A. PENDAHULUAN
Dari judul artikel ini
dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan posisi antara filsafat dan ilmu. Ini
juga berarti bahwa filsafat dan ilmu memilki ruang lingkupnya masing-masing. Menurut
Louis O Kattsoff filsafat merupakan pemikiran secara ketat, pemikiran disini
berarti sebuah proses perenungan yang diawali dengan sikap meragukan segala
sesuatu. Filsafat hendak mencari jawaban yang lebih baik dari jawaban yang
telah tersedia sebelumnya sebab filsafat menghendaki kejelasan serta
keruntutan. Lebih lanjut Kattsoff menguraikan bahwa filsafat merupakan upaya
berpikir secara sistematis dan rasional salah satunya adalah dengan perantara
dialog baik dengan diri sendiri maupun dengan orang lain. Perenungan berawal
dari satu gagasan lalu kemudian dikritisi dan begitu pula seterusnya sehingga
nampak kesan bahwa perenungan filsafat cenderung tidak membangun melainkan
merusak.[1]
Dari pejelasan diatas dapat dipahami bahwa intinya
dalam filsafat diajarkan untuk tidak cepat merasa puas terhadap pengetahuan
yang telah diperoleh, pengetahuan itu harus terus digali hingga makna
terdalamnya (hakikat) tanpa batas.
Bahwa filsafat
merupakan proses perenungan dialektis juga diamini oleh Jujun S Suriasumantri
yang menjelaskan bahwa ciri-ciri
berpikir filosofis adalah sifatnya yang mendasar, menyeluruh serta spekulatif.
Ia menggarap segala bidang apapun yang penting bagi manusia. Oleh karena itu
ketika telah terjawab pertanyaan yang satu
ia kemudian memulai dan beranjak
kepada pertanyaan baru.[2]
Adapun ilmu memiliki
arti yang berbeda dengan pengetahuan. Apabila pengetahuan adalah hasil yang
diperoleh dari proses mengetahui tanpa ragu (keyakinan) maka tidak demikian
halnya dengan ilmu. Ilmu menghendaki adanya penyelidikan lebih lanjut dari sekedar
yang diperoleh oleh pengetahuan. Ia menghendaki adanya upaya sistematis terhadap
penjelasan sesuatu. Artinya sesuatu belum dapat dikatakan sebagai ilmu apabila
ia tidak mencakup suatu informasi yang saling berkaitan secara utuh. Terdapat
perbedaan jelas antara pengetahuan atau yang kerap disebut sebagai knowledge
dengan ilmu atau yang kerap disebut dengan science.[3]
Basis dari ilmu (science)
adalah segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh panca indera serta akal
manusia. Artinya bahwa suatu ilmu haruslah dapat diobservasi secara empiris dan
rasional. Sebagaimana dijelaskan oleh Jujun bahwa ilmu pada intinya adalah
suatu kumpulan pengetahuan yang disusun secara konsisten dan kebenarannya telah
diuji secara empiris. Kebenaran yang diperoleh dari suatu ilmu tidaklah
bersifat absolut sebab kebenarannya hanyalah berguna bagi kehidupan manusia
terbatas pada tahap perkembangan manusia itu sendiri.[4]
BEBERAPA IDE POKOK:
1. Pada
mulanya segala persoalan mengenai segala sesuatu dapat ditemukan jawabannya
melalui filsafat, namun filsafat sempat kehilangan otoritasnya tersebut – mati
suri - dikarenakan munculnya ilmu-ilmu positifistik yang dianggap telah mampu
menemukan jawaban atas persoalan - yang mulanya menjadi domain filsafat -
secara lebih khusus berdasarkan karakteristik masing-masing sebelum akhirnya
filsafat bangkit kembali meskipun dalam posisi dan tempat yang berbeda.
2. Yang
dimaksud dengan bangkitnya kembali filsafat dalam posisi dan tempat yang
berbeda adalah bahwa filsafat tidak lagi berbicara mengenai kearifan atau
kebijaksanaan melainkan sebagai pengkritik terhadap segala bentuk otoritas
dengan menuntut sebuah tanggungjawab rasional dari otoritas tersebut. Otoritas
disini utamanya adalah otoritas agama yang dianggap telah final.
3. Pemikiran
filsafat diidentikkan dengan peradaban yunani. Disini pemikiran filsafat
memiliki ciri khasnya tersendiri yakni dilakukan melalui proses
dialektis-argumentatif. Ia dibangun dari pengalaman-pengalaman yang dialami
manusia secara nyata sehingga meskipun sifatnya spekulatif ia masih dapat
dipertanggungjawabkan baik secara empiris maupun rasional. Dari pernyataan ini
dapat disimpulkan bahwa hanya filsafat yunani yang akhirnya mampu menciptakan
ilmu-ilmu yang berguna dan bermanfaat bagi kehidupan manusia melalui proses
eksperimental.
4. Beberapa
aliran Filsafat kontemporer menjadi bukti adanya pergeseran arah perhatian
filsafat dari yang mulanya kosmosentris – alam raya sebagai pusat segala
sesuatu – kemudian teosentris – Tuhan sebagai pusat – yang akhirnya menjadi
antroposentris – manusia sebagai pusat -. Di era kontemporer filsafat tidak
lagi membahas hal-hal secara substantif melainkan secara kritis.
5. Filsafat
modern mengambil peran penting terhadap kemajuan keilmuwan masa kini. Hanya
filsafat modern - yang mana diilhami dari filsafat yunani – yang mampu berpengaruh
secara global dikarenakan sifatnya yang fleksibel dan pragmatis.
Dari sekian ide pokok
yang diiintisarikan penulis diatas, penulis lebih tertarik kepada pembahasan
dua ide pokok saja, lagi pula dari kedua ide pokok ini juga telah tercakup ide
pokok yang lainnya, kedua ide pokok itu adalah :
1. Ide
bahwa filsafat yunani yang mengedapankan proses dialektis-argumentatif adalah
merupakan penyangga kokoh kebangkitan bangsa eropa semenjak era renaissance
hingga era modern kini.
A.N Whithead,
sebagaimana dikutip oleh Kattsoff menyatakan bahwa sesungguhnya
pemikiran-pemikiran filsafat yang muncul setelah peradaban yunani yang mana dipelopori
oleh Plato dan Aristoteles hanyalah merupakan kelanjutan dari
pemikiran-pemikiran mereka berdua. Adapun pada masa renasissance, menurut
Kattsoff pemikiran filsafat hanyalah merupakan upaya pendalaman terhadap
pemikiran filsafat yang sudah ada – filsafat Yunani -. Apa yang dilakukan oleh
para filosof pada masa renaissance hanyalah penyelerasan pandangan filsafat
dengan pandangan agama di eropa pada saat itu – Nasrani – terkait alam semesta.
Upaya ini tidaklah mengherankan mengingat begitu besarnya pengaruh doktrin
gereja pada masa itu terutama pada zaman pertengahan/kegelapan (dark ages).[5]
2. Ide
bahwa agama dengan keeksklusifannya tak mampu menjawab tantangan modernitas
sehingga dimunculkanlah filsafat dalam bungkusnya yang baru yakni filsafat
kritis.
B. HEGEMONI FILSAFAT YUNANI
1. PEMBEDAHAN
Salah
satu cabang ilmu filsafat yang paling tertua adalah ontologi. A. Dardiri mengatakan
bahwa ontologi adalah menyelidiki sifat
dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang berbeda di mana
entitas dari kategori yang logis yang berlainan (objek fisik, universal,
abstraksi) dapat dikatakan ada, dalam kerangka tradisional ontologi dianggap
sebagai teori mengenai prinsip-prinsip umum dari hal-hal ada, sedangkan dalam
hal pemakainnya akhir-akhir ini ontologi dipandang sebagi teori mengenai apa
yang ada.[6]
Dengan
arti lain ontologi adalah upaya manusia dalam memikirkan serta mengetahui makna
terdalam (hakikat) segala sesuatu. Pemikiran secara ontologis telah dimulai
sejak masa awal pemikiran filsafat Yunani. Sebagai contoh dari pemikiran ini
adalah pemikiran Thales bahwa air merupakan asal mula dari segala sesuatu.
Dalam
kajian filsafat yang membahas mengenai permasalahan ontologi terdapat berbagai
macam aliran, diantara aliran tersebut yang paling tua adalah pendapat yang
mengatakan bahwa asal-usul alam ini adalah satu yakni materi. Menurut Ahmad
Tafsir paham yang berkeyakinan bahwa materi lah yang merupakan hakikat paling
terdalam didasari pada kenyataan sebagai berikut:[7]
1. Bahwa pada pemikiran yang masih sederhana, apa
yang kelihatan dan yang dapat diraba, biasanya dijadikan kebenaran terakhir.
Pikiran sederhana tidak dapat memikirkan sesutu diluar ruang yang abstrak.
2. Bahwa
peristiwa jiwa selalu dilihat sebagai peristiwa jasmani sehingga materi lebih
menonjol dalam peristiwa ini.
3. Dalam
sejarahnya manusia bergantung pada benda seperti padi. Adanya kepercayaan padi
sebagai sumber kemakmuran menyebabkan kemunculan adanya mitos Dewi Sri.
Kesemuanya ini memperkuat bahwa yang merupakan hakikat adalah benda/materi.
Selanjutnya aliran yang
beranggapan bahwa materi yang merupakan hakikat segala sesuatu mendapatkan
sanggahan dari aliran lainya. Aliran tersebut adalah aliran idealisme.
Idealisme diambil dari kata “idea”, yaitu sesuatu yang hadir di dalam jiwa. Aliran
ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal
dari ruh/jiwa, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi
atau zat itu hanyalah penjelmaan dari ruhani.
Diantara alasan yang
menguatkan pernyataan bahwa hakikat sesuatu adalah jiwa, ruh, atau sebangsanya
adalah:[8]
1.
Nilai ruh lebih
tinggi dari badan atau materi bagi kehidupan manusia. materi hanyalah bayangan
atau penjelmaan darinya saja.
2.
Manusia lebih
dapat memahami dirinya sendiri daripada dunia luar dirinya.
3.
Materi adalah
kumpulan energi yang menempati ruang. Benda tidak ada yang ada energi itu saja.
Diantara cabang
filsafat lainnya adalah epistiomologi. Jika filsafat ontologis adalah
perenungan mengenai hakikat terdalam segala sesuatu. Maka kemudian muncul
kegundahan dalam benak manusia yakni apakah benar hakikat tersebut benar-benar
merupakan sebuah kebenaran. Kegundahan yang demikian ini muncul akibat
ketidakyakinan manusia akan keabsahan sarana yang mengantarkannya kepada
pengetahuan tersebut.
Sikap yang meragu
(skeptis) ini dipelopori oleh sekelompok orang yang disebut kaum sofis. Kaum
sofis meragukan kemungkinan akan pengetahuan manusia terhadap alam karena bagi
mereka manusia adalah ukuran bagi segala-galanya. Bagi kaum sofis apa yang
dinamakan pengetahuan sesungguhnya hanyalah konstruksi sosial manusia. Tidak
ada realitas yang bisa diketahui secara nyata sebagaimana adanya. Yang ada
hanyalah konstruksi manusia tentang realitas itu.[9]
Jawaban atas adanya
sikap skeptis ini adalah munculnya beberapa aliran pemikiran yang mempersoalkan
tentang sarana menggapai kepastian tentang pengetahuan itu. Dua aliran besar
yang paling mendominasi tentang pemikiran ini adalah aliran rasionalisme dan
empirisme. Bagi kaum rasionalisme sumber pengetahuan pasti adalah akal manusia
sedangkan bagi kaum empirisme adalah bahwa pengalaman manusia lah yang menjadi
sumber pengetahuan itu.
Salah satu pelopor
rasionalisme adalah Plato. Baginya apa yang kita tangkap melalui panca indera
hanyalah merupakan tiruan cacat dari ide-ide tertentu yang abadi. Bagi Plato
pengetahuan adalah pengenalan kembali akan hal-hal yang telah tertanam di dalam
ide abadi. Pengetahuan adalah kumpulan ingatan yang terpendam dalam benak
manusia. Apabila melihat bayangan sesuatu ia teringat akan ide abadi tersebut.[10]
Begitu pula dengan
Descartes (1596-1650 M) yang dikenal sebagai bapak filsafat modern. Berawal
dari keraguannya terhadap segala sesuatu yang dapat diindera, ia kemudian
meragukan dirinya sendiri. Ia berpendapat bahwa tidak ada batas yang tegas
antara alam mimpi dan alam nyata. Kadangkala ia merasa bahwa keadaan yang nyata
ini seperti keaadaan sebagaimana yang ia rasakan ketika bermimpi atau
berhalusinasi. Sehingga ia berkesimpulan bahwa ada satu yang tidak mungkin
diragukan olehnya yaitu kenyataan bahwa ia sedang meragu alias berpikir.
Satu-satunya yang ia yakini sebagai yang pasti ada adalah keadaan sedang berpikir
tersebut. Descartes terkenal dengan jargonnya “cogito ergo sum”, aku
berpikir maka aku ada.[11]
Adapun aliran yang
kedua adalah aliran empirisme yang menyatakan bahwa asal dari segala
pengetahuan manusia adalah pengalaman.
Ide-ide yang ada di dalam akal manusia tidak muncul dengan sendirinya
melainkan ia merupakan hasil dari penginderaan panca indranya.
Salah satu penganut
aliran ini adalah John Locke, ia berpendapat bahwa pada mulanya akal manusia
adalah seperti secarik kertas putih yang kosong, tanpa ada ide dan konsep
apapun. Maka jika kita mempunyai sebuah ide atau konsep tertentu tentang dunia
ini, itu harus dianggap keliru. Begitu pula dengan David Hume yang juga
merupakan penganut madzhab empirisme namun ia agak sedikit berbeda dengan apa
yang dikemukakan oleh Locke. Hume berpendapat bahwa akal budi masih memiliki
peran dalam membentuk suatu pengetahuan. Hal ini terlihat dari kemampuan akal
untuk melakukan asosiasi terhadap fakta-fakta yang ia terima dari panca indera.
Hukum asosiasi terdiri dari tiga unsur, yakni prinsip kemiripan, prinsip
kontinuitas dalam ruang dan waktu, prinsip sebab akibat.[12]
2.
PEMBANDING
Dapat
disimpulkan bahwa pemikiran-pemikiran kefilsafatan -dalam kaitan epistimilogi-
pada masa Yunani hanya dilandaskan pada aspek rasio dan empiris. Hal tersebut
terlihat jelas dalam perdebatan antara kaum rasionalisme dengan empirisme dalam
menetapkan sumber atau saluran pengetahuan.
Sebagai
perbandingan dari filsafat Yunani tersebut, dalam filsafat Islam suatu
pengetahuan tidaklah tepat jika hanya didasarkan pada metode empiris-rasional.
Prof. Wan Mohd Nur Wan Daud, sebagaimana dikutip oleh Adian Husaini menyatakan
bahwa dalam keilmuan Islam dikenal adanya empat saluran yang mengantarkan
kepada pengetahuan, yakni: panca indera (al-khawas al-khamsah), akal
pikiran sehat (al-aql al-salim), berita benar (al-khabar as-shadiq),
dan intuisi (ilham).[13]
Kemudian
yang disebut sebagai akal adalah bukan semata yang berfungsi sebatas aspek
rasio dan dapat diserap oleh indera. Melainkan akal adalah entitas spiritual
yang rapat dengan hati (qalb), yaitu menjadi tempat intuisi. Adapun yang
disebut dengan “berita yang benar” adalah sumber pengetahuan yang dalam
prakteknya dikategorikan kepada dua jenis, yakni: pertama, berita yang
terbukti secara terus menerus yang disampaikan oleh mereka yang oleh akal
pikiran mustahil untuk dikatakan melakukan kesalahan, contoh hadits mutawatir. Kedua,
berita yang kebenarannya adalah mutlak yang dibawa oleh Nabi berdasarkan wahyu.[14]
3.
PENDAPAT PRIBADI
Persepsi
filsafat Islam dalam memandang sumber ilmu pengetahuan lebih komprehensif dari
persepsi yang dibangun filsafat barat. Islam memandang ilmu sebagai kesatuan
integral antara iman, ilmu dan amal. Pemikiran filsafat Islam didasari atas
anjuran wahyu yang didapati pada turunnya wahyu pertama yang menganjurkan
kepada umat manusia untuk membaca (al-Alaq: 1-5). Membaca dalam hal ini adalah
merenungi serta mentadabburi segala objek yang dapat dan mungkin diketahui
manusia guna menemukan tanda akan adanya Allah.
C. FILSAFAT MODERN SEBAGAI ALTERNATIF
1. PEMBEDAHAN
Hal terpenting yang tak
terbantahkan dari dunia modern semenjak renaissance adalah bahwa pusat segala
perhatian didasarkan pada manusia (antroposentris). Hal tersebut merupakan
sebuah bentuk pendobrakan terhadap dominasi gereja di barat pada zaman
pertengahan. Salah satu tokoh dari filsafat ilmu pengetahuan di masa modern
adalah Francis Bacon (1561-1626).
Menurut Bacon padangan
Aristoteles bahwa ilmu sempurna tak boleh mencari untung, namun harus
kontemplatif harus ditinggalkan. Baginya justru ilmu harus mencari untung,
dalam artian harus digunakan guna memperkuat kedudukan manusia di muka bumi ini
dan hanya dengan pandangan demikian ilmu-ilmu menjadi dapat berkembang.
Pengetahuan manusia baru dikatakan berguna apabila ia telah menjelma menjadi
kekuatan manusia, human knowledge adalah human power.[15]
Bacon menaruh harapan
besar pada proses induksi yang tepat dalam menemukan kebenaran. Menurut Bacon
manusia agar tidak gegabah atau terburu-terburu dalam melakukan generalisasi
sehingga mengakibatkan kesalahan hendaklah menghindari empat macam godaan
(idola):[16]
a. Idola tribus, godaan manusia secara
umum, yakni menarik kesimpulan tanpa dasar secukupnya, berhenti pada
sebab-sebab yang diperiksa secara dangkal, jasmani dan indera saja, wishful
thinking tanpa percobaan serta pengamatan yang memadai.
b. Idola specus, prasangka dan selera
khas pada setiap orang yang membuat manusia seolah-olah terkurunga dalam guanya
sendiri dan tertutup matanya terhadap apa yang diluar gua itu.
c. Idola fori, anggapan dan
pembicaraan umum yang diterima begiru saja tanpa dipersoalkan atau
dipertanyakan lagi.
d. Idola theatri, semua sistem filsafat
yang pernah muncul seolah-olah suatu sandiwara raksasa.
Dapat disimpulkan bahwa
pada zaman modern telah terjadi pandangan tentang ilmu pengetahuan bahwa ia
memiliki peranan penting dalam membentuk peradaban dan kebudayaan manusia
sehingga muncul kecenderungan dari para ilmuwan untuk terus aktif melakukan
berbagai inovasi guna penemuan-penemuan ilmu pengetahuan baru dan
menerapkannnya kepada berbagai bidang kehidupan.
2. PEMBANDING
Pada intinya
penjelasan-penjelasan diatas
menggambarkan bahwa pada masa modern ini manusia kehilangan orientasi terhadap
ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan hanya dipandang sebagai sarana untuk
mengeksplotasi apa saja yang berguna bagi kehidupan manusia.
Dalam pandangan SMN
al-Attas, perdaban barat modern telah membuat ilmu menjadi problematis.
Sekalipun peradaban barat modern menghasilkan juga ilmu yang bermanfaat, namun
peradaban tersebut juga telah menyebabkan kerusakan dalam kehidupan manusia.
Ilmu barat modern tidak dibangun atas wahyu dan kepercayaan agama, namun
berdasarkan tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis terkait
dengan kehidupan sekuler yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional.[17]
Lebih lanjut al-Attas
juga mengkritik konsep desakralisasi alam oleh ilmuwan sekuler, yang melepaskan
keterkaitan alam dengan segala unsur Ketuhanan. Agama menentang desakralisasi,
jika desakralisasi diartikan sebagai pembuangan makna spiritual dalam pandangan
terhadap alam, atau jika desakralisasi diartikan sebagai pembatasan terhadap
metode pemahaman manusia sebatas metode ilmiah (scientific method) yang
diajukan oleh filsafat dan sains sekuler.[18]
3. PENDAPAT
PRIBADI
Dengan hanya memandang
metode ilmiah barat sebagai satu-satunya cara dalam menemukan kebenaran berarti
sama juga dengan menganggap bahwa ilmu agama bukanlah suatu yang scientific.
Padahal jika dicermati ilmu agama Islam seperti ushul fiqh yang merupakan salah
satu ilmu pokok dalam penemuan hukum juga merupakan sebuah ilmu yang
membutuhkan metode ilmiah tertentu
layaknya logika dalam filsafat.
D.
KESIMPULAN
Pada dasarnya yang disebut pemikiran filsafat
adalah berpikir secara mendalam mengenai hakikat segala sesuatu. Memang benar
bahwa manusia telah dibekali seperangkat alat yang canggih yang dinamakan akal
serta panca indra. Dengannya ia dapat mengetahui, mengerti, serta memahami
segala sesuatu. Namun patutlah manusia itu menyadari bahwa apa yang ia ketahui
itu adalah terbatas sebatas yang dapat ia indra.
Daftar Pustaka
Louis
O Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono, Jogjakarta:
Tiara Wacana Jogja, 2004.
Jujun S Suriasumantri, Filsafat
Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.
C. Verhaak, R. Haryono
Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Gramedia, 1989.
Adian Husaini, et. al, Filsafat
Ilmu Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: GIP, 2013.
Harun Hadiwijono, Sari
Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 2002.
A. Sonny Keraf, Mikhael
Dua, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis, Jogjakarta: Kanisius,
2001.
Ahmad Tafsir, Filsafat
Umum, Bandung: Rosdakarya, 2002.
A. Dardiri, Humaniora,
Filsafat, dan Logika , Jakarta: Rajawali Pers, 1986.
Mundiri, Logika,
Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
[1]
Louis O Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono (Jogjakarta:
Tiara Wacana Jogja, 2004), h. 4-6.
[2]
Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1995), h. 23-25.
[3]
Mundiri, Logika (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 5-7.
[4]
Jujun, Filsafat, h. 131-132.
[5]
Kattsoff, Pengantar, h. 257-260.
[6] A.
Dardiri, Humaniora, Filsafat, dan Logika (Jakarta: Rajawali Pers, 1986),
h. 17.
[7]
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: Rosdakarya, 2002), h. 29.
[8]
Ahmad Tafsir, Filsafat, h. 30.
[9] A.
Sonny Keraf, Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis
(Jogjakarta: Kanisius, 2001), h. 41.
[10]
A. Sonny, Ilmu, h. 44.
[11]
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius,
2002), h. 18.
[12]
A. Sonny, Ilmu, h. 50.
[13]
Adian Husaini, et. al, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam
(Jakarta: GIP, 2013), h. xvii.
[14]
Adian, Filsafat, h. xix.
[15]
C. Verhaak, R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta:
Gramedia, 1989), h. 139.
[16]
C. Verhaak, Filsafat, h. 143.
[17]
Adian, Filsafat, h. 1.
[18]
Adian, Filsafat, h. 40.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar