Blog ini adalah milik Muhammad Najih Vargholy. Diberdayakan oleh Blogger.
Jika hendak mengenal dunia MEMBACALAH, Jika hendak dikenal dunia MENULISLAH, Jika hendak menguasai dunia BERILMULAH. (Hamid Fahmy Zarkasyi)

Peranan Hukum Terhadap Ketahanan Budaya Bangsa

Kamis, 05 Januari 2017

LATAR BELAKANG
Hukum tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Tidak dapat dibayangkan kiranya jika dalam kehidupan bermasyarakat tidak didapati suatu pedoman yang mengatur tingkah laku antar individu di dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Hukum dibentuk agar kelangsungan hidup manusia dapat terlaksana dengan tertib, aman dan tenteram. Agar setiap orang mentaati peraturan-peraturan yang telah disepakati maka dibutuhkan suatu otoritas yang berwenang dalam menerapkan serta menegakkan peraturan tersebut. Dalam hal ini otoritas yang berwenang yang dimaksud adalah otoritas negara. Negara memiliki kewajiban untuk melaksanakan tugas pelayanan kepada masyarakat. Pelaksanakan tugas negara tersebut tercermin dalam upaya negara untuk mengarahkan setiap orang agar tunduk dan patuh kepada hukum atau peraturan yang berlaku.
Negara merupakan suatu organisasi yang memiliki kekhasan yang tidak dimiliki oleh organisasi-organisasi lain. Kekhasan yang dimiliki oleh negara tersebut merupakan manifestasi dari kedaulatan yang dimiliki oleh negara itu sendiri. Secara umum kedaulatan suatu negara dapat dilihat dari beberapa sifat dan aspek yakni, (1) sifat memaksa, negara memiliki kekuasan untuk memaksa agar suatu masyarakat taat terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, (2) sifat monopoli, negara mampu memonopoli arah dan tujuan rakyat dan (3) sifat mencakup semua (all-encompassing), dalam artian bahwa penetapan peraturan perundang-undangan oleh negara berlaku bagi setiap orang tanpa terkecuali.[1]
Salah satu kekuasaan yang dimiliki negara adalah kekuasaan untuk membentuk peraturan perundang-undangan. Hal tersebut merupakan sesuatu yang logis sebab konsep tentang peraturan perundang-undangan tidak akan muncul sebelum diketahui terlebih dahulu konsep tentang negara sebagai otoritas yang memiliki kekuasan yang sentral dan tertinggi.[2] Dengan demikian dapat dipahami bahwa kedaulatan hukum suatu negara bergantung pada kedaulatan negara itu sendiri. Negara yang berdaulat adalah negara yang dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan urusan pemerintahannya tidak mudah diintervensi oleh negara-negara lain. Dalam konteks pembentukan dan penetapan hukum, kedaulatan suatu negara tercermin dalam isi atau materi muatan peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada kultur dan budaya bangsa/negara yang bersangkutan.
Dalam kenyataan yang terjadi saat ini, tidak dapat dinafikan bahwa pergaulan antar negara menjadi semakin luas dengan tanpa mengenal batas-batas geografis. Kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi merupakan beberapa faktor yang mengaburkan batas-batas tersebut. Kerjasama-kerjasama antar negara baik dalam skala regional maupun internasional yang telah disepakati oleh berbagai negara pada akhirnya berimbas terhadap kultur dan budaya masing-masing negara, sehingga benturan budaya pun (clash of civilization) tidak dapat terelakkan.
Dalam ilmu hukum diketahui bahwa kultur dan budaya suatu masyarakat memiliki korelasi yang erat dengan corak dan bentuk hukum yang diberlakukan dalam masyarakat tersebut. Hukum merupakan suatu tatanan nilai-nilai. Nilai-nilai yang dimaksud terejawantah dalam kultur dan budaya, sehingga benar adanya jika dikatakan bahwa hukum yang baik dan efektif adalah hukum yang sesuai dengan kepribadian, jiwa dan nilai-nilai luhur bangsa. Namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah nasib kedaulatan hukum negara di tengah derasnya gelombang globalisasi pada masa sekarang ini, mengingat bahwa globalisasi dapat dikatakan merupakan sebuah agenda penyeragaman budaya. Upaya globalisasi tersebut dapat menghilangkan nilai-nilai kebudayaan bangsa/negara tertentu sehingga pada akhirnya berdampak pada efektifitas hukum yang diterapkan dalam bangsa/negara tersebut.
HUBUNGAN ANTARA HUKUM DENGAN KEHIDUPAN SOSIAL
Sebagaimana  yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa  hukum merupakan suatu tatanan nilai yang terejawantah dan termanifestasi dalam kehidupan sosial. Di kalangan sarjana hukum telah dikenal adagium “ubi societas ubi ius”, dimana ada masyarakat di situ ada hukum. Di dalam suatu masyarakat pasti akan selalu dijumpai suatu aturan yang mengatur tingkah laku di antara sesamanya, terlepas dari baik atau buruknya kualitas aturan yang dimaksud. Hal demikian disebabkan oleh karena setiap manusia memiliki kehendak dan kepentingan  yang harus dipenuhi. Untuk menghindari timbulnya konflik kepentingan antara satu sama lain maka dibutuhkan suatu pedoman yang mengatur bagaimana setiap orang itu berbuat untuk kepentingannnya dengan tanpa merugikan kepentingan orang lain.
Untuk menjelaskan hubungan antara hukum dengan kehidupan sosial, terdapat beberapa teori yang telah dikemukakan oleh beberapa pakar hukum. Para pakar hukum dengan berbagai latar belakang dan berdasarkan pada sudut pandang/perspektif masing-masing telah berupaya menjelaskan betapa hukum sangat berkaitan erat dengan masyarakat yang menjadi sasaran ditetapkannya aturan/hukum tersebut. Diantara teori-teori yang berhubungan dengan hal ini adalah teori sosiological jurisprudence
Adalah Eugen Ehrlich yang merupakan pencetus teori sociological jurisprudence. Ehrlich berpendapat bahwa terdapat perbedaan antara hukum positif disatu pihak dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat di pihak lain. Hukum positif akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan atau sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Perkembangan hukum bukan hanya dilihat dari perkembangan peraturan perundang-undangan ataupun putusan hakim namun hukum berkembang di dalam masyarakat itu sendiri.[3]
Melalui teori ini dapat dipahami bahwa upaya untuk melakukan suatu pembaharuan hukum harus senantiasa memperhatikan tingkat kesadaran hukum masyarakat yang bersangkutan. Hukum sebagai suatu nilai yang ideal (das sollen) tidak dapat dipisahkan dari kehidupan yang nyata terjadi di masyarakat (das sein). Agar suatu hukum dapat diterima dan dipatuhi oleh masyarakat maka hukum tersebut harus memiliki dasar keberlakuan filosofis dan sosiologis.
Menurut Satjipto Rahardjo hukum selalu terikat dengan  dunia ideal dan dunia kenyataan sehingga hukum harus dapat mempertanggungjawabkan keberlakuannya dari kedua sudut tersebut. Untuk dapat berlaku secara filosofis maka hukum harus memasukkan unsur-unsur ideal yang diharapkan masyarakat. Adapun untuk dapat berlaku secara sosiologis maka hukum harus memperhitungkan unsur-unsur kenyataan.[4] Dari penjelasan ini dapat dibayangkan bahwa betapa sulitnya tugas hukum dalam meramu dua dunia yang secara diametral berbeda dan bahkan saling bertentangan tersebut.
Menurut pemahaman penulis, fokus utama dari teori sociological jurisprudence adalah untuk mengukur efektif atau tidaknya suatu peraturan diberlakukan di dalam masyarakat. Yang menjadi tolak ukur adalah kesadaran hukum masyarakat tersebut. Abdul Manan  menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kesadaran hukum masyarakat adalah nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tentang hukum, yang meliputi pengetahuan, pemahaman, penghayatan, kepatuhan atau ketaatan kepada hukum.[5]
Masyarakat memerlukan hukum agar kehidupannya dapat berjalan dengan tertib. Ketertiban yang tercipta di dalam masyarakat bukanlah semata-mata timbul karena hukum. Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa masyarakat merupakan suatu rimba tatanan (majemuk), oleh karena di dalamnya tidak hanya terdapat satu tatanan. Perbuatan atau tindakan masyarakat tidak hanya ditentukan oleh norma hukum melainkan juga oleh kekuatan sosial (social forces) lainnya yang tidak lain adalah norma kesusilaan dan kebiasaan.[6]
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Lawrence M Friedman bahwa suatu sistem hukum senantiasa terdiri atas tiga komponen yakni, (1) Struktur hukum (legal structure), (2) Substansi hukum (legal substance) dan (3) kultur hukum (legal culture).[7] Kultur hukum merupakan unsur yang paling vital dalam bekerjanya suatu sistem hukum. Unsur ini berkaitan dengan tuntutan atau kebutuhan masyarakat. Manusia merupakan makhluk budaya yang selalu mendambakan adanya suatu tatanan kehidupan yang ideal. Selama manusia masih memiliki kesadaraan, ide, sikap, kepercayaan, harapan dan opini tentang hukum bahwa hukum sebagai sarana menciptakan keadilan, maka kesadaran dan harapan itulah yang nantinya dapat mengarahkan perilaku sistem hukum mereka ke arah yang lebih ideal.
Lebih lanjut Friedman, sebagaimana yang dikutip oleh Achmad Ali  menyatakan bahwa kultur hukum merupakan faktor yang menentukan kapan, mengapa dan di mana orang-orang menggunakan hukum, institusi hukum, atau proses hukum; dan kapan menggunakan institusi lainnya atau tidak melakukan apapun. Dengan kata lain, faktor-faktor kultural merupakan suatu unsur esensial dalam mengubah suatu struktur statis dan suatu kumpulan norma statis menjadi suatu kumpulan norma yang dinamis. Kultur hukum dapat diibaratkan seperti menghidupkan sebuah mesin. Kultur hukum merupakan penggerak segala sesuatunya.[8]
Tidak dapat diragukan lagi bahwa kehidupan masyarakat bergerak secara dinamis berbeda dengan hukum yang memang bersifat statis. Disini terlihat bahwa antara hukum dengan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat terdapat hubungan interaksi yang bersifat timbal balik. Di satu sisi perkembangan kehidupan yang terjadi di masyarakat dapat mempengaruhi perubahan hukum dan di sisi lain hukum juga memiliki daya instumental yakni kemampuan untuk mengubah atau merekayasa kehidupan suatu masyarakat (law as a tool of social engineering). Dalam konteks sosial, konsekuensi dari hukum yang bersifat instrumental tersebut adalah sebuah pemahaman bahwa di setiap perancangan atas suatu undang-undang maka di situ berarti sedang dilakukan suatu perancangan atas suatu perubahan di dalam  masyarakat.
Munir Fuady menjelaskan bahwa untuk mengetahui apakah hukum yang merubah kehidupan masyarakat atau justru masyarakat yang merubah hukum bergantung pada seberapa cepat hukum merespon perubahan yang terjadi di dalam masyarakat tersebut. Semakin cepat hukum merespon perubahan yang terjadi di masyarakat maka semakin besar pula peranan hukum sebagai alat rekayasa sosial. Hal ini akan berlaku sebaliknya apabila ternyata hukum  lamban dalam  merespon tuntutan dan kebutuhan masyarakat, sehingga pada keadaan tersebut hukum hanya berperan sebagai alat legitimasi atas perubahan yang terjadi. Dengan demikian hukum tidak memiliki peranan dalam perubahan masyarakat sebab masyarakat telah terlebih dahulu berubah dengan sendirinya.[9]
Bagi sebagain pakar terutama pakar non hukum, hukum bukanlah merupakan faktor pengubah kehidupan masyarakat. Bagi mereka hukum hanya merupakan suatu akibat ikutan dari perubahan yang terjadi di masyarakat. Pendapat seperti ini dapat dikatakan benar sebab pada hakikatnya hukum adalah produk kultur/budaya manusia, dalam artian bahwa hukum sebagai patokan nilai dan tingkah laku bersumber pada kehendak manusia.
Menurut William F Ogburn yang merupakan faktor penyebab perubahan sosial adalah perkembangan teknologi dan informasi. Arnold M Rose juga menyangsikan peranan hukum dalam perubahan masyarakat, dalam teorinya ia mengemukakan bahwa perubahan di masyarakat hanya akan terjadi berdasarkan pada tiga faktor yakni,[10]
1.    Kumulasi penemuan teknologi.
2.    Kontrak atau konflik kebudayaan. Menurut teori kebudayaan, perubahan yang terjadi di masyarakat disebabkan oleh karena pertemuan dua  atau lebih kebudayaan yang berbeda, sehingga masing-masing masyarakat akan melakukan penyesuaian antara kebudayaan yang telah lama dimiliki dengan kebudayaan asing yang baru dialaminya tersebut. Melalui proses penyesuaian kebudayaan itulah masyarakat memformulasikan nilai-nilai baru yang dianggap baik dalam sistem kebudayaan mereka.
3.    Gerakan sosial (social movement). Menurut teori gerakan sosial, perubahan yang terjadi di masyarakat disebabkan atas ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem yang telah lama berlaku dalam kehidupan mereka. Atas ketidakpuasan itu mereka melakukan protes-protes kepada pihak yang dianggap memiliki kekuasaan agar melakukan perubahan-perubahan menuju suatu tatanan baru yang sesuai dengan tuntutan dan aspirasi masyarakat.
Dari pendapat Arnold tersebut, penulis dapat memahami bahwa dari sudut pandang ilmu sosiologi, perubahan yang terjadi di masyarakat lebih determinan terhadap perubahan hukum bukan sebaliknya. Hubungan antara hukum dengan perubahan sosial dianalisis dan dikaji melalui pendekatan yang bersifat bottom-up (hubungan dari bawah ke atas).
KULTUR HUKUM DALAM ERA GLOBALISASI
Abad ke-21 merupakan abad globalisasi yang ditandai dengan adanya keterbukaan dan kebebasan dalam berbagai bidang kehidupan.[11] Jika dicermati dengan seksama, keterbukaan dan kebebasan yang dibawa oleh globalisasi tersebut dapat memberikan dampak positif sekaligus dampak negatif. Dampak positif yang didapati dari globalisasi adalah semakin mudahnya seseorang untuk mendapatkan akses informasi. Seseorang dapat dengan mudah mengetahui serta mengikuti perkembangan-perkembangan yang terjadi di dunia global. Selain itu juga melalui globalisasi proses transfer keilmuwan dapat terlaksana secara intensif. Dampak yang paling penting dari globalisasi sangat terasa jika ditinjau dari sisi ekonomi. Di era globalisasi aliran modal dan arus investasi dapat tersebar ke berbagai negara, maka tidak heran jika para pemodal membentuk suatu korporasi yang bersifat global yang disebut dengan Trans National Corporation (TNC).
Adapun dampak negatif dari globalisasi adalah semakin tergerusnya nilai-nilai luhur serta jati diri yang dimiliki suatu bangsa. Globalisasi merupakan fenomena perubahan zaman yang mencakup berbagai aspek. Globalisasi sangat berimplikasi pada perubahan di bidang keagamaan, sosial dan budaya, ekonomi dan keuangan, politik dan keamanan, pendidikan serta bidang-bidang lainnya. Untuk menghadapi tantangan globalisasi maka diperlukan suatu ketahanan budaya dimana dengan ketahan budaya tersebut masyarakat memiliki kemampuan untuk melakukan seleksi serta memilah hal-hal yang dianggap perlu untuk diadaptasi.
Menurut Victor Farkl sebagaimana dikutip oleh Abdul Manan akibat negatif dari globalisasi adalah terjadinya frustasi eksistensial (existential frustation) dengan ciri-cirinya yaitu hasrat berlebihan untuk berkuasa (the will to power), bersenang-senang untuk mencari kenikmatan (the will to pleasure) yang biasanya tercermin dalam perilaku yang berlebihan  untuk mengumpulkan uang (the will to money), untuk bekerja (the will to work) dan kenikmatan seksual (the will to sex). Di samping itu juga globalisasi memberikan dampak kepada munculnya perasaan di sebagian orang bahwa hidupnya tidak berarti, membosankan, apatis dan tidak ada tujuan.[12]
Dari penjelasan di muka dapat dimengerti bahwa betapa globalisasi sangat berpengaruh kepada pola pikir, sikap dan gaya hidup seseorang yang pada akhirnya meluas kepada masyarakat dan bahkan bangsa secara keseluruhan. Globalisasi dapat dikatakan merupakan bentuk “penjajahan moral”. Abul A’la al-Maududi menyatakan bahwa penjajahan moral terjadi akibat adanya suatu bangsa yang kuat dan dominan dalam berbagai aspek. Berdasarkan kekuatan dan dominasinya itu bangsa tersebut mempengaruhi bangsa-bangsa lain. Pemikiran serta konsep-konsep yang mereka bangun pada akhirnya menguasai hati nurani serta mengendalikan kesadaran dan intelektual bangsa-bangsa yang lebih inferior. Dalam globalisasi terdapat upaya penyelerasan alam pikiran, konsepsi, kebudayaan, pendidikan, etika dan perilaku kepada satu tolak ukur yang ditetapkan oleh bangsa yang lebih digdaya dan adikuasa.[13]
Perubahan nilai-nilai yang dibawa oleh globalisasi dengan sendirinya juga berpengaruh pada hukum sebagai kaidah atau norma yang sarat dengan nilai. Menurut Bahauddin Darus terdapat beberapa perubahan global yang memerlukan payung hukum agar perubahan yang dimaksud dapat berjalan sebagaimana layaknya yakni, (1) globalisasi informasi dan komunikasi; (2) globalisasi ekonomi dan perdangan bebas, globalisasi keuangan dan kepemilikan modal dan globalisasi pasar; (3) globalisasi gaya hidup dan pola konsumsi, globalisasi budaya, globalisasi persepsi dan globalisasi kesadaran; (4) globalisasi media massa baik cetak maupun elektronik; dan (5) globalisasi wawasan dan politik.[14]
Meskipun demikian, perubahan hukum yang dilakukan di berbagai bidang guna merespon globalisasi tidak dapat dilakukan dengan serta merta. Di muka telah dijelaskan bahwa untuk melakukan perubahan hukum perlu memperhatikan kesadaran hukum masyarakat atau dengan kata lain nilai-nilai ideal yang dianut oleh masyarakat tersebut. Dalam konteks Indonesia misalnya, Indonesia merupakan bangsa yang masih memegang teguh nilai-nilai religiusitas serta moral yang luhur sebagaimana yang tertuang dalam Pancasila. Terdapat perbedaan yang sangat kontras antara budaya bangsa Indonesia dengan budaya barat yang saat ini memang merupakan budaya yang paling dominan dan berpengaruh.
Menurut Naquib al-Attas peradaban barat memiliki sejumlah ciri yakni, pertama, berdasarkan filsafat dan bukan agama. Kedua,  filsafat tersebut berubah wajah menjadi humanisme yang dengan lantang meneriakkan prinsip dikotomi kebenaran. Ketiga, berdasarkan pandangan hidup yang tragis. Kesemua hal tersebut merupakan akibat dari krisis kepercayaan (spiritual). Konsep yang demikian ini berujung pada keresahan jiwa yang selalu mencari sesuatu yang tiada akhir.[15]  
Proses globalisasi tidak dapat dielakkan dan hukum mau tidak mau harus merespon berbagai perubahan yang dibawa oleh globalisasi tersebut. Hal yang perlu menjadi perhatian penting disini adalah bahwa pembaharuan hukum tersebut harus dilaksanakan berdasarkan kajian secara mendalam, hati-hati dan sabar. Pembaharuan hukum harus dilaksanakan dengan mengevaluasi dan mengoreksi segi-segi tertentu dalam kehidupan bernegara. Perlu dilakukan suatu kontemplasi guna mencari dan menemukan hukum yang cocok dengan kondisi kehidupan bangsa Indonesia tetapi juga mendapat legalitas dan penghargaan oleh bangsa lain. Hukum-hukum yang diproduksi dalam rangka merespon globalisasi harus tetap sesuai dengan kultur bangsa Indonesia.
KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa di era globalisasi saat ini hukum memiliki peranan yang sangat penting. Hukum tidak harus selalu dipandang sebagai alat legitimasi perubahan yang terjadi di masyarakat akibat pengaruh globaliasasi. Selain sebagai alat rekayasa sosial (as a tool of social engineering), hukum juga harus berfungsi sebagai ukuran tingkah laku dan kesamaan sikap yang harus ditaati oleh setiap orang dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum harus dapat berfungsi sebagai benteng pertahanan kultur dan budaya bangsa dari ancaman budaya asing yang tidak sesuai dan bahkan mengancam eksistensi kebudayaan bangsa itu sendiri.
Dalam menghadapi globalisasi, hukum harus berfungsi sebagai alat kontrol sosial (as a tool of control), yakni sebagai alat untuk mengontrol pemikiran dan tingkah laku masyarakat agar mereka selalu terpelihara moralnya, tidak melakukan perbuatan  yang melanggar hukum, norma susila, dan ajaran agama yang dipeluknya.


Daftar Pustaka
Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicialprudence): Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Vol. 1, Jakarta: Kencana, 2009.
Fuady, Munir, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Cet. Ketiga, Jakarta: Kencana, 2014.
Hidajat, Imam, Teori-Teori Politik, Cet. Ketiga, Malang: Setara Press, 2012.
Hidayat, Nuim, Imperialisme Baru, Jakarta: Gema Insani , 2009.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Cet. Keenam, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006.



[1] Imam Hidajat, Teori-Teori Politik, Cet. Ketiga (Malang: Setara Press, 2012), h. 26.
[2] Munir Fuady menyatakan bahwa teori-teori yang berkenaan dengan validitas hukum seyogyanya juga harus mampu menjawab berbagai persoalan mengenai valid atau tidaknya suatu lembaga hukum. Validitas lembaga hukum yang dimaksud adalah validitas pemerintahan dalam suatu negara atau bahkan negara itu sendiri. Dalam ilmu hukum dikenal suatu teori yang disebut dengan “teori identitas negara”. Lihat Munir Fuady, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Cet. Ketiga (Jakarta: Kencana, 2014), h. 113.
[3] Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Cet. Keempat (Jakarta: Kencana, 2013), h. 19.
[4] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet. Keenam (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), h. 16.
[5] Abdul Manan, Op.cit., h. 19.
[6] Untuk menjelaskan peranan kekuatan sosial dalam mempengaruhi kehidupan masyarakat ini, Satijipto Rahardjo mengadaptasi bagan yang dilukiskan oleh Chambliss & Seidman (Chambliss & Seidman, 1971:12). Lihat Satjipto, Op.cit., h. 20-21.
[7] Menurut Achmad Ali selain ketiga komponen diatas terdapat dua komponen lain yang juga memiliki pengaruh terhadap efektivitas hukum, yakni profesionalisme dan kepemimpinan (leadership). Lihat Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicialprudence): Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Vol. 1, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 204.
[8] Ibid., h. 228.
[9] Munir Fuady, Op.cit., h. 250.
[10] Ibid., h. 256.
[11] Dalam pandangan beberapa pakar ilmu pengetahuan, globalisasi adalah peruntuhan batas-batas dan jarak antar bangsa, negara dan budaya. Sebagian pakar juga mengungkapkan bahwa globalisasi merupakan suatu proses untuk menjadikan dunia/alam ini sebagai desa buana (global village). Lihat Abdul Manan, Op.cit., h. 57-58.
[12] Ibid., h. 60.
[13] Nuim Hidayat, Imperialisme Baru (Jakarta: Gema Insani , 2009), h. 124-125.
[14] Abdul Manan, Op.cit., h. 61-62.
[15] Nuim Hidayat, Op.cit., h. 125-126.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Profil

Kategori

Archives