LATAR BELAKANG
Hukum
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Tidak
dapat dibayangkan kiranya jika dalam kehidupan bermasyarakat tidak didapati suatu
pedoman yang mengatur tingkah laku antar individu di dalam menjalankan
kehidupan sehari-hari. Hukum dibentuk agar kelangsungan hidup manusia dapat
terlaksana dengan tertib, aman dan tenteram. Agar setiap orang mentaati
peraturan-peraturan yang telah disepakati maka dibutuhkan suatu otoritas yang
berwenang dalam menerapkan serta menegakkan peraturan tersebut. Dalam hal ini
otoritas yang berwenang yang dimaksud adalah otoritas negara. Negara memiliki
kewajiban untuk melaksanakan tugas pelayanan kepada masyarakat. Pelaksanakan
tugas negara tersebut tercermin dalam upaya negara untuk mengarahkan setiap
orang agar tunduk dan patuh kepada hukum atau peraturan yang berlaku.
Negara
merupakan suatu organisasi yang memiliki kekhasan yang tidak dimiliki oleh
organisasi-organisasi lain. Kekhasan yang dimiliki oleh negara tersebut
merupakan manifestasi dari kedaulatan yang dimiliki oleh negara itu sendiri.
Secara umum kedaulatan suatu negara dapat dilihat dari beberapa sifat dan aspek
yakni, (1) sifat memaksa, negara memiliki kekuasan untuk memaksa agar suatu
masyarakat taat terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, (2) sifat
monopoli, negara mampu memonopoli arah dan tujuan rakyat dan (3) sifat mencakup
semua (all-encompassing), dalam artian bahwa penetapan peraturan
perundang-undangan oleh negara berlaku bagi setiap orang tanpa terkecuali.[1]
Salah
satu kekuasaan yang dimiliki negara adalah kekuasaan untuk membentuk peraturan
perundang-undangan. Hal tersebut merupakan sesuatu yang logis sebab konsep
tentang peraturan perundang-undangan tidak akan muncul sebelum diketahui
terlebih dahulu konsep tentang negara sebagai otoritas yang memiliki kekuasan
yang sentral dan tertinggi.[2]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa kedaulatan hukum suatu negara bergantung
pada kedaulatan negara itu sendiri. Negara yang berdaulat adalah negara yang dalam
menentukan kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan urusan pemerintahannya
tidak mudah diintervensi oleh negara-negara lain. Dalam konteks pembentukan dan
penetapan hukum, kedaulatan suatu negara tercermin dalam isi atau materi muatan
peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada kultur dan budaya
bangsa/negara yang bersangkutan.
Dalam
kenyataan yang terjadi saat ini, tidak dapat dinafikan bahwa pergaulan antar
negara menjadi semakin luas dengan tanpa mengenal batas-batas geografis.
Kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi merupakan beberapa faktor
yang mengaburkan batas-batas tersebut. Kerjasama-kerjasama antar negara baik
dalam skala regional maupun internasional yang telah disepakati oleh berbagai
negara pada akhirnya berimbas terhadap kultur dan budaya masing-masing negara,
sehingga benturan budaya pun (clash of civilization) tidak dapat
terelakkan.
Dalam
ilmu hukum diketahui bahwa kultur dan budaya suatu masyarakat memiliki korelasi
yang erat dengan corak dan bentuk hukum yang diberlakukan dalam masyarakat
tersebut. Hukum merupakan suatu tatanan nilai-nilai. Nilai-nilai yang dimaksud terejawantah
dalam kultur dan budaya, sehingga benar adanya jika dikatakan bahwa hukum yang
baik dan efektif adalah hukum yang sesuai dengan kepribadian, jiwa dan nilai-nilai
luhur bangsa. Namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah nasib
kedaulatan hukum negara di tengah derasnya gelombang globalisasi pada masa
sekarang ini, mengingat bahwa globalisasi dapat dikatakan merupakan sebuah
agenda penyeragaman budaya. Upaya globalisasi tersebut dapat menghilangkan
nilai-nilai kebudayaan bangsa/negara tertentu sehingga pada akhirnya berdampak
pada efektifitas hukum yang diterapkan dalam bangsa/negara tersebut.
HUBUNGAN ANTARA HUKUM
DENGAN KEHIDUPAN SOSIAL
Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa hukum merupakan suatu tatanan nilai yang
terejawantah dan termanifestasi dalam kehidupan sosial. Di kalangan sarjana
hukum telah dikenal adagium “ubi societas ubi ius”, dimana ada
masyarakat di situ ada hukum. Di dalam suatu masyarakat pasti akan selalu
dijumpai suatu aturan yang mengatur tingkah laku di antara sesamanya, terlepas
dari baik atau buruknya kualitas aturan yang dimaksud. Hal demikian disebabkan
oleh karena setiap manusia memiliki kehendak dan kepentingan yang harus dipenuhi. Untuk menghindari
timbulnya konflik kepentingan antara satu sama lain maka dibutuhkan suatu
pedoman yang mengatur bagaimana setiap orang itu berbuat untuk kepentingannnya
dengan tanpa merugikan kepentingan orang lain.
Untuk
menjelaskan hubungan antara hukum dengan kehidupan sosial, terdapat beberapa
teori yang telah dikemukakan oleh beberapa pakar hukum. Para pakar hukum dengan
berbagai latar belakang dan berdasarkan pada sudut pandang/perspektif masing-masing
telah berupaya menjelaskan betapa hukum sangat berkaitan erat dengan masyarakat
yang menjadi sasaran ditetapkannya aturan/hukum tersebut. Diantara teori-teori
yang berhubungan dengan hal ini adalah teori sosiological jurisprudence.
Adalah
Eugen Ehrlich yang merupakan pencetus teori sociological jurisprudence.
Ehrlich berpendapat bahwa terdapat perbedaan antara hukum positif disatu pihak
dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat di pihak lain. Hukum positif akan
memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan atau sesuai dengan
nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Perkembangan hukum bukan hanya dilihat
dari perkembangan peraturan perundang-undangan ataupun putusan hakim namun
hukum berkembang di dalam masyarakat itu sendiri.[3]
Melalui
teori ini dapat dipahami bahwa upaya untuk melakukan suatu pembaharuan hukum
harus senantiasa memperhatikan tingkat kesadaran hukum masyarakat yang
bersangkutan. Hukum sebagai suatu nilai yang ideal (das sollen) tidak
dapat dipisahkan dari kehidupan yang nyata terjadi di masyarakat (das sein).
Agar suatu hukum dapat diterima dan dipatuhi oleh masyarakat maka hukum
tersebut harus memiliki dasar keberlakuan filosofis dan sosiologis.
Menurut
Satjipto Rahardjo hukum selalu terikat dengan
dunia ideal dan dunia kenyataan sehingga hukum harus dapat
mempertanggungjawabkan keberlakuannya dari kedua sudut tersebut. Untuk dapat
berlaku secara filosofis maka hukum harus memasukkan unsur-unsur ideal yang
diharapkan masyarakat. Adapun untuk dapat berlaku secara sosiologis maka hukum harus
memperhitungkan unsur-unsur kenyataan.[4]
Dari penjelasan ini dapat dibayangkan bahwa betapa sulitnya tugas hukum dalam
meramu dua dunia yang secara diametral berbeda dan bahkan saling bertentangan
tersebut.
Menurut
pemahaman penulis, fokus utama dari teori sociological jurisprudence
adalah untuk mengukur efektif atau tidaknya suatu peraturan diberlakukan di
dalam masyarakat. Yang menjadi tolak ukur adalah kesadaran hukum masyarakat
tersebut. Abdul Manan menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan kesadaran hukum masyarakat adalah nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat tentang hukum, yang meliputi pengetahuan, pemahaman,
penghayatan, kepatuhan atau ketaatan kepada hukum.[5]
Masyarakat
memerlukan hukum agar kehidupannya dapat berjalan dengan tertib. Ketertiban
yang tercipta di dalam masyarakat bukanlah semata-mata timbul karena hukum.
Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa masyarakat merupakan suatu rimba tatanan
(majemuk), oleh karena di dalamnya tidak hanya terdapat satu tatanan. Perbuatan
atau tindakan masyarakat tidak hanya ditentukan oleh norma hukum melainkan juga
oleh kekuatan sosial (social forces) lainnya yang tidak lain adalah
norma kesusilaan dan kebiasaan.[6]
Sebagaimana
yang diungkapkan oleh Lawrence M Friedman bahwa suatu sistem hukum senantiasa
terdiri atas tiga komponen yakni, (1) Struktur hukum (legal structure),
(2) Substansi hukum (legal substance) dan (3) kultur hukum (legal
culture).[7]
Kultur hukum merupakan unsur yang paling vital dalam bekerjanya suatu sistem
hukum. Unsur ini berkaitan dengan tuntutan atau kebutuhan masyarakat. Manusia
merupakan makhluk budaya yang selalu mendambakan adanya suatu tatanan kehidupan
yang ideal. Selama manusia masih memiliki kesadaraan, ide, sikap, kepercayaan,
harapan dan opini tentang hukum bahwa hukum sebagai sarana menciptakan keadilan,
maka kesadaran dan harapan itulah yang nantinya dapat mengarahkan perilaku
sistem hukum mereka ke arah yang lebih ideal.
Lebih
lanjut Friedman, sebagaimana yang dikutip oleh Achmad Ali menyatakan bahwa kultur hukum merupakan faktor
yang menentukan kapan, mengapa dan di mana orang-orang menggunakan hukum,
institusi hukum, atau proses hukum; dan kapan menggunakan institusi lainnya
atau tidak melakukan apapun. Dengan kata lain, faktor-faktor kultural merupakan
suatu unsur esensial dalam mengubah suatu struktur statis dan suatu kumpulan
norma statis menjadi suatu kumpulan norma yang dinamis. Kultur hukum dapat
diibaratkan seperti menghidupkan sebuah mesin. Kultur hukum merupakan penggerak
segala sesuatunya.[8]
Tidak
dapat diragukan lagi bahwa kehidupan masyarakat bergerak secara dinamis berbeda
dengan hukum yang memang bersifat statis. Disini terlihat bahwa antara hukum
dengan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat terdapat hubungan interaksi
yang bersifat timbal balik. Di satu sisi perkembangan kehidupan yang terjadi di
masyarakat dapat mempengaruhi perubahan hukum dan di sisi lain hukum juga
memiliki daya instumental yakni kemampuan untuk mengubah atau merekayasa
kehidupan suatu masyarakat (law as a tool of social engineering). Dalam konteks
sosial, konsekuensi dari hukum yang bersifat instrumental tersebut adalah
sebuah pemahaman bahwa di setiap perancangan atas suatu undang-undang maka di
situ berarti sedang dilakukan suatu perancangan atas suatu perubahan di
dalam masyarakat.
Munir
Fuady menjelaskan bahwa untuk mengetahui apakah hukum yang merubah kehidupan
masyarakat atau justru masyarakat yang merubah hukum bergantung pada seberapa
cepat hukum merespon perubahan yang terjadi di dalam masyarakat tersebut.
Semakin cepat hukum merespon perubahan yang terjadi di masyarakat maka semakin
besar pula peranan hukum sebagai alat rekayasa sosial. Hal ini akan berlaku
sebaliknya apabila ternyata hukum lamban
dalam merespon tuntutan dan kebutuhan
masyarakat, sehingga pada keadaan tersebut hukum hanya berperan sebagai alat
legitimasi atas perubahan yang terjadi. Dengan demikian hukum tidak memiliki
peranan dalam perubahan masyarakat sebab masyarakat telah terlebih dahulu
berubah dengan sendirinya.[9]
Bagi
sebagain pakar terutama pakar non hukum, hukum bukanlah merupakan faktor
pengubah kehidupan masyarakat. Bagi mereka hukum hanya merupakan suatu akibat
ikutan dari perubahan yang terjadi di masyarakat. Pendapat seperti ini dapat
dikatakan benar sebab pada hakikatnya hukum adalah produk kultur/budaya
manusia, dalam artian bahwa hukum sebagai patokan nilai dan tingkah laku
bersumber pada kehendak manusia.
Menurut
William F Ogburn yang merupakan faktor penyebab perubahan sosial adalah
perkembangan teknologi dan informasi. Arnold M Rose juga menyangsikan peranan
hukum dalam perubahan masyarakat, dalam teorinya ia mengemukakan bahwa
perubahan di masyarakat hanya akan terjadi berdasarkan pada tiga faktor yakni,[10]
1. Kumulasi
penemuan teknologi.
2. Kontrak
atau konflik kebudayaan. Menurut teori kebudayaan, perubahan yang terjadi di
masyarakat disebabkan oleh karena pertemuan dua
atau lebih kebudayaan yang berbeda, sehingga masing-masing masyarakat
akan melakukan penyesuaian antara kebudayaan yang telah lama dimiliki dengan
kebudayaan asing yang baru dialaminya tersebut. Melalui proses penyesuaian
kebudayaan itulah masyarakat memformulasikan nilai-nilai baru yang dianggap
baik dalam sistem kebudayaan mereka.
3. Gerakan
sosial (social movement). Menurut teori gerakan sosial, perubahan yang
terjadi di masyarakat disebabkan atas ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem
yang telah lama berlaku dalam kehidupan mereka. Atas ketidakpuasan itu mereka
melakukan protes-protes kepada pihak yang dianggap memiliki kekuasaan agar
melakukan perubahan-perubahan menuju suatu tatanan baru yang sesuai dengan
tuntutan dan aspirasi masyarakat.
Dari
pendapat Arnold tersebut, penulis dapat memahami bahwa dari sudut pandang ilmu sosiologi,
perubahan yang terjadi di masyarakat lebih determinan terhadap perubahan hukum
bukan sebaliknya. Hubungan antara hukum dengan perubahan sosial dianalisis dan
dikaji melalui pendekatan yang bersifat bottom-up (hubungan dari bawah
ke atas).
KULTUR HUKUM DALAM ERA
GLOBALISASI
Abad
ke-21 merupakan abad globalisasi yang ditandai dengan adanya keterbukaan dan
kebebasan dalam berbagai bidang kehidupan.[11]
Jika dicermati dengan seksama, keterbukaan dan kebebasan yang dibawa oleh
globalisasi tersebut dapat memberikan dampak positif sekaligus dampak negatif. Dampak
positif yang didapati dari globalisasi adalah semakin mudahnya seseorang untuk
mendapatkan akses informasi. Seseorang dapat dengan mudah mengetahui serta
mengikuti perkembangan-perkembangan yang terjadi di dunia global. Selain itu
juga melalui globalisasi proses transfer keilmuwan dapat terlaksana secara
intensif. Dampak yang paling penting dari globalisasi sangat terasa jika
ditinjau dari sisi ekonomi. Di era globalisasi aliran modal dan arus investasi dapat
tersebar ke berbagai negara, maka tidak heran jika para pemodal membentuk suatu
korporasi yang bersifat global yang disebut dengan Trans National
Corporation (TNC).
Adapun
dampak negatif dari globalisasi adalah semakin tergerusnya nilai-nilai luhur serta
jati diri yang dimiliki suatu bangsa. Globalisasi merupakan fenomena perubahan
zaman yang mencakup berbagai aspek. Globalisasi sangat berimplikasi pada
perubahan di bidang keagamaan, sosial dan budaya, ekonomi dan keuangan, politik
dan keamanan, pendidikan serta bidang-bidang lainnya. Untuk menghadapi
tantangan globalisasi maka diperlukan suatu ketahanan budaya dimana dengan
ketahan budaya tersebut masyarakat memiliki kemampuan untuk melakukan seleksi
serta memilah hal-hal yang dianggap perlu untuk diadaptasi.
Menurut
Victor Farkl sebagaimana dikutip oleh Abdul Manan akibat negatif dari
globalisasi adalah terjadinya frustasi eksistensial (existential frustation)
dengan ciri-cirinya yaitu hasrat berlebihan untuk berkuasa (the will to
power), bersenang-senang untuk mencari kenikmatan (the will to pleasure)
yang biasanya tercermin dalam perilaku yang berlebihan untuk mengumpulkan uang (the will to money),
untuk bekerja (the will to work) dan kenikmatan seksual (the will to
sex). Di samping itu juga globalisasi memberikan dampak kepada munculnya
perasaan di sebagian orang bahwa hidupnya tidak berarti, membosankan, apatis
dan tidak ada tujuan.[12]
Dari
penjelasan di muka dapat dimengerti bahwa betapa globalisasi sangat berpengaruh
kepada pola pikir, sikap dan gaya hidup seseorang yang pada akhirnya meluas
kepada masyarakat dan bahkan bangsa secara keseluruhan. Globalisasi dapat
dikatakan merupakan bentuk “penjajahan moral”. Abul A’la al-Maududi menyatakan
bahwa penjajahan moral terjadi akibat adanya suatu bangsa yang kuat dan dominan
dalam berbagai aspek. Berdasarkan kekuatan dan dominasinya itu bangsa tersebut
mempengaruhi bangsa-bangsa lain. Pemikiran serta konsep-konsep yang mereka
bangun pada akhirnya menguasai hati nurani serta mengendalikan kesadaran dan
intelektual bangsa-bangsa yang lebih inferior. Dalam globalisasi terdapat upaya
penyelerasan alam pikiran, konsepsi, kebudayaan, pendidikan, etika dan perilaku
kepada satu tolak ukur yang ditetapkan oleh bangsa yang lebih digdaya dan
adikuasa.[13]
Perubahan
nilai-nilai yang dibawa oleh globalisasi dengan sendirinya juga berpengaruh
pada hukum sebagai kaidah atau norma yang sarat dengan nilai. Menurut Bahauddin
Darus terdapat beberapa perubahan global yang memerlukan payung hukum agar
perubahan yang dimaksud dapat berjalan sebagaimana layaknya yakni, (1)
globalisasi informasi dan komunikasi; (2) globalisasi ekonomi dan perdangan
bebas, globalisasi keuangan dan kepemilikan modal dan globalisasi pasar; (3)
globalisasi gaya hidup dan pola konsumsi, globalisasi budaya, globalisasi
persepsi dan globalisasi kesadaran; (4) globalisasi media massa baik cetak
maupun elektronik; dan (5) globalisasi wawasan dan politik.[14]
Meskipun
demikian, perubahan hukum yang dilakukan di berbagai bidang guna merespon globalisasi
tidak dapat dilakukan dengan serta merta. Di muka telah dijelaskan bahwa untuk
melakukan perubahan hukum perlu memperhatikan kesadaran hukum masyarakat atau
dengan kata lain nilai-nilai ideal yang dianut oleh masyarakat tersebut. Dalam
konteks Indonesia misalnya, Indonesia merupakan bangsa yang masih memegang
teguh nilai-nilai religiusitas serta moral yang luhur sebagaimana yang tertuang
dalam Pancasila. Terdapat perbedaan yang sangat kontras antara budaya bangsa
Indonesia dengan budaya barat yang saat ini memang merupakan budaya yang paling
dominan dan berpengaruh.
Menurut
Naquib al-Attas peradaban barat memiliki sejumlah ciri yakni, pertama,
berdasarkan filsafat dan bukan agama. Kedua, filsafat tersebut berubah wajah menjadi
humanisme yang dengan lantang meneriakkan prinsip dikotomi kebenaran. Ketiga,
berdasarkan pandangan hidup yang tragis. Kesemua hal tersebut merupakan akibat
dari krisis kepercayaan (spiritual). Konsep yang demikian ini berujung pada
keresahan jiwa yang selalu mencari sesuatu yang tiada akhir.[15]
Proses
globalisasi tidak dapat dielakkan dan hukum mau tidak mau harus merespon
berbagai perubahan yang dibawa oleh globalisasi tersebut. Hal yang perlu
menjadi perhatian penting disini adalah bahwa pembaharuan hukum tersebut harus
dilaksanakan berdasarkan kajian secara mendalam, hati-hati dan sabar.
Pembaharuan hukum harus dilaksanakan dengan mengevaluasi dan mengoreksi
segi-segi tertentu dalam kehidupan bernegara. Perlu dilakukan suatu kontemplasi
guna mencari dan menemukan hukum yang cocok dengan kondisi kehidupan bangsa
Indonesia tetapi juga mendapat legalitas dan penghargaan oleh bangsa lain.
Hukum-hukum yang diproduksi dalam rangka merespon globalisasi harus tetap
sesuai dengan kultur bangsa Indonesia.
KESIMPULAN
Dari
pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa di era globalisasi saat ini hukum
memiliki peranan yang sangat penting. Hukum tidak harus selalu dipandang
sebagai alat legitimasi perubahan yang terjadi di masyarakat akibat pengaruh
globaliasasi. Selain sebagai alat rekayasa sosial (as a tool of social
engineering), hukum juga harus berfungsi sebagai ukuran tingkah laku dan
kesamaan sikap yang harus ditaati oleh setiap orang dalam kehidupan
bermasyarakat. Hukum harus dapat berfungsi sebagai benteng pertahanan kultur
dan budaya bangsa dari ancaman budaya asing yang tidak sesuai dan bahkan
mengancam eksistensi kebudayaan bangsa itu sendiri.
Dalam
menghadapi globalisasi, hukum harus berfungsi sebagai alat kontrol sosial (as
a tool of control), yakni sebagai alat untuk mengontrol pemikiran dan
tingkah laku masyarakat agar mereka selalu terpelihara moralnya, tidak
melakukan perbuatan yang melanggar
hukum, norma susila, dan ajaran agama yang dipeluknya.
Daftar Pustaka
Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum
(Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicialprudence): Termasuk Interpretasi
Undang-Undang (Legisprudence), Vol. 1, Jakarta: Kencana, 2009.
Fuady, Munir, Teori-Teori Besar
(Grand Theory) Dalam Hukum, Cet. Ketiga, Jakarta: Kencana, 2014.
Hidajat, Imam, Teori-Teori
Politik, Cet. Ketiga, Malang: Setara Press, 2012.
Hidayat, Nuim, Imperialisme Baru,
Jakarta: Gema Insani , 2009.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum,
Cet. Keenam, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006.
[1]
Imam Hidajat, Teori-Teori Politik, Cet. Ketiga (Malang: Setara Press,
2012), h. 26.
[2]
Munir Fuady menyatakan bahwa teori-teori yang berkenaan dengan validitas hukum
seyogyanya juga harus mampu menjawab berbagai persoalan mengenai valid atau
tidaknya suatu lembaga hukum. Validitas lembaga hukum yang dimaksud adalah
validitas pemerintahan dalam suatu negara atau bahkan negara itu sendiri. Dalam
ilmu hukum dikenal suatu teori yang disebut dengan “teori identitas negara”.
Lihat Munir Fuady, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Cet.
Ketiga (Jakarta: Kencana, 2014), h. 113.
[3]
Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Cet. Keempat (Jakarta: Kencana,
2013), h. 19.
[4]
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet. Keenam (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2006), h. 16.
[5]
Abdul Manan, Op.cit., h. 19.
[6]
Untuk menjelaskan peranan kekuatan sosial dalam mempengaruhi kehidupan
masyarakat ini, Satijipto Rahardjo mengadaptasi bagan yang dilukiskan oleh
Chambliss & Seidman (Chambliss & Seidman, 1971:12). Lihat Satjipto, Op.cit.,
h. 20-21.
[7]
Menurut Achmad Ali selain ketiga komponen diatas terdapat dua komponen lain
yang juga memiliki pengaruh terhadap efektivitas hukum, yakni profesionalisme
dan kepemimpinan (leadership). Lihat Achmad Ali, Menguak Teori Hukum
(Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicialprudence): Termasuk Interpretasi
Undang-Undang (Legisprudence), Vol. 1, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 204.
[8] Ibid.,
h. 228.
[9]
Munir Fuady, Op.cit., h. 250.
[10] Ibid.,
h. 256.
[11]
Dalam pandangan beberapa pakar ilmu pengetahuan, globalisasi adalah peruntuhan
batas-batas dan jarak antar bangsa, negara dan budaya. Sebagian pakar juga
mengungkapkan bahwa globalisasi merupakan suatu proses untuk menjadikan
dunia/alam ini sebagai desa buana (global village). Lihat Abdul Manan, Op.cit.,
h. 57-58.
[12] Ibid.,
h. 60.
[13]
Nuim Hidayat, Imperialisme Baru (Jakarta: Gema Insani , 2009), h.
124-125.
[14]
Abdul Manan, Op.cit., h. 61-62.
[15]
Nuim Hidayat, Op.cit., h. 125-126.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar