Blog ini adalah milik Muhammad Najih Vargholy. Diberdayakan oleh Blogger.
Jika hendak mengenal dunia MEMBACALAH, Jika hendak dikenal dunia MENULISLAH, Jika hendak menguasai dunia BERILMULAH. (Hamid Fahmy Zarkasyi)

Ushul Fiqh Dalam Prespektif Filsafat Ilmu

Selasa, 31 Mei 2011

A. pendahuluan
Sebagaimana diketahui bahwa hukum merupakan salah satu aspek terpenting dalam Islam disamping beberapa aspek terpenting lainnya. Dengan adanya hukum, manusia bersama komunitasnya dapat menjalankan beragam aktivitasnya dengan tenang dan tanpa ada perasaan was-was. Dan dengan hukum pula manusia dapat mengetahui manakah pekerjaan-pekerjaan yang diperbolehkan dan apa sajakah pekerjaan-pekerjaan yang tidak diperbolehkan untuk dilakukan. Filsafat ilmu sebagai bagian dari kajian filsafat mencoba untuk mengetahui kinerja sebuah ilmu sebagaimana yang banyak dipahami oleh beberapa ahli. Sebagaimana dikemukakan oleh Benjamin, bahwa filsafat ilmu merupakan cabang pengetahuan falsafati yang menelaah sistematis sifat dasar suatu ilmu, metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-anggapannya. Atau, salah satu tujuan mempelajari filsafat ilmu sebagaimana yang dikemukakan oleh Bakhtiar, yaitu untuk memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan ilmu di berbagai bidang sehingga kita mendapatkan gambaran mengenai proses ilmu kontemporer secara historis. Dengan kajian filsafat ilmu, akan diketahui bagaimana cara kerja atau metodologi yang diterapkan oleh sebuah ilmu dalam fungsinya untuk memecahkan beragam persoalan yang dihadapi manusia dalam kehidupannya.
• Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ilmu Ushul Fiqh?
2. Bagaimanakah metode ilmu Ushul Fiqh?
3. Apa kegunaan mempelajari ilmu Ushul Fiqh?
• Alasan
Alasan saya memilih judul ini karena Ushul-fiqh merupakan khazanah kekayaan ilmu yang secara langsung atau tidak langsung, turut memperkaya model keagamaan kita. Pelaksanaan syariat Islam akan susah seandainya ilmu ini tidak ada, sebab ushul-fiqh dianggap sebagai penuntun fiqh yang merupakan jawaban bagi kehidupan kita. Ilmu ini dapat menjawab beberapa masalah yang diajukan, maka agar kita dapat memanfaatkan, kita harus mengetahui jawaban apa yang perlu dibawakan oleh ilmu ini, setelah kita mengajukan pertanyaan.
Ushul-fiqh mempunyai ciri spesifik yang tersusun mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi). Ketika landasan ini saling berkaitan, maka ontologi ushul-fiqh terkait dengan epistemologinya, epistemologi ushul-fiqh terkait dengan aksiologinya, dan begitulah seterusnya. Jadi kalau kita ingin membicarakan epistemilogi ushul-fiqh, maka kita harus mengaitkannya dengan ontologi, dan aksiologi.
• Tujuan
Tulisan berikut akan mencoba untuk mengupas pengertian, metodologi dan kegunaan yang ada dan diterapkan dalam sebuah ilmu yang berfungsi untuk mengetahui hukum dalam Islam yaitu, Ushul Fiqh. Apa yang dimaksud dengan Ushul Fiqh, bagaimanakah metode yang digunakan oleh Ushul Fiqh dalam menetapkan suatu hukum dalam Islam, apakah dasar-dasar yang mendasari penentuan metode tersebut dan apa kegunaan ilmu Ushul Fiqh.











B. Pembahasan
• Definisi ilmu Ushul fiqh
Secara etimologi, ilmu ushul fiqh berasal dari dua kata Bahasa Arab, yaitu al-ushūl dan al-fiqh. Kata al-Ushūl adalah bentuk plural (jama’) dari kata al-ashlu yang memiliki arti dasar atau pokok, sedangkan kata al-Fiqh dalam bahasa Arab mempunyai pengertian paham atau mengerti. Adapun secara terminologi, menurut Khalaf adalah suatu ilmu yang memiliki kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dijadikan acuan dalam penetapan hukum Islam mengenai perbuatan manusia berdasarkan dalil-dalil yang terperinci. Sedangkan menurut Abu Zahrah, ushul fiqh adalah metodologi yang digunakan para mujtahid dalam menggali hukum Islam dari teks al-Qur’an ataupun Hadits dengan mengidentifikasikan sebab (illat) dari suatu hukum sesuai dengan tujuan dasar diturunkannya syari’ah.
Dengan demikian, ilmu ushul fiqh merupakan kumpulan kaidah dasar mengenai sistematika penggalian hukum dari berbagai dalil syari’at. Maka di dalamnya mencakup kajian mengenai teks secara langsung, seperti sistematika penggalian hukum melalui ilmu semantik, menggabungkan dua teks jika terjadi benturan secara nyata, atau berupa kajian yang bersifat etimologi yang tidak berhubungan secara langsung dengan teks, seperti mengeluarkah sebab dari teks dan cara menggunakan metodologi terbaik dalam penggalian hukum Islam ketika berinteraksi dengan sebab tersebut. Sedangkan menurut Abdul Karim Zaidan, ushul fiqh merupakan ilmu yang menerangkan mengenai kaidah-kaidah dasar dan rumusan global (al-adillah al-ijmāliyyah) yang dapat membantu para mujtahid dalam menggali hukum fiqh.
Namun demikian, tidak lengkap rasanya jika tidak mengemukakan bagaimana pula pengertian ilmu fiqh. Hal ini karena antara ilmu ushul fiqh dan ilmu fiqh seringkali terjadi kesimpangsiuran pengertian antara keduanya, bahkan tidak jarang ada yang menyamakan kedua ilmu ini. Ilmu fiqh adalah pengetahuan tentang hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil secara terperinci. Atau, dapat pula diartikan sebagai kumpulan hukum-hukum Islam tentang perbuatan manusia yang diambil berdasarkan dalil-dalil secara terperinci. Kedudukan ilmu fiqh merupakan suatu kajian tentang penilaian suatu tindakan. Fiqh mengkaji apa yang dianggap benar dan apa yang dianggap salah melalui lima hukum utama (haram, halal, wajib, sunnah, dan makruh). Menurut Ibnu Khaldun, ilmu fiqh adalah sebuah bentuk pengetahuan terhadap aturan Tuhan yang ditujukan kepada tingkah laku manusia dimana mereka mesti harus taat kepada bentuk aturan tersebut yang meliputi wajib, haram, mandub, mubah dan makruh. Untuk memahami hukum Tuhan tersebut, maka diperlukan beberapa kaedah pokok untuk menentukan benar atau salah di mata Allah. Beberapa kaedah tersebut meliputi tingkatan pengambilan hukum yaitu dengan merujuk langsung kepada Al Qur’an dan Sunnah, ataupun mengikuti Imam Syafi’i ada beberapa kaidah lain yang harus diperhatikan dalam menentukan sebuah hukum, yaitu ijmā’ atau ketetapan otoritas ulama, Qiyās, dan Istihsān.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perbedaan antara ilmu ushul fiqh dengan ilmu fiqh terletak pada landasan dan fokus yang dipakai oleh kedua ilmu ini. Ilmu ushul fiqh lebih menitikberatkan pada landasan teoritis yang bersifat global (al-adillah al-ijmāliyyah), sementara ilmu fiqh lebih terfokus pada tataran praktis yang diambil dari dalil yang terperinci (tafshīlīy). Meskipun di samping memiliki perbedaan sebagaimana dikemukakan di atas, ilmu fiqh dan ilmu ushul fiqh ternyata juga mempunyai kesamaan. Persamaan kedua ilmu ini terletak pada pencarian ketentuan hukum syari’at Islam yang dilakukan oleh ilmu fiqh dan ushul fiqh. Ilmu ushul fiqh bergerak dalam tataran metodologis, sedangkan fiqh bergerak dalam tataran praktis.
• Metode ilmu Ushul Fiqh
Sebagaimana disebutkan sebelumnya pada pembahasan di atas bahwa persoalan hukum merupakan permasalahan yang penting dan mendapat perhatian yang mendalam dalam Islam. Kondisi umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad dan generasi awal Islam yang menemui beragam persoalan yang banyak berupa permasalahan baru membuat kalangan ulama Islam menyusun suatu disiplin ilmu yang kemudian dikenal sebagai ushul fiqh. Ilmu ini berisikan kaidah-kaidah yang menjadi dasar pertimbangan para ulama dalam menggali dan menetapkan hukum Islam atas beragam permasalahan yang dihadapi umat Islam.
Para ulama ushul fiqh dalam menggali hukum Islam membagi kaidah-kaidah yang mereka gunakan ,yaitu kaidah-kaidah ushul fiqh dari aspek bahasa pembuatan hukum Islam. Kaidah jenis yang pertama terdiri dari tujuh macam kaidah yang menjadi landasan penetapan hukum dalam Islam berdasarkan ilmu ushul fiqh yang dikemukakan oleh ulama Islam.
Sebagaimana diketahui bahwa al-Qur’an dan Hadits menggunakan bahasa Arab dalam menyampaikannya kepada umat Islam, maka dengan demikian untuk memahaminya harus pula mengetahui dan memahami bahasa tersebut secara lebih komprehensif. Pemahaman mendalam tersebut mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan bahasa Arab, terutama pada aspek stilistika atau gaya bahasa yang digunakan oleh kedua sumber utama hukum Islam tersebut.
Berdasarkan kajian komprehensif yang dilakukan para ulama Islam, didapatkan beberapa kaidah yang menjadi dasar dalam menetapkan hukum dalam Islam dari aspek bahasanya. Kaidah pertama adalah teori pengambilan makna teks, yaitu teks syari’at atau undang-undang wajib diamalkan menurut apa yang tersurat, isyarat, dalalah atau menurut tuntutannya. Hal ini karena setiap pemahaman teks melalui salah satu cara di atas pada dasarnya adalah pengertian teks tersebut dan teks itu merupakan landasan bagi pengertian itu. Dengan demikian dapat dipahami bahwa teks syari’at atau undang-undang seringkali menunjukkan makna yang banyak dengan beberapa cara seperti firman Allah : “… Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (al-Baqarah: 275). Kaidah Kedua pengertian balik yang berbunyi: Teks syari’at tidak mempunyai hubungan atas hukum menurut pengertian balik. Adapun pengertiannya adalah teks syari’at tidak mempunyai hubungan bahwa hukum yang terkandung dalam teks tersebut terdapat pengertian balik dengan bunyi teks. Contohnya adalah firman Allah : “Katakanlah: Dalam wahyu yang diturunkan kepadaku aku tidak memperoleh sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir” (al-Anām: 145). Dalam ayat ini dinyatakan bahwa darah yang mengalir diharamkan oleh Allah, maka bukan berarti darah yang tidak mengalir menjadi dihalalkan karena tidak adanya hubungan antara ayat ini dengan makna tersebut.
Kaidah Ketiga Kejelasan Hubungan dan Tingkatannya, yang berbunyi setiap teks yang jelas hubungannya harus diperlakukan sesuai dengan kejelasan hubungan yang ditunjukkannya tersebut. Adapun contoh dari kaidah ini adalah firman Allah : “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah ia dan apa yang dilarang bagimu, maka tinggalkanlah” (al-Hasyr: 7). Berdasarkan ayat ini maka apa yang telah diperintahkan oleh Nabi Muhammad maka harus dilakukan oleh umatnya dan sebaliknya apa yang dilarang maka jangan dilakukan karena demikianlah kejelasan makna yang terkandung dalam ayat ini. Kaidah Keempat, Ketidakjelasan Hubungan dan Tingkatannya, yang berbunyi teks yang tidak jelas hubungannya adalah teks yang melalui bentuknya sendiri tidak menunjukkan arti yang dimaksudkan, bahkan untuk memahaminya diperlukan faktor dari luar. Contohnya adalah firman Allah: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri selama tiga kali quru’” (al-Baqarah: 228). Lafadz yang tidak jelas dalam ayat ini adalah suci yang memunculkan perbedaan pendapat di kalangan ulama Islam apa yang dimaksudkan suci di sini, apakah setelah masa tenggang waktu berakhir (iddah) atau tiga kali masa suci. Kaidah Kelima, Lafadz yang mempunyai banyak arti (musytarak) dan hubungannya, yang berbunyi: apabila dalam teks terdapat lafadz musytarak, maka lafadz tersebut harus dibawa kepada makna syari’at. Hal ini dapat dicontohkan dalam firman Allah : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri maka potonglah kedua tangannya” (al-Māidah: 38). Penggunaan lafadz ‘tangan’ memunculkan banyak pengertian mengenai batasan ‘tangan’ yang dimaksudkan untuk dipotong. Untuk itu, pengertian ayat tersebut dikembalikan kepada tuntunan Nabi Muhammad dalam hadis yang membahas masalah ini. Kaidah Keenam, Keumuman dan hubungannya, yang berbunyi : apabila dalam teks syari’at terdapat lafadz yang umum dan tidak terdapat dalil yang mengkhususkannya maka, maka lafadz tersebut wajib diartikan dengan keumuman dan menetapkan hukum untuk semua satuannya dengan pasti. Hal ini sebagaimana firman Allah: “Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan Allah pasti memberi rezeki kepadanya” (Hūd: 6). Ayat ini mengungkapkan bahwa seluruh makhluk di muka bumi ini pasti akan mendapatkan rezeki dari Allah, tanpa terkecuali. Kaidah Ketujuh, Kekhususan dan Hubungannya, yang berbunyi: Apabila di dalam teks terdapat lafadz khusus, maka dapat menetapkan hukum dengan pasti, selama tidak ada dalil yang menghendaki arti lain. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam firman Allah: “Dan saksikanlah oleh dua orang saksi dari laki-laki (di antara kamu)” (al-Baqarah: 282). Ayat ini hanya mengkhususkan persaksian pada hutang piutang yang terjadi antara manusia dengan syarat harus disaksikan oleh dua orang yang terdiri dari laki-laki.
Penerapan kaidah-kaidah yang terdapat dalam ilmu ushul fiqh ini berdampak sangat luas di kalangan masyarakat Islam dari masa ke masa. Beragam permasalahan hukum yang sering menghinggapi umat Islam seiring kian jauhnya keberadaan dan waktu mereka dengan Nabi Muhammad dan generasi pertama Islam menjadi dapat terpecahkan melalui penggunaan kaidah-kaidah ini. Meskipun tidak semua kalangan Islam menyepakati kaidah-kaidah yang termaktub dalam ilmu ushul fiqh ini, tetapi setidaknya upaya yang dilakukan ulama Islam ini menjadi sebuah solusi atas persoalan menyangkut hukum Islam menjadi terpecahkan.
• Kegunaan mempelajari ilmu Ushul Fiqh
Dimaksudkan dengan adanya kaidah-kaidah dalam Ilmu Ushul Fiqh, yaitu untuk diterapkan pada dalil-dalil syara' yang terperinci dan sebagai rujukan bagi hukum-hukum furu' hasil ijtihad para ulama.
Dengan menerapkan kaidah-kaidah pada dalil-dalil syara' yang terperinci, maka dapat dipahami kandungan nash-nash syara' dan diketahui hukum-hukum yang ditunjukinya, sehingga dengan demikian dapat diperoleh hukum perbuatan atau perbuatan- perbuatan dari nash tersebut. Dengan menerapkan kaidah-kaidah itu dapat juga ditentukan jalan keluar (sikap) yang diambil dikala menghadapi nash-nash yang saling bertentangan, sehingga dapat ditentukan pula hukum perbuatan dari nash atau nash-nash sesuai dengan jalan keluar yang diambil. Demikian pula dengar menerapkan kaidah-kaidah pada dalil-dalil seperti : qiyas, istihsan, istishlah, istishab dan lain sebagainya, dapat diperoleh hukum perbuatan-perbuatan yang tidak didapat dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Dari sisi ini jelaslah bahwa kegunaan Ilmu Ushul Fiqh ialah untuk memperoleh hukum-hukum syara' tentang perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci, sebagaimana yang tertuang dalan pengertian Ilmu Ushul Fiqh yang telah dipaparkan di depan. Kegunaan ilmu Ushul Fiqh yang demikian itu, masih sangat diperlukan bahkan dapat dikatakan inilah kegunaan yang pokok, karena meskipun para ulama terdahulu telah berusaha untuk mengeluarkan hukum dalam berbagai persoalan, namun dengan perubahan dan perkembangan zaman yang terus berjalan, demikian pula dengan bervariasinya lingkungan alam dan kondisi sosial pada berbagai daerah, adalah faktor-faktor yang sangat memungkinkan sebagai penyebab timbulnya persoalan-persoalan hukum yang baru; yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dan belum pernah terpikirkan oleh para ulama terdahulu. Untuk dapat mengeluarkan ketetapan hukum persoalan-persoalan tersebut, seseorang harus mengetahui kaidah-kaidah dan mampu menerapkannya pada dalil-dalilnya.
Sedangkan dengan menjadikan kaidah-kaidah sebagai rujukan bagi hukum-hukum furu' hasil ijtihad para ulama, maka dari sini dapat diketahui dalil-dalil yang digunakan dan cara-cara yang ditempuh dalam memperoleh atau mengeluarkan hukum-hukum furu' tersebut, karena tidak jarang dijumpai dalam sebagian kitab-kitab fiqh yang menyebutkan hukum-hukum furu' hasil ijtihad seorang ulama atau sekelompok ulama, tanpa disebutkan dalil-dalil dan cara-cara pengambilan hukum itu. Begitu juga dapat diketahui sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat diantara para ulama, sebab terjadinya perbedaan pendapat para ulama tersebut pada hakekatnya berpangkal dari perbedaan dalil atau dari perbedaan cara yang ditempuh untuk sampai kepada hukum furu' yang diambilnya. Bahkan dapat pula untuk menyeleksi pendapat-pendapat yang berbeda dari seorang ulama, dengan memilih pendapat yang sejalan dengan kaidah-kaidah yang digunakan oleh ulama tersebut dalam menetapkan hukum.
Dengan singkat dapat dikatakan bahwa dari sisi ini, Ilmu Ushul Fiqh dapat digunakan untuk mengetahui alasan-alasan pendapat para ulama. Kegunaan ini juga mempunyai arti yang penting, karena jika mungkin seseorang akan dapat memilih pendapat yang dipandang lebih kuat atau setidak-tidaknya seseorang dalam mengikuti pendapat ulama harus mengetahui alasan-alasannya.


C. Kesimpulan dan Penutup
Bersadarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu ushul fiqh lahir karena tuntutan kondisi umat Islam yang sepeninggal Rasulullah dan generasi pertama Islam menghadapi beragam persoalan menyangkut ajaran Islam. Untuk itulah kalangan ulama menyusun kaidah-kaidah yang menjadi dasar menetapkan hukum Islam yang kemudian dikenal dengan ilmu ushul fiqh. Ilmu ini terdiri dari tujuh macam kaidah yang berupa teori-teori dari aspek kebahasaan al-Qur’an dan Hadis, Bahasa Arab. Dengan kaidah-kaidah yang menjadi landasan tersebut, pada ulama menggali hukum Islam dan menetapkan hukum untuk menjawab berbagai permasalahan hukum yang dihadapi umat Islam.
Demikianlah sekelumit paparan mengenai ushul fiqh yang menjadi metode menggali hukum dalam Islam. Sumbang saran dan kritik konstruktif sangat diharapkan demi perbaikan serta menambah wawasan dan pengetahuan.










Referensi
• Roedijambi.wordpress.com
• Makalah-gratis.blogspot.com
Readmore → Ushul Fiqh Dalam Prespektif Filsafat Ilmu

Pandangan Orientalis Terhadap Muatan Hukum Al-Quran

A. PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang diturunkan oleh Allah melalui malaikat Jibril kepada nabi Muhammad sebagai petunjuk terhadap orang Islam dalam segala hal, baik masalah duniawi maupun ukhrawi, dari sini segala perilaku orang muslim banyak dipengaruhi oleh doktrin al Qur’an.

Al Qur’an sebagai nahkoda atau pilar tehadap orang Islam tentu mendapat kecaman dari seteru abadinya (orang-orang non Muslim). Karena dengan menghancurkan al-Qur’an mereka yakin akan lebih mudah untuk menghancurkan aqidah kita (orang Islam). Sebab segala prinsip orang Islam di ambil dari Al-Qur’an dan Hadis, sehingga cara terbaik untuk menghancurkan Islam ialah dengan cara menghancurkan sumbernya.

Sakralitas al Qur’an tersebut terus-menerus digerogoti oleh kaum yang sering disebut kaum orientalis beserta para pengikutnya. Mereka berusaha keras menghancurkan sakralitas al Qur’an dengan berbagai cara. Di antaranya dengan cara menggugat otentisitas dan otoritas al Qur’an. Gugatan otentisitas al Qur’an pada gilirannya jelas akan mengguncang otoritas (kehujjahan) al Qur’an, atau mengancam kedudukan al Qur’an sebagai hujjah atau dalil syariat pertama bagi segala ajaran Islam.

Jika otoritas al Qur’an ini sudah bisa dihancurkan, kaum orientalis tentu berharap akan dapat pula meruntuhkan seluruh sumber ajaran Islam lainnya seperti as-Sunnah, Ijma Sahabat, dan Qiyas. Itulah tujuan akhir mereka yang sangat keji.
Kaum Orientalis sendiri sebenarnya di motori oleh kalangan Yahudi-Kristen, telah lama menghujat al ¬Qur’an. Hal ini bisa dimengerti karena mereka menolak jika al Qur’an meluruskan fondasi agama Yahudi-Kristen. Dalam kaitannya dengan agama Kristen, misalnya, Allah berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata sesungguhnya Allah ialah al-Masih putera Maryam.”
“Sesungguhnya kafirlah orang ¬orang yang mengatakan bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga.”
“Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak menyalibnya, tetapi orang yang diserupakan dengan `Isa bagi mereka.”
Selain itu, Allah juga melaknat orang-orang Nasrani karena menyatakan al-Masih itu putera Allah.
Pernyataan al Qur’an tersebut membuat kalangan Kristi¬ani marah dan geram. Oleh sebab itu, sejak awal mereka menganggap al Qur’an sama sekali bukan kalam Ilahi. Mereka menjadikan Bibel sebagai tolak ukur untuk menilai Al-Qur’an. Mereka menilai bila isi al Qur’an bertentangan dengan kandungan Bibel, maka al Qur’an yang salah. Sebabnya, menurut mereka, Bibel adalah God’s Word, yang tidak mungkin salah. Karena al Qur’an berani mengkritik dengan sangat tajam kata-kata Tuhan di dalam Bibel, maka aI Qur’an bersumber dari setan.

B. PANDANGAN ORIENTALIS TERHADAP MUATAN HUKUM ALQURAN
Pandangan Washington Irving
Washington Irving (1783-1859), sarjana hukum dan diplomat yang pernah mewakili Amerika Serikat di Spanyol dengan jabatan Minister Resident (1942-1846) banyak meninggalkan karya. Di dalam karyanya diungkapkan pendapatnya mengenai Al-qurán bahwa sebenarnya Al-quran yang ada sekarang ini tidaklah sama dengan Al-quran yang disampaikan Muhammad kepada muridnya pada masanya itu, tetapi telah mengalami sekian banyak penyelewengan (many corruptions) dan sisipan-sisipan (interpolations). Wahyu yang termuat didalamnya sesekali dicatat oleh juru surat atau para muridnya pada parkamen, pelepah tamar, dan lainnya. Seringkali pula hanya tersimpan dalam ingatan dan hafalan seseorang yang kebetulan mendengarnya. Pada masa Abu Bakar, barulah ada ikhtiar mengumpulkan dan menuliskannya. Zaid bin Tsabit ditugaskan untuk maksud tersebut, karena dianggap mengenal sekian banyak ayat Alquran langsung dari nabi. Sedangkan bagian lainnya dikumpulkan dari berbagai pihak yang pernah mencatat dan menuliskannya, dan sekian banyak bagian lainnya berasal dari pernyataan berbagai murid yang mengaku pernah mendengar langsung dari pihak nabi sendiri. Kepingan-kepingan yang campur aduk itu dikumpulkan tanpa seleksi, tanpa susunan kronologis, dan tanpa sistem apapun juga. Karena banyaknya kekeliruan,sisipan-sisipan, dan kontradiksi yang menyelusup ke dalam naskah tersebut, maka Ustman, mengumpulkan kembali naskah-naskah tersebut dan menyusun naskah baru yang dikatakannya sebagai Alquran murni (the genuine Koran) dan naskah-naskah lainnya dibakar. Keterangan ini dapat menjelaskan sekian banyak ketiadaan ujung pangkal (incoherencies), ulangan-ulangan (repetations), dan pertentangan-pertentangan (discrepancies) lainnya dalam Alquran.
Pandangan Goldziher
Sama halnya dengan Washington Irving, Goldziher dalam tulisannya “Numuww al-Aqidah wa Tathawwuriha’ menyatakan: “Sangat sulit untuk menyimpulkan Al-Quran sebagai sebuah madzhab ideologis integral yang konsisten, tanpa adanya kontradiksi-kontradiksi. Ketika mengkaji secara seksama detail ajaran-ajaran Islam, kita kerap kali dihadapkan pada pertentangan-pertentangan.”
Salah satu kontroversi yang dituduhkan kepada Al-Quran tersebut adalah firman Allah dalam surah Al-Kahfi ayat 46, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” Kemudian penghadapan ayar ini dijumpai dalam surah Al-Taghabun ayat 14, “Hai orang-orang beriman, diantara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka.” Seperti halnya dalam surah Al-Anfal ayat 28, “Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanya sebagai cobaan.” Sangat tidak mungkin untuk memadukan ketiga ayat yang memang bertolak belakang.


Pandangan W. Montgomery Watt
W. Montgomery Watt, mahaguru pada Universitas Edinburgh, Skotlandia,menulis buku berjudul Muhammad, Prophet and Statesment (Muhammad, Nabi dan Negarawan) yang cetakan pertamanya terbit pada tahun 1961. Kata pengantar dari penulisnya tertanda “Agustus 1960” menyatakan buku tersebut merupakan ikhtisar dari dua buah karya tebal pada masa sebelumnya, yaitu Muhammad at Mecca dan Muhammad at Medina. Meskipun pendapat Montgomery terhadap pribadi Nabi Muhammad itu dapat dinyatakan positif tetapi sikapnya terhadap Alquran berbalik negatif. Ia berpendapat bahwa kepercayaan Muhammad terhadap wahyu-wahyu yang diterimanya itu datang dari Allah tidaklah mencegahnya untuk dapat menyusun sendiri bahannya dan selanjutnya memperbaikinya dengan jalan penghapusan dan penambahan. Terdapat petunjuk dalam Alquran, bahwa Allah membikin dia (Muhammad) itu lupa akan sebagian ayat dan studi yang ketat terhadap naskah membikin hampir pasti bahwa ada kata-kata dan kalimat-kalimat yang ditambahkan.
Pandangan Norman Daniel
Norman Daniel, dosen Universitas Oxford dalam bukunya “al-islam wa al-gharb min sanah 1100 ila 1350 M” menyebutkan bahwa Islam dan Alquran berikut ajarannya merupakan hasil karya Pendeta Bahira. Ia kemudian memberikannya kepada Muhammad ketika berada di Syam. Muhammad dan pamannya pernah sekali mengunjungi Syam. Di Bushra ia sempat mengenal pendeta warga Nasthuri di sebuah biara Kristen yang mengajarinya ilmu tentang Taurat.
Pandangan ini serupa dengan ungkapan Theodore Noldeke, sarjana Orientalis Jerman, yang menyatakan bahwa seakan-akan di Mekkah, pada masa-masa sebelum Nabi Besar Muhammad SAW menjalankan dakwah pada tahun 610 M, ada Fakultas Teologi dari sebuah universitas dan Muhammad adalah mahasiswa yang tekun mempelajari berbagai agama berkian tahun lamanya dari berbagai mahaguru Yahudi dan Kristen.
Pandangan Abraham Geiger
Abraham Geiger (1810-874), seorang intelektual dan pendiri gerakan Yahudi Liberal di Jerman, mengajukan teori mengenai pengaruh Yahudi terhadap al-Qur’an. Pada tahun 1833, dalam esainya yang berjudul “Apa Yang Telah Muhammad Pinjam Dari Yahudi ?”, memaparkan sejumlah indikasi bahwa al-Qur;an merupakan imitasi dari Taurat dan Injil antara lain dari segi kosa kata yang berasal dari bahasa Ibrani yaitu. Taabuut, Tauraat, Jahannam, Taaghuut, dan sebagainya. Selain itu, Geiger juga berkeyakinan bahwa muatan al Qur’an sangat terpengaruh oleh agama Yahudi seperti penjelasan al Qur’an mengenai: hal-hal yang menyangkut keimanan dan doktrin, peraturan-peratuan hukum dan moral dan pandangan tentang kehidupan.
Mengenai ayat-ayat di dalam al Quran yang mengecam Yahudi, Geiger berpendapat bahwa kecaman itu disebabkan Muhammad telah menyimpang dan salah mengerti tentang doktrin-doktrin agama Yahudi
Pandangan Arthur Jeffery
Arthur Jeffery, orientalis yang pernah mencoba membuat al Qur’an edisi kritis, berpendapat bahwa kosa kata asing di dalam al Qur’an mesti diteliti dan dirujuk hingga ke sumber asalnya. Dengan cara demikian, ia berharap bisa memahami sumber-sumber yang mempengaruhi Muhammad saw. dalam mengajarkan risalahnya. Karena menurutnya Muhammad termasuk orang yang haus darah, sehingga kebanyakan hukum yang terkandung dalam al Qur’an bersifat tidak humanis. Pola pikir ini bermula dari sebuah konsep yang subjektif, yaitu bahwa Muhammad saw. adalah penulis al Qur’an yang sebenarnya.. dimana ayat-ayat al-Qur’an banyak dihasilkan dari pada apa yang dilihat oleh Muhammad disekitarnya, seperti menyebarkan Islam dengan pedang, hukum rajam, qhisas dan lain-lain.
Jawaban terhadap tudingan-tudingan orientalis
Dari ungkapan Washington Irving tergambarlah, bahwa ia seakan-akan memiliki “naskah” dari masa Nabi Muhammad SAW (570-632 M) dan juga memiliki “naskah” pada masa Abu Bakar (632-634 M), dan lalu membandingkannya dengan naskah pada masa Utsman bin Affan (644-655 M) yang merupakan pegangan umat islam sampaio kini, lalu nampak dari situ bahwa naskah Utsman itu “full of obscurities, incoherencies, repetitions, false version of scriptural stories, and direct contradictions”. Tetapi betulkah Washington Irving memiliki dua jenis naskah itu untuk dijadikan alat banding? Tentu saja tidak. Justru penalarannya berpijak pada dasar yang tidak benar, dan karena itu pula kesimpulan-kesimpulan di dalam sikap dan pandangannya tidak benar. Apa lagi tidak dapat dikemukakan pembuktian mengenai ayat-ayat yang dikatakannya sisipan, kabur samar, ketiadaan ujung pangkal, kontradiksi dan sebagainya.
Sedangkan Goldziher, dengan modal pemahaman yang dangkal, persepsi dan opini yang cacat, menyimpangsiurkan firman. Membelokkannya, kemudian memvonis adanya kontroversi, kesalahan, kerusakan struktur dan perbenturan di dalamnya. Padahal ayat yang menyatakan bahwa harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia ditujukan kepada mukminin yang hati mereka terpaut pada kebajikan. Kemudian yang menjadi lawan bicara dari ayat yang menegaskan bahwa harta dan anak-anak merupakan fitnah adalah mereka yang memiliki iman yang lemah. Hingga terhijab dengan Allah sebab menggeluti harta dan buah hati mereka.
Sedangkan pernyataan Dr. W. Montgomery Watt bahwa di dalam Alquran ada yang dihilangkan dan ada yang ditambahkan, sama seperti tokoh orientalis sebelumnya yang tidak pernah menunjukkan mana ayat-ayat yang dihilangkan dan mana ayat-ayat yang ditambahkan, dan apa pembuktian untuk mengukuhkan pernyataan tersebut. Berbeda dengan Bible yang mampu dibuktikan oleh sarjananya sendiri dengan membandingkan Codex Sinaiticus, naskah Grik yang ditemukan tahun 1862, dengan Vulgata, naskah latin yang menjadi pegangan dunia kristen sejak abad ke-5 sampai pertengahan abad ke-19.
Adapun pernyataan Norman Daniel sungguh tidak masuk akal, karena sewaktu berada di Syam bersama pamannya, Muhammad kala itu masih berusia sembilan tahun. Dan tidak mungkin bila seorang bocah yang tidak pernah sekolah dapat mengerti apa yang didiktekan Bahira. Dan apalagi dalam Alquran dijumpai banyak ayat yang berseberangan dengan akidah Kristen dan Yahudi. Bagaimana mungkin seorang pendeta membeberkannya?
Tudingan Abraham Geiger yang mengatakan bahwa Muatan hukum al-Qur’an merupakan imitasi dari kitab-kitab terdahulu, ini bisa dibenarkan namun dalam masalah aqidah, terdapat perbedaan yang sangat mendasar, yaitu dalam al-Qur’an Allah suci dari punya anak, sedangkan dalam bible berbicara lain, seperti pengalan ayatnya yang berbunyi, “Ketika manusia itu mulai bertambah banyak jumlahnya di muka bumi, dan bagi mereka lahir anak-anak perempuan, maka anak-anak Allah melihat, bahwa anak-anak perempuan manusia itu cantik-cantik, lalu mereka mengambil isteri dari antara perempuan-perempuan itu, siapa saja yang disukai mereka.” (Kejadian 6:1-2)
Sedangkan tudingan Arthur Jeffery, yang mengatakan bahwa muatan hukum al-Qur’an tidak humanis dan menyeleweng dari moral, seperti hukum rajam, qishas, dan praktik poligami. Ini tidak benar, sebab masalah seperti poligami sudah ada sebelum Islam datang. kedatangan Islam hanya membatasi dan mengatur hukum perkawinan, sebab sebelum Islam datang terdapat variasi pernikahan yang pernikahan itu jauh dari nilai moral. Pembenaran hukum qishas, rajam dan lainya, dalam al-Qur’an menurut Tafsir Jalalain terdapat kehidupan dan sangat humanis, sebab ketika dia tahu bahwa kalau dia melakukan pembunuhan atau pidana dia akan dibunuh juga atau dibalas dengan balsan yang setimpal, maka dia enggan untuk melakukkanya.

Tentang tudingan orientalis yang mengatakan bahwa al-Qur’an hasil dari buatan Muhamad bukan termasuk wahyu, ini dapat dipatahkan dengan ayat yang berbunyi,“Jika kalian tetap ragu terhadap apa yang telah kami turunkan kepada hambaku, maka datanglanlah satu surat yang semisalnya. Dan ajaklah penolong kalian selain Allah, jika kalian termasuk orang yang benar”
Tidak hanya itu al-Qur’an juga menetang dengan beberapa pengagalan ayat lain, yang lebih ringan dari kandungan ayat tersebut. Sedangkan bukti sejarah tidak pernah ada orang maupun makhluk yang lain yang bisa menandingi al-Qur’an.
Sedangkan tudingan bahwa Muhammad adalah orang berbahaya yang menyebarkan angin permusuhan diantara sukunya sendiri dan keluarganya, semisal permusuhan nabi dengan pamanya sendiri (Abu Lahab), ini dapat dipatahkan dengan piagam Madianah. Dimana nabi Muhammad dapat mempersatukan umat disana.

C. KESIMPULAN
Dalam penggalan ayat al-Qur’an menyebutkan yang intinya orang Kristen dan Yahudi tidak akan pernah ridha terhadap kita sehingga kita mengikuti agama mereka, maka dari bunyi ayat ini dapat kita simpulkan bahwa langkah atau upaya para orientalis dalam menanyakan keabsahan al-Qur’an sekaligus menghujatnya tidak lain karna mereka mengusung misi yang kita harus wapadai. Para orientalis dalam mengkaji al-Qur’an kebanyakan bersifat tidak objektif karena ini lagi-lagi berangkat dari niat mereka untuk mengkaji al-Qur’an, sehingga mereka menuding al-Qur’an yang tidak-tidak, yang tidak didasari dengan bukti yang valid. Sehingga tudingan tersebut dapat kita patahkan dengan mudah, dengan cara mengkaji al-Qur’an secara mendalam.
Readmore → Pandangan Orientalis Terhadap Muatan Hukum Al-Quran

Perangkat Dan Metode Berfikir Dalam Filsafat

Kamis, 05 Mei 2011

1. LOGIKA
Logika adalah ilmu pengetahuan tentang penyimpulan yang lurus serta menguraikan tentang aturan-aturan/cara-cara untuk mencapai kesimpulan dari premis-premis. Logika merupakan sarana untuk berpikir sistematis, valid, dan dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu, berpikir logis adalah berpikir sesuai dengan aturan-aturan berpikir, seperti setengah tidak boleh lebih besar dari satu.
Tidak hanya de facto, menurut kenyataannya kita sering berpikir secara de jure. Berpikir tidak dapat dijalankan semau-maunya. Realitas begitu banyak jenis dan macamnya, maka berpikir membutuhkan jenis-jenis pemikiran yang sesuai. Pikiran diikat oleh hakikat dan struktur tertentu, kendati hingga kini belum seluruhnya terungkap. Pikiran kita tunduk kepada hukum-hukum tertentu.
Memang sebagai perlengkapan ontologisme, pikiran kita dapat bekerja secara spontan, alami, dan dapat menyelesaikan fungsinya dengan baik, lebih-lebih dalam hal yang biasa, sederhana, dan jelas. Namun, tidak demikianlah halnya apabila menghadapi bahan yang sulit, berliku-liku dan apabila harus mengadakan pemikiran yang panjang dan sulit sebelum mencapai kesimpulan. Dalam situasi ini diutuhkan sesuatu yang formal, pengertian yang sadar akan hukum-hukum pikiran beserta mekanismenya secara eksplisit. Maksudnya hukum-hukum pikiran beserta mekanisme dapat digunakan secara sadar dalam mengontrol perjalanan pemikiran yang sulit dan panjang itu.

2. ANALISIS
Pengertian analisis dalam kegiatan filsafat adalah rincian istilah-istilah atau pernyataan-pernyataan dalam bagian-bagiannya sehingga kita dapat melakukan pemeriksaan terhadap makna yang terkandung . sebagai contoh adalah perkataan “nyata” dibawah ini.
• Apakah sebuah meja itu sesuatu yang nyata?
• Apakah impian itu sesuatu yang nyata?
Maksud analisis adalah melakukan pemeriksaan secara konsepsional terahadap makna dan istilah yang kita pergunakan dalam pernyataan yang kita buat. Dengan analisis, kita akan memperoleh makna yang baru, dan menguji istilah-istilah dengan berbagai contoh.
Dalam contoh lain, misalkan seseorang berkata, “ man is an animal.” Dalam hal ini mudah beranggapan bahwa kita mengetahui makna “man”.tetapi benarkah demikian? Apakah yang dimaksudkan dengan “man” disini? Kiranya jelas bahwa “man” bukanlah animal, hanya “men”lah yang dikatakan animal. Ada dua hal yang dapat dilakukan jika kita masih menanyakan apa yang dimaksud dengan “man”. Pertama, kita dapat memberikan dengan kata-kata yang lebih hakiki yaitu dengan menunjuk seseorang, dan orang berikutnya, dan berikutnya lagi, dan mengatakan “inilah yang dimaksud dengan ‘man’.” Yang demikian ini dinamakan definisi ostentif ( dengan jalan menunjuk secara langsung), dan menunjukkan eksistensi istilah tersebut. Dengan itu kita dapat menyimpulkan bahwa yang kita maksudkan adalah manusia perseorangan bukan sesuatu yang abstrak, yaitu umat manusia.
Kemudian apakah yang dimaksud dengan “is” dalam pernyataan diatas? Kita tidak dapat menyimpulkan bahwa kata tersebut berarti “sama dengan” atau “ada,hidup”. Dalam pernyataan lain, seperti “a rose is a red.” Kata “a rose” bermaksud suatu barang sedangkan kata “a red” bermaksud kualitas atau atribut. Perkataan “is” dalam kalimat ini menunjukkan predikasi ata penyifatan. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa kata “is” dalam kalimat “man is an animal” juga menunjukkan suatu predikasi, yang artinya kalimat ini menunjukkan sifat kehewanan manusia perseorangan.
Kedua, anggap saja kita telah mengetahui makna man, animality, dan is,tetapi apakah itu menjamin bahwa kita mengetahui maksud kalimat tersebut? Contoh kalimat lain triangle are geometric figures ( segitiga adalah bangun ilmu ukur). Dalam hal ini kita mengetahui bahwa segitiga tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Tetapi pernyataan tersebut menyatakan bahwa unutk dikatakan sebuah segitiga, maka sebuah objek harus merupakan suatu bangun ilmu ukur, atau bila sesuatu itu segitiga, maka sesuatu tersebut merupakan sebuah bangun ilmu ukur.
Dari analisis diatas kita dapat mengetahui bahwa yang dimaksud dengan man is an animal adalah bila sesuatu itu adalah manusia, maka sesuatu tersebut juga merupakan hewan. Inilah sebuah contoh analisa terhadap suatu kalimat dengan cara membandingkan dengan kalimat lain yang sejenis.
3. SINTESIS
Lawan analisa atau perincian adalah sintesa atau pengumpulan. Maksud sintesa yang utama adalah mengumpulkan semua pengetahuan yang dapat diperoleh untuk menyusun suatu pandangan dunia. Proses ini sering dinamakan penyusunan sistem atau filsafat spekulatif. Semua filsuf cenderung memperluas prinsip-prinsip tertentu sehingga meliputi seluruh kenyataan. Seorang filsuf bertolak dari jumlah besar bahan keterangan. Dan sesungguhnya, semakin banyak pengetahuan yang dipunyai seorang filsuf mungkin akan menyebabkan sistemnya akan semakin baik dan semakin luas.
Agaknya jauh lebih sulit untuk menggambarkan sintesa dalam filsafat, karen tiadanya contoh-contoh singkat yang dapat dikutip. Pada zaman modern, sistem yang paling ringkas dan paling besar adalah sistem yang disusun oleh Hegel, seorang filsuf Jerman. Karya Hegel merupakan usaha untuk mencakup segenap kenyataan dalam suatu sistem yang meliputi segala-galanya.
Filsafat spekulatif tidak membicarakan tentang gerakan, katakanlah dari suatu planet, melainkan membicarakn tentang tempat hukum gerakan dalam alam semesta. Dan hubungan antara hukum gerakan dalam alam semesta dan hubungan antara hukum gerakan dengan kemerdekaan manusia. Dan karenanya, ini berarti pula membicarakan tentang tanggungjawab kesusilaan,. Filsafat spekulatif membicarakan hakekat terdalam dari kenyataaan; juga tentang hubungan yang mungkin terdapat dalam pelbagai segi filsafat, batas-batas manusia yang dimungkinkan, dan hakikat nilai di dunia fakta dan sebagainya.
4. INDUKTIF
Induktif membicarakan tentang penarikan kesimpulan dari pernyataan-pernyataan yang umum, melainkan khusus. Kesimpulannya hanya bersifat probabilitas berdasarkan atas pernyataan-pernyataan yang telah diajukan. Dimisalkan kita melhat tiga peristiwa, yang di dalamnya, seseorang yang pergi ke gereja secara tetap memberikan bantuan kepada orang miskin. Kita mungkin langsung berpendapat bahwa setiap orang yang pergi ke gereja memberikan bantuan kepada orang miskin. Dalam hal ini, jumlah peristiwa yang kita dapatkan sulit menjamin kebenaran penyamarataan yang kita lakukan. Dalam penyamarataan secara induktif tidak ada aturan-aturan yang ditetapkan kecuali hal-hal yang bersifat umum, seperti:
• Pastikanlah kita mendapatkan cukup peristiwa-peristiwa yang khusus (tetapi yang dinamakan cukup itu berapa jumlahnya?).
• Pastikanlah kita tidak mendapati peristiwa-peristiwa yang istimewa ( tetapi ukuran apakah yang dapat digunakan untuk menemukan hal-hal yang istimewa).
Adapula jenis induksi yang berusaha untuk menemukan sebab-sebab dari hal yang terjadi. Jika terjadi suatu kejadian, maka haruslah diajukan pertanyaan apakah yang menyebabkan kejadian itu? Misalnya, terjadi wabah penyakit tipus. Apakah yang menyebabkan wabah penyakit tipus?. Ada suatu aturan hukum yang dikenal sebagai metode-metode Mill, yang mengajukan suatu perangkat kemungkinan untuk melakukan penyimpulan secara kasual. Metode-metode tersebut adalah:
• Metode kesesuaian
• Metode kelainan
• Metode gabungan kesesuaian dan kelainan
• Metode sisa
• Metode keragaman beriringan


5. DEDUKTIF
Deduktif membicarakan cara-cara untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan bila lebih dahulu telah diajukan pernyataan-pernyataan mengenai semua diantara suatu kelompok barang tertentu. Kesimpulan yang sah dari penalaran deduktif merupakan akibat yang bersifat keharusan dari pernyataan-pernyataan yang telah lebih dahulu diajukan.
Dalam logika deduktif terdapat metode silogisme kategorik, yaitu suatu bentuk penalaran dengan tiga bentuk pernyataan kategorik. Contoh:
• Setiap S adalah P
• Sementara Q adalah S
• Sementara Q adalah P
Mari kita ganti S dengan “manusia”, P dengan “makhluk yang mengenal mati”, dan Q “makhluk rasional”. Bentuk penalaran tadi menjadi:
• Setiap manusia adalah makhluk yang mengenal mati
• Sementara makhluk yang rasional adalah manusia
• Sementara makhluk yang rasional adalah makhluk yang mengenal mati
Ada 5 aturan dalam menyusun silogisme kategorik:
 Suatu terminus dalam premis yang ditentukan sebagai sementara, tidak munkin muncul dalam kesimpulan sebagai setiap atau setiap.....tidak.
 Terminus yang terdapat dalam premis-premis, tetapi tidak terdapat dalam kesimpulan, harus ditentukan sekurang-kurangnya sekali sebagai setiap atau setiap....tidak.
 Harus ada 3 terminus dan hanya ada 3 terminus dalam suatu penalaran
 Dari dua premis negatif, tidak dapat ditarik suatu kesimpulan
 Jika salah satu premis negatif, maka kesimpulannya harus negatif

Daftar rujukan
 Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat
 Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, 1994
Readmore → Perangkat Dan Metode Berfikir Dalam Filsafat
 

Profil

Kategori

Archives