PENDAHULUAN
Setelah
berabad-abad lamanya terkungkung dalam penjajahan bangsa lain, dengan segala
daya dan upaya baik jiwa maupun raga bangsa Indonesia akhirnya berhasil
menikmati indahnya kebebasan dan kemerdekaan. Tentunya keberhasilan itu
tidaklah lahir secara instan dan begitu saja. Banyak rintangan-rintangan yang
telah dilewati dengan segenap pengorbanan yang tak ternilai harganya. Disamping
perjuangan mengusir para penjajah dari bumi nusantara, bangsa Indonesia
terutama para founding father kita pada masa itu juga disibukkan dengan
perdebatan serta silang pendapat diantara mereka sendiri sesama bangsa.
Perdebatan itu tiada lain adalah mengenai perumusan dasar negara.
Setelah
diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 ditetapkan
pula keesokan harinya sebuah konstitusi sebagai pemandu serta rambu-rambu dalam
bernegara yang sampai sekarang kita kenal sebagai Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
1945). Perlu diketahui bahwa dalam tata hukum, undang-undang dasar merupakan
peraturan tertinggi dalam sebuah negara yang memuat kertentuan-ketentuan pokok
dan menjadi salah sumber tertulis bagi peraturan perundang-undangan lainnya.
Sebagaimana dijelaskan oleh Kansil bahwa berdasarkan prinsip negara hukum, setiap
peraturan perundang-undangan harus bersumber pada peraturan yang lebih tinggi
tingkatannya.[1]
Dalam
penetapan sebuah konstitusi tertulis (UUD) tentu saja tidak dilakukan dengan tanpa melalui
kompromi-kompromi yang sulit. Ini mengingat bahwa UUD adalah juga merupakan sebuah
produk hukum dan setiap produk hukum tidak dapat dipungkiri dalam kenyataan
selalu dihasilkan melalui kompromi serta kesepakatan politik.[2] Sesungguhnya
masalah perumusan konstitusi telah dilakukan jauh sebelum kemerdekaan Indonesia
diproklamirkan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Berawal dari pembentukan
sekelompok panitia oleh pemerintahan Jepang yang disebut Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPK) pada tanggal 1 Maret 1945,
kelompok panitia yang beranggotakan 62 orang ini kemudian melakukan sidang
untuk pertama kalinya pada tanggal 29 Mei 1945. Agenda utama dari sidang ini
sebenarnya adalah untuk menyusun rancangan Undang-Undang Dasar namun berubah
menjadi pembahasan mengenai perumusan dasar negara.[3]
Dalam
perumusan dasar negara tersebut panitia BPUPK terpecah kedalam dua kubu yakni
golongan nasionalis-sekular serta golongan nasionalis-Islam. Guna mencapai
kesepakatan diantara dua kubu itu maka dibentuklah panitia kecil yang terdiri
dari sembilan orang yang akhirnya pada
sidang BPUPK kedua tanggal 22 Juni 1945
tercetusah apa yang disebut Piagam Jakarta. Piagam inilah yang merupakan cikal
bakal mukaddimah UUD 1945 yang didalamnya juga termuat rumusan Pancasila yang
menurut Soekarno merupakan landasan filosofis (Philosofische Gronslag)
Negara Indonesia.
Pancasila
terdiri atas lima pasal atau sila yang berurutan yakni, 1) Ketuhanan Yang Maha
Esa, 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3). Persatuan Indonesia, 4).
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan, 5). Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan
mengetahui bahwa perumusan dasar negara tersebut dicapai dengan melalui perdebatan
yang sengit diantara dua kubu, maka menjadi kajian yang menarik untuk melihat motif
apa sebenarnya yang ada dibalik
perdebatan dalam perumusan tersebut. Salah satu yang paling menjadi sorotan
adalah perdebatan mengenai pencantuman sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengingat
bahwa kedua kubu berada di dua kutub yang sangat berbeda dan bertentangan satu
sama lain, yakni sekuler dan Islam. Dengan telah ditetapkannya Pancasila menjadi dasar negara maka sebagai konsekuensi
logisnya adalah bahwa segala hukum harus bersumber dari sila-sila yang
tercantum tersebut utamanya sila pertama.
PEMBAHASAN
Setiap
negara memiliki tata hukumnya sendiri. Tata hukum setiap negara berbeda antara
satu sama lain sebab ia ditentukan oleh keinginan masyarakatnya masing-masing.
Begitu halnya dengan Indonesia, setelah memproklamirkan kemerdekaannya maka
diciptakanlah suatu tata hukum yang bercirikan karakter masyarakat Indonesia
sendiri meskipun pada kenyataannya masih terdapat hukum warisan Belanda yang
masih berlaku di Indonesia. Hal ini dikarenakan untuk menghindari adanya
kekosongan hukum selama belum ada peraturan baru yang dibuat sebagaimana yang
dijelaskan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Meskipun demikian hal
tersebut tidak mengurangi ciri khas tata hukum Indonesia sebagai negara
berdaulat yang berdasarkan Pancasila.
Pancasila
sebagai dasar negara memiliki kedudukan yuridis konstitusional sebagaimana yang
termaktub dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-empat. Dari sudut pandang hukum
kedudukan Pancasila adalah sebagai sumber dari segala sumber hukum yang berlaku
di Indonesia, hal ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangaan. Peranan Pancasila sebagai
sumber hukum adalah bahwa ia merupakan perekat bagi kesatuan hukum nasional
yang artinya segala produk hukum harus menjiwai nilai-nilai yang terkandung
dalam setiap sila Pancasila dan tidak boleh bertentangan dengannya. Pancasila
juga merupakan cita-cita hukum nasional, dalam arti bahwa segala peraturan hukum
yang hendak dibentuk adalah guna mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara
yang terjelma dalam nilai-nilai Pancasila.[4]
Sebagaimana
disebutkan sebelumnya bahwa perumusan dasar negara dalam hal ini Pancasila
tidaklah mudah. Ia merupakan hasil kompromi para pihak-pihak yang terlibat pada
waktu yang merupakan representasi keseluruhan bangsa Indonesia dengan bermacam
aspirasi. Panitia Sembilan yang mendapatkan mandat sidang BPUPK I berhasil
merumuskan rancangan pembukaan UUD 1945. Kesembilan orang itu adalah, Soekarno,
Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Achmad Soebarjo, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul
Kahar Muzakkkir, Abdul Wahid Hasyim, Haji Agus Salim, dan A.A Maramis. Menurut
Adian Husaini, para pengamat politik sering mengelompokkan kesembilan orang
tersebut berdasarkan aspirasi masing-masing kepada dua kelompok: yakni empat
pertama adalah nasionalis-sekuler, empat kedua adalah nasionalis Islam, dan
terakhir adalah Kristen yang lebih cenderung kepada kelompok pertama.[5]
Didalam
rancangan pembukaaan UUD 1945 itu tercantum rumusan Pancasila, namun yang
menjadi perbedaan dengan Pancasila setelah disahkannya UUD 1945 sebagai dasar
negara adalah bahwa pada rancangan pembukaan UUD 1945 atau yang disebut Piagam
Jakarta tersebut tercantum sila pertama dengan kalimat “Ketuhanan, dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Adapun rumusan
sila pertama setelah disahkannya UUD 1945 berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pada
mulanya yang hendak ditetapkan sebagai pembukaan UUD 1945 adalah naskah Piagam
Jakarta yang disepakati pada sidang BPUPK II tanggal 22 Juni 1945. Namun
seiring dengan berjalannya waktu banyak muncul keberatan-keberatan dari
berbagai pihak. Keberatan-keberatan itu muncul sebagai reaksi atas pencatuman kalimat Ketuhanan, dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dalam rancangan
pembukaan UUD 1945. Para pihak minoritas utamanya perwakilan dari kawasan timur
merasa bahwa pencatuman kalimat tersebut merupakan bentuk diskriminasi terhadap
mereka. Tidak sampai disitu keberatan pihak minoritas semakin bertambah ketika
pihak Islam juga mengusulkan agar di dalam UUD 1945 dicantumkan bahwa agama
negara ialah agama Islam.
Melihat
perdebatan tersebut Soekarno kembali mengingatkan bahwa hendaknya anggota BPUPK
tunduk dan patuh terhadap hasil kompromi yang telah disepakati dalam Piagam
Jakarta sebelumnya. Begitu pula dengan Soepomo yang menghendaki pula agar para
anggota BPUPK dalam hal ini kubu kebangsaan serta kubu Islam untuk tidak
menghendaki lebih dari apa yang telah disepakati sebagai Gentlemen’s
agreement yang merupakan bentuk persatuan atas masing-masing kubu.[6]
UUD
1945 telah sah berlaku dengan perubahan pada isi pembukaannya. Penafsiran
terhadap sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa dalam UUD 1945
tidak dapat dilepaskan dari faktor historis yang melatarbelakanginya.
Dihapusnya tujuh kata dalam sila Ketuhanan menurut Kasman Singodimedjo adalah
akibat adanya tekanan dari minoritas non-muslim pada saat sidang Panita
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)[7]
tanggal 18 Agustus 1945 yang mengancam akan keluar dari Negara Indonesia yang
baru berusia satu hari itu apabila rumusan tujuh kata tersebut tidak dihapus.
Situasi demikian menurut Kasman merupakan jepitan psikologis bagi bangsa Indonesia
umumnya dan umat Islam khususnya mengingat pada saat itu juga tentara penjajah
baik Jepang dan utamanya Belanda masih
memiliki kepentingan (untuk menjajah kembali) terhadap Indonesia.[8]
Kebesaran
hati para tokoh muslim dengan bersedia menghapus rumusan tujuh kata pada saat itu merupakan bentuk kecintaan
mereka terhadap negara dan juga merupakan bentuk toleransi terbesar terhadap golongan
minoritas non-muslim guna terciptanya persatuan bangsa.[9]
Adalah
Mohammad Hatta sebagai tokoh kunci dalam proses lobby antara golongan Islam dan
golongan minoritas dalam penghapusan tujuh kata itu. Menurut Adian alasan para
tokoh Islam dalam PPKI bersedia menghapus tujuh kata dalam sila Ketuhanan
dan menggantinya dengan kalimat “ Yang Maha
Esa” adalah berkat penegasan yang diberikan oleh Mohammad Hatta bahwa yang
dimaksud Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lain adalah konsep tauhid dalam agama
Islam.[10]
Dari
sudut pandang hukum telah ditegaskan pula melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959
bahwa rumusan Piagam Jakarta yang didalamnya tercantum Pancasila dengan sila
pertama yang berbunyi “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluknya” merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dari konstitusi
negara yakni UUD 1945. Menurut Roeslan
Abdulgani penempatan Piagam Jakarta sebagai jiwa serta rangkaian kesatuan UUD
1945 adalah merupakan sesuatu yang wajar dan jujur atas fungsi serta posisi Piagam
Jakarta berdasarkan latar belakang historisnya.[11]
Dengan
demikian maka penafsiran atas makna Ketuhanan Yang Maha Esa tidak dapat dipisahkan
dari isi pembukaan UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta tersebut. Dalam
alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 jelas tercantum “Atas berkat rahmat Allah Yang
Maha Kuasa”. Bagi para tokoh Islam yang terlibat dalam perumusan Pembukaan UUD
1945 maka kata Allah dalam alinea tersebut merupakan penjelas atas makna Ketuhanan Yang Maha Esa yang bermakna tauhid.
Penafsiran
terhadap Pancasila terutama sila Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah persoalan
sepele. Sebab dengan kedudukannnya sebagai sumber dari segala sumber hukum
negara, maka Pancasila merupakan penentu arah tujuan hukum itu. Bagi pihak
Islam dengan penafsiran terhadap sila pertama sebagai tauhid maka dapat menjadi
jalan dalam proses legislasi hukum-hukum syariah. Namun bagi pihak sekuler
utamanya non-muslim justru adanya produk-produk hukum syariah itu bagi mereka
merupakan hal yang bertentangan dengan Pancasila itu sendiri. Hal ini
dibuktikan dengan masih banyaknya pandangan negatif terhadap penerapan
Peraturan Daerah (Perda) yang bersubstansi syariah di berbagai daerah di
Indonesia.
Dari
penjelasan diatas maka sebagai jawaban atas penafsiran sila Ketuhanan Yang Maha
Esa yang paling kompromis adalah dengan mengaitkannya kepada aspek historis Piagam
Jakarta 22 Juni 1945 sebagai bentuk kesepakatan bersama tokoh bangsa pada waktu
itu. Ridwan Saidi menjelaskan bahwa isi Piagam Jakarta bukanlah bentuk
diskriminasi terhadap kelompok minoritas melainkan hanya memberikan pengakuan
formal kepada umat Islam untuk menjalankan syariatnya, sebab menurutnya hukum
Islam adalah hukum yang telah hidup (living law) di tengah kehidupan
umat Islam di nusantara. Dengan tanpa adanya UUD bahkan negara sekalipun hukum
Islam akan tetap dijalankan oleh pemeluknya.[12]
KESIMPULAN
Sesungguhnya
yang menjadi polemik penafsiran kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa adalah adanya kekhawatiran dari kalangan
sekuler serta non-muslim akan usaha umat Islam untuk menjadikan Indonesia
sebagai negara Islam. Begitu pula halnya dengan umat Islam yang khawatir bahwa
sila pertama itu bagi golongan sekuler diartikan hanya sebatas Tuhan kenegaraan
bukan Tuhan suatu agama. Hal itu memang
wajar, sebab Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara. Dengan
demikian maka yang perlu dikedepankan adalah rasa toleransi antara golongan mayoritas
dan minoritas. Sebutan untuk golongan mayoritas maupun minoritas adalah relatif
bergantung kondisi daerah. Faktanya di suatu daerah tertentu di Indonesia
seperti Bali dan Papua misalnya, justru non muslimlah yang menjadi mayoritas
dan muslim menjadi minoritas.
Jika
suatu hukum baik berupa konstitusi, undang-undang serta peraturan
perundang-undangan lainnya adalah merupakan sebuah produk politik dan didalam
politik terdapat agenda serta nilai-nilai tertentu, maka langkah yang paling
praktis dalam menafsirkan Pancasila utamanya sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang mana
kalimat ini juga temaktub dalam pembukaan serta Pasal 29 UUD 1945 adalah dengan
menafsirkannnya sesuai dengan nilai-nilai yang telah mengakar kuat
ditengah-tengah masyarakat sebagai sumber kekuatan politik.
Daftar Pustaka
Anshari, Endang Saifuddin,
Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara
Republik Indonesia (1945-1949), Jakarta: GIP, 1997.
Hariri, Wawan Muhwan, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung:
Pustaka Setia, 2012.
Husaini, Adian, Pancasila
Bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, Jakarta: Gema Insani,
2009.
Kansil, C.S.T, Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
M.D, Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta:
Rajawali Pers, 2014.
Panitia Peringatan 75
Tahun Kasman, Hidup itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun, Jakarta:
Bulan Bintang, 1982.
Saidi, Ridwan, Status
Piagam Jakarta: Tinjauan Hukum dan Sejarah, Jakarta: Mahmilub, 2007.
Zuhri, Saifuddin, Kaleidoskop Politik di Indonesia, Jakarta:
Gunung Agung, 1982.
[1]
C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 1989), h. 55.
[2]
Mahfud M.D, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2014),
h. 6.
[3]
Mahfud M.D, Politik, h. 36.
[4]
Wawan Muhwan Hariri, Pengantar Ilmu Hukum (Bandung: Pustaka Setia,
2012), h. 190.
[5]
Adian Husaini, Pancasila Bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam
(Jakarta: Gema Insani, 2009), h. 37.
[6]
Adian, Pancasila, h. 43.
[7]
Menurut Kansil para anggota PPKI yang beranggotakan 27 orang yang mewakili
berbagai macam golongan dengan masing-masing aspirasinya itu dapat dikatakan
sebagai “Badan Perwakilan” seluruh
rakyat Indonesia, bahkan sebagai “Pendiri Negara Indonesia”. Lihat C.S.T
Kansil, Pengantar, h. 183.
[8]
Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman, Hidup itu Berjuang, Kasman Singodimedjo
75 Tahun (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 121-124.
[9]
Saifuddin Zuhri, Kaleidoskop Politik di Indonesia (Jakarta: Gunung
Agung, 1982), h. 51-52.
[10]
Adian, Pancasila, h. 146.
[11] Endang
Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional
Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949) (Jakarta: GIP, 1997),
h. 130.
[12]
Ridwan Saidi, Status Piagam Jakarta: Tinjauan Hukum dan Sejarah
(Jakarta: Mahmilub, 2007), h. 96.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar