukil Imam al-Qusyairi, mengatakan, zuhd terbagi menjadi tiga macam: (1) meninggalkan yang haram itulah zuhudnya orang awam, (2) meninggalkan segala yang berlebih-lebihan dari yang halal, inilah zuhudnya orang khawas, dan (3) meninggalkan segala hal yang menyibukkan dirinya sehingga karena kesibukan itu, ia lupa kepada Allah, inilah zuhudnya orang ‘arif.

c) Sabr
Abu Zakaria Ansari berkata: “sabar merupakan kemampuan seseorang dalam mengendalikan dirinya terhadap sesuatu yang terjadi, baik yang disenanginya maupun yang dibencinya.” Abu Ali Daqaq mengatakan: “hakikat sabar ialah keluar dari suatu bencana sebagaimana sebelum terjadi bencana itu.” Dan Imam al-Ghazali mengatakan: “sabar merupakan suatu kondisi jiwa yang terjadi karena dorongan ajaran agam dalam pengendalian hawa nafsu.”
Sabar dapat berarti konsekuen dan konsisten dalam melaksanakn semua perintah Allah. Berani menghadapi kesulitan dan tabah dalam menghadapi cobaan selama dalam perjuangan untuk mencapai tujuan. Karena itu, sabar erat hubungannya dengan pengendalian diri, sikap dan emosi. Apabila seseorang telah mampu mengontrol dan mengendalikan nafsunya, maka sikap sabar akan tercipta.

d) Tawakkal
Tawakkal adalah suatu sikap mental seorang sufi yang merupakan hasil dari keyakinannya yang bulat kepada Allah, karena didalam tauhid ia diajari agar meyakini bahwa hannya Allah yang menciptakan segala-galanya, pengetahuanNYA maha luas, Dia yang menguasai dan mengatur alam semesta ini. Keyakinan inilah yang mendorongnya untuk menyerahkan segala persoalannya kepada Allah. Hatinya tenang dan tentram serta tiada ada rasa curiga, karena Allah Maha Tahu dan Maha Bijaksana.
Sifat tawakkal memang timbulnya tidak dengan sekaligus, tetapi secara bertahap dan berangsur-angsur, sesuai dengan perkembangan ilmu dan iman seseorang. Mungkin karena itulah, Abu Ali Daqaq mengatakan bahwa tawakkal itu terdiri dari 3 tingkatan: (1) tawakkal, yaitu hati merasa tentram dengan apa yang dijanjikan Allah. (2) taslim, yaitu merasa cukup menyerahkan urusan kepada Allah, karena Allah telah mengetahui tentang keadaan dirinya. (3) tafwidh, yaitu orang yang telah rida menerima ketentuan/takdir Allah.

e) Ridha
Pengertian ridha merupakan perpaduan antara sabar dan tawakkal yang melahirkan sikap mental yang tenang dan senang menerima segala situasi dan kondisi. Setiap yang terjadi disambut dengan hati terbuka, bahkan dengan rasa nikmat dan bahagia walaupun yang datang itu berupa bencana. Suka dan duka diterima dengan gembira, sebab apapun yang datang itu adalah ketektuan dari Allah yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana. Sikap mental seperti ini akan dapat tumbuh melalui usaha demi usaha, perjuangan demi perjuangan, mengikis habis segala perasaan gundah dan benci sehingga yang tinggal dalam hatinya hanya perasaan senang dan bahagia. Apapun yang datang dan pergi selalu diterima dengan ridha, ikhlas dan bahagia.

Menurut sebagian sufi, sebagaiman dikatakan Qamar Kailani didalam kitabnya Fi al-Tasawwuf al-Islami, ridha adalah maqam terakhir dari perjalanan salik. Dan datangnya sikap ridha ini adalah berkat perjuangan yang dilakukan secara berantai. Namun sebagian sufi berpendapat juga bahwa masih ada maqam lain yaitu mahabbah, ma’rifah, ittihad, hulul dan wahdat al-wujud.

Sumber:Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, hal 107.
 

Profil

Kategori

Archives