Blog ini adalah milik Muhammad Najih Vargholy. Diberdayakan oleh Blogger.
Jika hendak mengenal dunia MEMBACALAH, Jika hendak dikenal dunia MENULISLAH, Jika hendak menguasai dunia BERILMULAH. (Hamid Fahmy Zarkasyi)

Konsep Bank Islam

Kamis, 05 Januari 2017

A.  LATAR BELAKANG
Perilaku serta perbuatan manusia tidak terlepas dari caranya memandang alam dan kehidupan secara keseluruhan. Dalam setiap perbuatan manusia selalu terdapat nilai-nilai yang secara sistematis tersusun di dalam kerangka berpikirnya (worldview). Kerangka berpikir tersebutlah yang kemudian mempengaruhi sikap mental dan pribadi seseorang.
Pasca terjadinya revolusi ilmiah (renaissance) pada abad ke-17 M, pusat perhatian terkait alam dan kehidupan tidak lagi diarahkan kepada Tuhan (teosentris) namun diarahkan kepada manusia sendiri sebagai satu-satunya sumber kekuasaan (antroposentris). Kejenuhan masyarakat eropa terhadap kesewenang-wenangan gereja pada abad pertengahan (medieval ages) telah membawa mereka kepada sebuah keyakinan bahwa untuk membangun sebuah peradaban yang mulia dan agung, doktrin-doktrin agama (gereja) mutlak harus dikesampingkan. Untuk membangun peradaban yang sempurna hanya dapat didasarkan pada rasionalitas. Dengan demikian cukup dengan akal serta potensi yang dimilikinya saja, manusia mampu sampai kepada kehidupan yang sempurna. Untuk melihat gambaran kekesalan masyarakat terhadap agama pada masa itu dapat terwakilkan oleh ungkapan fenomenal seorang Friedrich Nietzche yang menyatakan “God is dead”, Tuhan telah mati.
Jika masyarakat eropa (barat) telah secara tegas menegasikan campur tangan Tuhan dalam mengatur alam dan kehidupan, maka masyarakat muslim tidak demikian. Masyarakat Islam telah menyadari bahwa Islam bukanlah semata-mata agama yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, namun lebih dari itu Islam merupakan sebuah peradaban. Islam merupakan agama paripurna (syamil mutakamil) yang mengatur segala aspek kehidupan manusia. Tidak ada satupun perbuatan manusia yang terlepas dari ajaran serta tuntutan agama. Sebagai khalifah (mandataris) Allah, manusia dalam mengolah serta mengatur alam beserta isinya terikat oleh aturan-aturan yang telah ditetapkan-Nya. Hanya dengan mentaati serta menjalankan aturan-aturan itulah manusia dapat mencapai kebahagiaan yang hakiki yakni kebahagiaan dunia dan akhirat sekaligus.
Akibat dari dicampakkannya Tuhan dari dalam kehidupan, kini manusia memandang  bahwa segala sesuatunya hanya dapat diukur dari apa yang tampak (materi) sedangkan yang tidak tampak (non-materi) bukanlah menjadi ukuran. Kondisi demikian semakin terlihat jelas dari cara manusia mengatur salah satu bidang kehidupan yakni bidang ekonomi. Dari cara pandang yang serba materilistis, dalam masalah perekonomian, manusia terjebak di antara dua kutub paham yang saling berhadapan yakni kapitalisme dan sosialisme. Kapitalisme berpandangan bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk memenuhi serta memiliki apa yang menjadi kebutuhannya, sedangkan sosialisme berpandangan bahwa  kepemilikan secara individu/ pribadi harus ditiadakan, sumber daya alam harus dimiliki secara kolektif.
 Di tengah pertentangan kedua kutub tersebut, Islam dengan konsepsinya terkait urusan ekonomi (muamalah maliyah) hadir sebagai alternatif. Islam tidak membenarkan kapitalisme maupun sosialisme yang merupakan konsep rancangan manusia, namun Islam hadir dengan konsepsinya sendiri yang bersumber dari wahyu ilahi dan sunnah rasulullah. Konsep perekonomian Islam didasarkan pada prinsip tauhid yang menyatakan bahwa Allah merupakan satu-satunya penguasa kehidupan adapun manusia hanyalah makhluk yang ditugaskan untuk mengatur kehidupan berdasarkan atas kuasa-Nya (khalifah). Islam mengedepankan prinsip keseimbangan (tawazun) sehingga kepentingan individu/ pribadi harus tetap diselaraskan dengan kepentingan umum/ sosial. Selain itu, perekonomian Islam juga didasarkan pada prinsip tanggung-jawab (masuliyah) yang menyatakan bahwa segala perbuatan manusia di dunia kelak akan dimintakan pertangggungjawabannya oleh Tuhan di akhirat. Dengan berdasarkan pada prinsip-prinsip itulah kegiatan perekonomian dapat dijalankan oleh manusia secara adil dengan tanpa merugikan dan mendzalimi sesamanya.
Salah satu lingkup bidang ekonomi adalah bidang perbankan. Lembaga perbankan merupakan lembaga yang memiliki fungsi intermediasi, yang menjembatani serta mempertemukan dua pihak yang saling membutuhkan satu sama lain. Pihak yang satu memiliki kelebihan dana (surplus of fund) sehingga memerlukan sarana investasi sedangkan pihak yang lain mengalami kekurangan dana (lack of fund) sehingga memerlukan tambahan modal untuk menjalankan usaha. Di sinilah peranan lembaga perbankan dibutuhkan, yakni sebagai lembaga perantara atau intermediatory. Melihat kenyataan yang ada di seluruh negara saat ini, mustahil rasanya perekonomian suatu negara dibangun tanpa melibatkan lembaga perbankan sebagai salah satu instrumen perekonomian dan pembangunan.
Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa Islam adalah agama yang komprehensif yang mengatur segala aspek kehidupan manusia. Tidak ada satupun urusan atau permasalahan yang tidak diketemukan jawaban serta konsepsinya di dalam al-Quran dan sunnah, termasuk dalam hal ini adalah masalah perbankan. Di dalam makalah ini akan dibahas mengenai konsep perbankan dalam Islam secara umum dan kemudian secara khusus akan dibahas mengenai beberapa aspek terkait praktek perbankan Islam yang ada di Indonesia, mengingat bahwa saat ini Indonesia menerapkan dual banking system yakni sistem konvensional dan sistem syariah/ Islam.
B.  PERBANKAN ISLAM
1.      Falsafah Perbankan Islam
Falsafah perbankan Islam dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber dari ajaran Islam  terutama adalah al-Quran dan sunnah. Dari kedua sumber utama tersebut didapati bahwa Islam bukan semata dimaknai sebagai agama (spiritual) namun sebagai suatu konsep kehidupan yang utuh.
Islam adalah kata bahasa Arab yang berasal dari kata salima yang artinya adalah selamat, damai, tunduk, pasrah dan berserah diri. Objek penyerahan diri ini adalah Pencipta seluruh alam semesta, yaitu Allah SWT. Dengan demikian Islam adalah penyerahan diri kepada Allah SWT.
Islam merupakan pedoman dan petunjuk hidup manusia di dunia. Islam memberikan petunjuk mengenai bagaimana caranya menjalani kehidupan dengan benar agar manusia dapat mencapai kebahagiaan yang didambakannya itu, baik di dunia maupun di akhirat.
Berdasarkan penjelasan diatas maka ajaran Islam tidak hanya dimaknai sebagai hubungan antara manusia dengan Allah SWT semata (hablum minallah), melainkan juga hubungan antara manusia dengan manusia (hablum minannas), bahkan juga hubungan antara manusia dengan makhluk cipataan Allah lainnya termasuk alam dan lingkungan. Jadi, Islam merupakan jalan hidup, way of life, yang memberikan bimbingan kepada manusia dalam seluruh aspek kehidupan.[1] Islam sebagai way of life bagi seluruh manusia terdiri atas tiga aspek, yakni aspek aqidah, aspek syariah dan aspek akhlak.
 





a.      Akidah
Kata aqidah berasal dari kata ‘aqad yang bermakna ikatan. Secara terminologis aqidah adalah sesuatu yang dengannya diikatkan hati dan perasaan halus manusia atau yang dijadikan agama oleh manusia dan dijadikannya pegangan.[2] Aspek akidah adalah aspek yang berhubungan dengan persoalan-persoalan keimanan dan dasar-dasar agama. Dengan akidah tersebut kehidupan manusia menjadi lebih bermakna sebab akidah inilah yang memberikan jawaban atas pertanyaan mengenai hakikat kehidupan, dari mana asal muasalnya, apa maknanya, apa yang harus dilakukan oleh manusia semasa hidupnya dan kemana harus diarahkan serta kemana semua ini akan berakhir.
b.      Syariah
Syariah merupakan kata arab yang secara etimologis berarti jalan yang ditempuh atau garis yang mestinya dilalui. Adapun secara terminologis syariah mengandung makna peraturan-peraturan dan hukum-hukum yang telah digariskan oleh Allah SWT atau telah digariskan pokok-pokoknya dan dibebankan kepada kaum muslimin supaya mematuhinya, supaya syariah ini diambil oleh orang Islam sebagai penghubung baik dengan Allah ataupun manusia.[3] Syariat hanya berasal dari Allah maka dari itu sumber syariat, sumber hukum dan sumber undang-undang adalah datang dari Allah yang disampaikan kepada manusia melalui perantara rasul-rasul-Nya dan tertuang di dalam kitab suci. Namun demikian, tidak seperti halnya aqidah yang sifatnya kekal dan baku, syariah lebih bersifat fleksibel yang dapat dikembangkan mengikuti perubahaan keadaan atau zaman. Hal tersebut disebabkan oleh karena setiap umat di setiap zamannya menghadapi situasi dan kondisi yang berbeda satu sama lain. Masyarakat berkembang secara dinamis dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat.
Syariah terbagi atas dua bagian, yakni bagian ibadah yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah serta bagian muamalah yang mengatur hubungan antara sesama manusia. Bagian ibadah mencakup hal-hal sebagaimana yang terangkum dalam rukun Islam seperti syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji. Sedangkan bagian muamalah mencakup semua aspek kehidupan manusia seperti pernikahan, perdagangan, ekonomi, sosial hingga politik.[4]
Pada umumnya syariah Islam dalam bidang muamalah hanya memberikan petunjuk-petunjuk dan prinsip-prinsip yang sifatnya umum dan global tidak diatur secara rinci, detail dan teknis. Oleh karena itu dalam lapangan inilah manusia dapat melakukan ijtihad untuk memecahkan problematika yang dihadapinya sesuai dengan perkembangan waktu dan tempat. Dalam bidang muamalah ini para ulama telah merumuskan suatu kaidah umum yang berbunyi “hukum segala sesuatu adalah boleh, kecuali jika terdapat dalil (al-Quran dan Hadits) yang melarangnya”. Dari kaidah tersebut dapat diketahui bahwa terdapat lapangan yang luas sekali dalam bidang muamalah sehingga yang perlu dilakukan hanyalah mengidentifikasi hal-hal yang dilarang (haram) dan kemudian menghindarinya. Di luar hal-hal yang telah jelas keharamannya itu diperbolehkan untuk menambah, menciptakan serta mengembangkan melalui proses ijtihad.
c.       Akhlak
Jika aspek syariah menyangkut permasalahan benar atau salahnya suatu perbuatan, maka aspek akhlak (etika) menyangkut permasalahan baik atau buruknya perilaku manusia. Akhlak merupakan tujuan utama dari diutusnya para nabi serta menjadi tolak ukur kualitas keberagamaan seseorang. Akhlak memberikan panduan terhadap cara seseorang berperilaku terhadap Allah dan juga terhadap makhluk.
2.      Prinsip Perbankan Islam
Perbankan merupakan bagian dari aktivitas perekonomian secara keseluruhan. Dalam menjalani ekonomi Islam, ulama bersepakat bahwa setidaknya terdapat lima prinsip yang harus dipedomani, yakni tauhid (monoteisme), khilafah (perwakilan), ‘adalah (keadilan), ta’awun (tolong-menolong), dan maslahah (kemaslahatan).[5]
Tauhid merupakan landasan pijak bagi perjalanan kehidupan manusia. Ajaran tauhid tidak dimaknai sebatas pengakuan atas keesaaan Allah semata, namun lebih jauh, tauhid juga berpengaruh terhadap hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan alam sekitarnya. Esensi dari tauhid adalah menciptakan individu-individu yang berkualitas sehingga dari individu-individu berkualitas tersebut tercipta pula masyarakat yang berkualitas.[6]
Konsekuensi dari ajaran tauhid tersebut adalah munculnya kesadaran manusia bahwa dalam menjalani kehidupan ini ia hanyalah seorang mustakhlif (trustee), pemegang amanah Allah.[7] Oleh karena itu dalam segala bidang yang digelutinya termasuk aktivitas ekonomi, manusia senantiasa dituntut untuk mentaati aturan yang telah ditetapkan Allah. Ketundukan serta ketaatan pada ketentuan Allah ini bukan hanya sebatas pada ketentuan yang bersifat mekanistis sebagaimana yang terdapat dalam alam dan kehidupan sosial, namun juga pada ketentuan yang bersifat teistis (rabbaniyah), moral dan etis (khuluqiyah).  
Kesejahteraan manusia hanya dapat tercapai melalui keadilan (adalah) dan keseimbangan (tawazun). Cerminan dari wujud keadilan serta keseimbangan dalam ekonomi syariah adalah terciptanya pertumbuhan serta pemerataan pendapatan. Dengan demikian pembangunan ekonomi tidak hanya diukur dari pertumbuhan pendapatan secara nominal namun juga sejauh mana pendapatan tersebut terdistribusi secara merata kepada seluruh masyarakat. Hal ini disebabkan oleh ajaran Islam yang melarang peredaran serta penumpukan harta kekayaan hanya pada segelintir/ kolompok orang tertentu.
Konsepsi khilafah sebagaimana yang telah dijelaskan memberikan makna implisit bahwa dalam mengelola sumber daya alam ini, manusia dituntut untuk mengedepankan sikap tolong menolong, gotong royong serta bahu membahu dalam mencapai kesejahteraan. Sebab kepemillikan secara mutlak terhadap seluruh isi alam ini pada hakikatnya hanyalah oleh Allah sebagai pencipta. Dalam arti bahwa usaha-usaha menuju kemakmuran dan kesejahteraan yang dilakukan oleh setiap individu jangan sampai menciptakan kerugian atau kerusakan bagi orang lain (fasad). Sementara jika memperoleh kelebihan atas harta dan kekayaan, hendaklah sebagiannya itu dimanfaatkan untuk menolong orang yang disekitarnya.[8]
Selanjutnya, terkait perbankan secara khusus, prinsip yang paling menonjol disini adalah prinsip profit-loss sharing (pembagian keuntungan dan kerugian).[9] Dari prinsip ini didapati bahwa untuk memperoleh keuntungan dari investasi yang dilakukannya, seorang investor juga harus siap menanggung resiko yang timbul. Tidak ada keuntungan yang dapat dinikmati tanpa adanya kemungkinan untuk menanggung resiko (kerugian). Dengan menerapkan prinsip ini pada seluruh kegiatan ekonomi atau bisnis secara umum dan perbankan secara khusus, maka akan tercipta keadilan di antara para pelaku ekonomi sebab tidak ada diantara para pihak tersebut yang merasa didzalimi. Berbeda halnya dengan sistem perbankan konvensional yang memungkinan bank atau nasabah untuk tetap dapat menikmati keuntungan secara tetap berupa bunga (interest) tanpa disertai resiko usaha.
3.      Akad/ Produk Perbankan Islam
Perbedaan mendasar antara perbankan konvensional dengan perbankan syariah adalah bahwa perbankan konvensional beroperasi dengan memungut bunga (interest) kepada nasabah sedangkan perbankan syariah tidak mengenal bunga (interest free). Berpegang pada kaidah al-ghunmu bil-ghurmi (suatu usaha/investasi senantiasa disertai resiko), operasional perbankan syariah dilaksanakan berdasarkan prinsip bagi hasil (tijarah an taradhin).
Di Indonesia, hukum melakukan transaksi dengan bunga sempat menjadi perdebatan. Perdebatan tersebut tidak hanya terjadi di tengah masyarakat awam, namun juga pada kalangan ulama dan ormas Islam. Sebagian ada yang berpendapat bahwa bunga itu mutlak keharamannya karena memiliki kesamaan dengan riba, sebagian lain ada yang berpendapat bahwa bunga tidak identik dengan riba sehingga diperbolehkan, dan sebagian lain berpendapat bahwa bunga merupakan perkara yang syubhat (tidak jelas hukumnya).
Untuk merespon kesimpangsiuran mengenai hukum transaksi dengan bunga tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan Fatwa Nomor 1 Tahun 2004 tentang  Bunga Bank. Berdasarkan analisa yang dilakukan oleh Cholil Nafis, Fatwa MUI tentang Bunga Bank tersebut terdiri atas 3 (tiga) bagian.[10] Pertama, mengenai definisi atau pengertian bunga dan riba. Bunga adalah tambahan yang dikenakan kepada pinjaman uang yang diperhitungkan dari jumlah modal yang dipinjamkan tanpa memperhitungkan untung rugi usaha yang dilakukan peminjam. Ciri-ciri utama bunga adalah ditetapkan berdasarkan jangka waktu, ditetapkan di muka, dan lazimnya berbentuk persentase. Sedangkan riba adalah tambahan tanpa upah yang terjadi karena penambahan masa atau penangguhan pembayaraan ketika pinjaman telah jatuh tempo. Riba semacam ini dikenal dengan riba nasi’ah.
Kedua, dalam keputusannya, MUI menyatakan bahwa bunga bank telah memenuhi unsur-unsur atau kriteria yang terdapat dalam riba nasi’ah. Dengan demikian  bunga bank dikategorikan sebagai salah satu prakterk riba yang terjadi di zaman Rasulullah tersebut dan hukumnya adalah haram.
Ketiga, MUI menetapkan bahwa hukum bertransaksi atau bermuamalah dengan bank yang berdasarkan bunga terbagi menjadi dua bagian, yakni bagi masyarakat yang di daerahnya telah terdapat Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan mudah untuk mengaksesnya, maka hukumnya adalah haram. Sedangkan bagi masyarakat yang di daerahnya belum terdapat LKS, diperbolehkan untuk menggunakan jasa bank berdasarkan bunga dengan alasan keadaan darurat (dharurat al-hajat) dengan tetap memperhatikan batas waktu, ukuran dan kadarnya.
Menurut hemat penulis, pembagian hukum transaksi dengan bunga bank menjadi dua bagian tersebut sudah tidak relevan dengan konteks saat ini. Fatwa MUI tersebut ditetapkan pada tahun 2004 dimana pada waktu itu belum banyak bank-bank umum syariah atau bank konvensional yang memiliki unit usaha syariah. Sedangkan pada saat ini telah banyak  berdiri bank-bank umum syariah serta bank konvensional yang membuka unit usaha syariah dengan kantor cabang yang tersebar di seluruh Indonesia, sehingga penerapan prinsip al-hajat tubihu al-mahdzurat (dalam keadaan darurat, hal-hal yang dilarang boleh untuk dilakukan) sebagaimana dimaksud dapat dikesampingkan.
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, antara perbankan konvensional dan perbankan syariah memiliki perbedaan modus operandi. Untuk memenuhi kebutuhan  nabasah atas modal usaha/ kerja, perbankan konvensional memberikan fasilitas kredit (pinjaman) kepada nasabah. Dalam hal ini perbankan konvensional menyediakan uang kepada nasabah yang kemudian oleh nasabah tersebut dipergunakan untuk menjalankan usahanya. Pada saat jatuh tempo nasabah tersebut berkewajiban untuk mengembalikan dana yang dipinjamnya beserta dengan bunganya. Berbeda halnya dengan perbankan syariah, untuk memenuhi kebutuhan nasabah, perbankan syariah tidak pernah menyediakan uang/dana namun menyediakan serta menjual barang kepada nasabah. Barang tersebut dijual kepada nasabah sesuai dengan akad yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak baik melalui akad jual beli dengan pembayaran secara angsuran (murabahah) atau akad sewa-menyewa (ijarah).  Pada prinsipnya, perbankan syariah tidak pernah menyediakan dana/ pinjaman kepada nasabah karena perbankan syariah tidak mengenal bunga.[11]
Memang dalam sistem keuangan syariah terdapat akad pinjam-minjam yang bersifat sosial yakni qardh al-hasan. Akad pinjam-meminjam sebagaimana dimaksud ditujukan untuk membantu pihak lain secara cuma-cuma tanpa membebankan bunga pada pinjaman tersebut. Namun kenyataannya, perbankan syariah adalah lembaga komersial yang juga membutuhkan keuntungan (profit) untuk menjalankan kegiatan usaha serta operasionalnya, sehingga akad  qardh al-hasan jarang dipergunakan atau bahkan tidak disediakan oleh perbankan syariah sebagai salah satu produk yang ditawarkan kepada nasabah.
Di dalam bukunya, Sutan Remy Sjahdeini membagi berbagai jenis produk perbankan syariah ke dalam enam kelompok, yaitu:[12]
a.    Produk finansial berbasis jual beli.
Produk finansial berbasis jual beli (bai’) dalam prakteknya terdiri atas:
1)   Musawamah, jual beli yang normal dimana harga pembelian barang (cost price) oleh pihak bank selaku penjual tidak diketahui oleh nasabah. Proses jual beli dalam akad ini didasarkan pada tawar menawar antara kedua belah pihak.
2)   Murabahah, jual beli dimana harga pembelian barang oleh pihak bank selaku penjual beserta besaran margin keuntungan yang diperoleh diketahui oleh nasabah.
3)   Muqayadah, jual beli dengan cara tukar menukar (barter) barang atau uang.
4)   Sharf, jual beli emas, perak, dan mata uang.
5)   Salam, jual beli dimana harga pembelian dibayar seketika sedangkan penyerahan barang dilakukan kemudian.
6)   Mu’ajjal, jual beli dimana penyerahan barang dilakukan di muka sedangkan pembayaran harga dilakukan belakangan dengan syarat bahwa harga beli pihak bank harus diketahui oleh nasabah.
7)   Isthisna’, jual beli atas barang yang belum ada perwujudannya pada saat akad dilakukan. Biasanya jual beli semacam ini dilakukan terhadap pemesanan barang suatu manufaktur.
b.   Produk finansial berbasis kemitraan.
Produk finansial berbasis kemitraan dalam prakteknya terdiri atas:
1)   Mudhrabah
2)   Musyarakah
c.    Produk finansial berbasis sewa-menyewa.
Produk finansial berbasis sewa menyewa adalah ijarah yang dapat berupa ijarah muntahiyah bi at-tamlik.
d.   Produk finansial berbasis pinjaman.
Produk finansial berbasis pinjaman adalah qardh al-hasan.
e.    Produk finansial berbasis penitipan.
Produk finansial berbasis penitipan adalah wadi’ah semisal rekening giro.
f.     Produk finansial berbasis pelayanan atau fee (ujrah).
Produk finansial berbasis fee (upah) misalnya adalah hawalah, wakalah, dan kafalah dimana bank memberikan pelayanan atau jasa kepada nasabah dengan menetapkan fee atas jasanya tesebut.
C.  KESIMPULAN
Islam merupakan agama yang mengatur secara komprehensif pelbagai segi serta aspek kehidupan manusia. Islam dilandasi oleh tiga elemen yakni akidah, syariah dan akhlak. Selain mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, Islam juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya bahkan dengan alam sekitarnya. Dengan landasan ketiga elemen itulah kehidupan manusia selalu terikat dengan aspek-aspek yang bersifat transendental.
Salah satu aspek kehidupan yang diatur oleh Islam adalah aspek perekonomian. Perekonomian Islam dibangun berdasarkan prinsip tauhid, tawazun, adalah, ta’awun, masuliyah dan maslahah. Dalam bidang perbankan, Islam tidak mengenal bunga sebagai mekanisme perolehan keuntungan karena bunga merupakan suatu bentuk kedzaliman dan ketidakadilan. Sebaliknya, perbankan Islam dilaksanakan dengan mekanisme profit-lost sharing yang didasarkan pada prinsip sukarela atau saling ridho antara satu sama lain (an taradhin).


Daftar Pustaka
Adiwarman A Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010.
Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta: UI-Press, 2010.
Hamka, Studi Islam, Jakarta: Penerbit Pustaka Panjimas, 1985.
Mahmud Syalthut, Al-Islam, ‘Aqidah wal Syariah.
Nurcholis Madjid, Islam dan Doktrin Peradaban, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992.
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah: Produk-Produk dan Aspek Hukumnya, Jakarta: Kencana, 2014.
Amiur Nuruddin, “SDM Berbasis Syariah”, Jurnal Peradaban Islam “Tsaqafah”, Vol 6, Nomor 1, April 2010.




[1] Adiwarman A Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 1-2.
[2] Hamka, Studi Islam (Jakarta: Penerbit Pustaka Panjimas, 1985), hlm. 5.
[3] Syekh Mahmud Syalthut, Al-Islam, ‘Aqidah wal Syariah, hlm. 68.
[4] Adiwarman A Karim, Op.Cit, hlm. 8.
[5] Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah (Jakarta: UI-Press, 2010), hlm 140.
[6] Nurcholis Madjid, Islam dan Doktrin Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), hlm. 85.
[7] Amiur Nuruddin, “SDM Berbasis Syariah”, Jurnal Peradaban Islam “Tsaqafah”, Vol 6, Nomor 1, April 2010, hlm. 31.
[8] Ibid., hlm 31.
[9] Cholil Nafis, Op.Cit., hlm. 140.
[10] Ibid., hlm. 148-149.
[11] Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah: Produk-Produk dan Aspek Hukumnya (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 175-176.
[12] Ibid., hlm. 183-184.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Profil

Kategori

Archives