Manusia adalah makhluk
sosial, itulah kalimat yang sering kita dengar dan merupakan sebuah kenyataan
yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita kita berpikir lebih
mendalam akan muncul sebuah pertanyaan yang terbersit dalam benak kita, mengapa
manusia bisa disebut demikian (makhluk sosial). Manusia, selama ia hidup
berdampingan dengan yang lainnya akan selalu melakukan interaksi-interaksi
dengan sesamanya tersebut. Sebab mengapa demikian adalah karena manusia
memiliki kepentingan-kepentingan guna kepuasan pribadinya masing-masing.
Aristoteles menyatakan bahwa adanya kepentingan-kepentingan itu muncul karena
pembagian sumber daya alam yang berbeda-beda dan memang juga pada dasarnya
manusia memiliki kedudukan yang berbeda satu sama lain. Dengan demikian maka tidak bisa dipungkiri bahwa
manusia akan selalu membutuhkan kehadiran orang lain sebab kadangkala
kepentingannya baru dapat terpenuhi bergantung pada orang lain itu. Kadangkala
kepentingan manusia satu sama lain saling bersinggungan dan berbenturan. Maka
guna mengakomodir kepentingan yang saling bertolak belakang tersebut sehingga masing-masing
pihak dapat terpenuhi kepentingannnya dibuatlah sebuah kaidah atau aturan yang
harus dipatuhi.
Konsekuensi dari adanya
interaksi antara manusia dengan yang lainnya yang didasari oleh adanya
kepentingan-kepentingan pribadi itu adalah timbulnya sebuah ikatan diantara
mereka. Ikatan yang abstrak ini muncul akibat adanya perjanjian yang telah
dibuat oleh masing-masing pihak sesuai dengan kepentingannya. Dengan adanya perjanjian yang telah dibuat
itu maka masing-masing pihak dalam arti lain telah dan saling mengikatkan diri
satu sama lain dan terikat dengan ketentuan-ketentuan yang telah dibuatnya itu.
Apa yang menyebabkan manusia tunduk terhadap ikatan yang telah dibuatnya itu
adalah tuntutan etis dan moral manusia senidiri dan dari sinilah muncul sebuah
prinsip dalam perikatan yang disebut Pacta Sunt Servanda.
Makna dari Pacta
Sunt Servanda adalah bahwa perjanjian yang telah dibuat berlaku mengikat
bagi masing-masing pihak. Jika dikaitkan dengan hukum positif maka kekuatan
mengikat dari suatu perjanjian sama derajatnya dengan mengikatnya sebuah
undang-undang. Awal dari hadirnya prinsip ini adalah adanya tuntutan etis dan
agama. Islam sebagai contohnya, Allah SWT dengan jelas mewajibkan orang-orang
yang beriman agar mentaati ikatan atau akad yang telah dibuatnya dengan orang
lain (QS. al-Maidah: 1). Munir Fuady menyatakan bahwa pada masa romawi mereka
yang tidak menjalankan ketentuan-ketentuan yang telah diperjanjikan satu sama
lain bahkan dapat dijatuhi hukuman pidana. Pada umumnya prinsip Pacta Sunt
Servanda dikenal oleh negara-negara yang menerpakan sistem civil law. Adapun
negara dengan sistem common law kerap menyebutnya dengan prinsip kesakralan
kontrak (Sanctity of Contract).
Di negara dengan sistem
civil law, kaidah-kaidah etis dan moral termasuk dalam hal ini prinsip Pacta Sunt Servanda
tidaklah dapat diterapkan sebelum ia dipositifkan ke dalam suatu undang-undang.
Negara Indonesia sebagai penganut civil law mendasarkan aturan-aturan mengenai
hubungan keperdataan kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Dalam
hal perjanjian, prinsip Pacta Sunt Servanda dapat ditemukan dalam Pasal 1388
KUHPer yang berbunyi “Segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dari sini dapat dilihat
adanya perbedaan ikatan yang ditimbulkan dari sebuah perjanjian bahwa sebuah
ikatan perjanjian baru dapat mengikat secara hukum apabila perjanjian itu
dibuat secara sah, namun apabila tidak dibuat secara sah maka hanya mengikat
secara moral (tidak dapat dituntut secara hukum). Adapun sebuah perjanjian baru
dapat dikatakan sah apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal
1320 KUHPer sebagai berikut, 1). Kesepakatan para pihak, 2). Kecacakapan hukum
para pihak, 3). Objek yang diperjanjikan, 4). Sebab yang halal (tidak terlarang).
Perlu untuk digaris
bawahi bahwa hal terpenting dari sebuah perjanjian adalah adanya kesepakatan
para pihak. Kesepakatan berarti kesesuaian kehendak satu sama lain atas
dibuatnya sebuah perjanjian terutama kesesuaian dalam hal objek yang
diperjanjikan. Apabila telah tercapai kesesuaian kehendak dan itu tidak
bertentangan dengan aturan yang berlaku baik undang-undang, kesusilaan dan
ketertiban umum maka masing-masing pihak dianggap telah mampu untuk memikul
akibat serta resiko yang ditimbulkan dari perjanjian itu. Maka dari itu
dibutuhkan kecakapan, kehati-hatian, kecermatan serta toleransi dari
masing-masing pihak ketika hendak membuat sebuah perjanjian mengingat bahwa
perjanjian itu pada dasarnya memiliki sifat mengikat dan berkaitan erat dengan
keluhuran manusia sebagai makhluk yang beretika.
Sumber:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Munir Fuady, Teori-Teori Besar (Grand Theory)
Dalam Hukum, 2013.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, 2006..