Blog ini adalah milik Muhammad Najih Vargholy. Diberdayakan oleh Blogger.
Jika hendak mengenal dunia MEMBACALAH, Jika hendak dikenal dunia MENULISLAH, Jika hendak menguasai dunia BERILMULAH. (Hamid Fahmy Zarkasyi)

Peran dan Fungsi Dewan Pengawas Syariah Dalam Bank Syariah

Kamis, 05 Januari 2017

A.      PENDAHULUAN
1.        Latar Belakang
Dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah maka sistem operasional perbankan syariah di Indonesia memiliki landasan yuridis tersendiri. Sebelum adanya UU Perbankan Syariah ketentuan mengenai operasional perbankan syariah diatur melalui Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Secara substantif menurut Yusuf Wibisono sebagaimana yang dikutip oleh Rachmadi Usman ketentuan dalam UU Perbankan Syariah memiliki tujuan utama. Pertama, menjamin kepastian hukum bagi para stakeholders serta memberikan keyakinan kepada masyarakat untuk menggunakan produk dan jasa perbankan syariah. Kedua, menjamin kepatuhan syariah (Syariah Compliance). Ketiga, stabilitas sistem.[1]
Terkait dengan adanya tuntutan kepatuhan syariah dalam pengelolaan serta pengembangan produk dan jasa perbankan syariah, dalam UU Perbankan Syariah ditegaskan bahwa kewenangan untuk menetapkan aspek kesyariahan sebuah produk atau jasa perbankan berada pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwa yang ditetapkannya. Adapun dalam struktur kelembagaan MUI sendiri wewenang untuk menetapkan fatwa terkait masalah ekonomi syariah secara khusus berada pada Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Selanjutnya sebagai tindak lanjut terhadap pengawasan terkait kepatuhan syariah pada Bank Syariah maka dalam UU Perbankan Syariah ini diwajibkan bagi setiap Bank Syariah untuk membentuk Dewan Pengawas Syariah (DPS). DPS dalam suatu bank syariah dapat dikatakan merupakan kepanjangan tangan dari DSN-MUI yang memiliki fungsi pengawasan terkait implementasi fatwa ke dalam produk dan jasa perbankan yang dikelola.
Mengingat bahwa Bank Syariah harus merupakan badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas maka kedudukan serta wewenang DPS dalam sebuah perseroan menjadi persoalan yang patut untuk dikaji. Hal ini disebabkan oleh karena dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dijelaskan bahwa yang merupakan organ perseroan terbatas hanyalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi dan Komisaris.
2.        Rumusan Masalah
1.      Apakah peran dan fungsi DPS dalam bank syariah?
2.      Bagaimanakah politik hukum perbankan syariah berkenaan dengan peran dan fungsi DPS?
B.       KERANGKA TEORI
1.        Fungsi Hukum Dalam Masyarakat
Menurut  Munir Fuady, fungsi hukum dalam masyarakat secara umum adalah:
a.    Fungsi memfasilitasi, yakni memfasilitasi agar tercipta ketertiban dalam masyarakat.
b.    Fungsi represif, seperti penggunaan hukum sebagai alat penguasa untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
c.    Fungsi ideologis, menjamain pencapaian legitimasi, hegemoni, dominasi, kebebasaan, kemerdekaan, keadilan dan lain-lain.
d.   Fungsi reflektif, hukum merefleksi keinginan bersama masyarakat, sehingga hukum semestinya bersifat netral.[2]
Jika memang hukum memiliki fungsi-fungsi sebagaimana disebutkan diatas maka yang menjadi penting diperhatikan adalah masalah efektivitas hukum tersebut. Tidak semua hukum dapat berlaku efektif sesuai dengan fungsi dan tujuan yang diharapkan dari penerapan hukum itu. Diantara faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas hukum atatu undang-undang menurut Achmad Ali adalah relevensi aturan hukum tersebut dengan kebutuhan hukum masyarakat yang menjadi sasaran penerapan hukum. Pembuat undang-undang dituntut untuk memahami kebutuhan hukum masyarakat. Selain itu tidak dapat dipungkiri bahwa aturan hukum yang sesuai dengan nilai moral masyarakat lebih dapat berlaku efektif daripada aturan hukum yang tidak sesuai dengan nilai moral masyarakat. Aturan hukum yang melarang atau mengancamkan sanksi bagi suatu tindakan tertentu yang pada saat bersamaan juga dilarang dan diancamkan sanksi oleh norma lain, seperti norma agama, norma susila dan norma kebisasaan lebih efektif jika dibandingkan dengan aturan hukum yang tidak dilarang oleh norma lain.[3]
2.        Hukum dan Perubahan Sosial
Hubungan antara hukum dan perubahan sosial merupakan hubungan interaksi, dalam  artian bahwa adakalanya perubahan sosial mempengaruhi perubahan dalam sektor hukum dan sebaliknya, perubahan dalam sektor hukum berimbas pula pada perubahan sosial. Munir Fuady menyatakan, hukum sebagai sarana perubahan sosial bergantung pada ketanggapan sektor hukum merespon perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Semakin cepat hukum merespon tuntutan masyarakat maka semakin efektif pula fungsi hukum sebagai sarana perubahan sosial. Namun apabila hukum lambat meresepon tuntutan tersebut maka yang terjadi adalah masyarakat yang merubah hukum. Dengan demikian hukum hanya berfungsi sebagai alat legitimasi perubahan sosial sebab masyarakat telah merubah dirinya sendiri tanpa melalui perubahan hukum.[4]
Tidak semua pakar (terutama yang bukan pakar hukum) setuju bahwa hukum dapat menjadi alat perubahan sosial. Arnold M Rose sebagaimana yang dikutip oleh Munir Fuady menyatakan bahwa setidaknya ada tiga faktor yang menjadi penyebab berubahnya kehidupan sosial dalam masyarakat yakni,
a.     Perkembangan teknologi.
b.    Konflik antar kebudayaan.
c.     Gerakan sosial (social movement).
Menurut para ahli budaya, bertemunya dua kebudayaan yang berbeda menyebabkan perubahan yang terjadi masyarakat. Masyarakat akan melakukan penyesuaian terhadap kebudayaan baru tersebut untuk kemudian meciptakan suatu sistem kebudayaan yang lebih baik. Adapun gerakan sosial yang menjadi salah satu faktor perubahan masyarakat adalah akibat adanya ketidakpuasan yang kemudian menimbulkan protes-protes di kalangan  masyarakat  sehingga menghasilkan suatu tatanan masyarakat baru termasuk didalamnya tatanan hukum. Dengan demikian masyarakatlah yang merubah hukum bukan hukum yang merubah masyarakat.[5]     
3.        Teori Korporasi
Menurut Ridwan Khairandy struktur corporate governance dalam sebuah korporasi dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama teori korporasi yang dianut, budaya, dan sistem hukum yang berlaku. Pemahaman mengenai teori-teori korporasi yang ada dapat membantu untuk memahami berbagai model dan karakter interaksi antara fungsi pengawasan, pengelolaan, dan kepemilikan dalam suatu korporasi.[6]
Salah satu teori tentang korporasi adalah entity theory yang memandang bahwa perusahaan merupakan suatu entitas bisnis. Menurut teori ini, korporasi merupakan suatu entitas bisnis yang memiliki persofinikasi sendiri dan tidak identik dengan pemilik. Suatu perusahaan dianggap memiliki eksistensi tersendiri terlepas dari interaksi langsung dengan pemiliknya. Pendapatan yang diperoleh adalah hak entitas yang kemudian didistribusikan kepada shareholders dalam bentuk deviden. Adapun keuntungan lebih yang tidak dibagikan menjadi hak entitas bisnis.[7]
Entity theory merupakan teori korporasi yang paling banyak dianut oleh perusahaan diseluruh dunia. Perkembangan entity theory dalam dunia korporasi terlihat dengan munculnya beberapa teori turunan yakni agency theory dan stewardship theory. Kedua teori inilah yang kemudian memberikan pengaruh terhadap struktur corporate governance di berbagai perusahaan dewasa ini. Teori agensi menekankan pentingnya pemilik perusahaan (pemegang saham) untuk mendelegasikan manajemen perusahaan kepada tenaga-tenaga profesional (agen). Salah satu tujuan dari pemisahan tersebut adalah dengan dikelolanya perusahaan oleh tenaga-tenaga profesional para pemilik saham dapat menerima profit yang besar dengan biaya seefisien mungkin. Dengan keleluasan manajemen perusahaan oleh agen (direksi) maka dituntut pula bagi para agen tersebut dalam menjalankan tugasnya untuk benar-benar bertindak atas dan untuk kepentingan perseroan. Para agen diharuskan untuk menggunakan keahlian, itikad baik dan tingkah laku yang wajar dalam memimpin perusahaan. Dalam teori ini keberadaan dewan pengawas yang mandiri dalam perusahaan menjadi sangat penting guna mengawasi kegiatan direksi. Berbeda halnya dengan agency theory, dalam stewardhip theory dikehendaki agar fungsi pengawasan dan fungsi eksekutif dalam perusahaan berada pada satu organ/ dewan.  Pada perusahaan-perusahaan yang menerapkan stewardship theory peran Chief Executive Officer (CEO) serta Chairman dibebankan pada individu yang sama. Sistem yang demikian dikenal dengan sebutan one-tier board system.[8]
Baik agency theory maupun stewardship theory keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan antara satu sama lain. Dalam agency theory dipersyaratkan agar fungsi pengawasan dan fungsi eksekutif dipisahkan. Pemisahan ini dilakukan agar tercipta kondisi “check and balances” yang sehat diantara organ perusahaaan. Namun kelemahan dari penerapan teori ini dalam perusahaan adalah kemungkinan timbulnya tarik ulur kepentingan antara komisaris dan direksi. Jika terjadi kondisi yang demikian maka peran direksi dalam menentukan kebijakan perusahaan menjadi terhambat dan tidak efektif. Adapun stewardship theory kelebihannya adalah bahwa dengan disatukannya fungsi pengawasan dengan fungsi eksskutif maka keputusan untuk menetapkan kebijakan perusahaan menjadi semakin cepat dan efektif sedangkan kelemahannya adalah tidak adanya peran pengontrol bagi kebijakan yang dibuat sehingga menimbulkan celah bagi direksi untuk mengejar keuntungan demi kepentingan pribadi.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa model/ struktur organ perusahaan ditentukan oleh teori yang dipakai dan diterapkan. Perusahaan-perusahaan di seluruh dunia secara keseluruhan terbagi kedalam dua macam sistem yakni one-tier boards dan two-tier boards. Sistem yang disebut pertama banyak dianut oleh perusahaan yang berada pada kawasan anglo-american yang sistem hukumnya common law. Adapun perusahaan yang berada pada kawasan eropa kontinental dengan sistem hukum civil law kebanyakan menerapkan sistem yang disebut kedua. Dalam sistem one-tier boards fungsi pengawasan dan fungsi manajemen berada pada satu individu sehingga kemungkinan akan timbulnya friksi dalam menetapkan kebijakan perusahaan sangat kecil. Berbeda halnya dengan sistem two-tier boards yang dengan jelas memisahkan antara fungsi pengawasan dan fungsi manajerial yang memiliki independensi masing-masing.[9]
C.      PEMBAHASAN
1.        Peran dan Fungsi DPS Dalam Bank Syariah
Di dalam UU Perbankan Syariah maupun UU Perseroan Terbatas tidak diketemukan definisi resmi tentang DPS. Di dalam kedua UU tersebut hanya dijelaskan mengenai fungsi dan tugas DPS dalam perseroan yang menjalankan usaha berdasarkan prinsip syariah. Dalam Pasal 109 Ayat (3) UU Perseroan Terbatas dijelaskan bahwa DPS bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Perseroan agar sesuai dengan prinsip syariah. Adapun dalam UU perbankan syariah Pasal 32 Ayat (3) disebutkan bahwa DPS berfungsi dan bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah. Dengan demikian kedua UU tersebut memiliki kesamaan dalam menentukan fungsi dan tugas DPS dalam perseroan yang menjalankan usaha berdasarkan prinsip syariah dalam hal ini bank syariah.
Definisi resmi tentang DPS baru dapat diketemukan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI). Menurut ketentuan Pasal 1 Angka 15 Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/13/PBI/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/13/PBI/2009 tentang Bank Umum  Syariah yang dimaksud dengan Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan prinsip syariah. Definisi mengenai DPS dalam PBI ini nampak hanya merupakan penekanan terhadap fungsi dan tugas DPS itu sendiri.
Mengenai tugas dan tanggung jawab DPS dalam  Bank Syariah diatur dalam Pasal 35 Ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/13/PBI/2009 tentang Bank Umum  Syariah, di dalam pasal tersebut secara rinci dijelaskan tugas dan tanggung jawab DPS yang meliputi:
a. Menilai dan memastikan pemenuhan Prinsip Syariah atas pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan Bank;
b. Mengawasi proses pengembangan produk baru Bank;
c. Meminta fatwa kepada Dewan Syariah Nasional untuk produk baru Bank yang belum ada fatwanya;
d. Melakukan review secara berkala atas pemenuhan prinsip syariah terhadap mekanisme penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank; dan
e. Meminta data dan informasi terkait dengan aspek syariah dari satuan kerja Bank dalam rangka pelaksanaan tugasnya.
Berbeda halnya dengan dewan komisaris, dalam UU Perseroan Terbatas Pasal 1 Angka 6 dijelaskan bahwa Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. Dengan demikian maka secara yuridis kedudukan dewan komisaris dibandingkan dengan DPS dalam  bank syariah nampak lebih kuat sebab dewan komisaris merupakan organ perseroan terbatas. Menurut Ali Ridho sebagaimana yang dikutip oleh Ridwan Khairandy organ badan atau organ perseroan merupakan sesuatu yang esensial dalam organisasi itu.[10]
Fungsi dan tugas dewan komisaris menurut Pasal 108 Ayat (1) UU Perseroan Terbatas adalah melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai Perseroan maupun usaha Perseroan, dan memberi nasihat kepada Direksi. Menurut Ridwan Khairandy dewan komisaris dalam sebuah perseroan berkedudukan sebagai dewan supervisi. Dewan komisaris merupakan badan non-eksekutif yang tidak berhak mewakili perseroan kecuali dipertentukan lain dalam hal tertentu berdasarkan UU Perseroan Terbatas dan Anggaran Dasar. Dewan komisaris tidak memiliki otoritas manajemen sebab otoritas tersebut berada pada direksi perseroan. Fungsi pengawasan dewan komisaris baik terhadap kebijakan direksi maupun perseroan secara keseluruhan dijalankan melalui jalan sebagai berikut:
1.      Menyetujui tindakan-tindakan tertentu yang diambil oleh direksi,
2.      Memberhentikan direksi untuk sementara,
3.      Memberi nasehat kepada direksi, baik diminta maupun tidak diminta, dalam rangka pelaksanaan pengawasan.[11]
Berdasarkan ketentuan yang ada tersebut maka dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan fungsi pengawasan antara dewan komisaris dengan DPS. Jika Dewan komisaris merupakan organ perseroan yang melaksanakan pengawasan secara umum terhadap bank syariah maka DPS hanya merupakan pengawas terhadap hal-hal tertentu yang berkenaan dengan aspek kesyariaahan dalam pengelolaan serta pengembangan produk dan jasa perbankan syariah.
Pelaksanaan Prinsip Good Corporate Governance Pada Bank Syariah
Good Corporate Governance (GCG) atau tata kelola perusahaan yang baik merupakan istilah teknis dalam praktek ekonomi yang telah menjadi bahasa pemerintahan. Istilah ini merupakan istilah baru dalam dunia manajemen bisnis. Konsep mengenai GCG mulai masuk ke Indonesia ketika terjadi krisis moneter pada tahun 1997-an yang mana perusahaan-perusahaan yang ada pada waktu itu tidak menerapkan GCG. Menurut Bank Dunia, definisi GCG adalah aturan, standar dan organisasi di bidang ekonomi yang mengatur perilaku pemilik perusahaan, direktur dan manajer serta perincian dan penjabaran tugas dan wewenang serta pertanggungjawabannya kepada investor (pemegang saham dan kreditur).
Dalam dunia perbankan, GCG merupakan suatu tata kelola industri perbankan yang baik dan sehat yang dilaksanakan berdasarkan beberapa prinsip dasar yakni, tranparansi (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency) dan kewajaran (fairness). Dengan menerapkan prinsip-prinsip dasar tersebut dalam pengelolaan usaha perbankan diharapkan dapat meningkatkan kinerja bank, melindungi kepentingan stakeholders serta meningkatkan kepatuhan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku serta nilai-nilai etika yang berlaku umum pada industri perbankan.[12]
Hubungan antara GCG dengan pengelolaan perbankan syariah merupakan hubungan yang khusus jika dibandingkan dengan pengelolaan perbankan konvensional. Hal yang menimbulkan kekhususan tersebut adalah karakteristik perbankan syariah yang dalam pengelolaannya mewajibkan adanya kepatuhan syariah (sharia compliance). Oleh karena pengawasan terhadap kepatuhan syariah tersebut pada setiap bank syariah berada pada wewenang DPS, maka DPS dengan sendirinya merupakan pioner utama dalam penegakan prinsip GCG tersebut. Artinya diperlukan adanya penguatan atas tugas dan tanggungjawab DPS sehingga kepatuhan syariah sebagai implementasi atas prinsip GCG pada bank syariah dapat terlaksana dengan optimal.
Berkenaan dengan penerapan prinsip GCG pada bank syariah maka Bank Indonesia sebagai penanggungjawab pengelolaan industri perbankan di Indonesia mengeluarkan kebijakan berupa regulasi yang tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Dalam Pasal 46 dijelaskan bahwa DPS wajib melaksanakan tugas dan tanggungjawab sesuai dengan prinsip GCG. Kemudian sebagai pengaturan secara teknis dan lebih lanjut terkait tugas dan tanggungjawab DPS dalam mengawal prinsip GCG tersebut dikeluarkanlah Surat Edaran Bank Indonesia No 12/13/DPbs perihal  Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Dalam ketentuan huruf E angka 4 disebutkan bahwa  Tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah dilakukan dengan cara antara lain:
a. Melakukan pengawasan terhadap proses pengembangan produk baru Bank; dan
b. Melakukan pengawasan terhadap kegiatan Bank.
Berdasarkan tingkatan atau jenjang organisasi bank syariah maka fungsi pengawasan tertinggi terkait penerapan GCG dalam pengelolaan serta kegiatan bank syariah berada pada dewan komisaris. Hal tersebut sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 8 ayat (1) PBI No. 11/33/PBI/2009 yang menyatakan bahwa Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan atas terselenggaranya pelaksanaan GCG dalam setiap kegiatan usaha Bank Umum Syariah pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2).
Dengan demikian maka tugas dan tanggungjawab DPS masih berada dalam pengawasan dewan komisaris. Dewan komisaris berwenang untuk menindak DPS apabila ia lalai terhadap tugas dan tanggungjawabnya berkaitan dengan kepatuhan syariah. Wewenang luas dewan komisaris dalam melakukan pengawasan terkait pelaksanaan GCG yang didalamnya tercakup kepatuhan syariah memberikan jaminan akan efektifitas pelaksanaan prinsip syariah dalam bank syariah.
Kedudukan dewan komisaris yang lebih dominan dibanding DPS tersebut sejalan dengan yang dijelaskan oleh Ridwan Khairandy bahwa fungsi pengawasan komisaris diantaranya adalah mengenai audit organisasi. Pengawasan terhadap struktur organisasi, hubungan lini dari pimpinan, bentuk dan besarnya struktur organisasi harus selalu disesuaikan dengan kebutuhan organisasi dan tentunya didasarkan pada pertimbangan atas analisis biaya dan manfaat perseroan.[13]
2.        Politik Hukum Perbankan Syariah Berkenaan Dengan Peran dan Fungsi DPS
Bila dirujuk pada sejarah perkembangan bank syariah, alasan pokok dari keberadaan perbankan syariah adalah munculnya kesadaran masyarakat muslim yang ingin menjalankan seluruh aktivitas keuangannya sesuai dengan tuntunan agama. Gagasan pembentukan mengenai bank yang menggunakan sistem bagi hasil ini muncul sejak lama, yang ditandai dengan banyaknya pemikir-pemikir yang menulis gagasan mengenai bank syariah.[14]
Menurut Syafii Antonio sebagaimana yang dikutip oleh Cholil Nafis gagasan agar dibentuknya bank Islam di Indonesia diawali oleh adanya seminar tentang bunga dan sistem perbankan pada 18-20 Agustus 1990 di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil seminar kemudian dibahas secara lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta pada 22-25 Agustus 1990. Musyawarah tersebut menghasilkan usulan konkret berupa harus segera dibentuk sebuah kelompok kerja untuk pendirian bank Islam di Indonesia.[15]
Menurut penulis adanya tuntutan agar segera diberdirikannya bank Islam/ Syariah di Indonesia merupakan indikasi bahwa masyarakat muslim Indonesia menginginkan adanya sebuah sistem perbankan yang berlandaskan pada nilai-nilai agama. Dalam agama Islam melakukan transaksi keuangan dengan sistem bunga/ riba adalah haram hukumnya. Artinya disamping adanya faktor ekonomi yang menuntut adanya alternatif baru dalam sistem perbankan Indonesia, faktor ideologi merupakan faktor utama dalam gagasan pembentukan bank syariah.
Bank pertama di Indonesia yang beroperasi dengan berpedoman pada prinsip-prinsip syariah adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang berdiri pada tahun 1992. Kebutuhan akan adanya alternatif baru dalam sistem perbankan di Indonesia semakin mendesak ketika perekonomian Indonesia mengalami kemerosotan akibat krisis moneter yang melanda. Krisis moneter tersebut berdampak pada dunia perbankan dimana pada saat itu bank-bank konvensional mengalami likuidasi bahkan gulung tikar. Hal tersebut sangat berbeda kontras dengan BMI yang operasionalnya berdasarkan prinsip syariah. Pengalaman  inilah yang akhirnya menggerakkan usaha pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat pada waktu itu untuk menetapkan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang maksud dan tujuannya adalah untuk mengatur dengan rinci landasan hukum, serta jenis-jenis usaha yang dapat diimplementasikan dan dioperasikan oleh bank syariah.[16]
Ketiadaan jaminan bahwa aktivitas investasi yang dilaksanakan oleh bank konvensional mempertimbangkan aspek kehalalan obyek dan cara pengelolaannya, dengan kata lain nilai dan moral agama tidak menjadi faktor penting dalam kegiatan usaha bank. Oleh karena itulah jaminan mengenai keabsahan secara syariah (syariah compliance) dari seluruh aktivitas pengelolaan dana nasabah oleh bank merupakan hal yang sangat penting dalam kegiatan usaha bank syariah.[17]
Sebelum diundangkannya UU Perbankan Syariah, kedudukan dan tugas DPS dalam bank syariah diatur dalam Peraturan Pemerintah 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dalam Pasal 5 Ayat (1) dijelaskan  bahwa bank dengan prinsip bagi hasil wajib memiliki DPS yang bertugas mengawasi aspek syariah. Adapun kedudukannya dalam bank tersebut adalah independen dan tidak dapat terlibat dalam urusan operasional bank. Kehadiran DPS sebagaimana yang diatur dalam peraturan pemerintah tersebut memang penting namun belum optimal pelaksanaannya sebab belum memiliki prosedur yang jelas dan terperinci.
Dengan belum jelasnya aturan mengenai kedudukan dan fungsi DPS, atas dasar pertimbangan tersebut Bank Indonesia (BI) menetapkan empat (4) fokus area pengembangan bank syariah yang diantaranya adalah kepatuhan pada prinsip syariah. Pada periode tahun 2004-2008 BI memprogramkan terwujudnya kepatuhan syariah dengan salah satu caranya yakni mendorong peningktatan efektivitas pengawasan. Zainuddin Ali menjelaskan bahwa guna meningkatkan efektivitas pengawasan aspek kepatuhan pada prinsip syariah maka perlu adanya kerjasama dan koordinasi yang intens antara BI dan DSN-MUI untuk memperjelas kedudukan, fungsi, tugas serta tanggungjawab masing-masing dalam pembinaan dan pengawasan bank syariah, termasuk juga fungsi dan kewenangan DPS dan upaya peningkatan kerja dan independensi DPS.[18]
Pada periode ini pula dibahas Rancangan Undang-Undang Perbankan Syariah (sekarang telah berlaku sebagai UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah). Dalam RUU ini diatur bahwa dalam Dewan komisaris, terdapat sekurang-kurangnya satu (1) orang komisaris yang melakukan tugas pengawasan terhadap pelaksanaan prinsip-prinsip syariah. Klausul ini secara eksplisit akan menghapus peran Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang selama ini menjadi pengawas di perbankan syariah. Selanjutnya, peran pengawasan prinsip syariah dilakukan oleh salah satu komisaris. Klausula ini menimbulkan pro dan kontra tersendiri. Ada yang menolaknya, dengan alasan akan mengurangi efektifitas pengawasan prinsip syariah di perbankan syariah. Ada yang mendukungnya, dengan alasan jika pengawas syariah di perbankan syariah berbentuk dewan yang terdiri dari beberapa orang maka secara tidak langsung akan menambah beban perbankan syariah. Selain itu, DPS tidak diperlukan karena mempunyai konsekuensi pembebanan biaya spesifik di tiap perbankan syariah.[19]
Menurut Rizal Ismail seorang anggota DSN MUI secara pribadi mengaku setuju dengan konsep komisaris syariah yang akan menggantikan peran DPS karena dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), komisaris mempunyai akses yang lebih besar ke bank daripada DPS. Sebab komisaris menyatu dengan institusi perbankan, sehingga ia bisa melakukan penyelaman yang lebih dalam untuk mengetahui apakah kebijakan yang dilakukan oleh para direksi dan bawahannya bertentangan dengan prinsip syariah atau tidak.[20]
Jika dilihat dari segi organ perusahaan memang dewan komisaris memiliki tugas dan tanggungjawab lebih besar daripada DPS dalam mengawasi kegiatan perusahaan secara umum. Namun berdasarkan karakteristik yang dimiliki bank syariah maka tugas dan tanggungjawab DPS juga tidak kalah penting. Artinya perlu koordinasi yang bersinergi antara dewan komisaris dan DPS dalam memahami dan menyadari peran dan fungsi masing-masing.
D.      PENUTUP
Kesimpulan
Perbankan Syariah merupakan perbankan dengan sistem operasional yang memiliki karakter khusus. Perbedaan mendasar antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional adalah bahwa pada bank syariah diwajibkan adanya kepatuhan syariah (sharia compliance). Mengingat adanya kewajiban tersebut maka keberadaan Dewan Pengawas Syariah menjadi sangat vital bagi institusi perbankan syariah. Peningkatan atas kedudukan, tugas serta kewenangan Dewan Pengawas Syariah pada institusi perbankan syariah mutlak diperlukan dan jika diilihat dari kacamata politik hukum, para stakeholder perbankan syariah telah melakukan upaya-upaya yang mengarah pada tujuan tesebut. Keberadaan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah diharapkan dapat lebih meningkatkan serta mengoptimalkan peran dan fungsi Dewan Pengawas Syariah dalam melakukan pengawasan serta pengembangan produk-produk perbankan syariah agar tetap sesuai dengan rambu-rambu syariah.







Daftar Pustaka
Literatur:
Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence):Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Jakarta: Kencana, 2009.
Ali, Zainuddin, Hukum Perbankan Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Fuady, Munir, Teori-Teori Besar Dalam Hukum (Grand Theory), Jakarta: Kencana, 2013.
Khairandy, Ridwan, Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, Cetakan Kedua, Yogyakarta: FH UII Press, 2014.
Khairandy, Ridwan, Perseroan Terbatas: Doktrin, Peraturan Perundang-Undangan, dan Yurisprudensi, Jogjakarta: Kreasi Total Media, 2008.
Nafis, Cholil, Teori Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta: UI Press, 2011.
Usman, Rachmadi, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Jurnal:
Hidayati, Maslihati Nur, “Dewan Pengawas Syariah Dalam Sistem Hukum Perbankan: Studi Tentang Pengawasan Bank Berlandaskan Pada Prinsip-Prinsip Islam”, Lex Jurnalica Vol. 6 No.1, Desember 2008.



[1] Rachmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 93.
[2] Munir Fuady,Teori-Teori Besar Dalam Hukum (Grand Theory) (Jakarta: Kencana, 2013), h. 246.
[3] Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence): Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence) (Jakarta: Kencana, 2009), h. 376-378.
[4] Munir Fuady, Teori, h. 248-250.
[5] Munir Fuady, Teori, h. 256.
[6] Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas: Doktrin, Peraturan Perundang-Undangan, dan Yurisprudensi, (Jogjakarta: Kreasi Total Media, 2008), h. 148.
[7] Ridwan Khairandy, Perseroan, h. 150.
[8] Ridwan Khairandy, Perseroan, h. 152-154.
[9] Ridwan Khairandy, Perseroan, h. 156.
[10] Ridwan Khairandy, Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, Cetakan Kedua (Yogyakarta: FH UII Press, 2014), h. 93.
[11] Ridwan Khairandy, Pokok, h. 130.
[12]Rachmadi Usman, Aspek, h. 244.
[13] Ridwan Khairandy, Perseroan, h. 242.
[14]Maslihati Nur Hidayati, “Dewan Pengawas Syariah Dalam Sistem Hukum Perbankan: Studi Tentang Pengawasan Bank Berlandaskan Pada Prinsip-Prinsip Islam”, Lex Jurnalica Vol. 6 No.1, Desember 2008, h. 63.
[15] Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah (Jakarta: UI Press, 2011), h. 234.
[16] Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 3-4.
[17] Maslihati, “Dewan”, h. 64.
[18] Zainuddin Ali, Hukum, h. 136.
[19] Maslihati, “Dewan”, h. 72.
[20] Maslihati, “Dewan”, h. 72.
 

Profil

Kategori

Archives