A. LATAR BELAKANG
Perilaku serta perbuatan manusia tidak
terlepas dari caranya memandang alam dan kehidupan secara keseluruhan. Dalam
setiap perbuatan manusia selalu terdapat nilai-nilai yang secara sistematis
tersusun di dalam kerangka berpikirnya (worldview). Kerangka berpikir
tersebutlah yang kemudian mempengaruhi sikap mental dan pribadi seseorang.
Pasca terjadinya revolusi ilmiah (renaissance)
pada abad ke-17 M, pusat perhatian terkait alam dan kehidupan tidak lagi
diarahkan kepada Tuhan (teosentris) namun diarahkan kepada manusia
sendiri sebagai satu-satunya sumber kekuasaan (antroposentris).
Kejenuhan masyarakat eropa terhadap kesewenang-wenangan gereja pada abad
pertengahan (medieval ages) telah membawa mereka kepada sebuah keyakinan
bahwa untuk membangun sebuah peradaban yang mulia dan agung, doktrin-doktrin
agama (gereja) mutlak harus dikesampingkan. Untuk membangun peradaban yang
sempurna hanya dapat didasarkan pada rasionalitas. Dengan demikian cukup dengan
akal serta potensi yang dimilikinya saja, manusia mampu sampai kepada kehidupan
yang sempurna. Untuk melihat gambaran kekesalan masyarakat terhadap agama pada
masa itu dapat terwakilkan oleh ungkapan fenomenal seorang Friedrich Nietzche
yang menyatakan “God is dead”, Tuhan telah mati.
Jika masyarakat eropa (barat) telah
secara tegas menegasikan campur tangan Tuhan dalam mengatur alam dan kehidupan,
maka masyarakat muslim tidak demikian. Masyarakat Islam telah menyadari bahwa
Islam bukanlah semata-mata agama yang mengatur hubungan manusia dengan
Tuhannya, namun lebih dari itu Islam merupakan sebuah peradaban. Islam merupakan
agama paripurna (syamil mutakamil) yang mengatur segala aspek kehidupan
manusia. Tidak ada satupun perbuatan manusia yang terlepas dari ajaran serta
tuntutan agama. Sebagai khalifah (mandataris) Allah, manusia dalam
mengolah serta mengatur alam beserta isinya terikat oleh aturan-aturan yang
telah ditetapkan-Nya. Hanya dengan mentaati serta menjalankan aturan-aturan
itulah manusia dapat mencapai kebahagiaan yang hakiki yakni kebahagiaan dunia
dan akhirat sekaligus.
Akibat dari dicampakkannya Tuhan dari dalam
kehidupan, kini manusia memandang bahwa
segala sesuatunya hanya dapat diukur dari apa yang tampak (materi) sedangkan
yang tidak tampak (non-materi) bukanlah menjadi ukuran. Kondisi demikian
semakin terlihat jelas dari cara manusia mengatur salah satu bidang kehidupan
yakni bidang ekonomi. Dari cara pandang yang serba materilistis, dalam masalah
perekonomian, manusia terjebak di antara dua kutub paham yang saling berhadapan
yakni kapitalisme dan sosialisme. Kapitalisme berpandangan bahwa setiap
individu memiliki kebebasan untuk memenuhi serta memiliki apa yang menjadi
kebutuhannya, sedangkan sosialisme berpandangan bahwa kepemilikan secara individu/ pribadi harus
ditiadakan, sumber daya alam harus dimiliki secara kolektif.
Di
tengah pertentangan kedua kutub tersebut, Islam dengan konsepsinya terkait
urusan ekonomi (muamalah maliyah) hadir sebagai alternatif. Islam tidak
membenarkan kapitalisme maupun sosialisme yang merupakan konsep rancangan
manusia, namun Islam hadir dengan konsepsinya sendiri yang bersumber dari wahyu
ilahi dan sunnah rasulullah. Konsep perekonomian Islam didasarkan pada prinsip
tauhid yang menyatakan bahwa Allah merupakan satu-satunya penguasa kehidupan
adapun manusia hanyalah makhluk yang ditugaskan untuk mengatur kehidupan
berdasarkan atas kuasa-Nya (khalifah). Islam mengedepankan prinsip
keseimbangan (tawazun) sehingga kepentingan individu/ pribadi harus
tetap diselaraskan dengan kepentingan umum/ sosial. Selain itu, perekonomian
Islam juga didasarkan pada prinsip tanggung-jawab (masuliyah) yang
menyatakan bahwa segala perbuatan manusia di dunia kelak akan dimintakan
pertangggungjawabannya oleh Tuhan di akhirat. Dengan berdasarkan pada
prinsip-prinsip itulah kegiatan perekonomian dapat dijalankan oleh manusia secara
adil dengan tanpa merugikan dan mendzalimi sesamanya.
Salah satu lingkup bidang ekonomi adalah
bidang perbankan. Lembaga perbankan merupakan lembaga yang memiliki fungsi
intermediasi, yang menjembatani serta mempertemukan dua pihak yang saling
membutuhkan satu sama lain. Pihak yang satu memiliki kelebihan dana (surplus
of fund) sehingga memerlukan sarana investasi sedangkan pihak yang lain
mengalami kekurangan dana (lack of fund) sehingga memerlukan tambahan
modal untuk menjalankan usaha. Di sinilah peranan lembaga perbankan dibutuhkan,
yakni sebagai lembaga perantara atau intermediatory. Melihat kenyataan
yang ada di seluruh negara saat ini, mustahil rasanya perekonomian suatu negara
dibangun tanpa melibatkan lembaga perbankan sebagai salah satu instrumen
perekonomian dan pembangunan.
Sebagaimana yang telah dipaparkan
sebelumnya, bahwa Islam adalah agama yang komprehensif yang mengatur segala
aspek kehidupan manusia. Tidak ada satupun urusan atau permasalahan yang tidak
diketemukan jawaban serta konsepsinya di dalam al-Quran dan sunnah, termasuk
dalam hal ini adalah masalah perbankan. Di dalam makalah ini akan dibahas
mengenai konsep perbankan dalam Islam secara umum dan kemudian secara khusus
akan dibahas mengenai beberapa aspek terkait praktek perbankan Islam yang ada
di Indonesia, mengingat bahwa saat ini Indonesia menerapkan dual banking
system yakni sistem konvensional dan sistem syariah/ Islam.
B. PERBANKAN ISLAM
1. Falsafah Perbankan Islam
Falsafah
perbankan Islam dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber dari ajaran
Islam terutama adalah al-Quran dan
sunnah. Dari kedua sumber utama tersebut didapati bahwa Islam bukan semata
dimaknai sebagai agama (spiritual) namun sebagai suatu konsep kehidupan yang
utuh.
Islam adalah kata bahasa Arab yang
berasal dari kata salima yang artinya adalah selamat, damai, tunduk, pasrah
dan berserah diri. Objek penyerahan diri ini adalah Pencipta seluruh alam
semesta, yaitu Allah SWT. Dengan demikian Islam adalah penyerahan diri kepada
Allah SWT.
Islam merupakan pedoman dan
petunjuk hidup manusia di dunia. Islam memberikan petunjuk mengenai bagaimana
caranya menjalani kehidupan dengan benar agar manusia dapat mencapai
kebahagiaan yang didambakannya itu, baik di dunia maupun di akhirat.
Berdasarkan penjelasan diatas maka
ajaran Islam tidak hanya dimaknai sebagai hubungan antara manusia dengan Allah
SWT semata (hablum minallah), melainkan juga hubungan antara manusia
dengan manusia (hablum minannas), bahkan juga hubungan antara manusia
dengan makhluk cipataan Allah lainnya termasuk alam dan lingkungan. Jadi, Islam
merupakan jalan hidup, way of life, yang memberikan bimbingan kepada
manusia dalam seluruh aspek kehidupan.[1] Islam
sebagai way of life bagi seluruh manusia terdiri atas tiga aspek, yakni
aspek aqidah, aspek syariah dan aspek akhlak.
a.
Akidah
Kata
aqidah berasal dari kata ‘aqad yang bermakna ikatan. Secara
terminologis aqidah adalah sesuatu yang dengannya diikatkan hati dan perasaan
halus manusia atau yang dijadikan agama oleh manusia dan dijadikannya pegangan.[2]
Aspek akidah adalah aspek yang berhubungan dengan persoalan-persoalan keimanan
dan dasar-dasar agama. Dengan akidah tersebut kehidupan manusia menjadi lebih
bermakna sebab akidah inilah yang memberikan jawaban atas pertanyaan mengenai
hakikat kehidupan, dari mana asal muasalnya, apa maknanya, apa yang harus
dilakukan oleh manusia semasa hidupnya dan kemana harus diarahkan serta kemana
semua ini akan berakhir.
b.
Syariah
Syariah merupakan kata arab yang
secara etimologis berarti jalan yang ditempuh atau garis yang mestinya dilalui.
Adapun secara terminologis syariah mengandung makna peraturan-peraturan dan
hukum-hukum yang telah digariskan oleh Allah SWT atau telah digariskan
pokok-pokoknya dan dibebankan kepada kaum muslimin supaya mematuhinya, supaya
syariah ini diambil oleh orang Islam sebagai penghubung baik dengan Allah
ataupun manusia.[3]
Syariat hanya berasal dari Allah maka dari itu sumber syariat, sumber hukum dan
sumber undang-undang adalah datang dari Allah yang disampaikan kepada manusia
melalui perantara rasul-rasul-Nya dan tertuang di dalam kitab suci. Namun
demikian, tidak seperti halnya aqidah yang sifatnya kekal dan baku, syariah
lebih bersifat fleksibel yang dapat dikembangkan mengikuti perubahaan keadaan
atau zaman. Hal tersebut disebabkan oleh karena setiap umat di setiap zamannya
menghadapi situasi dan kondisi yang berbeda satu sama lain. Masyarakat
berkembang secara dinamis dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat.
Syariah terbagi atas dua bagian,
yakni bagian ibadah yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah
serta bagian muamalah yang mengatur hubungan antara sesama manusia.
Bagian ibadah mencakup hal-hal sebagaimana yang terangkum dalam rukun
Islam seperti syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji. Sedangkan bagian muamalah
mencakup semua aspek kehidupan manusia seperti pernikahan, perdagangan,
ekonomi, sosial hingga politik.[4]
Pada umumnya syariah Islam dalam
bidang muamalah hanya memberikan petunjuk-petunjuk dan prinsip-prinsip
yang sifatnya umum dan global tidak diatur secara rinci, detail dan teknis.
Oleh karena itu dalam lapangan inilah manusia dapat melakukan ijtihad untuk
memecahkan problematika yang dihadapinya sesuai dengan perkembangan waktu dan
tempat. Dalam bidang muamalah ini para ulama telah merumuskan suatu kaidah umum
yang berbunyi “hukum segala sesuatu adalah boleh, kecuali jika terdapat
dalil (al-Quran dan Hadits) yang melarangnya”. Dari kaidah tersebut dapat
diketahui bahwa terdapat lapangan yang luas sekali dalam bidang muamalah
sehingga yang perlu dilakukan hanyalah mengidentifikasi hal-hal yang dilarang
(haram) dan kemudian menghindarinya. Di luar hal-hal yang telah jelas
keharamannya itu diperbolehkan untuk menambah, menciptakan serta mengembangkan
melalui proses ijtihad.
c.
Akhlak
Jika
aspek syariah menyangkut permasalahan benar atau salahnya suatu perbuatan, maka
aspek akhlak (etika) menyangkut permasalahan baik atau buruknya perilaku
manusia. Akhlak merupakan tujuan utama dari diutusnya para nabi serta menjadi
tolak ukur kualitas keberagamaan seseorang. Akhlak memberikan panduan terhadap
cara seseorang berperilaku terhadap Allah dan juga terhadap makhluk.
2. Prinsip Perbankan Islam
Perbankan merupakan bagian dari
aktivitas perekonomian secara keseluruhan. Dalam menjalani ekonomi Islam, ulama
bersepakat bahwa setidaknya terdapat lima prinsip yang harus dipedomani, yakni tauhid
(monoteisme), khilafah (perwakilan), ‘adalah (keadilan), ta’awun
(tolong-menolong), dan maslahah (kemaslahatan).[5]
Tauhid merupakan landasan pijak
bagi perjalanan kehidupan manusia. Ajaran tauhid tidak dimaknai sebatas
pengakuan atas keesaaan Allah semata, namun lebih jauh, tauhid juga berpengaruh
terhadap hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia,
serta manusia dengan alam sekitarnya. Esensi dari tauhid adalah menciptakan
individu-individu yang berkualitas sehingga dari individu-individu berkualitas
tersebut tercipta pula masyarakat yang berkualitas.[6]
Konsekuensi dari ajaran tauhid
tersebut adalah munculnya kesadaran manusia bahwa dalam menjalani kehidupan ini
ia hanyalah seorang mustakhlif (trustee), pemegang amanah Allah.[7]
Oleh karena itu dalam segala bidang yang digelutinya termasuk aktivitas
ekonomi, manusia senantiasa dituntut untuk mentaati aturan yang telah
ditetapkan Allah. Ketundukan serta ketaatan pada ketentuan Allah ini bukan
hanya sebatas pada ketentuan yang bersifat mekanistis sebagaimana yang terdapat
dalam alam dan kehidupan sosial, namun juga pada ketentuan yang bersifat
teistis (rabbaniyah), moral dan etis (khuluqiyah).
Kesejahteraan manusia hanya dapat
tercapai melalui keadilan (adalah) dan keseimbangan (tawazun).
Cerminan dari wujud keadilan serta keseimbangan dalam ekonomi syariah adalah
terciptanya pertumbuhan serta pemerataan pendapatan. Dengan demikian
pembangunan ekonomi tidak hanya diukur dari pertumbuhan pendapatan secara
nominal namun juga sejauh mana pendapatan tersebut terdistribusi secara merata
kepada seluruh masyarakat. Hal ini disebabkan oleh ajaran Islam yang melarang
peredaran serta penumpukan harta kekayaan hanya pada segelintir/ kolompok orang
tertentu.
Konsepsi khilafah
sebagaimana yang telah dijelaskan memberikan makna implisit bahwa dalam
mengelola sumber daya alam ini, manusia dituntut untuk mengedepankan sikap
tolong menolong, gotong royong serta bahu membahu dalam mencapai kesejahteraan.
Sebab kepemillikan secara mutlak terhadap seluruh isi alam ini pada hakikatnya
hanyalah oleh Allah sebagai pencipta. Dalam arti bahwa usaha-usaha menuju
kemakmuran dan kesejahteraan yang dilakukan oleh setiap individu jangan sampai
menciptakan kerugian atau kerusakan bagi orang lain (fasad). Sementara
jika memperoleh kelebihan atas harta dan kekayaan, hendaklah sebagiannya itu
dimanfaatkan untuk menolong orang yang disekitarnya.[8]
Selanjutnya, terkait perbankan
secara khusus, prinsip yang paling menonjol disini adalah prinsip profit-loss
sharing (pembagian keuntungan dan kerugian).[9]
Dari prinsip ini didapati bahwa untuk memperoleh keuntungan dari investasi yang
dilakukannya, seorang investor juga harus siap menanggung resiko yang timbul.
Tidak ada keuntungan yang dapat dinikmati tanpa adanya kemungkinan untuk
menanggung resiko (kerugian). Dengan menerapkan prinsip ini pada seluruh
kegiatan ekonomi atau bisnis secara umum dan perbankan secara khusus, maka akan
tercipta keadilan di antara para pelaku ekonomi sebab tidak ada diantara para
pihak tersebut yang merasa didzalimi. Berbeda halnya dengan sistem perbankan
konvensional yang memungkinan bank atau nasabah untuk tetap dapat menikmati
keuntungan secara tetap berupa bunga (interest) tanpa disertai resiko
usaha.
3. Akad/ Produk Perbankan Islam
Perbedaan mendasar antara perbankan
konvensional dengan perbankan syariah adalah bahwa perbankan konvensional
beroperasi dengan memungut bunga (interest) kepada nasabah sedangkan
perbankan syariah tidak mengenal bunga (interest free). Berpegang pada
kaidah al-ghunmu bil-ghurmi (suatu usaha/investasi senantiasa disertai
resiko), operasional perbankan syariah dilaksanakan berdasarkan prinsip bagi
hasil (tijarah an taradhin).
Di Indonesia, hukum melakukan
transaksi dengan bunga sempat menjadi perdebatan. Perdebatan tersebut tidak
hanya terjadi di tengah masyarakat awam, namun juga pada kalangan ulama dan
ormas Islam. Sebagian ada yang berpendapat bahwa bunga itu mutlak keharamannya
karena memiliki kesamaan dengan riba, sebagian lain ada yang berpendapat bahwa
bunga tidak identik dengan riba sehingga diperbolehkan, dan sebagian lain
berpendapat bahwa bunga merupakan perkara yang syubhat (tidak jelas
hukumnya).
Untuk merespon kesimpangsiuran
mengenai hukum transaksi dengan bunga tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI)
telah menetapkan Fatwa Nomor 1 Tahun 2004 tentang Bunga Bank. Berdasarkan analisa yang
dilakukan oleh Cholil Nafis, Fatwa MUI tentang Bunga Bank tersebut terdiri atas
3 (tiga) bagian.[10]
Pertama, mengenai definisi atau pengertian bunga dan riba. Bunga adalah tambahan
yang dikenakan kepada pinjaman uang yang diperhitungkan dari jumlah modal yang
dipinjamkan tanpa memperhitungkan untung rugi usaha yang dilakukan peminjam.
Ciri-ciri utama bunga adalah ditetapkan berdasarkan jangka waktu, ditetapkan di
muka, dan lazimnya berbentuk persentase. Sedangkan riba adalah tambahan tanpa
upah yang terjadi karena penambahan masa atau penangguhan pembayaraan ketika
pinjaman telah jatuh tempo. Riba semacam ini dikenal dengan riba nasi’ah.
Kedua,
dalam keputusannya, MUI menyatakan bahwa bunga bank telah memenuhi unsur-unsur
atau kriteria yang terdapat dalam riba nasi’ah. Dengan demikian bunga bank dikategorikan sebagai salah satu
prakterk riba yang terjadi di zaman Rasulullah tersebut dan hukumnya adalah
haram.
Ketiga,
MUI menetapkan bahwa hukum bertransaksi atau bermuamalah dengan bank
yang berdasarkan bunga terbagi menjadi dua bagian, yakni bagi masyarakat yang
di daerahnya telah terdapat Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan mudah untuk
mengaksesnya, maka hukumnya adalah haram. Sedangkan bagi masyarakat yang di
daerahnya belum terdapat LKS, diperbolehkan untuk menggunakan jasa bank
berdasarkan bunga dengan alasan keadaan darurat (dharurat al-hajat)
dengan tetap memperhatikan batas waktu, ukuran dan kadarnya.
Menurut hemat penulis, pembagian
hukum transaksi dengan bunga bank menjadi dua bagian tersebut sudah tidak
relevan dengan konteks saat ini. Fatwa MUI tersebut ditetapkan pada tahun 2004
dimana pada waktu itu belum banyak bank-bank umum syariah atau bank
konvensional yang memiliki unit usaha syariah. Sedangkan pada saat ini telah
banyak berdiri bank-bank umum syariah
serta bank konvensional yang membuka unit usaha syariah dengan kantor cabang
yang tersebar di seluruh Indonesia, sehingga penerapan prinsip al-hajat
tubihu al-mahdzurat (dalam keadaan darurat, hal-hal yang dilarang boleh
untuk dilakukan) sebagaimana dimaksud dapat dikesampingkan.
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, antara
perbankan konvensional dan perbankan syariah memiliki perbedaan modus operandi.
Untuk memenuhi kebutuhan nabasah atas
modal usaha/ kerja, perbankan konvensional memberikan fasilitas kredit
(pinjaman) kepada nasabah. Dalam hal ini perbankan konvensional menyediakan
uang kepada nasabah yang kemudian oleh nasabah tersebut dipergunakan untuk
menjalankan usahanya. Pada saat jatuh tempo nasabah tersebut berkewajiban untuk
mengembalikan dana yang dipinjamnya beserta dengan bunganya. Berbeda halnya
dengan perbankan syariah, untuk memenuhi kebutuhan nasabah, perbankan syariah
tidak pernah menyediakan uang/dana namun menyediakan serta menjual barang
kepada nasabah. Barang tersebut dijual kepada nasabah sesuai dengan akad yang
diperjanjikan oleh kedua belah pihak baik melalui akad jual beli dengan
pembayaran secara angsuran (murabahah) atau akad sewa-menyewa (ijarah).
Pada prinsipnya, perbankan syariah tidak
pernah menyediakan dana/ pinjaman kepada nasabah karena perbankan syariah tidak
mengenal bunga.[11]
Memang dalam sistem keuangan
syariah terdapat akad pinjam-minjam yang bersifat sosial yakni qardh
al-hasan. Akad pinjam-meminjam sebagaimana dimaksud ditujukan untuk
membantu pihak lain secara cuma-cuma tanpa membebankan bunga pada pinjaman
tersebut. Namun kenyataannya, perbankan syariah adalah lembaga komersial yang
juga membutuhkan keuntungan (profit) untuk menjalankan kegiatan usaha serta operasionalnya,
sehingga akad qardh al-hasan
jarang dipergunakan atau bahkan tidak disediakan oleh perbankan syariah sebagai
salah satu produk yang ditawarkan kepada nasabah.
Di dalam bukunya, Sutan Remy
Sjahdeini membagi berbagai jenis produk perbankan syariah ke dalam enam
kelompok, yaitu:[12]
a. Produk finansial berbasis jual beli.
Produk finansial berbasis jual beli (bai’)
dalam prakteknya terdiri atas:
1) Musawamah, jual beli yang normal
dimana harga pembelian barang (cost price) oleh pihak bank selaku
penjual tidak diketahui oleh nasabah. Proses jual beli dalam akad ini
didasarkan pada tawar menawar antara kedua belah pihak.
2) Murabahah, jual beli dimana
harga pembelian barang oleh pihak bank selaku penjual beserta besaran margin
keuntungan yang diperoleh diketahui oleh nasabah.
3) Muqayadah, jual beli dengan cara
tukar menukar (barter) barang atau uang.
4) Sharf, jual beli emas,
perak, dan mata uang.
5) Salam, jual beli dimana
harga pembelian dibayar seketika sedangkan penyerahan barang dilakukan
kemudian.
6) Mu’ajjal, jual beli dimana
penyerahan barang dilakukan di muka sedangkan pembayaran harga dilakukan
belakangan dengan syarat bahwa harga beli pihak bank harus diketahui oleh
nasabah.
7) Isthisna’, jual beli atas barang
yang belum ada perwujudannya pada saat akad dilakukan. Biasanya jual beli
semacam ini dilakukan terhadap pemesanan barang suatu manufaktur.
b. Produk finansial berbasis kemitraan.
Produk finansial berbasis kemitraan dalam prakteknya
terdiri atas:
1) Mudhrabah
2) Musyarakah
c. Produk finansial berbasis sewa-menyewa.
Produk finansial berbasis sewa menyewa adalah ijarah
yang dapat berupa ijarah muntahiyah bi at-tamlik.
d. Produk finansial berbasis pinjaman.
Produk finansial berbasis pinjaman adalah qardh
al-hasan.
e. Produk finansial berbasis penitipan.
Produk finansial berbasis penitipan adalah wadi’ah
semisal rekening giro.
f. Produk finansial berbasis pelayanan atau fee
(ujrah).
Produk
finansial berbasis fee (upah) misalnya adalah hawalah, wakalah, dan
kafalah dimana bank memberikan pelayanan atau jasa kepada nasabah dengan
menetapkan fee atas jasanya tesebut.
C. KESIMPULAN
Islam merupakan agama yang mengatur
secara komprehensif pelbagai segi serta aspek kehidupan manusia. Islam
dilandasi oleh tiga elemen yakni akidah, syariah dan akhlak. Selain mengatur
hubungan manusia dengan Tuhan, Islam juga mengatur hubungan manusia dengan
sesamanya bahkan dengan alam sekitarnya. Dengan landasan ketiga elemen itulah
kehidupan manusia selalu terikat dengan aspek-aspek yang bersifat
transendental.
Salah satu aspek kehidupan yang diatur
oleh Islam adalah aspek perekonomian. Perekonomian Islam dibangun berdasarkan
prinsip tauhid, tawazun, adalah, ta’awun, masuliyah dan maslahah.
Dalam bidang perbankan, Islam tidak mengenal bunga sebagai mekanisme perolehan
keuntungan karena bunga merupakan suatu bentuk kedzaliman dan ketidakadilan.
Sebaliknya, perbankan Islam dilaksanakan dengan mekanisme profit-lost
sharing yang didasarkan pada prinsip sukarela atau saling ridho antara satu
sama lain (an taradhin).
Daftar
Pustaka
Adiwarman A
Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2010.
Cholil Nafis, Teori
Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta: UI-Press, 2010.
Hamka,
Studi Islam, Jakarta: Penerbit Pustaka Panjimas, 1985.
Mahmud
Syalthut, Al-Islam, ‘Aqidah wal Syariah.
Nurcholis
Madjid, Islam dan Doktrin Peradaban, Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina, 1992.
Sutan
Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah: Produk-Produk dan Aspek Hukumnya,
Jakarta: Kencana, 2014.
Amiur
Nuruddin, “SDM Berbasis Syariah”, Jurnal Peradaban Islam
“Tsaqafah”, Vol 6, Nomor 1, April 2010.
[1]
Adiwarman A Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan
(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 1-2.
[2]
Hamka, Studi Islam (Jakarta: Penerbit Pustaka Panjimas, 1985),
hlm. 5.
[3]
Syekh Mahmud Syalthut, Al-Islam, ‘Aqidah wal Syariah, hlm. 68.
[4]
Adiwarman A Karim, Op.Cit, hlm. 8.
[5] Cholil
Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah (Jakarta: UI-Press, 2010), hlm
140.
[6]
Nurcholis Madjid, Islam dan Doktrin Peradaban (Jakarta: Yayasan
Wakaf Paramadina, 1992), hlm. 85.
[7]
Amiur Nuruddin, “SDM Berbasis Syariah”, Jurnal Peradaban Islam
“Tsaqafah”, Vol 6, Nomor 1, April 2010, hlm. 31.
[8] Ibid.,
hlm 31.
[9]
Cholil Nafis, Op.Cit., hlm. 140.
[10] Ibid.,
hlm. 148-149.
[11]
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah: Produk-Produk dan Aspek Hukumnya
(Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 175-176.
[12] Ibid.,
hlm. 183-184.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar