Blog ini adalah milik Muhammad Najih Vargholy. Diberdayakan oleh Blogger.
Jika hendak mengenal dunia MEMBACALAH, Jika hendak dikenal dunia MENULISLAH, Jika hendak menguasai dunia BERILMULAH. (Hamid Fahmy Zarkasyi)

Perangkat Dan Metode Berfikir Dalam Filsafat

Kamis, 05 Mei 2011

1. LOGIKA
Logika adalah ilmu pengetahuan tentang penyimpulan yang lurus serta menguraikan tentang aturan-aturan/cara-cara untuk mencapai kesimpulan dari premis-premis. Logika merupakan sarana untuk berpikir sistematis, valid, dan dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu, berpikir logis adalah berpikir sesuai dengan aturan-aturan berpikir, seperti setengah tidak boleh lebih besar dari satu.
Tidak hanya de facto, menurut kenyataannya kita sering berpikir secara de jure. Berpikir tidak dapat dijalankan semau-maunya. Realitas begitu banyak jenis dan macamnya, maka berpikir membutuhkan jenis-jenis pemikiran yang sesuai. Pikiran diikat oleh hakikat dan struktur tertentu, kendati hingga kini belum seluruhnya terungkap. Pikiran kita tunduk kepada hukum-hukum tertentu.
Memang sebagai perlengkapan ontologisme, pikiran kita dapat bekerja secara spontan, alami, dan dapat menyelesaikan fungsinya dengan baik, lebih-lebih dalam hal yang biasa, sederhana, dan jelas. Namun, tidak demikianlah halnya apabila menghadapi bahan yang sulit, berliku-liku dan apabila harus mengadakan pemikiran yang panjang dan sulit sebelum mencapai kesimpulan. Dalam situasi ini diutuhkan sesuatu yang formal, pengertian yang sadar akan hukum-hukum pikiran beserta mekanismenya secara eksplisit. Maksudnya hukum-hukum pikiran beserta mekanisme dapat digunakan secara sadar dalam mengontrol perjalanan pemikiran yang sulit dan panjang itu.

2. ANALISIS
Pengertian analisis dalam kegiatan filsafat adalah rincian istilah-istilah atau pernyataan-pernyataan dalam bagian-bagiannya sehingga kita dapat melakukan pemeriksaan terhadap makna yang terkandung . sebagai contoh adalah perkataan “nyata” dibawah ini.
• Apakah sebuah meja itu sesuatu yang nyata?
• Apakah impian itu sesuatu yang nyata?
Maksud analisis adalah melakukan pemeriksaan secara konsepsional terahadap makna dan istilah yang kita pergunakan dalam pernyataan yang kita buat. Dengan analisis, kita akan memperoleh makna yang baru, dan menguji istilah-istilah dengan berbagai contoh.
Dalam contoh lain, misalkan seseorang berkata, “ man is an animal.” Dalam hal ini mudah beranggapan bahwa kita mengetahui makna “man”.tetapi benarkah demikian? Apakah yang dimaksudkan dengan “man” disini? Kiranya jelas bahwa “man” bukanlah animal, hanya “men”lah yang dikatakan animal. Ada dua hal yang dapat dilakukan jika kita masih menanyakan apa yang dimaksud dengan “man”. Pertama, kita dapat memberikan dengan kata-kata yang lebih hakiki yaitu dengan menunjuk seseorang, dan orang berikutnya, dan berikutnya lagi, dan mengatakan “inilah yang dimaksud dengan ‘man’.” Yang demikian ini dinamakan definisi ostentif ( dengan jalan menunjuk secara langsung), dan menunjukkan eksistensi istilah tersebut. Dengan itu kita dapat menyimpulkan bahwa yang kita maksudkan adalah manusia perseorangan bukan sesuatu yang abstrak, yaitu umat manusia.
Kemudian apakah yang dimaksud dengan “is” dalam pernyataan diatas? Kita tidak dapat menyimpulkan bahwa kata tersebut berarti “sama dengan” atau “ada,hidup”. Dalam pernyataan lain, seperti “a rose is a red.” Kata “a rose” bermaksud suatu barang sedangkan kata “a red” bermaksud kualitas atau atribut. Perkataan “is” dalam kalimat ini menunjukkan predikasi ata penyifatan. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa kata “is” dalam kalimat “man is an animal” juga menunjukkan suatu predikasi, yang artinya kalimat ini menunjukkan sifat kehewanan manusia perseorangan.
Kedua, anggap saja kita telah mengetahui makna man, animality, dan is,tetapi apakah itu menjamin bahwa kita mengetahui maksud kalimat tersebut? Contoh kalimat lain triangle are geometric figures ( segitiga adalah bangun ilmu ukur). Dalam hal ini kita mengetahui bahwa segitiga tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Tetapi pernyataan tersebut menyatakan bahwa unutk dikatakan sebuah segitiga, maka sebuah objek harus merupakan suatu bangun ilmu ukur, atau bila sesuatu itu segitiga, maka sesuatu tersebut merupakan sebuah bangun ilmu ukur.
Dari analisis diatas kita dapat mengetahui bahwa yang dimaksud dengan man is an animal adalah bila sesuatu itu adalah manusia, maka sesuatu tersebut juga merupakan hewan. Inilah sebuah contoh analisa terhadap suatu kalimat dengan cara membandingkan dengan kalimat lain yang sejenis.
3. SINTESIS
Lawan analisa atau perincian adalah sintesa atau pengumpulan. Maksud sintesa yang utama adalah mengumpulkan semua pengetahuan yang dapat diperoleh untuk menyusun suatu pandangan dunia. Proses ini sering dinamakan penyusunan sistem atau filsafat spekulatif. Semua filsuf cenderung memperluas prinsip-prinsip tertentu sehingga meliputi seluruh kenyataan. Seorang filsuf bertolak dari jumlah besar bahan keterangan. Dan sesungguhnya, semakin banyak pengetahuan yang dipunyai seorang filsuf mungkin akan menyebabkan sistemnya akan semakin baik dan semakin luas.
Agaknya jauh lebih sulit untuk menggambarkan sintesa dalam filsafat, karen tiadanya contoh-contoh singkat yang dapat dikutip. Pada zaman modern, sistem yang paling ringkas dan paling besar adalah sistem yang disusun oleh Hegel, seorang filsuf Jerman. Karya Hegel merupakan usaha untuk mencakup segenap kenyataan dalam suatu sistem yang meliputi segala-galanya.
Filsafat spekulatif tidak membicarakan tentang gerakan, katakanlah dari suatu planet, melainkan membicarakn tentang tempat hukum gerakan dalam alam semesta. Dan hubungan antara hukum gerakan dalam alam semesta dan hubungan antara hukum gerakan dengan kemerdekaan manusia. Dan karenanya, ini berarti pula membicarakan tentang tanggungjawab kesusilaan,. Filsafat spekulatif membicarakan hakekat terdalam dari kenyataaan; juga tentang hubungan yang mungkin terdapat dalam pelbagai segi filsafat, batas-batas manusia yang dimungkinkan, dan hakikat nilai di dunia fakta dan sebagainya.
4. INDUKTIF
Induktif membicarakan tentang penarikan kesimpulan dari pernyataan-pernyataan yang umum, melainkan khusus. Kesimpulannya hanya bersifat probabilitas berdasarkan atas pernyataan-pernyataan yang telah diajukan. Dimisalkan kita melhat tiga peristiwa, yang di dalamnya, seseorang yang pergi ke gereja secara tetap memberikan bantuan kepada orang miskin. Kita mungkin langsung berpendapat bahwa setiap orang yang pergi ke gereja memberikan bantuan kepada orang miskin. Dalam hal ini, jumlah peristiwa yang kita dapatkan sulit menjamin kebenaran penyamarataan yang kita lakukan. Dalam penyamarataan secara induktif tidak ada aturan-aturan yang ditetapkan kecuali hal-hal yang bersifat umum, seperti:
• Pastikanlah kita mendapatkan cukup peristiwa-peristiwa yang khusus (tetapi yang dinamakan cukup itu berapa jumlahnya?).
• Pastikanlah kita tidak mendapati peristiwa-peristiwa yang istimewa ( tetapi ukuran apakah yang dapat digunakan untuk menemukan hal-hal yang istimewa).
Adapula jenis induksi yang berusaha untuk menemukan sebab-sebab dari hal yang terjadi. Jika terjadi suatu kejadian, maka haruslah diajukan pertanyaan apakah yang menyebabkan kejadian itu? Misalnya, terjadi wabah penyakit tipus. Apakah yang menyebabkan wabah penyakit tipus?. Ada suatu aturan hukum yang dikenal sebagai metode-metode Mill, yang mengajukan suatu perangkat kemungkinan untuk melakukan penyimpulan secara kasual. Metode-metode tersebut adalah:
• Metode kesesuaian
• Metode kelainan
• Metode gabungan kesesuaian dan kelainan
• Metode sisa
• Metode keragaman beriringan


5. DEDUKTIF
Deduktif membicarakan cara-cara untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan bila lebih dahulu telah diajukan pernyataan-pernyataan mengenai semua diantara suatu kelompok barang tertentu. Kesimpulan yang sah dari penalaran deduktif merupakan akibat yang bersifat keharusan dari pernyataan-pernyataan yang telah lebih dahulu diajukan.
Dalam logika deduktif terdapat metode silogisme kategorik, yaitu suatu bentuk penalaran dengan tiga bentuk pernyataan kategorik. Contoh:
• Setiap S adalah P
• Sementara Q adalah S
• Sementara Q adalah P
Mari kita ganti S dengan “manusia”, P dengan “makhluk yang mengenal mati”, dan Q “makhluk rasional”. Bentuk penalaran tadi menjadi:
• Setiap manusia adalah makhluk yang mengenal mati
• Sementara makhluk yang rasional adalah manusia
• Sementara makhluk yang rasional adalah makhluk yang mengenal mati
Ada 5 aturan dalam menyusun silogisme kategorik:
 Suatu terminus dalam premis yang ditentukan sebagai sementara, tidak munkin muncul dalam kesimpulan sebagai setiap atau setiap.....tidak.
 Terminus yang terdapat dalam premis-premis, tetapi tidak terdapat dalam kesimpulan, harus ditentukan sekurang-kurangnya sekali sebagai setiap atau setiap....tidak.
 Harus ada 3 terminus dan hanya ada 3 terminus dalam suatu penalaran
 Dari dua premis negatif, tidak dapat ditarik suatu kesimpulan
 Jika salah satu premis negatif, maka kesimpulannya harus negatif

Daftar rujukan
 Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat
 Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, 1994

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Profil

Kategori

Archives