Blog ini adalah milik Muhammad Najih Vargholy. Diberdayakan oleh Blogger.
Jika hendak mengenal dunia MEMBACALAH, Jika hendak dikenal dunia MENULISLAH, Jika hendak menguasai dunia BERILMULAH. (Hamid Fahmy Zarkasyi)

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa (Penafsiran Historis)

Kamis, 05 Januari 2017

PENDAHULUAN
Setelah berabad-abad lamanya terkungkung dalam penjajahan bangsa lain, dengan segala daya dan upaya baik jiwa maupun raga bangsa Indonesia akhirnya berhasil menikmati indahnya kebebasan dan kemerdekaan. Tentunya keberhasilan itu tidaklah lahir secara instan dan begitu saja. Banyak rintangan-rintangan yang telah dilewati dengan segenap pengorbanan yang tak ternilai harganya. Disamping perjuangan mengusir para penjajah dari bumi nusantara, bangsa Indonesia terutama para founding father kita pada masa itu juga disibukkan dengan perdebatan serta silang pendapat diantara mereka sendiri sesama bangsa. Perdebatan itu tiada lain adalah mengenai perumusan dasar negara.
Setelah diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 ditetapkan pula keesokan harinya sebuah konstitusi sebagai pemandu serta rambu-rambu dalam bernegara yang sampai sekarang kita kenal sebagai Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Perlu diketahui bahwa dalam tata hukum, undang-undang dasar merupakan peraturan tertinggi dalam sebuah negara yang memuat kertentuan-ketentuan pokok dan menjadi salah sumber tertulis bagi peraturan perundang-undangan lainnya. Sebagaimana dijelaskan oleh Kansil bahwa berdasarkan prinsip negara hukum, setiap peraturan perundang-undangan harus bersumber pada peraturan yang lebih tinggi tingkatannya.[1]
Dalam penetapan sebuah konstitusi tertulis (UUD) tentu saja  tidak dilakukan dengan tanpa melalui kompromi-kompromi yang sulit. Ini mengingat bahwa UUD adalah juga merupakan sebuah produk hukum dan setiap produk hukum tidak dapat dipungkiri dalam kenyataan selalu dihasilkan melalui kompromi serta kesepakatan politik.[2] Sesungguhnya masalah perumusan konstitusi telah dilakukan jauh sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamirkan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Berawal dari pembentukan sekelompok panitia oleh pemerintahan Jepang yang disebut Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPK) pada tanggal 1 Maret 1945, kelompok panitia yang beranggotakan 62 orang ini kemudian melakukan sidang untuk pertama kalinya pada tanggal 29 Mei 1945. Agenda utama dari sidang ini sebenarnya adalah untuk menyusun rancangan Undang-Undang Dasar namun berubah menjadi pembahasan mengenai perumusan dasar negara.[3]
Dalam perumusan dasar negara tersebut panitia BPUPK terpecah kedalam dua kubu yakni golongan nasionalis-sekular serta golongan nasionalis-Islam. Guna mencapai kesepakatan diantara dua kubu itu maka dibentuklah panitia kecil yang terdiri dari sembilan orang yang  akhirnya pada sidang BPUPK  kedua tanggal 22 Juni 1945 tercetusah apa yang disebut Piagam Jakarta. Piagam inilah yang merupakan cikal bakal mukaddimah UUD 1945 yang didalamnya juga termuat rumusan Pancasila yang menurut Soekarno merupakan landasan filosofis (Philosofische Gronslag) Negara Indonesia.
Pancasila terdiri atas lima pasal atau sila yang berurutan yakni, 1) Ketuhanan Yang Maha Esa, 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3). Persatuan Indonesia, 4). Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, 5). Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan mengetahui bahwa perumusan dasar negara tersebut dicapai dengan melalui perdebatan yang sengit diantara dua kubu, maka menjadi kajian yang menarik untuk melihat motif  apa sebenarnya yang ada dibalik perdebatan dalam perumusan tersebut. Salah satu yang paling menjadi sorotan adalah perdebatan mengenai pencantuman sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengingat bahwa kedua kubu berada di dua kutub yang sangat berbeda dan bertentangan satu sama lain, yakni sekuler dan Islam. Dengan telah ditetapkannya Pancasila  menjadi dasar negara maka sebagai konsekuensi logisnya adalah bahwa segala hukum harus bersumber dari sila-sila yang tercantum tersebut utamanya sila pertama.

PEMBAHASAN
Setiap negara memiliki tata hukumnya sendiri. Tata hukum setiap negara berbeda antara satu sama lain sebab ia ditentukan oleh keinginan masyarakatnya masing-masing. Begitu halnya dengan Indonesia, setelah memproklamirkan kemerdekaannya maka diciptakanlah suatu tata hukum yang bercirikan karakter masyarakat Indonesia sendiri meskipun pada kenyataannya masih terdapat hukum warisan Belanda yang masih berlaku di Indonesia. Hal ini dikarenakan untuk menghindari adanya kekosongan hukum selama belum ada peraturan baru yang dibuat sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Meskipun demikian hal tersebut tidak mengurangi ciri khas tata hukum Indonesia sebagai negara berdaulat yang berdasarkan Pancasila.
Pancasila sebagai dasar negara memiliki kedudukan yuridis konstitusional sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-empat. Dari sudut pandang hukum kedudukan Pancasila adalah sebagai sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia, hal ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangaan. Peranan Pancasila sebagai sumber hukum adalah bahwa ia merupakan perekat bagi kesatuan hukum nasional yang artinya segala produk hukum harus menjiwai nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila dan tidak boleh bertentangan dengannya. Pancasila juga merupakan cita-cita hukum nasional, dalam arti bahwa segala peraturan hukum yang hendak dibentuk adalah guna mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara yang terjelma dalam nilai-nilai Pancasila.[4] 
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa perumusan dasar negara dalam hal ini Pancasila tidaklah mudah. Ia merupakan hasil kompromi para pihak-pihak yang terlibat pada waktu yang merupakan representasi keseluruhan bangsa Indonesia dengan bermacam aspirasi. Panitia Sembilan yang mendapatkan mandat sidang BPUPK I berhasil merumuskan rancangan pembukaan UUD 1945. Kesembilan orang itu adalah, Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Achmad Soebarjo, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkkir, Abdul Wahid Hasyim, Haji Agus Salim, dan A.A Maramis. Menurut Adian Husaini, para pengamat politik sering mengelompokkan kesembilan orang tersebut berdasarkan aspirasi masing-masing kepada dua kelompok: yakni empat pertama adalah nasionalis-sekuler, empat kedua adalah nasionalis Islam, dan terakhir adalah Kristen yang lebih cenderung kepada kelompok pertama.[5]
Didalam rancangan pembukaaan UUD 1945 itu tercantum rumusan Pancasila, namun yang menjadi perbedaan dengan Pancasila setelah disahkannya UUD 1945 sebagai dasar negara adalah bahwa pada rancangan pembukaan UUD 1945 atau yang disebut Piagam Jakarta tersebut tercantum sila pertama dengan kalimat “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Adapun rumusan sila pertama setelah disahkannya UUD 1945 berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pada mulanya yang hendak ditetapkan sebagai pembukaan UUD 1945 adalah naskah Piagam Jakarta yang disepakati pada sidang BPUPK II tanggal 22 Juni 1945. Namun seiring dengan berjalannya waktu banyak muncul keberatan-keberatan dari berbagai pihak. Keberatan-keberatan itu muncul sebagai reaksi  atas pencatuman kalimat Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dalam rancangan pembukaan UUD 1945. Para pihak minoritas utamanya perwakilan dari kawasan timur merasa bahwa pencatuman kalimat tersebut merupakan bentuk diskriminasi terhadap mereka. Tidak sampai disitu keberatan pihak minoritas semakin bertambah ketika pihak Islam juga mengusulkan agar di dalam UUD 1945 dicantumkan bahwa agama negara ialah agama Islam.
Melihat perdebatan tersebut Soekarno kembali mengingatkan bahwa hendaknya anggota BPUPK tunduk dan patuh terhadap hasil kompromi yang telah disepakati dalam Piagam Jakarta sebelumnya. Begitu pula dengan Soepomo yang menghendaki pula agar para anggota BPUPK dalam hal ini kubu kebangsaan serta kubu Islam untuk tidak menghendaki lebih dari apa yang telah disepakati sebagai Gentlemen’s agreement yang merupakan bentuk persatuan atas masing-masing kubu.[6]
UUD 1945 telah sah berlaku dengan perubahan pada isi pembukaannya. Penafsiran terhadap sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa dalam UUD 1945 tidak dapat dilepaskan dari faktor historis yang melatarbelakanginya. Dihapusnya tujuh kata dalam sila Ketuhanan menurut Kasman Singodimedjo adalah akibat adanya tekanan dari minoritas non-muslim pada saat sidang Panita Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)[7] tanggal 18 Agustus 1945 yang mengancam akan keluar dari Negara Indonesia yang baru berusia satu hari itu apabila rumusan tujuh kata tersebut tidak dihapus. Situasi demikian menurut Kasman merupakan jepitan psikologis bagi bangsa Indonesia umumnya dan umat Islam khususnya mengingat pada saat itu juga tentara penjajah baik Jepang dan utamanya  Belanda masih memiliki kepentingan (untuk menjajah kembali) terhadap Indonesia.[8]
Kebesaran hati para tokoh muslim dengan bersedia menghapus rumusan tujuh kata  pada saat itu merupakan bentuk kecintaan mereka terhadap negara dan juga merupakan bentuk toleransi terbesar terhadap golongan minoritas non-muslim guna terciptanya persatuan bangsa.[9]
Adalah Mohammad Hatta sebagai tokoh kunci dalam proses lobby antara golongan Islam dan golongan minoritas dalam penghapusan tujuh kata itu. Menurut Adian alasan para tokoh Islam dalam PPKI bersedia menghapus tujuh kata dalam sila Ketuhanan dan  menggantinya dengan kalimat “ Yang Maha Esa” adalah berkat penegasan yang diberikan oleh Mohammad Hatta bahwa yang dimaksud Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lain adalah konsep tauhid dalam agama Islam.[10]
Dari sudut pandang hukum telah ditegaskan pula melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 bahwa rumusan Piagam Jakarta yang didalamnya tercantum Pancasila dengan sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dari konstitusi negara yakni UUD 1945.  Menurut Roeslan Abdulgani penempatan Piagam Jakarta sebagai jiwa serta rangkaian kesatuan UUD 1945 adalah merupakan sesuatu yang wajar dan jujur atas fungsi serta posisi Piagam Jakarta berdasarkan latar belakang historisnya.[11]
Dengan demikian maka penafsiran atas makna  Ketuhanan Yang Maha Esa tidak dapat dipisahkan dari isi pembukaan UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta tersebut. Dalam alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 jelas tercantum “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Bagi para tokoh Islam yang terlibat dalam perumusan Pembukaan UUD 1945 maka kata Allah dalam alinea tersebut merupakan penjelas atas makna  Ketuhanan Yang Maha Esa yang bermakna tauhid.
Penafsiran terhadap Pancasila terutama sila Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah persoalan sepele. Sebab dengan kedudukannnya sebagai sumber dari segala sumber hukum negara, maka Pancasila merupakan penentu arah tujuan hukum itu. Bagi pihak Islam dengan penafsiran terhadap sila pertama sebagai tauhid maka dapat menjadi jalan dalam proses legislasi hukum-hukum syariah. Namun bagi pihak sekuler utamanya non-muslim justru adanya produk-produk hukum syariah itu bagi mereka merupakan hal yang bertentangan dengan Pancasila itu sendiri. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya pandangan negatif terhadap penerapan Peraturan Daerah (Perda) yang bersubstansi syariah di berbagai daerah di Indonesia.
Dari penjelasan diatas maka sebagai jawaban atas penafsiran sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang paling kompromis adalah dengan mengaitkannya kepada aspek historis Piagam Jakarta 22 Juni 1945 sebagai bentuk kesepakatan bersama tokoh bangsa pada waktu itu. Ridwan Saidi menjelaskan bahwa isi Piagam Jakarta bukanlah bentuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas melainkan hanya memberikan pengakuan formal kepada umat Islam untuk menjalankan syariatnya, sebab menurutnya hukum Islam adalah hukum yang telah hidup (living law) di tengah kehidupan umat Islam di nusantara. Dengan tanpa adanya UUD bahkan negara sekalipun hukum Islam akan tetap dijalankan oleh pemeluknya.[12]
KESIMPULAN
Sesungguhnya yang menjadi polemik penafsiran kalimat  Ketuhanan Yang Maha Esa  adalah adanya kekhawatiran dari kalangan sekuler serta non-muslim akan usaha umat Islam untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Begitu pula halnya dengan umat Islam yang khawatir bahwa sila pertama itu bagi golongan sekuler diartikan hanya sebatas Tuhan kenegaraan bukan Tuhan suatu agama.  Hal itu memang wajar, sebab Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara. Dengan demikian maka yang perlu dikedepankan adalah rasa toleransi antara golongan mayoritas dan minoritas. Sebutan untuk golongan mayoritas maupun minoritas adalah relatif bergantung kondisi daerah. Faktanya di suatu daerah tertentu di Indonesia seperti Bali dan Papua misalnya, justru non muslimlah yang menjadi mayoritas dan muslim menjadi minoritas.
Jika suatu hukum baik berupa konstitusi, undang-undang serta peraturan perundang-undangan lainnya adalah merupakan sebuah produk politik dan didalam politik terdapat agenda serta nilai-nilai tertentu, maka langkah yang paling praktis dalam menafsirkan Pancasila utamanya sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang mana kalimat ini juga temaktub dalam pembukaan serta Pasal 29 UUD 1945 adalah dengan menafsirkannnya sesuai dengan nilai-nilai yang telah mengakar kuat ditengah-tengah masyarakat sebagai sumber kekuatan politik.
Daftar Pustaka
Anshari, Endang Saifuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), Jakarta: GIP, 1997.
Hariri, Wawan Muhwan, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung: Pustaka Setia, 2012.
Husaini, Adian, Pancasila Bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, Jakarta: Gema Insani, 2009.
Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
M.D, Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman, Hidup itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun, Jakarta: Bulan Bintang, 1982.
Saidi, Ridwan, Status Piagam Jakarta: Tinjauan Hukum dan Sejarah, Jakarta: Mahmilub, 2007.
Zuhri, Saifuddin, Kaleidoskop Politik di Indonesia, Jakarta: Gunung Agung, 1982.



[1] C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 55.
[2] Mahfud M.D, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 6.
[3] Mahfud M.D, Politik, h. 36.
[4] Wawan Muhwan Hariri, Pengantar Ilmu Hukum (Bandung: Pustaka Setia, 2012), h. 190.
[5] Adian Husaini, Pancasila Bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam (Jakarta: Gema Insani, 2009), h. 37.
[6] Adian, Pancasila, h. 43.
[7] Menurut Kansil para anggota PPKI yang beranggotakan 27 orang yang mewakili berbagai macam golongan dengan masing-masing aspirasinya itu dapat dikatakan sebagai “Badan Perwakilan”  seluruh rakyat Indonesia, bahkan sebagai “Pendiri Negara Indonesia”. Lihat C.S.T Kansil, Pengantar, h. 183.
[8] Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman, Hidup itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 121-124.
[9] Saifuddin Zuhri, Kaleidoskop Politik di Indonesia (Jakarta: Gunung Agung, 1982), h. 51-52.
[10] Adian, Pancasila, h. 146.
[11] Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949) (Jakarta: GIP, 1997), h. 130.
[12] Ridwan Saidi, Status Piagam Jakarta: Tinjauan Hukum dan Sejarah (Jakarta: Mahmilub, 2007), h. 96.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Profil

Kategori

Archives