A. PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Dengan
telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah maka sistem operasional perbankan syariah di Indonesia memiliki
landasan yuridis tersendiri. Sebelum adanya UU Perbankan Syariah ketentuan
mengenai operasional perbankan syariah diatur melalui Undang-Undang No. 10
Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Secara substantif menurut Yusuf Wibisono sebagaimana yang dikutip oleh Rachmadi
Usman ketentuan dalam UU Perbankan Syariah memiliki tujuan utama. Pertama,
menjamin kepastian hukum bagi para stakeholders serta memberikan keyakinan
kepada masyarakat untuk menggunakan produk dan jasa perbankan syariah. Kedua,
menjamin kepatuhan syariah (Syariah Compliance). Ketiga,
stabilitas sistem.[1]
Terkait
dengan adanya tuntutan kepatuhan syariah dalam pengelolaan serta pengembangan produk
dan jasa perbankan syariah, dalam UU Perbankan Syariah ditegaskan bahwa
kewenangan untuk menetapkan aspek kesyariahan sebuah produk atau jasa perbankan
berada pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwa yang ditetapkannya.
Adapun dalam struktur kelembagaan MUI sendiri wewenang untuk menetapkan fatwa
terkait masalah ekonomi syariah secara khusus berada pada Dewan Syariah
Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Selanjutnya sebagai tindak lanjut
terhadap pengawasan terkait kepatuhan syariah pada Bank Syariah maka dalam UU
Perbankan Syariah ini diwajibkan bagi setiap Bank Syariah untuk membentuk Dewan
Pengawas Syariah (DPS). DPS dalam suatu bank syariah dapat dikatakan merupakan
kepanjangan tangan dari DSN-MUI yang memiliki fungsi pengawasan terkait
implementasi fatwa ke dalam produk dan jasa perbankan yang dikelola.
Mengingat
bahwa Bank Syariah harus merupakan badan hukum yang berbentuk perseroan
terbatas maka kedudukan serta wewenang DPS dalam sebuah perseroan menjadi
persoalan yang patut untuk dikaji. Hal ini disebabkan oleh karena dalam
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dijelaskan bahwa
yang merupakan organ perseroan terbatas hanyalah Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS), Direksi dan Komisaris.
2.
Rumusan
Masalah
1. Apakah
peran dan fungsi DPS dalam bank syariah?
2. Bagaimanakah
politik hukum perbankan syariah berkenaan dengan peran dan fungsi DPS?
B. KERANGKA TEORI
1.
Fungsi
Hukum Dalam Masyarakat
Menurut Munir
Fuady, fungsi hukum dalam masyarakat secara umum adalah:
a. Fungsi
memfasilitasi, yakni memfasilitasi agar tercipta ketertiban dalam masyarakat.
b. Fungsi
represif, seperti penggunaan hukum sebagai alat penguasa untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu.
c. Fungsi
ideologis, menjamain pencapaian legitimasi, hegemoni, dominasi, kebebasaan,
kemerdekaan, keadilan dan lain-lain.
d. Fungsi
reflektif, hukum merefleksi keinginan bersama masyarakat, sehingga hukum
semestinya bersifat netral.[2]
Jika
memang hukum memiliki fungsi-fungsi sebagaimana disebutkan diatas maka yang
menjadi penting diperhatikan adalah masalah efektivitas hukum tersebut. Tidak
semua hukum dapat berlaku efektif sesuai dengan fungsi dan tujuan yang
diharapkan dari penerapan hukum itu. Diantara faktor-faktor yang mempengaruhi
efektifitas hukum atatu undang-undang menurut Achmad Ali adalah relevensi
aturan hukum tersebut dengan kebutuhan hukum masyarakat yang menjadi sasaran
penerapan hukum. Pembuat undang-undang dituntut untuk memahami kebutuhan hukum
masyarakat. Selain itu tidak dapat dipungkiri bahwa aturan hukum yang sesuai
dengan nilai moral masyarakat lebih dapat berlaku efektif daripada aturan hukum
yang tidak sesuai dengan nilai moral masyarakat. Aturan hukum yang melarang
atau mengancamkan sanksi bagi suatu tindakan tertentu yang pada saat bersamaan
juga dilarang dan diancamkan sanksi oleh norma lain, seperti norma agama, norma
susila dan norma kebisasaan lebih efektif jika dibandingkan dengan aturan hukum
yang tidak dilarang oleh norma lain.[3]
2.
Hukum
dan Perubahan Sosial
Hubungan antara hukum dan perubahan sosial merupakan
hubungan interaksi, dalam artian bahwa
adakalanya perubahan sosial mempengaruhi perubahan dalam sektor hukum dan
sebaliknya, perubahan dalam sektor hukum berimbas pula pada perubahan sosial.
Munir Fuady menyatakan, hukum sebagai sarana perubahan sosial bergantung pada
ketanggapan sektor hukum merespon perubahan yang terjadi dalam masyarakat.
Semakin cepat hukum merespon tuntutan masyarakat maka semakin efektif pula
fungsi hukum sebagai sarana perubahan sosial. Namun apabila hukum lambat
meresepon tuntutan tersebut maka yang terjadi adalah masyarakat yang merubah
hukum. Dengan demikian hukum hanya berfungsi sebagai alat legitimasi perubahan
sosial sebab masyarakat telah merubah dirinya sendiri tanpa melalui perubahan
hukum.[4]
Tidak semua pakar (terutama yang bukan pakar hukum)
setuju bahwa hukum dapat menjadi alat perubahan sosial. Arnold M Rose
sebagaimana yang dikutip oleh Munir Fuady menyatakan bahwa setidaknya ada tiga
faktor yang menjadi penyebab berubahnya kehidupan sosial dalam masyarakat
yakni,
a. Perkembangan
teknologi.
b. Konflik
antar kebudayaan.
c. Gerakan
sosial (social movement).
Menurut
para ahli budaya, bertemunya dua kebudayaan yang berbeda menyebabkan perubahan
yang terjadi masyarakat. Masyarakat akan melakukan penyesuaian terhadap
kebudayaan baru tersebut untuk kemudian meciptakan suatu sistem kebudayaan yang
lebih baik. Adapun gerakan sosial yang menjadi salah satu faktor perubahan
masyarakat adalah akibat adanya ketidakpuasan yang kemudian menimbulkan
protes-protes di kalangan
masyarakat sehingga menghasilkan
suatu tatanan masyarakat baru termasuk didalamnya tatanan hukum. Dengan
demikian masyarakatlah yang merubah hukum bukan hukum yang merubah masyarakat.[5]
3.
Teori
Korporasi
Menurut
Ridwan Khairandy struktur corporate governance dalam sebuah korporasi
dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama teori korporasi yang dianut, budaya,
dan sistem hukum yang berlaku. Pemahaman mengenai teori-teori korporasi yang
ada dapat membantu untuk memahami berbagai model dan karakter interaksi antara
fungsi pengawasan, pengelolaan, dan kepemilikan dalam suatu korporasi.[6]
Salah
satu teori tentang korporasi adalah entity theory yang memandang bahwa
perusahaan merupakan suatu entitas bisnis. Menurut teori ini, korporasi
merupakan suatu entitas bisnis yang memiliki persofinikasi sendiri dan tidak
identik dengan pemilik. Suatu perusahaan dianggap memiliki eksistensi
tersendiri terlepas dari interaksi langsung dengan pemiliknya. Pendapatan yang
diperoleh adalah hak entitas yang kemudian didistribusikan kepada shareholders
dalam bentuk deviden. Adapun keuntungan lebih yang tidak dibagikan menjadi hak
entitas bisnis.[7]
Entity
theory merupakan teori korporasi yang paling banyak dianut
oleh perusahaan diseluruh dunia. Perkembangan entity theory dalam dunia
korporasi terlihat dengan munculnya beberapa teori turunan yakni agency
theory dan stewardship theory. Kedua teori inilah yang kemudian
memberikan pengaruh terhadap struktur corporate governance di berbagai
perusahaan dewasa ini. Teori agensi menekankan pentingnya pemilik perusahaan
(pemegang saham) untuk mendelegasikan manajemen perusahaan kepada tenaga-tenaga
profesional (agen). Salah satu tujuan dari pemisahan tersebut adalah dengan
dikelolanya perusahaan oleh tenaga-tenaga profesional para pemilik saham dapat
menerima profit yang besar dengan biaya seefisien mungkin. Dengan keleluasan
manajemen perusahaan oleh agen (direksi) maka dituntut pula bagi para agen
tersebut dalam menjalankan tugasnya untuk benar-benar bertindak atas dan untuk
kepentingan perseroan. Para agen diharuskan untuk menggunakan keahlian, itikad
baik dan tingkah laku yang wajar dalam memimpin perusahaan. Dalam teori ini
keberadaan dewan pengawas yang mandiri dalam perusahaan menjadi sangat penting
guna mengawasi kegiatan direksi. Berbeda halnya dengan agency theory, dalam stewardhip
theory dikehendaki agar fungsi pengawasan dan fungsi eksekutif dalam
perusahaan berada pada satu organ/ dewan.
Pada perusahaan-perusahaan yang menerapkan stewardship theory
peran Chief Executive Officer (CEO) serta Chairman dibebankan
pada individu yang sama. Sistem yang demikian dikenal dengan sebutan one-tier
board system.[8]
Baik
agency theory maupun stewardship theory keduanya memiliki
kelebihan dan kekurangan antara satu sama lain. Dalam agency theory
dipersyaratkan agar fungsi pengawasan dan fungsi eksekutif dipisahkan.
Pemisahan ini dilakukan agar tercipta kondisi “check and balances” yang
sehat diantara organ perusahaaan. Namun kelemahan dari penerapan teori ini
dalam perusahaan adalah kemungkinan timbulnya tarik ulur kepentingan antara
komisaris dan direksi. Jika terjadi kondisi yang demikian maka peran direksi
dalam menentukan kebijakan perusahaan menjadi terhambat dan tidak efektif.
Adapun stewardship theory kelebihannya adalah bahwa dengan disatukannya
fungsi pengawasan dengan fungsi eksskutif maka keputusan untuk menetapkan
kebijakan perusahaan menjadi semakin cepat dan efektif sedangkan kelemahannya
adalah tidak adanya peran pengontrol bagi kebijakan yang dibuat sehingga
menimbulkan celah bagi direksi untuk mengejar keuntungan demi kepentingan
pribadi.
Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya bahwa model/ struktur organ perusahaan ditentukan oleh
teori yang dipakai dan diterapkan. Perusahaan-perusahaan di seluruh dunia
secara keseluruhan terbagi kedalam dua macam sistem yakni one-tier boards
dan two-tier boards. Sistem yang disebut pertama banyak dianut oleh
perusahaan yang berada pada kawasan anglo-american yang sistem hukumnya common
law. Adapun perusahaan yang berada pada kawasan eropa kontinental dengan sistem
hukum civil law kebanyakan menerapkan sistem yang disebut kedua. Dalam sistem
one-tier boards fungsi pengawasan dan fungsi manajemen berada pada satu
individu sehingga kemungkinan akan timbulnya friksi dalam menetapkan kebijakan
perusahaan sangat kecil. Berbeda halnya dengan sistem two-tier boards
yang dengan jelas memisahkan antara fungsi pengawasan dan fungsi manajerial
yang memiliki independensi masing-masing.[9]
C. PEMBAHASAN
1.
Peran dan Fungsi DPS
Dalam Bank Syariah
Di dalam UU Perbankan Syariah maupun UU Perseroan Terbatas
tidak diketemukan definisi resmi tentang DPS. Di dalam kedua UU tersebut hanya
dijelaskan mengenai fungsi dan tugas DPS dalam perseroan yang menjalankan usaha
berdasarkan prinsip syariah. Dalam Pasal 109 Ayat (3) UU Perseroan Terbatas dijelaskan
bahwa DPS bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi
kegiatan Perseroan agar sesuai dengan prinsip syariah. Adapun dalam UU
perbankan syariah Pasal 32 Ayat (3) disebutkan bahwa DPS berfungsi dan bertugas
memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar
sesuai dengan Prinsip Syariah. Dengan demikian kedua UU tersebut memiliki
kesamaan dalam menentukan fungsi dan tugas DPS dalam perseroan yang menjalankan
usaha berdasarkan prinsip syariah dalam hal ini bank syariah.
Definisi resmi tentang DPS baru dapat diketemukan dalam
Peraturan Bank Indonesia (PBI). Menurut ketentuan Pasal 1 Angka 15 Peraturan
Bank Indonesia Nomor 15/13/PBI/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 11/13/PBI/2009 tentang Bank Umum
Syariah yang dimaksud dengan Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang
bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan
Bank agar sesuai dengan prinsip syariah. Definisi mengenai DPS dalam PBI ini
nampak hanya merupakan penekanan terhadap fungsi dan tugas DPS itu sendiri.
Mengenai tugas dan tanggung jawab DPS dalam Bank Syariah diatur dalam Pasal 35 Ayat (2)
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/13/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah, di dalam pasal tersebut secara rinci
dijelaskan tugas dan tanggung jawab DPS yang meliputi:
a.
Menilai dan memastikan pemenuhan Prinsip Syariah atas pedoman operasional dan
produk yang dikeluarkan Bank;
b.
Mengawasi proses pengembangan produk baru Bank;
c.
Meminta fatwa kepada Dewan Syariah Nasional untuk produk baru Bank yang belum
ada fatwanya;
d.
Melakukan review secara berkala atas pemenuhan prinsip syariah terhadap
mekanisme penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank; dan
e.
Meminta data dan informasi terkait dengan aspek syariah dari satuan kerja Bank
dalam rangka pelaksanaan tugasnya.
Berbeda halnya dengan dewan komisaris, dalam UU Perseroan
Terbatas Pasal 1 Angka 6 dijelaskan bahwa Dewan Komisaris adalah Organ
Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai
dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. Dengan demikian
maka secara yuridis kedudukan dewan komisaris dibandingkan dengan DPS dalam bank syariah nampak lebih kuat sebab dewan
komisaris merupakan organ perseroan terbatas. Menurut Ali Ridho sebagaimana
yang dikutip oleh Ridwan Khairandy organ badan atau organ perseroan merupakan
sesuatu yang esensial dalam organisasi itu.[10]
Fungsi dan tugas dewan komisaris menurut Pasal 108 Ayat (1)
UU Perseroan Terbatas adalah melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan,
jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai Perseroan maupun usaha
Perseroan, dan memberi nasihat kepada Direksi. Menurut Ridwan Khairandy dewan
komisaris dalam sebuah perseroan berkedudukan sebagai dewan supervisi. Dewan
komisaris merupakan badan non-eksekutif yang tidak berhak mewakili perseroan
kecuali dipertentukan lain dalam hal tertentu berdasarkan UU Perseroan Terbatas
dan Anggaran Dasar. Dewan komisaris tidak memiliki otoritas manajemen sebab
otoritas tersebut berada pada direksi perseroan. Fungsi pengawasan dewan
komisaris baik terhadap kebijakan direksi maupun perseroan secara keseluruhan
dijalankan melalui jalan sebagai berikut:
1. Menyetujui tindakan-tindakan tertentu yang diambil oleh direksi,
2. Memberhentikan direksi untuk sementara,
3. Memberi nasehat kepada direksi, baik diminta maupun tidak
diminta, dalam rangka pelaksanaan pengawasan.[11]
Berdasarkan ketentuan yang ada tersebut maka dapat dilihat
bahwa terdapat perbedaan fungsi pengawasan antara dewan komisaris dengan DPS.
Jika Dewan komisaris merupakan organ perseroan yang melaksanakan pengawasan
secara umum terhadap bank syariah maka DPS hanya merupakan pengawas terhadap
hal-hal tertentu yang berkenaan dengan aspek kesyariaahan dalam pengelolaan
serta pengembangan produk dan jasa perbankan syariah.
Pelaksanaan
Prinsip Good Corporate Governance Pada Bank Syariah
Good Corporate Governance (GCG) atau tata kelola
perusahaan yang baik merupakan istilah teknis dalam praktek ekonomi yang telah
menjadi bahasa pemerintahan. Istilah ini merupakan istilah baru dalam dunia
manajemen bisnis. Konsep mengenai GCG mulai masuk ke Indonesia ketika terjadi
krisis moneter pada tahun 1997-an yang mana perusahaan-perusahaan yang ada pada
waktu itu tidak menerapkan GCG. Menurut Bank Dunia, definisi GCG adalah aturan,
standar dan organisasi di bidang ekonomi yang mengatur perilaku pemilik
perusahaan, direktur dan manajer serta perincian dan penjabaran tugas dan
wewenang serta pertanggungjawabannya kepada investor (pemegang saham dan
kreditur).
Dalam dunia perbankan, GCG merupakan suatu tata kelola
industri perbankan yang baik dan sehat yang dilaksanakan berdasarkan beberapa
prinsip dasar yakni, tranparansi (transparency), akuntabilitas (accountability),
pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency)
dan kewajaran (fairness). Dengan menerapkan prinsip-prinsip dasar
tersebut dalam pengelolaan usaha perbankan diharapkan dapat meningkatkan
kinerja bank, melindungi kepentingan stakeholders serta meningkatkan kepatuhan
kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku serta nilai-nilai etika yang
berlaku umum pada industri perbankan.[12]
Hubungan antara GCG dengan pengelolaan perbankan syariah
merupakan hubungan yang khusus jika dibandingkan dengan pengelolaan perbankan
konvensional. Hal yang menimbulkan kekhususan tersebut adalah karakteristik
perbankan syariah yang dalam pengelolaannya mewajibkan adanya kepatuhan syariah
(sharia compliance). Oleh karena pengawasan terhadap kepatuhan syariah
tersebut pada setiap bank syariah berada pada wewenang DPS, maka DPS dengan
sendirinya merupakan pioner utama dalam penegakan prinsip GCG tersebut. Artinya
diperlukan adanya penguatan atas tugas dan tanggungjawab DPS sehingga kepatuhan
syariah sebagai implementasi atas prinsip GCG pada bank syariah dapat terlaksana
dengan optimal.
Berkenaan dengan penerapan prinsip GCG pada bank syariah maka
Bank Indonesia sebagai penanggungjawab pengelolaan industri perbankan di
Indonesia mengeluarkan kebijakan berupa regulasi yang tertuang dalam Peraturan
Bank Indonesia (PBI) No 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan Good Corporate
Governance Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Dalam Pasal 46
dijelaskan bahwa DPS wajib melaksanakan tugas dan tanggungjawab sesuai dengan
prinsip GCG. Kemudian sebagai pengaturan secara teknis dan lebih lanjut terkait
tugas dan tanggungjawab DPS dalam mengawal prinsip GCG tersebut dikeluarkanlah
Surat Edaran Bank Indonesia No 12/13/DPbs perihal Pelaksanaan Good Corporate Governance
Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Dalam ketentuan huruf E angka 4
disebutkan bahwa Tugas dan tanggung
jawab Dewan Pengawas Syariah dilakukan dengan cara antara lain:
a. Melakukan pengawasan terhadap proses pengembangan produk
baru Bank; dan
b. Melakukan pengawasan terhadap kegiatan Bank.
Berdasarkan tingkatan atau jenjang organisasi bank syariah
maka fungsi pengawasan tertinggi terkait penerapan GCG dalam pengelolaan serta
kegiatan bank syariah berada pada dewan komisaris. Hal tersebut sebagaimana
yang tercantum dalam Pasal 8 ayat (1) PBI No. 11/33/PBI/2009 yang menyatakan
bahwa Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan atas terselenggaranya
pelaksanaan GCG dalam setiap kegiatan usaha Bank Umum Syariah pada seluruh
tingkatan atau jenjang organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dan ayat (2).
Dengan demikian maka tugas dan tanggungjawab DPS masih berada
dalam pengawasan dewan komisaris. Dewan komisaris berwenang untuk menindak DPS
apabila ia lalai terhadap tugas dan tanggungjawabnya berkaitan dengan kepatuhan
syariah. Wewenang luas dewan komisaris dalam melakukan pengawasan terkait
pelaksanaan GCG yang didalamnya tercakup kepatuhan syariah memberikan jaminan akan
efektifitas pelaksanaan prinsip syariah dalam bank syariah.
Kedudukan dewan komisaris yang lebih dominan dibanding DPS
tersebut sejalan dengan yang dijelaskan oleh Ridwan Khairandy bahwa fungsi
pengawasan komisaris diantaranya adalah mengenai audit organisasi. Pengawasan
terhadap struktur organisasi, hubungan lini dari pimpinan, bentuk dan besarnya
struktur organisasi harus selalu disesuaikan dengan kebutuhan organisasi dan
tentunya didasarkan pada pertimbangan atas analisis biaya dan manfaat
perseroan.[13]
2.
Politik Hukum
Perbankan Syariah Berkenaan Dengan Peran dan Fungsi DPS
Bila
dirujuk pada sejarah perkembangan bank syariah, alasan pokok dari keberadaan
perbankan syariah adalah munculnya kesadaran masyarakat muslim yang ingin
menjalankan seluruh aktivitas keuangannya sesuai dengan tuntunan agama. Gagasan
pembentukan mengenai bank yang menggunakan sistem bagi hasil ini muncul sejak
lama, yang ditandai dengan banyaknya pemikir-pemikir yang menulis gagasan
mengenai bank syariah.[14]
Menurut
Syafii Antonio sebagaimana yang dikutip oleh Cholil Nafis gagasan agar
dibentuknya bank Islam di Indonesia diawali oleh adanya seminar tentang bunga
dan sistem perbankan pada 18-20 Agustus 1990 di Cisarua, Bogor, Jawa Barat.
Hasil seminar kemudian dibahas secara lebih mendalam pada Musyawarah Nasional
IV MUI di Jakarta pada 22-25 Agustus 1990. Musyawarah tersebut menghasilkan
usulan konkret berupa harus segera dibentuk sebuah kelompok kerja untuk
pendirian bank Islam di Indonesia.[15]
Menurut
penulis adanya tuntutan agar segera diberdirikannya bank Islam/ Syariah di
Indonesia merupakan indikasi bahwa masyarakat muslim Indonesia menginginkan
adanya sebuah sistem perbankan yang berlandaskan pada nilai-nilai agama. Dalam
agama Islam melakukan transaksi keuangan dengan sistem bunga/ riba adalah haram
hukumnya. Artinya disamping adanya faktor ekonomi yang menuntut adanya
alternatif baru dalam sistem perbankan Indonesia, faktor ideologi merupakan
faktor utama dalam gagasan pembentukan bank syariah.
Bank pertama di Indonesia yang beroperasi dengan berpedoman
pada prinsip-prinsip syariah adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang berdiri
pada tahun 1992. Kebutuhan akan adanya alternatif baru dalam sistem perbankan
di Indonesia semakin mendesak ketika perekonomian Indonesia mengalami kemerosotan
akibat krisis moneter yang melanda. Krisis moneter tersebut berdampak pada
dunia perbankan dimana pada saat itu bank-bank konvensional mengalami likuidasi
bahkan gulung tikar. Hal tersebut sangat berbeda kontras dengan BMI yang
operasionalnya berdasarkan prinsip syariah. Pengalaman inilah yang akhirnya menggerakkan usaha
pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat pada waktu itu untuk menetapkan UU No.
10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang
maksud dan tujuannya adalah untuk mengatur dengan rinci landasan hukum, serta
jenis-jenis usaha yang dapat diimplementasikan dan dioperasikan oleh bank
syariah.[16]
Ketiadaan jaminan bahwa aktivitas investasi yang dilaksanakan
oleh bank konvensional mempertimbangkan aspek kehalalan obyek dan cara
pengelolaannya, dengan kata lain nilai dan moral agama tidak menjadi faktor
penting dalam kegiatan usaha bank. Oleh karena itulah jaminan mengenai
keabsahan secara syariah (syariah compliance) dari seluruh aktivitas
pengelolaan dana nasabah oleh bank merupakan hal yang sangat penting dalam
kegiatan usaha bank syariah.[17]
Sebelum diundangkannya UU Perbankan Syariah, kedudukan dan
tugas DPS dalam bank syariah diatur dalam Peraturan Pemerintah 72 Tahun 1992
tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dalam Pasal 5 Ayat (1)
dijelaskan bahwa bank dengan prinsip
bagi hasil wajib memiliki DPS yang bertugas mengawasi aspek syariah. Adapun
kedudukannya dalam bank tersebut adalah independen dan tidak dapat terlibat
dalam urusan operasional bank. Kehadiran DPS sebagaimana yang diatur dalam
peraturan pemerintah tersebut memang penting namun belum optimal pelaksanaannya
sebab belum memiliki prosedur yang jelas dan terperinci.
Dengan belum jelasnya aturan mengenai kedudukan dan fungsi
DPS, atas dasar pertimbangan tersebut Bank Indonesia (BI) menetapkan empat (4)
fokus area pengembangan bank syariah yang diantaranya adalah kepatuhan pada prinsip
syariah. Pada periode tahun 2004-2008 BI memprogramkan terwujudnya kepatuhan
syariah dengan salah satu caranya yakni mendorong peningktatan efektivitas
pengawasan. Zainuddin Ali menjelaskan bahwa guna meningkatkan efektivitas
pengawasan aspek kepatuhan pada prinsip syariah maka perlu adanya kerjasama dan
koordinasi yang intens antara BI dan DSN-MUI untuk memperjelas kedudukan,
fungsi, tugas serta tanggungjawab masing-masing dalam pembinaan dan pengawasan
bank syariah, termasuk juga fungsi dan kewenangan DPS dan upaya peningkatan
kerja dan independensi DPS.[18]
Pada periode ini pula dibahas Rancangan Undang-Undang
Perbankan Syariah (sekarang telah berlaku sebagai UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah). Dalam RUU ini diatur bahwa dalam Dewan komisaris, terdapat
sekurang-kurangnya satu (1) orang komisaris yang melakukan tugas pengawasan
terhadap pelaksanaan prinsip-prinsip syariah. Klausul ini secara eksplisit akan
menghapus peran Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang selama ini menjadi pengawas
di perbankan syariah. Selanjutnya, peran pengawasan prinsip syariah dilakukan
oleh salah satu komisaris. Klausula ini menimbulkan pro dan kontra tersendiri.
Ada yang menolaknya, dengan alasan akan mengurangi efektifitas pengawasan
prinsip syariah di perbankan syariah. Ada yang mendukungnya, dengan alasan jika
pengawas syariah di perbankan syariah berbentuk dewan yang terdiri dari
beberapa orang maka secara tidak langsung akan menambah beban perbankan
syariah. Selain itu, DPS tidak diperlukan karena mempunyai konsekuensi
pembebanan biaya spesifik di tiap perbankan syariah.[19]
Menurut
Rizal Ismail seorang anggota DSN MUI secara pribadi mengaku setuju dengan
konsep komisaris syariah yang akan menggantikan peran DPS karena dalam Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), komisaris mempunyai akses yang lebih
besar ke bank daripada DPS. Sebab komisaris menyatu dengan institusi perbankan,
sehingga ia bisa melakukan penyelaman yang lebih dalam untuk mengetahui apakah
kebijakan yang dilakukan oleh para direksi dan bawahannya bertentangan dengan
prinsip syariah atau tidak.[20]
Jika
dilihat dari segi organ perusahaan memang dewan komisaris memiliki tugas dan
tanggungjawab lebih besar daripada DPS dalam mengawasi kegiatan perusahaan
secara umum. Namun berdasarkan karakteristik yang dimiliki bank syariah maka
tugas dan tanggungjawab DPS juga tidak kalah penting. Artinya perlu koordinasi
yang bersinergi antara dewan komisaris dan DPS dalam memahami dan menyadari
peran dan fungsi masing-masing.
D. PENUTUP
Kesimpulan
Perbankan
Syariah merupakan perbankan dengan sistem operasional yang memiliki karakter
khusus. Perbedaan mendasar antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional
adalah bahwa pada bank syariah diwajibkan adanya kepatuhan syariah (sharia
compliance). Mengingat adanya kewajiban tersebut maka keberadaan Dewan
Pengawas Syariah menjadi sangat vital bagi institusi perbankan syariah.
Peningkatan atas kedudukan, tugas serta kewenangan Dewan Pengawas Syariah pada
institusi perbankan syariah mutlak diperlukan dan jika diilihat dari kacamata
politik hukum, para stakeholder perbankan syariah telah melakukan upaya-upaya
yang mengarah pada tujuan tesebut. Keberadaan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah diharapkan dapat lebih meningkatkan serta mengoptimalkan
peran dan fungsi Dewan Pengawas Syariah dalam melakukan pengawasan serta
pengembangan produk-produk perbankan syariah agar tetap sesuai dengan
rambu-rambu syariah.
Daftar Pustaka
Literatur:
Ali,
Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence):Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Jakarta:
Kencana, 2009.
Ali, Zainuddin, Hukum
Perbankan Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Fuady,
Munir, Teori-Teori Besar Dalam Hukum (Grand Theory), Jakarta: Kencana,
2013.
Khairandy,
Ridwan, Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, Cetakan Kedua, Yogyakarta:
FH UII Press, 2014.
Khairandy,
Ridwan, Perseroan Terbatas: Doktrin, Peraturan Perundang-Undangan, dan
Yurisprudensi, Jogjakarta: Kreasi Total Media, 2008.
Nafis, Cholil, Teori
Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta: UI Press, 2011.
Usman,
Rachmadi, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, 2012.
Jurnal:
Hidayati,
Maslihati Nur, “Dewan Pengawas Syariah Dalam Sistem Hukum Perbankan: Studi
Tentang Pengawasan Bank Berlandaskan Pada Prinsip-Prinsip Islam”, Lex Jurnalica
Vol. 6 No.1, Desember 2008.
[1]
Rachmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia (Jakarta:
Sinar Grafika, 2012), h. 93.
[2]
Munir Fuady,Teori-Teori Besar Dalam Hukum (Grand Theory) (Jakarta:
Kencana, 2013), h. 246.
[3]
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence):
Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence) (Jakarta: Kencana,
2009), h. 376-378.
[4]
Munir Fuady, Teori, h. 248-250.
[5]
Munir Fuady, Teori, h. 256.
[6]
Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas: Doktrin, Peraturan Perundang-Undangan,
dan Yurisprudensi, (Jogjakarta: Kreasi Total Media, 2008), h. 148.
[7]
Ridwan Khairandy, Perseroan, h. 150.
[8]
Ridwan Khairandy, Perseroan, h. 152-154.
[9]
Ridwan Khairandy, Perseroan, h. 156.
[10]
Ridwan Khairandy, Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, Cetakan Kedua (Yogyakarta:
FH UII Press, 2014), h. 93.
[11]
Ridwan Khairandy, Pokok, h. 130.
[12]Rachmadi
Usman, Aspek, h. 244.
[13]
Ridwan Khairandy, Perseroan, h. 242.
[14]Maslihati
Nur Hidayati, “Dewan Pengawas Syariah Dalam Sistem Hukum Perbankan: Studi
Tentang Pengawasan Bank Berlandaskan Pada Prinsip-Prinsip Islam”, Lex Jurnalica
Vol. 6 No.1, Desember 2008, h. 63.
[15]
Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah (Jakarta: UI Press, 2011), h.
234.
[16]
Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
h. 3-4.
[17]
Maslihati, “Dewan”, h. 64.
[18]
Zainuddin Ali, Hukum, h. 136.
[19]
Maslihati, “Dewan”, h. 72.
[20]
Maslihati, “Dewan”, h. 72.