Blog ini adalah milik Muhammad Najih Vargholy. Diberdayakan oleh Blogger.
Jika hendak mengenal dunia MEMBACALAH, Jika hendak dikenal dunia MENULISLAH, Jika hendak menguasai dunia BERILMULAH. (Hamid Fahmy Zarkasyi)

Hukum dan Moralitas

Kamis, 05 Januari 2017

PENDAHULUAN
Banyaknya ketimpangan-ketimpangan hukum yang terjadi didalam masyarakat menyebabkan pembahasan mengenai hukum itu sendiri tidak pernah berhenti dan bahkan terus menggelora. Hukum alam sebagai dogma yang mapan semenjak zaman Yunani hingga zaman pertengahan (medieval ages) pun pada akhirnya runtuh dan tenggelam oleh renaisance. Renaisance atau yang kerap disebut zaman kebangkitan yang kemudian disusul dengan zaman pencerahan (aufklarung) menawarkan paradigma baru tentang alam. Alam yang pada mulanya dianggap sakral dan erat kaitannya dengan nilai-nilai transendental namun pada zaman yang disebut modern ini diturunkan derajatnya menjadi sebatas realitas empiris-positivistik. Perubahan cara pandang terhadap alam (worldview) yang radikal tersebut mau tidak mau juga berpengaruh pada sistem politik, ekonomi, sosial, budaya serta hukum yang diterapkan.
Banyak bermunculan teori-teori baru yang berupaya untuk menjelaskan fenomena-fenomena alam termasuk fenomena-fenomena kehidupan didalamnya. Kita tidak bisa bersikap polos dan menutup mata bahwa munculnya teori-teori baru yang menegasi teori-teori lama tidak dan bukan lain hanyalah sebuah ekspresi ketidakpuasan atas suatu dominasi atau kemapanan pada waktu tertentu. Dari sini kita pun tidak dapat memungkiri bahwa dibalik setiap teori yang ada dan bermunculan saat ini tidak terlepas dari nilai serta ideologi yang melatarbelakanginya. Dengan tegas Achmad Ali menekankan bahwa kita hendaknya senantiasa mencurigai setiap konsep atau teori (berkenaan dengan hukum) dan tidak langsung menelannya secara mentah-mentah tanpa mengkiritisinya terlebih dahulu (Achmad Ali: 2009: 8).
Kenyataan demikian merupakan sebuah tamparan keras bagi mereka yang selama ini dengan bangganya menyatakan bahwa ilmu itu netral dan bebas nilai. Sudah saatnya para ilmuwan bangun dan tersadar bahwa ilmu yang selama ini dianggap objektif pun ternyata tidak terlepas dari subjektifitas pribadi. Hamid Fahmy Zarkasyi menyatakan bahwa hidup ini tidak dapat terlepas dari dogma. Ketika kita melepaskan diri dari sebuah dogma maka kita pun akan beralih kepada dogma lain dan begitulah seterusnya. Manusia hanya lari dari satu dogma kepada dogma lainnya (Adian Husaini, 2013: xxv).
Beranjak dari penjelasan diatas, pada makalah ini penulis mencoba untuk menjawab sebuah pertanyaan mendasar apakah moralitas yang abstrak itu masih diyakini terdapat dalam hukum di alam modern yang serba materialis-positivistik ini. Perdebatan mengenai hubungan hukum dengan moralitas merupakan perdebatan klasik di masa renaisance eropa. Upaya untuk memasukkan unsur-unsur moralitas ke dalam hukum merupakan sebuah kebutuhan yang sangat relevan dengan kondisi kehidupan dunia yang serba carut-marut ini.
PEMBAHASAN
Moralitas Dalam Era Positivisme Hukum
Mungkin dapat dikatakan absurd apabila memperbincangkan masalah moralitas dalam kaitannya dengan hukum pada era positivisme. Dapat dikatakan demikian sebab pada masa ini perbincangan tentang hal-hal metafisik sulit diterima bahkan dipinggirkan. Pada masa yang disebut revolusi ilmiah ini (scientific revolution) para ilmuwan terutama filosof tidak lagi mempertimbangkan aspek-aspek diluar fakta empiris. Salah satu pelopornya adalah Rene Descartes (1650) yang dengan jargonnya “cogito ergo sum” (aku berpikir maka aku ada) menjadikan rasio sebagai satu-satunya alat pengukur kebenaran. Keraguan akan hal-hal yang serba metafisik semakin kuat ketika Immanuel Kant dengan tegasnya menolak metafisika sebagai bagian dari pengetahuan karena ia tidak berdasarkan indera. Kant menamakan metafisika sebagai ilusi transenden (a trancendental illusion), pernyataan-pernyataan metafisis baginya tidak memiliki nilai-nilai epistimologis (Adian Husaini, 2013: 8).
Dalam bidang hukum, positivisme digaungkan ole Jeremy Bentham (1784-1832). Ia menolak tradisi hukum common law di Inggris yang pada saat itu mengaitkan hukum dengan moralitas. Baginya menyamakan hukum dengan moralitas sama halnya dengan menjustifikasi pendapat pribadi sebagai hukum. Tidak ada yang mutlak dalam hukum kodrat sebagaimana yang diadopsi oleh hukum Inggris. Lagipula hukum kodrat hanya mengawang dilangit (terlalu abstrak) dan untuk itu harus diturunkan ke bumi dalam bentuk hukum positif. Secara pragmatis Bentham menyebut bahwa sejatinya hukum hanyalah perintah penguasa yang berdaulat yang disertai dengan ancaman dan sanksi (Petrus C.K.L Bello, 2012: 15-16).
Usaha untuk memisahkan hukum dengan moralitas semakin gencar dilakukan terutama oleh John Austin (1790-1859). Gelombang pengetahuan ilmiah (science) yang semakin besar ternyata turut menyisakan rasa kagum bagi Austin. Patut diketahui bahwa pengetahuan ilmiah menggunakan observasi dan eksperimen sebagai metode utama dalam menguji sebuah kebenaran. Kebenaran baru dapat diterima apabila ia berkorespondensi dengan fakta empiris. Metode itulah yang juga hendak diterapkan oleh Austin dalam mempelajari ilmu hukum. Karena moral itu abstrak dan tidak dapat diindera maka yang menjadi objek kajian ilmu hukum adalah perilaku lahiriah manusia. Peter Mahmud Marzuki menjelaskan bahwa legal positivism (positivisme hukum) merupakan upaya untuk menghilangkan aspek metafisik dari hukum. Hukum yang sejatinya sarat dengan nilai pada akhirnya dipaksa tunduk oleh tuntutan pengetahuan modern yang anti metafisika. Oleh karena itulah Austin menyebut hukum sebagai gejala yang dapat diamati. Baginya hukum terdiri dari unsur perintah serta sanksi yang diberikan oleh penguasa dan dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 39).
Ternyata persepsi bahwa postivisme hukum yang pada akhirnya mengakibatkan terpisahnya hukum dari moralitas tidak sepenuhnya menjadi hal tercela dalam perkembangan ilmu hukum. Ialah Herbert Lionel Adolphus Hart (1907-1992) yang dengan gigih berusaha menjelaskan maksud sebenarnya dari positivisme hukum. Baginya positivisme hukum tidak meninggalkan aspek moral secara mutlak. Positivisme hukum hanya meletakkan moral diluar hukum agar dengan sendirinya moral dapat menjadi alat koreksi bagi hukum. Kekuasaan yang otoriter dan absolut hanya dapat dicegah apabila hukum tidak dimaknai sejalan dengan moralitas. Meskipun Hart merupakan pendukung positivisme hukum ia pun juga memberikan kritik terhadap Bentham dan Austin. Baginya terlau naif jika hukum hanya dianggap sebagai perintah serta sanksi dari yang berdaulat padahal banyak aturan hukum lain yang sama sekali tidak mengindikasikan sebuah perintah dan mengandung sanksi. Banyak aturan hukum lain yang sifatnya hanya melegitimasi suatu perbuatan atau tindakan (Petrus C.K.L Bello, 2012: 17-23).
Seperti yang penulis jelaskan sebelumnya bahwa kemunculan sebuah teori merupakan bentuk ketidakpuasan atas suatu dominasi atau kemapanan tertentu. Jika dilihat dari pandangan Hart mengenai positivisme hukum tersebut diatas maka bisa dikatakan yang sebenarnya dianggap sebagai kekuasan absolut adalah hukum alam atau hukum kodrat. Dengan kata lain Hart menolak adanya moral yang universal dan mutlak. Penilaian atas baik dan buruk bergantung pada konteks tertentu alias relatif. Nampak yang menjadi penting disini bukan permasalahan mengenai hubungan hukum dan moralitas namun apa yang disebut dengan moralitas itu sendiri.
Hart sendiri mengakui bahwa untuk menentukan apakah suatu tindakan individu itu dapat dikatakan sebuah moralitas atau tidak bukanlah persoalan mudah. Kesulitan tersebut disebabkan setidaknya oleh dua hal yakni, pertama, bahwa moralitas ataupun etika menurut Hart merupakan area yang kabur dan tekstur terbuka (mengandung ketidakpastian), kedua, meskipun moralitas umum dapat disepakati oleh manusia namun bisa saja masih teradapat perbedaan filsafati didalamnya (Petrus C.K.L Bello, 2012: 41).
Dalam menjelaskan makna moralitas Hart seakan-akan tidak memiliki pendirian yang pasti. Sebagaimana yang dikutip oleh Petrus C.K.L Bello, Hart memandang moral sebagai penjelmaan dari adat istiadat tertentu dan pada kenyataannya adat istiadat dapat berubah sewaktu-waktu sesuai dengan pandangan hidup masyarakatnya. Apa yang dianggap penting oleh suatu masyarakat boleh jadi pada masa yang akan datang dianggap tidak penting lagi oleh masyarakat yang bersangkutan. Disisi lain Hart juga menyatakan bahwa moralitas itu kebal terhadap perubahan yang disengaja. Moral tidak dapat dipandang sebagaimana layaknya hukum yang dapat dibuat dan dihapus manusia secara sengaja (Petrus C.K.L Bello, 2012: 41-42).
Secara tegas Hart membedakan antara  moralitas yang dipahaminya dengan moralitas yang dipahami oleh penganut hukum kodrat. Baginya hukum dan moralitas memiliki titik pertemuan setidaknya hanya pada tiga isi minimum. Ketiga isi minimum itu adalah penghargaan terhadap kehidupan, penghargaan terhadap hak milik dan penghargaan terhadap janji. Pada intinya Hart mengartikan bahwa moralitas ada untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia di dunia (survival). Hal ini tentu berbeda dengan makna moralitas menurut hukum kodrat klasik. Hukum kodrat klasik secara teleologis menyatakan bahwa pada intinya semua makhluk di alam ini termasuk manusia memiliki kesamaan tujuan yang mana untuk mencapai tujuan tersebut semuanya tunduk pada aturan mutlak (aturan alam). Pandangan ini secara tersirat hendak menyatakan bahwasanya manusia adalah sama dengan makhluk lain yang tidak memiliki kekuasaan untuk berkehendak dan menentukan pilihan (Petrus C.K.L. Bello, 2012: 44-45). Penolakan Hart terhadap pandangan hukum kodrat klasik tersebut menurut penulis adalah konsekuensi logis dari pendirian Hart yang dari semula telah menyatakan bahwa hukum tetaplah valid meskipun ia bertentangan dengan moral. Yang menjadi ukuran valid tidaknya suatu aturan hukum bagi Hart adalah apa yang disebutnya sebagai aturan sekunder. Disini kembali ditegaskan bahwa pokok inti permasalahannya adalah ketidakyakinan akan adanya nilai-nilai mutlak.
Dalam memperbincangkan masalah hukum tidak bisa dilepaskan dari tujuan idealnya. Para pakar hukum barat menjelaskan tujuan hukum dalam versi yang berbeda-beda. Ada yang menyatakan bahwa hukum diciptakan untuk menjamin ketertiban dalam artian kepastian hukum. Ada  yang menyatakan bahwa tujuan hukum adalah kemanfaatan. Dan adapula yang menyatakan bahwa tujuan hukum semata-mata hanyalah untuk keadilan. Ketiga macam tujuan hukum tersebut menurut Achmad Ali merupakan grand western theory tentang tujuan hukum yang kemudian dikelompokkan lagi kedalam dua macam teori yakni teori klasik dan teori modern. Untuk lebih jelasnya ditampilkan dalam skema berikut (Achmad Ali, 2009: 213),



Teori klasik
a.       Teori etis
Tujuan hukum semata-mata hanya untuk keadilan (justice)
b.      Teori utilistis
Tujuan hukum semata-mata untuk mewujudkan kemanfaatan (utility)
c.       Teori legalistik
Tujuan hukum semata-mata untuk mewujudkan kepastian hukum (legal certainty)



Teori modern
a.       Teori prioritas baku
Tujuan hukum mencakupi :
1.      Keadilan
2.      Kemanfaatan
3.      Kepastian hukum
b.      Teori prioritas kasuistik
Tujuan hukum mencakup keadilan - kemanfaatan - kepastian hukum, dengan urutan prioritas, secara proporsional, sesuai dengan kasus yang dihadapi dan ingin dipecahkan
Menurut Satjipto Rahardjo kesepakatan terhadap suatu nilai yang mutlak merupakan keniscayaan dalam hukum. Bahkan penganut positivisme seperti Hans Kelsen pun tidak bisa memungkiri bahwa suatu tertib sosial selalu harus memihak pada anggapan tentang nilai tertentu yang dipandang paling mulia. Mengenai keadilan misalnya, tentunya pemaknaan keadilan oleh seseorang belum tentu sama dengan pemaknaan keadilan oleh orang lain. Disinilah manusia terjebak dalam pilihan-pilihan sehingga mau tidak mau harus condong kepada satu nilai dan meninggalkan nilai-nilai lain. Artinya bagaimanapun hukum tidak dapat dipisahkan dari nilai. Lebih lanjut Hans Kelsen menjelaskan bahwa setelah nilai tertentu disepakati bukan berarti permasalahan telah selesai. Justru permasalahan akan menjadi semakin rumit ketika nilai yang abstrak tersebut harus diimplementasikan secara konkrit. Pada tahapan ini manusia dituntut untuk memformulasikan atau melakukan pengisian terhadap nilai-nilai tersebut agar sejalan dengan tujuan yang dimaksud. Dalam keadaan yang demikian ini menurut Satjipto Rahardjo bisa saja terjadi bahwa diantara konsep-konsep yang abstrak dan penerapan serta pengisiannya terdapat jurang yang lebar (Satjipto Rahardjo, 1982: 166-168).
Jika menilik pada penjelasan Satjipto Rahardjo diatas maka dapat dipahami bahwa yang menjadi permasalahan adalah interpretasi atau penafsiran dalam penerapan hukum. Sejalan dengan Hart, Satjipto Rahardjo memfungsikan nilai-nilai mutlak sebagai kekuatan pengontrol. Menurutnya hukum yang mengatur kehidupan kita sehari-hari akan selalu mengalami pengujian oleh hukum yang benar (hukum alam). Dari sini kita dapat melihat ada dua macam hukum yang sama-sama diakui keberadaanya namun memiliki dimensi yang berbeda satu sama lain, yakni hukum positif (konkrit) dan hukum alam (ideal). Tuntutan agar hukum positif selalu menyesuaikan diri kepada hukum alam itu menyebabkan kehidupan hukum menjadi dinamis (Satjipto Rahadjo, 1982: 170-171). Untuk mempertahankan pemikirannya tentang pemisahan hukum dan moral Hart mengadopsi pemikiran Jules Coleman yang menyimpulkan bahwa yang menjadi pokok pertentangan dalam memecahkan kasus sulit bukanlah isi dari prinsip-prinsip namun penerapan prinsip-prinsip. Dalam menerapkan suatu prinsip kepada kasus konkrit bisa saja terjadi kesalahan, untuk itulah Hart menolak adanya keterkaitan mutlak antara hukum dan moral (Petrus C.K.L. Bello, 2012: 75).
Dari beberapa pemaparan diatas penulis dapat berasumsi bahwa sebenarnya telah terjadi kontradiksi dalam pemikiran Hart sendiri. Disatu sisi Hart berupaya mempertahankan pandangan positivistisnya terhadap hukum dengan memaknai hukum sebagai kumpulan aturan yang memiliki konstruk serta sistem bangunan tersendiri. Sedangkan disisi lain Hart juga tidak dapat memungkiri bahwa ada nilai-nilai abstrak yang memang tidak bisa dilepaskan dari hukum. Artinya Hart masih belum bisa terlepas dari pandangan dualis-dikotomis yang merupakan ciri utama pemikiran-pemikiran modern.
 Selain itu penulis juga memiliki asumsi lain yakni bahwa doktrin pemisahan hukum dengan moral oleh Hart tersebut merupakan bentuk usahanya untuk membedakan norma hukum dengan aturan hukum. Kita tahu meskipun Hart merupakan pendukung Bentham dan Austin dalam positivisme hukum namun ia tetap kritis terhadap pendahulunya tersebut. Peter Mahmud Marzuki menyebutkan bahwa kesalahan penganut positivisme hukum adalah menyamakan antara norma hukum dengan aturan hukum padahal keduanya memilki perbedaan. Dengan menyamakan norma hukum dengan aturan hukum maka implikasinya adalah norma hukum merupakan produk politik penguasa padahal norma hukum tidak demikian. Norma hukum berkaitan erat dengan konsep-konsep abstrak seperti keadilan, kewajaran, kepatutan serta aspek moral lainnya sehingga ia bukan merupakan produk penguasa (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 46). Dengan membedakan antara aturan hukum dengan norma hukum maka bisa saja terjadi suatu aturan hukum bertentangan dengan norma hukum atau norma sosial lainnya. Jika asumsinya demikian, mungkin hal itulah yang dimaksud oleh Hart bahwa hukum tidak mutlak berkaitan dengan moralitas.  
Kesadaran Kembali Akan Makna Moralitas Dalam Hukum
Untuk dapat memahami alam pikiran barat modern secara utuh maka perlu kiranya untuk melihat secara historis kultur masyarakat barat yang dalam perjalanan sejarahnya mengalami pergolakan dan dinamika. Pergolakan dan dinamika masyarakat barat pada intinya disebabkan oleh pertentangan antara akal dan wahyu. Hegemoni gereja pada abad pertengahan terhadap kultur masyarakat barat dianggap kontraproduktif terhadap pengembangan keilmuan. Pada masa ini peran agama (Kristen) sangatlah sentral, segala sesuatu harus diukur dengan nilai-nilai ketuhanan. Pantaslah jika abad pertengahan disebut pula dengan abad kegelapan (dark ages) karena peran akal dipasung oleh otoritas wahyu (Bible). Jika pada abad pertengahan corak pemikirannya adalah teosentris (Tuhan sebagai pusat) maka pada masa renaisance paradigma tesebut bergeser menjadi antroposentris (manusia sebagai pusat). Kebenaran tidak lagi ditentukan oleh wahyu namun oleh akal (rasio) manusia. Dari sinilah akhirnya muncul gelombang ateisme dan sekularisme (Adian Husaini, 2013: 11)
Kita hendaknya membedakan antara barat dan Kristen sebab barat tidak identik dengan Kristen. Menurut Hamid Fahmi Zarkasyi barat adalah alam pikiran dan pandangan hidup tersendiri (Hamid Fahmy Zarkasyi, 2012: 3). Kemajuan yang dialami masyarakat barat tidak lahir dari ajaran Kristen sebab agama di barat telah tersekulerkan. Tuhan tidak lagi ikut andil dalam menentukan kebenaran sebab manusia mampu menentukan kebenaran dengan akalnya sendiri. Dapat dikatakan bahwa peran Tuhan di barat telah diganti oleh rasionalisme yang pada akhirnya berkembang menjadi liberalisme. Konsekuensi dari pandangan semacam ini adalah kebenaran menjadi relatif. Kebenaran hanyalah ilusi verbal yang diterima masyarakat atau tidak beda dengan kebohongan yang disepakati. Etika harus diglobalkan agar tidak ada lagi orang yang merasa paling baik dan benar. “God is dead” begitulah teriakan Friedrich Nietzsche.
Dari penjelasan sebelumnya kita mengetahui bahwa bagaimanapun hukum tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai etis. Menurut Sudikno Mertokusumo hubungan hukum dengan etika adalah ibarat dua sisi dari satu mata uang (Sudikno Mertokusumo, 2003: 38). Jika hukum lebih menitikberatkan pada tingkah laku lahiriah manusia dalam ikatannya dengan masyarakat, maka etika lebih menitikberatkan pada sikap batin manusia sebagai individu. Baik atau buruknya sesuatu diukur oleh kesadaran etis masyarakat. Apa yang dianggap baik oleh masyarakat dalam rangka menjaga ketertiban dan kesempurnaan, maka itulah yang baik. Karena manusia itu beraneka ragam cara pandangnya maka nilai etis pun tidak dapat diberlakukan secara universal. Dengan demikian apa yang dianggap etis pada masyarakat tertentu belum tentu dinggap etis oleh masyarakat lain. Inilah yang disebut dengan relativisme nilai.
Achmad Ali menyatakan bahwa salah satu gagasan penting yang sangat berpengaruh dalam pembentukan hukum, bekerjanya hukum serta perilaku hukum adalah gagasan tentang keadilan (Achmad Ali, 2009: 224). Namun apalah daya nilai-nilai absolut oleh masyarakat barat modern telah dinegasi dengan nilai-nilai relatif sehingga pemaknaan keadilan pun menjadi bias dan kabur. Hukum alam yang sebelumnya dipahami sebagai sesuatu yang absolut pada kenyataannya harus tunduk pada perubahan-perubahan. Menurut Satjipto Rahardjo satu-satunya yang tetap dalam hukum alam adalah kesadaran tentang adanya  sesuatu yang lebih tinggi dari hukum yang ada (hukum positif) (Satjipto Rahardjo, 1982: 171). Kesadaran tersebut termanifestasi dalam ide-ide, sikap-sikap, kepercayaan-kepercayaan, harapan-harapan dan opini-opini masyarakat tentang hukum yang oleh Lawrence M. Friedman disebut sebagai  legal culture atau social forces. Faktor-faktor kultural tersebut merupakan suatu esensial dalam merubah suatu struktur statis dan suatu kumpulan norma-norma statis menjadi suatu kumpulan hukum yang hidup dan dinamis (Achmad Ali, 2009: 226-228).
Setali tiga uang, ketidakpercayaan akan adanya nilai absolut ini akhirnya memunculkan sebuah gerakan yang disebut gerakan studi hukum kritis (critical legal studies movement). Gerakan ini merupakan bentuk pertentangan terhadap teori hukum tradisional. Kelompok yang disebut juga dengan antifoundationalist ini beranggapan bahwa pada prinsipnya hukum tidak mempunyai dasar yang objektif dan tidak ada yang namanya kebenaran sebagai tempat berpijak dari hukum. Bagi mereka keadilan hanyalah simbol retorik yang digunakan oleh kelompok mayoritas untuk menjelaskan dan menfasirkan keinginannya. Diantara karakteristik umum gerakan yang dilahirkan oleh kaum postmodernis ini adalah pandangannya terhadap hukum sebagai berikut (Munir Fuady, 2003, 5-7):
1.      Hukum sama sekali tidak netral karena pada kenyataanya memihak kepada politik tertentu.
2.      Hukum tidak boleh didominasi oleh ideologi tertentu.
3.      Hukum tidak memiliki prinsip-prinsip dasar karena pemikiran rasional yang mendasari prinsip-prinsip dasar tersebut pada hakikatnya merupakan ciptaan masyarakat juga yang merupakan pengakuan terhadap kekuasaan.
Gerakan ini tidak memiliki arah yang jelas dan oleh karena itulah  beberapa pakar menganggapnya sebagai opini para idealis yang pesimis dan putus asa. Istilah postmodern sendiri lahir dari kebencian, kritik, atau kemarahan pada masa lalu (modernisme). Potsmodern merupakan sikap sosial, sikap hidup atau mentalitas yang serba menghancurkan atau dekonstruktif. Menurut Kevin J. Van hoozer sebagaimana yang dikutip oleh Hamid Fahmy Zarkasyi target penghancuran postmodernisme adalah bangunan, sistem konsep, rezim politik dan teologi. Bagi postmodernisme tidak ada lagi nilai standar untuk menentukan baik-buruk dan benar-salah kecuali masyarakat atau dengan kata lain yang disebut kebenaran hanyalah kebenaran secara sosiologis-kultural (Hamid Fahmy Zarkasyi, 2012: 39-41).
Dalam bidang hukum, Satjipto Rahardjo menggambarkan era postmodern sebagai pengkoreksi era modernisme. Hukum modern yang dibangun bedasarkan skema rasionalitas dan logika peraturan dipandang lebih terlihat artifisial ketimbang substansial. Untuk itulah ia memperkenalkan hukum progresif  yang berpegang pada komitmen filosofis bahwa hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Hukum untuk manusia setia pada normativitas nurani. Hukum progresif mengajak untuk kembali ke alam sebagai fundamental hukum yang lebih jujur dan otentik. Yang menarik dari hukum progresif ini adalah meskipun ia lahir dari postmodernisme yang serba dekonstruktif, sebagaimana yang dipaparkan oleh Faisal hukum progresif tetap bersandarkan pada nilai Ketuhanan dalam artian hukum progresif menunjukkan cara berhukum yang tidak bisa begitu saja meninggalkan hubungan manusia dengan Tuhan (Faisal, 2015: 22-23).
Menurut pemahaman penulis hukum progresif sebagai perwujudan postmodernisme merupakan bentuk ketidakpuasan atas kepongahan sistem hukum modern yang formalistik-legalistik. Hukum progresif merupakan usaha kontemplatif untuk mengajak manusia kembali pada fitrahnya dengan memandang hukum sebagai bukan saja mengatur hubungan antar sesama manusia saja namun lebih dari itu ia juga mengatur hubungannya dengan keseluruhan entitas yang ada termasuk hubungannya dengan nilai Ketuhanan.
Faisal menjelaskan bahwa meskipun hukum progresif mengakui jika manusia menjadi pusat perbincangan dalam berhukum bukan berarti ia lantas meninggalkan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam, serta manusia dengan lingkungan sosialnya.  Bagi hukum progresif  berhukum semata-mata dengan menggunakan rasio tidaklah cukup sebab ia lebih mendahulukan prosedur ketimbang moral. Hukum progresif lebih memilih berpandu kepada hati nurani yang mendekatkan kepada hikmah kebajikan. Lebih lanjut Faisal memaparkan bahwa Satjipto Rahardjo melengkapi hukum progresif dengan pendasaran nilai transendental-spiritual yang kuat. Akan menjadi sia-sia bila hukum progresif diserahkan kepada perilaku yang jauh dari hikmah kebajikan (Faisal, 2015: 103-104).
KESIMPULAN
Hukum modern lebih berpihak kepada prosedur formal ketimbang substansi. Sudah saatnya hukum dimaknai sebagai bagian dari esensi manusia dalam arti yang luas. Hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum begitulah singkatnya. Dengan demikian hukum tidak dapat dilepaskan dari moralitas. Hukum senantiasa berkelindan dengan nilai-nilai Ketuhanan, nilai-nilai alam serta nilai-nilai sosial kemanusiaan. Hukum progresif kontemplatif menggugah jiwa kita bahwa manusia pada dasarnya lemah dan karena kelemahan itulah ia selalu mendambakan kehadiran dzat yang Maha Kuasa sebagai tempat bergantung dan berserah diri. Hukum progresif kontemplatif mendobrak kejumudan hukum, membongkar benteng formalisme hukum agar tercipta hukum yang dinamis yang senantiasa menyesuaikan tuntutan dan kebutuhan manusia dengan tetap berpijak pada hikmah kebajikan dan spiritualitas yang transenden.

Daftar Pustaka
Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence):Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Jakarta: Kencana, 2009.
Bello, Petrus C.K.L., Hukum dan Moralitas; Tinjauan Filsafat Hukum, Jakarta: Erlangga, 2012.
Faisal, Pemaknaan Hukum Progresif; Upaya Mendalami Pemikiran Satjipto Rahardjo, Yogyakarta: Thafa Media, 2015.
Fuady, Munir, Aliran Hukum Kritis; Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.
Husaini, Adian, et.al., Filsafat Ilmu; Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2013.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Jakarta: Kencana, 2005.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum; Suatu Pengantar, Edisi Kelima, Yogyakarta: Liberty, 2003.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1982.
Zarkasyi, Hamid Fahmy, Misykat; Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisai dan Islam, Jakarta: INSIST-MIUMI, 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Profil

Kategori

Archives