Blog ini adalah milik Muhammad Najih Vargholy. Diberdayakan oleh Blogger.
Jika hendak mengenal dunia MEMBACALAH, Jika hendak dikenal dunia MENULISLAH, Jika hendak menguasai dunia BERILMULAH. (Hamid Fahmy Zarkasyi)

Filsafat, Ilmu dan Agama

Kamis, 05 Januari 2017

A.    PENDAHULUAN
Dari judul artikel ini dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan posisi antara filsafat dan ilmu. Ini juga berarti bahwa filsafat dan ilmu memilki ruang lingkupnya masing-masing. Menurut Louis O Kattsoff filsafat merupakan pemikiran secara ketat, pemikiran disini berarti sebuah proses perenungan yang diawali dengan sikap meragukan segala sesuatu. Filsafat hendak mencari jawaban yang lebih baik dari jawaban yang telah tersedia sebelumnya sebab filsafat menghendaki kejelasan serta keruntutan. Lebih lanjut Kattsoff menguraikan bahwa filsafat merupakan upaya berpikir secara sistematis dan rasional salah satunya adalah dengan perantara dialog baik dengan diri sendiri maupun dengan orang lain. Perenungan berawal dari satu gagasan lalu kemudian dikritisi dan begitu pula seterusnya sehingga nampak kesan bahwa perenungan filsafat cenderung tidak membangun melainkan merusak.[1]
Dari pejelasan diatas dapat dipahami bahwa intinya dalam filsafat diajarkan untuk tidak cepat merasa puas terhadap pengetahuan yang telah diperoleh, pengetahuan itu harus terus digali hingga makna terdalamnya (hakikat) tanpa batas.
Bahwa filsafat merupakan proses perenungan dialektis juga diamini oleh Jujun S Suriasumantri yang menjelaskan  bahwa ciri-ciri berpikir filosofis adalah sifatnya yang mendasar, menyeluruh serta spekulatif. Ia menggarap segala bidang apapun yang penting bagi manusia. Oleh karena itu ketika telah terjawab pertanyaan yang satu  ia  kemudian memulai dan beranjak kepada pertanyaan baru.[2] 
Adapun ilmu memiliki arti yang berbeda dengan pengetahuan. Apabila pengetahuan adalah hasil yang diperoleh dari proses mengetahui tanpa ragu (keyakinan) maka tidak demikian halnya dengan ilmu. Ilmu menghendaki adanya penyelidikan lebih lanjut dari sekedar yang diperoleh oleh pengetahuan. Ia menghendaki adanya upaya sistematis terhadap penjelasan sesuatu. Artinya sesuatu belum dapat dikatakan sebagai ilmu apabila ia tidak mencakup suatu informasi yang saling berkaitan secara utuh. Terdapat perbedaan jelas antara pengetahuan atau yang kerap disebut sebagai knowledge dengan ilmu atau yang kerap disebut dengan science.[3]
Basis dari ilmu (science) adalah segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh panca indera serta akal manusia. Artinya bahwa suatu ilmu haruslah dapat diobservasi secara empiris dan rasional. Sebagaimana dijelaskan oleh Jujun bahwa ilmu pada intinya adalah suatu kumpulan pengetahuan yang disusun secara konsisten dan kebenarannya telah diuji secara empiris. Kebenaran yang diperoleh dari suatu ilmu tidaklah bersifat absolut sebab kebenarannya hanyalah berguna bagi kehidupan manusia terbatas pada tahap perkembangan manusia itu sendiri.[4]
BEBERAPA IDE POKOK:
1.    Pada mulanya segala persoalan mengenai segala sesuatu dapat ditemukan jawabannya melalui filsafat, namun filsafat sempat kehilangan otoritasnya tersebut – mati suri - dikarenakan munculnya ilmu-ilmu positifistik yang dianggap telah mampu menemukan jawaban atas persoalan - yang mulanya menjadi domain filsafat - secara lebih khusus berdasarkan karakteristik masing-masing sebelum akhirnya filsafat bangkit kembali meskipun dalam posisi dan tempat yang berbeda.
2.    Yang dimaksud dengan bangkitnya kembali filsafat dalam posisi dan tempat yang berbeda adalah bahwa filsafat tidak lagi berbicara mengenai kearifan atau kebijaksanaan melainkan sebagai pengkritik terhadap segala bentuk otoritas dengan menuntut sebuah tanggungjawab rasional dari otoritas tersebut. Otoritas disini utamanya adalah otoritas agama yang dianggap telah final.
3.    Pemikiran filsafat diidentikkan dengan peradaban yunani. Disini pemikiran filsafat memiliki ciri khasnya tersendiri yakni dilakukan melalui proses dialektis-argumentatif. Ia dibangun dari pengalaman-pengalaman yang dialami manusia secara nyata sehingga meskipun sifatnya spekulatif ia masih dapat dipertanggungjawabkan baik secara empiris maupun rasional. Dari pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa hanya filsafat yunani yang akhirnya mampu menciptakan ilmu-ilmu yang berguna dan bermanfaat bagi kehidupan manusia melalui proses eksperimental.
4.    Beberapa aliran Filsafat kontemporer menjadi bukti adanya pergeseran arah perhatian filsafat dari yang mulanya kosmosentris – alam raya sebagai pusat segala sesuatu – kemudian teosentris – Tuhan sebagai pusat – yang akhirnya menjadi antroposentris – manusia sebagai pusat -. Di era kontemporer filsafat tidak lagi membahas hal-hal secara substantif melainkan secara kritis.
5.    Filsafat modern mengambil peran penting terhadap kemajuan keilmuwan masa kini. Hanya filsafat modern - yang mana diilhami dari filsafat yunani – yang mampu berpengaruh secara global dikarenakan sifatnya yang fleksibel dan pragmatis.
Dari sekian ide pokok yang diiintisarikan penulis diatas, penulis lebih tertarik kepada pembahasan dua ide pokok saja, lagi pula dari kedua ide pokok ini juga telah tercakup ide pokok yang lainnya, kedua ide pokok itu adalah :
1.    Ide bahwa filsafat yunani yang mengedapankan proses dialektis-argumentatif adalah merupakan penyangga kokoh kebangkitan bangsa eropa semenjak era renaissance hingga era modern kini.
A.N Whithead, sebagaimana dikutip oleh Kattsoff menyatakan bahwa sesungguhnya pemikiran-pemikiran filsafat yang muncul setelah peradaban yunani yang mana dipelopori oleh Plato dan Aristoteles hanyalah merupakan kelanjutan dari pemikiran-pemikiran mereka berdua. Adapun pada masa renasissance, menurut Kattsoff pemikiran filsafat hanyalah merupakan upaya pendalaman terhadap pemikiran filsafat yang sudah ada – filsafat Yunani -. Apa yang dilakukan oleh para filosof pada masa renaissance hanyalah penyelerasan pandangan filsafat dengan pandangan agama di eropa pada saat itu – Nasrani – terkait alam semesta. Upaya ini tidaklah mengherankan mengingat begitu besarnya pengaruh doktrin gereja pada masa itu terutama pada zaman pertengahan/kegelapan (dark ages).[5]
2.    Ide bahwa agama dengan keeksklusifannya tak mampu menjawab tantangan modernitas sehingga dimunculkanlah filsafat dalam bungkusnya yang baru yakni filsafat kritis.
B.       HEGEMONI FILSAFAT YUNANI
1.      PEMBEDAHAN
Salah satu cabang ilmu filsafat yang paling tertua adalah ontologi. A. Dardiri mengatakan bahwa ontologi adalah  menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang berbeda di mana entitas dari kategori yang logis yang berlainan (objek fisik, universal, abstraksi) dapat dikatakan ada, dalam kerangka tradisional ontologi dianggap sebagai teori mengenai prinsip-prinsip umum dari hal-hal ada, sedangkan dalam hal pemakainnya akhir-akhir ini ontologi dipandang sebagi teori mengenai apa yang ada.[6]
Dengan arti lain ontologi adalah upaya manusia dalam memikirkan serta mengetahui makna terdalam (hakikat) segala sesuatu. Pemikiran secara ontologis telah dimulai sejak masa awal pemikiran filsafat Yunani. Sebagai contoh dari pemikiran ini adalah pemikiran Thales bahwa air merupakan asal mula dari segala sesuatu.
Dalam kajian filsafat yang membahas mengenai permasalahan ontologi terdapat berbagai macam aliran, diantara aliran tersebut yang paling tua adalah pendapat yang mengatakan bahwa asal-usul alam ini adalah satu yakni materi. Menurut Ahmad Tafsir paham yang berkeyakinan bahwa materi lah yang merupakan hakikat paling terdalam didasari pada kenyataan sebagai berikut:[7]
1.       Bahwa pada pemikiran yang masih sederhana, apa yang kelihatan dan yang dapat diraba, biasanya dijadikan kebenaran terakhir. Pikiran sederhana tidak dapat memikirkan sesutu diluar ruang yang abstrak.
2.      Bahwa peristiwa jiwa selalu dilihat sebagai peristiwa jasmani sehingga materi lebih menonjol dalam peristiwa ini.
3.      Dalam sejarahnya manusia bergantung pada benda seperti padi. Adanya kepercayaan padi sebagai sumber kemakmuran menyebabkan kemunculan adanya mitos Dewi Sri. Kesemuanya ini memperkuat bahwa yang merupakan hakikat adalah benda/materi.
Selanjutnya aliran yang beranggapan bahwa materi yang merupakan hakikat segala sesuatu mendapatkan sanggahan dari aliran lainya. Aliran tersebut adalah aliran idealisme. Idealisme diambil dari kata “idea”, yaitu sesuatu yang hadir di dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh/jiwa, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah penjelmaan dari ruhani.
Diantara alasan yang menguatkan pernyataan bahwa hakikat sesuatu adalah jiwa, ruh, atau sebangsanya adalah:[8]
1.      Nilai ruh lebih tinggi dari badan atau materi bagi kehidupan manusia. materi hanyalah bayangan atau penjelmaan darinya saja.
2.      Manusia lebih dapat memahami dirinya sendiri daripada dunia luar dirinya.
3.      Materi adalah kumpulan energi yang menempati ruang. Benda tidak ada yang ada energi itu saja.
Diantara cabang filsafat lainnya adalah epistiomologi. Jika filsafat ontologis adalah perenungan mengenai hakikat terdalam segala sesuatu. Maka kemudian muncul kegundahan dalam benak manusia yakni apakah benar hakikat tersebut benar-benar merupakan sebuah kebenaran. Kegundahan yang demikian ini muncul akibat ketidakyakinan manusia akan keabsahan sarana yang mengantarkannya kepada pengetahuan tersebut.
Sikap yang meragu (skeptis) ini dipelopori oleh sekelompok orang yang disebut kaum sofis. Kaum sofis meragukan kemungkinan akan pengetahuan manusia terhadap alam karena bagi mereka manusia adalah ukuran bagi segala-galanya. Bagi kaum sofis apa yang dinamakan pengetahuan sesungguhnya hanyalah konstruksi sosial manusia. Tidak ada realitas yang bisa diketahui secara nyata sebagaimana adanya. Yang ada hanyalah konstruksi manusia tentang realitas itu.[9]
Jawaban atas adanya sikap skeptis ini adalah munculnya beberapa aliran pemikiran yang mempersoalkan tentang sarana menggapai kepastian tentang pengetahuan itu. Dua aliran besar yang paling mendominasi tentang pemikiran ini adalah aliran rasionalisme dan empirisme. Bagi kaum rasionalisme sumber pengetahuan pasti adalah akal manusia sedangkan bagi kaum empirisme adalah bahwa pengalaman manusia lah yang menjadi sumber pengetahuan itu.
Salah satu pelopor rasionalisme adalah Plato. Baginya apa yang kita tangkap melalui panca indera hanyalah merupakan tiruan cacat dari ide-ide tertentu yang abadi. Bagi Plato pengetahuan adalah pengenalan kembali akan hal-hal yang telah tertanam di dalam ide abadi. Pengetahuan adalah kumpulan ingatan yang terpendam dalam benak manusia. Apabila melihat bayangan sesuatu ia teringat akan ide abadi tersebut.[10]
Begitu pula dengan Descartes (1596-1650 M) yang dikenal sebagai bapak filsafat modern. Berawal dari keraguannya terhadap segala sesuatu yang dapat diindera, ia kemudian meragukan dirinya sendiri. Ia berpendapat bahwa tidak ada batas yang tegas antara alam mimpi dan alam nyata. Kadangkala ia merasa bahwa keadaan yang nyata ini seperti keaadaan sebagaimana yang ia rasakan ketika bermimpi atau berhalusinasi. Sehingga ia berkesimpulan bahwa ada satu yang tidak mungkin diragukan olehnya yaitu kenyataan bahwa ia sedang meragu alias berpikir. Satu-satunya yang ia yakini sebagai yang pasti ada adalah keadaan sedang berpikir tersebut. Descartes terkenal dengan jargonnya “cogito ergo sum”, aku berpikir maka aku ada.[11]
Adapun aliran yang kedua adalah aliran empirisme yang menyatakan bahwa asal dari segala pengetahuan manusia adalah pengalaman.  Ide-ide yang ada di dalam akal manusia tidak muncul dengan sendirinya melainkan ia merupakan hasil dari penginderaan panca indranya.
Salah satu penganut aliran ini adalah John Locke, ia berpendapat bahwa pada mulanya akal manusia adalah seperti secarik kertas putih yang kosong, tanpa ada ide dan konsep apapun. Maka jika kita mempunyai sebuah ide atau konsep tertentu tentang dunia ini, itu harus dianggap keliru. Begitu pula dengan David Hume yang juga merupakan penganut madzhab empirisme namun ia agak sedikit berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Locke. Hume berpendapat bahwa akal budi masih memiliki peran dalam membentuk suatu pengetahuan. Hal ini terlihat dari kemampuan akal untuk melakukan asosiasi terhadap fakta-fakta yang ia terima dari panca indera. Hukum asosiasi terdiri dari tiga unsur, yakni prinsip kemiripan, prinsip kontinuitas dalam ruang dan waktu, prinsip sebab akibat.[12]   
2.      PEMBANDING
Dapat disimpulkan bahwa pemikiran-pemikiran kefilsafatan -dalam kaitan epistimilogi- pada masa Yunani hanya dilandaskan pada aspek rasio dan empiris. Hal tersebut terlihat jelas dalam perdebatan antara kaum rasionalisme dengan empirisme dalam menetapkan sumber atau saluran pengetahuan.
Sebagai perbandingan dari filsafat Yunani tersebut, dalam filsafat Islam suatu pengetahuan tidaklah tepat jika hanya didasarkan pada metode empiris-rasional. Prof. Wan Mohd Nur Wan Daud, sebagaimana dikutip oleh Adian Husaini menyatakan bahwa dalam keilmuan Islam dikenal adanya empat saluran yang mengantarkan kepada pengetahuan, yakni: panca indera (al-khawas al-khamsah), akal pikiran sehat (al-aql al-salim), berita benar (al-khabar as-shadiq), dan intuisi (ilham).[13]
Kemudian yang disebut sebagai akal adalah bukan semata yang berfungsi sebatas aspek rasio dan dapat diserap oleh indera. Melainkan akal adalah entitas spiritual yang rapat dengan hati (qalb), yaitu menjadi tempat intuisi. Adapun yang disebut dengan “berita yang benar” adalah sumber pengetahuan yang dalam prakteknya dikategorikan kepada dua jenis, yakni: pertama, berita yang terbukti secara terus menerus yang disampaikan oleh mereka yang oleh akal pikiran mustahil untuk dikatakan melakukan kesalahan, contoh hadits mutawatir. Kedua, berita yang kebenarannya adalah mutlak yang dibawa oleh Nabi berdasarkan wahyu.[14] 


3.      PENDAPAT PRIBADI
Persepsi filsafat Islam dalam memandang sumber ilmu pengetahuan lebih komprehensif dari persepsi yang dibangun filsafat barat. Islam memandang ilmu sebagai kesatuan integral antara iman, ilmu dan amal. Pemikiran filsafat Islam didasari atas anjuran wahyu yang didapati pada turunnya wahyu pertama yang menganjurkan kepada umat manusia untuk membaca (al-Alaq: 1-5). Membaca dalam hal ini adalah merenungi serta mentadabburi segala objek yang dapat dan mungkin diketahui manusia guna menemukan tanda akan adanya Allah.   

C.    FILSAFAT MODERN SEBAGAI ALTERNATIF
1.      PEMBEDAHAN
Hal terpenting yang tak terbantahkan dari dunia modern semenjak renaissance adalah bahwa pusat segala perhatian didasarkan pada manusia (antroposentris). Hal tersebut merupakan sebuah bentuk pendobrakan terhadap dominasi gereja di barat pada zaman pertengahan. Salah satu tokoh dari filsafat ilmu pengetahuan di masa modern adalah Francis Bacon (1561-1626).
Menurut Bacon padangan Aristoteles bahwa ilmu sempurna tak boleh mencari untung, namun harus kontemplatif harus ditinggalkan. Baginya justru ilmu harus mencari untung, dalam artian harus digunakan guna memperkuat kedudukan manusia di muka bumi ini dan hanya dengan pandangan demikian ilmu-ilmu menjadi dapat berkembang. Pengetahuan manusia baru dikatakan berguna apabila ia telah menjelma menjadi kekuatan manusia, human knowledge adalah human power.[15]
Bacon menaruh harapan besar pada proses induksi yang tepat dalam menemukan kebenaran. Menurut Bacon manusia agar tidak gegabah atau terburu-terburu dalam melakukan generalisasi sehingga mengakibatkan kesalahan hendaklah menghindari empat macam godaan (idola):[16]
a.       Idola tribus, godaan manusia secara umum, yakni menarik kesimpulan tanpa dasar secukupnya, berhenti pada sebab-sebab yang diperiksa secara dangkal, jasmani dan indera saja, wishful thinking tanpa percobaan serta pengamatan yang memadai.
b.      Idola specus, prasangka dan selera khas pada setiap orang yang membuat manusia seolah-olah terkurunga dalam guanya sendiri dan tertutup matanya terhadap apa yang diluar gua itu.
c.       Idola fori, anggapan dan pembicaraan umum yang diterima begiru saja tanpa dipersoalkan atau dipertanyakan lagi.
d.      Idola theatri, semua sistem filsafat yang pernah muncul seolah-olah suatu sandiwara raksasa.
Dapat disimpulkan bahwa pada zaman modern telah terjadi pandangan tentang ilmu pengetahuan bahwa ia memiliki peranan penting dalam membentuk peradaban dan kebudayaan manusia sehingga muncul kecenderungan dari para ilmuwan untuk terus aktif melakukan berbagai inovasi guna penemuan-penemuan ilmu pengetahuan baru dan menerapkannnya kepada berbagai bidang kehidupan.
2.      PEMBANDING
Pada intinya penjelasan-penjelasan  diatas menggambarkan bahwa pada masa modern ini manusia kehilangan orientasi terhadap ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan hanya dipandang sebagai sarana untuk mengeksplotasi apa saja yang berguna bagi kehidupan manusia.
Dalam pandangan SMN al-Attas, perdaban barat modern telah membuat ilmu menjadi problematis. Sekalipun peradaban barat modern menghasilkan juga ilmu yang bermanfaat, namun peradaban tersebut juga telah menyebabkan kerusakan dalam kehidupan manusia. Ilmu barat modern tidak dibangun atas wahyu dan kepercayaan agama, namun berdasarkan tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis terkait dengan kehidupan sekuler yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional.[17] 
Lebih lanjut al-Attas juga mengkritik konsep desakralisasi alam oleh ilmuwan sekuler, yang melepaskan keterkaitan alam dengan segala unsur Ketuhanan. Agama menentang desakralisasi, jika desakralisasi diartikan sebagai pembuangan makna spiritual dalam pandangan terhadap alam, atau jika desakralisasi diartikan sebagai pembatasan terhadap metode pemahaman manusia sebatas metode ilmiah (scientific method) yang diajukan oleh filsafat dan sains sekuler.[18]
3.      PENDAPAT PRIBADI
Dengan hanya memandang metode ilmiah barat sebagai satu-satunya cara dalam menemukan kebenaran berarti sama juga dengan menganggap bahwa ilmu agama bukanlah suatu yang scientific. Padahal jika dicermati ilmu agama Islam seperti ushul fiqh yang merupakan salah satu ilmu pokok dalam penemuan hukum juga merupakan sebuah ilmu yang membutuhkan metode ilmiah tertentu  layaknya logika dalam filsafat.
D.    KESIMPULAN
Pada dasarnya yang disebut pemikiran filsafat adalah berpikir secara mendalam mengenai hakikat segala sesuatu. Memang benar bahwa manusia telah dibekali seperangkat alat yang canggih yang dinamakan akal serta panca indra. Dengannya ia dapat mengetahui, mengerti, serta memahami segala sesuatu. Namun patutlah manusia itu menyadari bahwa apa yang ia ketahui itu adalah terbatas sebatas yang dapat ia indra.

Daftar Pustaka
Louis O Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono, Jogjakarta: Tiara Wacana Jogja, 2004.
Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.
C. Verhaak, R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Gramedia, 1989.
Adian Husaini, et. al, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: GIP, 2013.
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 2002.
A. Sonny Keraf, Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis, Jogjakarta: Kanisius, 2001.
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum,  Bandung: Rosdakarya, 2002.
A. Dardiri, Humaniora, Filsafat, dan Logika , Jakarta: Rajawali Pers, 1986.
Mundiri, Logika, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.



[1] Louis O Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono (Jogjakarta: Tiara Wacana Jogja, 2004), h. 4-6.
[2] Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), h. 23-25.
[3] Mundiri, Logika (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 5-7.
[4] Jujun, Filsafat, h. 131-132.
[5] Kattsoff, Pengantar, h. 257-260.
[6] A. Dardiri, Humaniora, Filsafat, dan Logika (Jakarta: Rajawali Pers, 1986), h. 17.
[7] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: Rosdakarya, 2002), h. 29.
[8] Ahmad Tafsir, Filsafat, h. 30.
[9] A. Sonny Keraf, Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis (Jogjakarta: Kanisius, 2001), h. 41.
[10] A. Sonny, Ilmu, h. 44.
[11] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 18.
[12] A. Sonny, Ilmu, h. 50.
[13] Adian Husaini, et. al, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam (Jakarta: GIP, 2013), h. xvii.
[14] Adian, Filsafat, h. xix.
[15] C. Verhaak, R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Gramedia, 1989), h. 139.
[16] C. Verhaak, Filsafat, h. 143.
[17] Adian, Filsafat, h. 1.
[18] Adian, Filsafat, h. 40.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Profil

Kategori

Archives