PENDAHULUAN
Banyaknya
ketimpangan-ketimpangan hukum yang terjadi didalam masyarakat menyebabkan
pembahasan mengenai hukum itu sendiri tidak pernah berhenti dan bahkan terus
menggelora. Hukum alam sebagai dogma yang mapan semenjak zaman Yunani hingga
zaman pertengahan (medieval ages) pun pada akhirnya runtuh dan tenggelam oleh renaisance.
Renaisance atau yang kerap disebut zaman kebangkitan yang kemudian
disusul dengan zaman pencerahan (aufklarung) menawarkan paradigma baru
tentang alam. Alam yang pada mulanya dianggap sakral dan erat kaitannya dengan
nilai-nilai transendental namun pada zaman yang disebut modern ini diturunkan
derajatnya menjadi sebatas realitas empiris-positivistik. Perubahan cara
pandang terhadap alam (worldview) yang radikal tersebut mau tidak mau juga
berpengaruh pada sistem politik, ekonomi, sosial, budaya serta hukum yang
diterapkan.
Banyak
bermunculan teori-teori baru yang berupaya untuk menjelaskan fenomena-fenomena
alam termasuk fenomena-fenomena kehidupan didalamnya. Kita tidak bisa bersikap
polos dan menutup mata bahwa munculnya teori-teori baru yang menegasi
teori-teori lama tidak dan bukan lain hanyalah sebuah ekspresi ketidakpuasan
atas suatu dominasi atau kemapanan pada waktu tertentu. Dari sini kita pun
tidak dapat memungkiri bahwa dibalik setiap teori yang ada dan bermunculan saat
ini tidak terlepas dari nilai serta ideologi yang melatarbelakanginya. Dengan
tegas Achmad Ali menekankan bahwa kita hendaknya senantiasa mencurigai setiap
konsep atau teori (berkenaan dengan hukum) dan tidak langsung menelannya secara
mentah-mentah tanpa mengkiritisinya terlebih dahulu (Achmad Ali: 2009: 8).
Kenyataan
demikian merupakan sebuah tamparan keras bagi mereka yang selama ini dengan
bangganya menyatakan bahwa ilmu itu netral dan bebas nilai. Sudah saatnya para
ilmuwan bangun dan tersadar bahwa ilmu yang selama ini dianggap objektif pun
ternyata tidak terlepas dari subjektifitas pribadi. Hamid Fahmy Zarkasyi
menyatakan bahwa hidup ini tidak dapat terlepas dari dogma. Ketika kita
melepaskan diri dari sebuah dogma maka kita pun akan beralih kepada dogma lain
dan begitulah seterusnya. Manusia hanya lari dari satu dogma kepada dogma
lainnya (Adian Husaini, 2013: xxv).
Beranjak
dari penjelasan diatas, pada makalah ini penulis mencoba untuk menjawab sebuah
pertanyaan mendasar apakah moralitas yang abstrak itu masih diyakini terdapat
dalam hukum di alam modern yang serba materialis-positivistik ini. Perdebatan
mengenai hubungan hukum dengan moralitas merupakan perdebatan klasik di masa renaisance
eropa. Upaya untuk memasukkan unsur-unsur moralitas ke dalam hukum merupakan
sebuah kebutuhan yang sangat relevan dengan kondisi kehidupan dunia yang serba
carut-marut ini.
PEMBAHASAN
Moralitas Dalam Era
Positivisme Hukum
Mungkin
dapat dikatakan absurd apabila memperbincangkan masalah moralitas dalam
kaitannya dengan hukum pada era positivisme. Dapat dikatakan demikian sebab
pada masa ini perbincangan tentang hal-hal metafisik sulit diterima bahkan
dipinggirkan. Pada masa yang disebut revolusi ilmiah ini (scientific
revolution) para ilmuwan terutama filosof tidak lagi mempertimbangkan
aspek-aspek diluar fakta empiris. Salah satu pelopornya adalah Rene Descartes
(1650) yang dengan jargonnya “cogito ergo sum” (aku berpikir maka aku
ada) menjadikan rasio sebagai satu-satunya alat pengukur kebenaran. Keraguan
akan hal-hal yang serba metafisik semakin kuat ketika Immanuel Kant dengan
tegasnya menolak metafisika sebagai bagian dari pengetahuan karena ia tidak
berdasarkan indera. Kant menamakan metafisika sebagai ilusi transenden (a
trancendental illusion), pernyataan-pernyataan metafisis baginya tidak memiliki
nilai-nilai epistimologis (Adian Husaini, 2013: 8).
Dalam
bidang hukum, positivisme digaungkan ole Jeremy Bentham (1784-1832). Ia menolak
tradisi hukum common law di Inggris yang pada saat itu mengaitkan hukum
dengan moralitas. Baginya menyamakan hukum dengan moralitas sama halnya dengan
menjustifikasi pendapat pribadi sebagai hukum. Tidak ada yang mutlak dalam
hukum kodrat sebagaimana yang diadopsi oleh hukum Inggris. Lagipula hukum
kodrat hanya mengawang dilangit (terlalu abstrak) dan untuk itu harus
diturunkan ke bumi dalam bentuk hukum positif. Secara pragmatis Bentham
menyebut bahwa sejatinya hukum hanyalah perintah penguasa yang berdaulat yang
disertai dengan ancaman dan sanksi (Petrus C.K.L Bello, 2012: 15-16).
Usaha
untuk memisahkan hukum dengan moralitas semakin gencar dilakukan terutama oleh
John Austin (1790-1859). Gelombang pengetahuan ilmiah (science) yang
semakin besar ternyata turut menyisakan rasa kagum bagi Austin. Patut diketahui
bahwa pengetahuan ilmiah menggunakan observasi dan eksperimen sebagai metode
utama dalam menguji sebuah kebenaran. Kebenaran baru dapat diterima apabila ia
berkorespondensi dengan fakta empiris. Metode itulah yang juga hendak
diterapkan oleh Austin dalam mempelajari ilmu hukum. Karena moral itu abstrak
dan tidak dapat diindera maka yang menjadi objek kajian ilmu hukum adalah
perilaku lahiriah manusia. Peter Mahmud Marzuki menjelaskan bahwa legal
positivism (positivisme hukum) merupakan upaya untuk menghilangkan aspek
metafisik dari hukum. Hukum yang sejatinya sarat dengan nilai pada akhirnya
dipaksa tunduk oleh tuntutan pengetahuan modern yang anti metafisika. Oleh
karena itulah Austin menyebut hukum sebagai gejala yang dapat diamati. Baginya
hukum terdiri dari unsur perintah serta sanksi yang diberikan oleh penguasa dan
dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 39).
Ternyata
persepsi bahwa postivisme hukum yang pada akhirnya mengakibatkan terpisahnya
hukum dari moralitas tidak sepenuhnya menjadi hal tercela dalam perkembangan
ilmu hukum. Ialah Herbert Lionel Adolphus Hart (1907-1992) yang dengan gigih
berusaha menjelaskan maksud sebenarnya dari positivisme hukum. Baginya positivisme
hukum tidak meninggalkan aspek moral secara mutlak. Positivisme hukum hanya
meletakkan moral diluar hukum agar dengan sendirinya moral dapat menjadi alat
koreksi bagi hukum. Kekuasaan yang otoriter dan absolut hanya dapat dicegah
apabila hukum tidak dimaknai sejalan dengan moralitas. Meskipun Hart merupakan
pendukung positivisme hukum ia pun juga memberikan kritik terhadap Bentham dan
Austin. Baginya terlau naif jika hukum hanya dianggap sebagai perintah serta
sanksi dari yang berdaulat padahal banyak aturan hukum lain yang sama sekali
tidak mengindikasikan sebuah perintah dan mengandung sanksi. Banyak aturan
hukum lain yang sifatnya hanya melegitimasi suatu perbuatan atau tindakan
(Petrus C.K.L Bello, 2012: 17-23).
Seperti
yang penulis jelaskan sebelumnya bahwa kemunculan sebuah teori merupakan bentuk
ketidakpuasan atas suatu dominasi atau kemapanan tertentu. Jika dilihat dari
pandangan Hart mengenai positivisme hukum tersebut diatas maka bisa dikatakan
yang sebenarnya dianggap sebagai kekuasan absolut adalah hukum alam atau hukum
kodrat. Dengan kata lain Hart menolak adanya moral yang universal dan mutlak.
Penilaian atas baik dan buruk bergantung pada konteks tertentu alias relatif.
Nampak yang menjadi penting disini bukan permasalahan mengenai hubungan hukum
dan moralitas namun apa yang disebut dengan moralitas itu sendiri.
Hart
sendiri mengakui bahwa untuk menentukan apakah suatu tindakan individu itu
dapat dikatakan sebuah moralitas atau tidak bukanlah persoalan mudah. Kesulitan
tersebut disebabkan setidaknya oleh dua hal yakni, pertama, bahwa moralitas
ataupun etika menurut Hart merupakan area yang kabur dan tekstur terbuka
(mengandung ketidakpastian), kedua, meskipun moralitas umum dapat disepakati
oleh manusia namun bisa saja masih teradapat perbedaan filsafati didalamnya
(Petrus C.K.L Bello, 2012: 41).
Dalam
menjelaskan makna moralitas Hart seakan-akan tidak memiliki pendirian yang
pasti. Sebagaimana yang dikutip oleh Petrus C.K.L Bello, Hart memandang moral
sebagai penjelmaan dari adat istiadat tertentu dan pada kenyataannya adat
istiadat dapat berubah sewaktu-waktu sesuai dengan pandangan hidup
masyarakatnya. Apa yang dianggap penting oleh suatu masyarakat boleh jadi pada
masa yang akan datang dianggap tidak penting lagi oleh masyarakat yang bersangkutan.
Disisi lain Hart juga menyatakan bahwa moralitas itu kebal terhadap perubahan
yang disengaja. Moral tidak dapat dipandang sebagaimana layaknya hukum yang
dapat dibuat dan dihapus manusia secara sengaja (Petrus C.K.L Bello, 2012:
41-42).
Secara
tegas Hart membedakan antara moralitas
yang dipahaminya dengan moralitas yang dipahami oleh penganut hukum kodrat.
Baginya hukum dan moralitas memiliki titik pertemuan setidaknya hanya pada tiga
isi minimum. Ketiga isi minimum itu adalah penghargaan terhadap kehidupan,
penghargaan terhadap hak milik dan penghargaan terhadap janji. Pada intinya
Hart mengartikan bahwa moralitas ada untuk menjaga keberlangsungan hidup
manusia di dunia (survival). Hal ini tentu berbeda dengan makna
moralitas menurut hukum kodrat klasik. Hukum kodrat klasik secara teleologis
menyatakan bahwa pada intinya semua makhluk di alam ini termasuk manusia
memiliki kesamaan tujuan yang mana untuk mencapai tujuan tersebut semuanya
tunduk pada aturan mutlak (aturan alam). Pandangan ini secara tersirat hendak
menyatakan bahwasanya manusia adalah sama dengan makhluk lain yang tidak
memiliki kekuasaan untuk berkehendak dan menentukan pilihan (Petrus C.K.L.
Bello, 2012: 44-45). Penolakan Hart terhadap pandangan hukum kodrat klasik
tersebut menurut penulis adalah konsekuensi logis dari pendirian Hart yang dari
semula telah menyatakan bahwa hukum tetaplah valid meskipun ia bertentangan
dengan moral. Yang menjadi ukuran valid tidaknya suatu aturan hukum bagi Hart
adalah apa yang disebutnya sebagai aturan sekunder. Disini kembali ditegaskan
bahwa pokok inti permasalahannya adalah ketidakyakinan akan adanya nilai-nilai
mutlak.
Dalam
memperbincangkan masalah hukum tidak bisa dilepaskan dari tujuan idealnya. Para
pakar hukum barat menjelaskan tujuan hukum dalam versi yang berbeda-beda. Ada
yang menyatakan bahwa hukum diciptakan untuk menjamin ketertiban dalam artian
kepastian hukum. Ada yang menyatakan
bahwa tujuan hukum adalah kemanfaatan. Dan adapula yang menyatakan bahwa tujuan
hukum semata-mata hanyalah untuk keadilan. Ketiga macam tujuan hukum tersebut
menurut Achmad Ali merupakan grand western theory tentang tujuan hukum
yang kemudian dikelompokkan lagi kedalam dua macam teori yakni teori klasik dan
teori modern. Untuk lebih jelasnya ditampilkan dalam skema berikut (Achmad Ali,
2009: 213),
Teori
klasik
|
a.
Teori etis
|
Tujuan hukum
semata-mata hanya untuk keadilan (justice)
|
b.
Teori utilistis
|
Tujuan hukum
semata-mata untuk mewujudkan kemanfaatan (utility)
|
|
c.
Teori legalistik
|
Tujuan hukum
semata-mata untuk mewujudkan kepastian hukum (legal certainty)
|
|
Teori
modern
|
a.
Teori prioritas baku
|
Tujuan hukum
mencakupi :
1.
Keadilan
2.
Kemanfaatan
3.
Kepastian hukum
|
b.
Teori prioritas kasuistik
|
Tujuan hukum
mencakup keadilan - kemanfaatan - kepastian hukum, dengan urutan prioritas,
secara proporsional, sesuai dengan kasus yang dihadapi dan ingin dipecahkan
|
Menurut
Satjipto Rahardjo kesepakatan terhadap suatu nilai yang mutlak merupakan
keniscayaan dalam hukum. Bahkan penganut positivisme seperti Hans Kelsen pun
tidak bisa memungkiri bahwa suatu tertib sosial selalu harus memihak pada
anggapan tentang nilai tertentu yang dipandang paling mulia. Mengenai keadilan
misalnya, tentunya pemaknaan keadilan oleh seseorang belum tentu sama dengan
pemaknaan keadilan oleh orang lain. Disinilah manusia terjebak dalam
pilihan-pilihan sehingga mau tidak mau harus condong kepada satu nilai dan
meninggalkan nilai-nilai lain. Artinya bagaimanapun hukum tidak dapat dipisahkan
dari nilai. Lebih lanjut Hans Kelsen menjelaskan bahwa setelah nilai tertentu
disepakati bukan berarti permasalahan telah selesai. Justru permasalahan akan
menjadi semakin rumit ketika nilai yang abstrak tersebut harus
diimplementasikan secara konkrit. Pada tahapan ini manusia dituntut untuk
memformulasikan atau melakukan pengisian terhadap nilai-nilai tersebut agar
sejalan dengan tujuan yang dimaksud. Dalam keadaan yang demikian ini menurut
Satjipto Rahardjo bisa saja terjadi bahwa diantara konsep-konsep yang abstrak
dan penerapan serta pengisiannya terdapat jurang yang lebar (Satjipto Rahardjo,
1982: 166-168).
Jika
menilik pada penjelasan Satjipto Rahardjo diatas maka dapat dipahami bahwa yang
menjadi permasalahan adalah interpretasi atau penafsiran dalam penerapan hukum.
Sejalan dengan Hart, Satjipto Rahardjo memfungsikan nilai-nilai mutlak sebagai
kekuatan pengontrol. Menurutnya hukum yang mengatur kehidupan kita sehari-hari
akan selalu mengalami pengujian oleh hukum yang benar (hukum alam). Dari sini
kita dapat melihat ada dua macam hukum yang sama-sama diakui keberadaanya namun
memiliki dimensi yang berbeda satu sama lain, yakni hukum positif (konkrit) dan
hukum alam (ideal). Tuntutan agar hukum positif selalu menyesuaikan diri kepada
hukum alam itu menyebabkan kehidupan hukum menjadi dinamis (Satjipto Rahadjo,
1982: 170-171). Untuk mempertahankan pemikirannya tentang pemisahan hukum dan
moral Hart mengadopsi pemikiran Jules Coleman yang menyimpulkan bahwa yang
menjadi pokok pertentangan dalam memecahkan kasus sulit bukanlah isi dari
prinsip-prinsip namun penerapan prinsip-prinsip. Dalam menerapkan suatu prinsip
kepada kasus konkrit bisa saja terjadi kesalahan, untuk itulah Hart menolak
adanya keterkaitan mutlak antara hukum dan moral (Petrus C.K.L. Bello, 2012:
75).
Dari
beberapa pemaparan diatas penulis dapat berasumsi bahwa sebenarnya telah
terjadi kontradiksi dalam pemikiran Hart sendiri. Disatu sisi Hart berupaya
mempertahankan pandangan positivistisnya terhadap hukum dengan memaknai hukum
sebagai kumpulan aturan yang memiliki konstruk serta sistem bangunan
tersendiri. Sedangkan disisi lain Hart juga tidak dapat memungkiri bahwa ada
nilai-nilai abstrak yang memang tidak bisa dilepaskan dari hukum. Artinya Hart
masih belum bisa terlepas dari pandangan dualis-dikotomis yang merupakan ciri
utama pemikiran-pemikiran modern.
Selain itu penulis juga memiliki asumsi lain
yakni bahwa doktrin pemisahan hukum dengan moral oleh Hart tersebut merupakan bentuk
usahanya untuk membedakan norma hukum dengan aturan hukum. Kita tahu meskipun
Hart merupakan pendukung Bentham dan Austin dalam positivisme hukum namun ia
tetap kritis terhadap pendahulunya tersebut. Peter Mahmud Marzuki menyebutkan
bahwa kesalahan penganut positivisme hukum adalah menyamakan antara norma hukum
dengan aturan hukum padahal keduanya memilki perbedaan. Dengan menyamakan norma
hukum dengan aturan hukum maka implikasinya adalah norma hukum merupakan produk
politik penguasa padahal norma hukum tidak demikian. Norma hukum berkaitan erat
dengan konsep-konsep abstrak seperti keadilan, kewajaran, kepatutan serta aspek
moral lainnya sehingga ia bukan merupakan produk penguasa (Peter Mahmud
Marzuki, 2005: 46). Dengan membedakan antara aturan hukum dengan norma hukum
maka bisa saja terjadi suatu aturan hukum bertentangan dengan norma hukum atau
norma sosial lainnya. Jika asumsinya demikian, mungkin hal itulah yang dimaksud
oleh Hart bahwa hukum tidak mutlak berkaitan dengan moralitas.
Kesadaran Kembali Akan
Makna Moralitas Dalam Hukum
Untuk
dapat memahami alam pikiran barat modern secara utuh maka perlu kiranya untuk
melihat secara historis kultur masyarakat barat yang dalam perjalanan
sejarahnya mengalami pergolakan dan dinamika. Pergolakan dan dinamika
masyarakat barat pada intinya disebabkan oleh pertentangan antara akal dan
wahyu. Hegemoni gereja pada abad pertengahan terhadap kultur masyarakat barat
dianggap kontraproduktif terhadap pengembangan keilmuan. Pada masa ini peran
agama (Kristen) sangatlah sentral, segala sesuatu harus diukur dengan
nilai-nilai ketuhanan. Pantaslah jika abad pertengahan disebut pula dengan abad
kegelapan (dark ages) karena peran akal dipasung oleh otoritas wahyu (Bible).
Jika pada abad pertengahan corak pemikirannya adalah teosentris (Tuhan
sebagai pusat) maka pada masa renaisance paradigma tesebut bergeser
menjadi antroposentris (manusia sebagai pusat). Kebenaran tidak lagi
ditentukan oleh wahyu namun oleh akal (rasio) manusia. Dari sinilah akhirnya
muncul gelombang ateisme dan sekularisme (Adian Husaini, 2013: 11)
Kita
hendaknya membedakan antara barat dan Kristen sebab barat tidak identik dengan
Kristen. Menurut Hamid Fahmi Zarkasyi barat adalah alam pikiran dan pandangan
hidup tersendiri (Hamid Fahmy Zarkasyi, 2012: 3). Kemajuan yang dialami masyarakat
barat tidak lahir dari ajaran Kristen sebab agama di barat telah tersekulerkan.
Tuhan tidak lagi ikut andil dalam menentukan kebenaran sebab manusia mampu
menentukan kebenaran dengan akalnya sendiri. Dapat dikatakan bahwa peran Tuhan
di barat telah diganti oleh rasionalisme yang pada akhirnya berkembang menjadi
liberalisme. Konsekuensi dari pandangan semacam ini adalah kebenaran menjadi
relatif. Kebenaran hanyalah ilusi verbal yang diterima masyarakat atau tidak
beda dengan kebohongan yang disepakati. Etika harus diglobalkan agar tidak ada
lagi orang yang merasa paling baik dan benar. “God is dead” begitulah
teriakan Friedrich Nietzsche.
Dari
penjelasan sebelumnya kita mengetahui bahwa bagaimanapun hukum tidak dapat
dipisahkan dari nilai-nilai etis. Menurut Sudikno Mertokusumo hubungan hukum
dengan etika adalah ibarat dua sisi dari satu mata uang (Sudikno Mertokusumo,
2003: 38). Jika hukum lebih menitikberatkan pada tingkah laku lahiriah manusia
dalam ikatannya dengan masyarakat, maka etika lebih menitikberatkan pada sikap
batin manusia sebagai individu. Baik atau buruknya sesuatu diukur oleh
kesadaran etis masyarakat. Apa yang dianggap baik oleh masyarakat dalam rangka
menjaga ketertiban dan kesempurnaan, maka itulah yang baik. Karena manusia itu
beraneka ragam cara pandangnya maka nilai etis pun tidak dapat diberlakukan
secara universal. Dengan demikian apa yang dianggap etis pada masyarakat
tertentu belum tentu dinggap etis oleh masyarakat lain. Inilah yang disebut
dengan relativisme nilai.
Achmad
Ali menyatakan bahwa salah satu gagasan penting yang sangat berpengaruh dalam
pembentukan hukum, bekerjanya hukum serta perilaku hukum adalah gagasan tentang
keadilan (Achmad Ali, 2009: 224). Namun apalah daya nilai-nilai absolut oleh
masyarakat barat modern telah dinegasi dengan nilai-nilai relatif sehingga
pemaknaan keadilan pun menjadi bias dan kabur. Hukum alam yang sebelumnya
dipahami sebagai sesuatu yang absolut pada kenyataannya harus tunduk pada
perubahan-perubahan. Menurut Satjipto Rahardjo satu-satunya yang tetap dalam
hukum alam adalah kesadaran tentang adanya
sesuatu yang lebih tinggi dari hukum yang ada (hukum positif) (Satjipto
Rahardjo, 1982: 171). Kesadaran tersebut termanifestasi dalam ide-ide,
sikap-sikap, kepercayaan-kepercayaan, harapan-harapan dan opini-opini
masyarakat tentang hukum yang oleh Lawrence M. Friedman disebut sebagai legal culture atau social forces.
Faktor-faktor kultural tersebut merupakan suatu esensial dalam merubah suatu
struktur statis dan suatu kumpulan norma-norma statis menjadi suatu kumpulan
hukum yang hidup dan dinamis (Achmad Ali, 2009: 226-228).
Setali
tiga uang, ketidakpercayaan akan adanya nilai absolut ini akhirnya memunculkan
sebuah gerakan yang disebut gerakan studi hukum kritis (critical legal
studies movement). Gerakan ini merupakan bentuk pertentangan terhadap teori
hukum tradisional. Kelompok yang disebut juga dengan antifoundationalist
ini beranggapan bahwa pada prinsipnya hukum tidak mempunyai dasar yang objektif
dan tidak ada yang namanya kebenaran sebagai tempat berpijak dari hukum. Bagi
mereka keadilan hanyalah simbol retorik yang digunakan oleh kelompok mayoritas
untuk menjelaskan dan menfasirkan keinginannya. Diantara karakteristik umum
gerakan yang dilahirkan oleh kaum postmodernis ini adalah pandangannya terhadap
hukum sebagai berikut (Munir Fuady, 2003, 5-7):
1. Hukum
sama sekali tidak netral karena pada kenyataanya memihak kepada politik
tertentu.
2. Hukum
tidak boleh didominasi oleh ideologi tertentu.
3. Hukum
tidak memiliki prinsip-prinsip dasar karena pemikiran rasional yang mendasari
prinsip-prinsip dasar tersebut pada hakikatnya merupakan ciptaan masyarakat
juga yang merupakan pengakuan terhadap kekuasaan.
Gerakan
ini tidak memiliki arah yang jelas dan oleh karena itulah beberapa pakar menganggapnya sebagai opini
para idealis yang pesimis dan putus asa. Istilah postmodern sendiri lahir dari
kebencian, kritik, atau kemarahan pada masa lalu (modernisme). Potsmodern
merupakan sikap sosial, sikap hidup atau mentalitas yang serba menghancurkan
atau dekonstruktif. Menurut Kevin J. Van hoozer sebagaimana yang dikutip oleh
Hamid Fahmy Zarkasyi target penghancuran postmodernisme adalah bangunan, sistem
konsep, rezim politik dan teologi. Bagi postmodernisme tidak ada lagi nilai
standar untuk menentukan baik-buruk dan benar-salah kecuali masyarakat atau
dengan kata lain yang disebut kebenaran hanyalah kebenaran secara
sosiologis-kultural (Hamid Fahmy Zarkasyi, 2012: 39-41).
Dalam
bidang hukum, Satjipto Rahardjo menggambarkan era postmodern sebagai
pengkoreksi era modernisme. Hukum modern yang dibangun bedasarkan skema
rasionalitas dan logika peraturan dipandang lebih terlihat artifisial ketimbang
substansial. Untuk itulah ia memperkenalkan hukum progresif yang berpegang pada komitmen filosofis bahwa hukum
untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Hukum untuk manusia setia pada
normativitas nurani. Hukum progresif mengajak untuk kembali ke alam sebagai
fundamental hukum yang lebih jujur dan otentik. Yang menarik dari hukum
progresif ini adalah meskipun ia lahir dari postmodernisme yang serba
dekonstruktif, sebagaimana yang dipaparkan oleh Faisal hukum progresif tetap bersandarkan
pada nilai Ketuhanan dalam artian hukum progresif menunjukkan cara berhukum
yang tidak bisa begitu saja meninggalkan hubungan manusia dengan Tuhan (Faisal,
2015: 22-23).
Menurut
pemahaman penulis hukum progresif sebagai perwujudan postmodernisme merupakan
bentuk ketidakpuasan atas kepongahan sistem hukum modern yang
formalistik-legalistik. Hukum progresif merupakan usaha kontemplatif untuk
mengajak manusia kembali pada fitrahnya dengan memandang hukum sebagai bukan
saja mengatur hubungan antar sesama manusia saja namun lebih dari itu ia juga
mengatur hubungannya dengan keseluruhan entitas yang ada termasuk hubungannya
dengan nilai Ketuhanan.
Faisal
menjelaskan bahwa meskipun hukum progresif mengakui jika manusia menjadi pusat
perbincangan dalam berhukum bukan berarti ia lantas meninggalkan hubungan
manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam, serta manusia dengan lingkungan
sosialnya. Bagi hukum progresif berhukum semata-mata dengan menggunakan rasio
tidaklah cukup sebab ia lebih mendahulukan prosedur ketimbang moral. Hukum
progresif lebih memilih berpandu kepada hati nurani yang mendekatkan kepada
hikmah kebajikan. Lebih lanjut Faisal memaparkan bahwa Satjipto Rahardjo
melengkapi hukum progresif dengan pendasaran nilai transendental-spiritual yang
kuat. Akan menjadi sia-sia bila hukum progresif diserahkan kepada perilaku yang
jauh dari hikmah kebajikan (Faisal, 2015: 103-104).
KESIMPULAN
Hukum
modern lebih berpihak kepada prosedur formal ketimbang substansi. Sudah saatnya
hukum dimaknai sebagai bagian dari esensi manusia dalam arti yang luas. Hukum
untuk manusia bukan manusia untuk hukum begitulah singkatnya. Dengan demikian
hukum tidak dapat dilepaskan dari moralitas. Hukum senantiasa berkelindan
dengan nilai-nilai Ketuhanan, nilai-nilai alam serta nilai-nilai sosial
kemanusiaan. Hukum progresif kontemplatif menggugah jiwa kita bahwa manusia
pada dasarnya lemah dan karena kelemahan itulah ia selalu mendambakan kehadiran
dzat yang Maha Kuasa sebagai tempat bergantung dan berserah diri. Hukum
progresif kontemplatif mendobrak kejumudan hukum, membongkar benteng formalisme
hukum agar tercipta hukum yang dinamis yang senantiasa menyesuaikan tuntutan
dan kebutuhan manusia dengan tetap berpijak pada hikmah kebajikan dan
spiritualitas yang transenden.
Daftar Pustaka
Ali,
Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence):Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Jakarta:
Kencana, 2009.
Bello,
Petrus C.K.L., Hukum dan Moralitas; Tinjauan Filsafat Hukum, Jakarta: Erlangga,
2012.
Faisal,
Pemaknaan Hukum Progresif; Upaya Mendalami Pemikiran Satjipto Rahardjo,
Yogyakarta: Thafa Media, 2015.
Fuady,
Munir, Aliran Hukum Kritis; Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2003.
Husaini,
Adian, et.al., Filsafat Ilmu; Perspektif Barat dan Islam,
Jakarta: Gema Insani, 2013.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian
Hukum, Edisi Revisi, Jakarta: Kencana, 2005.
Mertokusumo,
Sudikno, Mengenal Hukum; Suatu Pengantar, Edisi Kelima, Yogyakarta:
Liberty, 2003.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu
Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1982.
Zarkasyi,
Hamid Fahmy, Misykat; Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisai dan Islam,
Jakarta: INSIST-MIUMI, 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar